Friday, June 29, 2007

Pewaris Nabi, Pelestari Lingkungan*

Oleh Nurul H. Maarif, Gamal Ferdhi, Rumadi

Kerusakan lingkungan yang kian parah membangkitkan kepedulian para pemimpin agama. Para kiai dan aktivis bersatu dengan rakyat menentang rencana PLTN di Muria Jawa Tengah dan mengadvokasi korban lumpur Lapindo.

Semangat ribuan orang yang hadir di Lapangan Ngabul Tahunan, Jepara tak luluh disengat terik matahari. Mereka, adalah tokoh agama, aktivis parpol, aktivis LSM, petani, buruh, nelayan, masyarakat, bahkan santri pondok pesantren.

Berbagai poster diacungkan tinggi-tinggi; Nuklir Bikin Kere, PLTN Ora Sudi, Ngurus Lapindo Wae Ora Becus Arep Ngurus PLTN. Satu tekad mereka; menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)!

Itulah suasana Aksi Akbar dan Doa Bareng Tolak PLTN Muria yang dihelat Forum Masyarakat Muria (FMM). Aksi ini berlangsung bertepatan peringatan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni silam.

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara KH. Nuruddin Amin saat didaulat menyampaikan sambutan mengajak hadirin membaca Shalawat Anti-PLTN. "Kita semua baca shalawat ini minta syafaat Rasulullah SAW. Semoga kita dijauhkan dari bencana PLTN," ujar Gus Nung, sapaan akrab Nuruddin.

Syair shalawat itu digubah Zakariyya el-Anshori pada 1997. "Shalawat ini saya buat dalam tulisan latin maupun Arab pegon (aksara Arab berbahasa Jawa, red.). Asumsi saya, 80 persen rakyat Jepara "beragama" NU. Jadi ini cukup efektif untuk menggerakkan massa," kata Iyank, sapaan akrab Zakariyya (baca: Melawan Nuklir dengan Shalawat).

Menurut Iyank, tujuan shalawat itu untuk mengingatkan rakyat akan bahaya PLTN. Bahaya proyek itu juga disampaikan Gus Nung. Menurutnya, manfaat PLTN sebatas pengetahuan tentang teknologi nuklir. Tapi dampak negatifnya lebih besar.

"PLTN rentan radiasi. Ini akan menghancurkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Kudus dan Jepara," jelas Gus Nung.

Gus Nung menilai, PLTN lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. "Apapun yang diharamkan, itu karena mudharatnya lebih besar dari manfaatnya," jelasnya kepada Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute.

Ketua Jamaah Hubburrasul Habib Abdullah al-Hinduwan punya pandangan unik. Sembari mengutip Qs. Al-Baqarah: 219, ia mengiaskan PLTN dengan maysir (judi, red).
"Kita semua yang jadi korban. Yang dapat untung siapa? Ini namanya maysir. Kita harus tolak!," tegasnya disambut persetujuan hadirin.

Penolakan masyarakat itu dituangkan dalam Petisi 13 untuk Penolakan PLTN. Petisi itu ditandatangani 13 organisasi terdiri dari aktivis lingkungan, politisi, perkumpulan agama dan masyarakat. Bahkan segera dilayangkan ke DPR.

Dua pekan sebelum aksi itu, sekitar 150 tokoh masyarakat kawasan Muria menggelar dialog publik. "PLTN itu makhluk. Makhluk pasti rusak. Jika PLTN rusak, yang jadi korban rakyat. PLTN itu malapetaka yang tertunda," tegas mantan Ketua PCNU Jepara H. Muhammady Kosim saat Dialog Penjaringan Aspirasi Warga Jepara terhadap Rencana Pembangunan PLTN di Kawasan Muria, di Jepara.

Usulan membangun PLTN di Semenanjung Muria muncul sejak 1978, ketika Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) melakukan kajian awal bersama Pemerintah Italia. Pembangunannya direncanakan pada 1997. Tapi batal karena krisis moneter.

Rencana diubah. Pelaksanaan tender dan penetapan pembangunan PLTN ditargetkan mulai 2007-2008 dan konstruksinya selesai pada 2010. Rencana inipun tak terwujud. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) mencanangkan pembangunan pada 2010 dan beroperasi pada 2016.

Rencana ini pun tak mudah diwujudkan. Gelombang penolakan masyarakat kian terbuka. Apalagi banyak tokoh yang peduli lingkungan turut bersuara. Bahkan mantan Presiden Gus Dur juga melontarkan penolakan atas rencana ini.

"Keinginan SBY-JK membangun pembangkit nuklir di wilayah Gunung Muria, Jepara, itu tidak disertai pertimbangan matang," kritiknya saat memberi sambutan pada Konferensi Internasional Antaragama di Bali dua pekan silam.

Penolakan Gus Dur ini bukan baru sekarang. Pada 1995, Gus Dur niat berpuasa di tempat bakal PLTN sebagai protes. Alasannya sangat NU. Karena di sana ada makam wali. Pembangunan PLTN akan merusak lingkungan dan makhluk Tuhan.

Secara agama siapapun dibolehkan memanfaatkan hasil alam dengan leluasa. "Tapi juga harus menghormati alam, termasuk manusia. Dan, jangan sampai membawa dampak mudarat," kata Pengasuh Ponpes al-Islamiyah Tanggulangin, Jawa Timur KH Hasyim Ahmad (baca: "Posko Kiai" untuk Korban Lapindo).

Kiai Hasyim Ahmad bersama 18 kiai di Sidoarjo, mendirikan Posko Independen untuk korban lumpur lapindo Sidoarjo. "Kini banyak rakyat di sini sengsara akibat lumpur Lapindo," tegas Kiai Hasyim.

Penyebab tragedi ini, kata Kiai Hasyim, karena tidak adanya penghormatan para pengambil manfaat kepada alam. "Mbok orang yang mau menggali potensi alam yang sudah diizinkan Allah SWT ini juga menghormati alam, termasuk manusia," kata alumni santri Sayyid Alawi al-Maliki di Mekah ini.

Pandangan senada datang dari KH. Nasruddin Anshori. "Bagi yang masih tinggal di atas bumi, sudah menjadi kewajiban kita untuk eling (ingat) dan mawas diri, sehingga hanya pikiran, ucapan dan tindakan kebaikanlah yang kita lakukan," kata Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri Bantul, Yogyakarta ini saat peringatan Hari Bumi di pesantrennya akhir April silam.

Pesan Trend bervisi membebaskan masyarakat setempat dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan, juga melestarikan lingkungan dan memelihara alam. Oleh sebab itu, KH Nasruddin yang pernah menjadi aktivis LP3ES ini, mencanangkan penanaman ribuan pohon jati dan cendana di lahan seluas 200 hektar. Hasilnya dimanfaatkan 400 kepala keluarga (KK) yang tinggal di kawasan itu.

"Setiap KK kita minta menanam 80 pohon cendana. Untuk keluarga 30 pohon dan untuk simpanan bersama 50 pohon. Dalam 15 tahun, dengan asumsi 15 persen mati, tumbuh 20 ribu cendana yang melahirkan 5000 sarjana dan 5000 tiket haji," papar Kiai Nasruddin.

Bahkan Ilmu Giri menawarkan konsep baru pelestarian lingkungan. Ketika seorang remaja hendak menikah, saksinya bukan hanya manusia, juga pohon. Pada saat akad nikah, pihak lelaki dan perempuan masing-masing menyediakan 20 pohon sebagai saksi.

"Setelah akad nikah selesai, ada prosesi kecil menanam 40 pohon itu," ujar Kiai Nasruddin kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Kiai Nasruddin punya penilaian sinis kepada para perusak lingkungan. "Betapa culas dan tidak bermoralnya manusia jika menjadikan bumi hanya sebatas objek eksploitasi, pemuasan diri, keserakahan dan ketamakan yang tak habis-habis," katanya.

Para pemegang kekuasaan dan pemodal harus hati-hati mengeksplorasi alam. Karena ketika ketamakan yang diutamakan, maka rakyat akan bangkit melawannya.[]

*Suplemen WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin, 25 Juni 2007

Melawan Nuklir dengan Shalawat*

Oleh Nurul Huda Maarif

Eling-eling sira manungsa,
PLTN gawe sengsara,
Mumpung durung diputusna,
Mula sira padha mikira

Eling-eling sira manungsa,
PLTN bisa cilaka,
Mumpung durung ditutugna,
Mula sira padha nolak'a

Nuklir ora kaya mebel ukir,
Nuklir beda karo lampu senthir,
Nuklir uga dudu untir-untir,
Proyek Nuklir mara'ake fekir.
(Proyek Nuklir mara'ake kenthir)

Melawan kekuasaan tidak mesti menggunakan kekuatan fisik. Shalawat pun bisa jadi alternatif kekuatan yang tak kalah ampuh. Inilah yang ditempuh aktivis muda dari Jepara, Zakariyya el-Anshori, untuk menentang rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria Jepara Jawa Tengah.

Hingga kini, rencana yang telah berjalan sejak masa Orde Baru tahun 1978, itu belum juga terlaksana. Penolakan datang bergelombang dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya penolakan melalui Shalawat Anti-PLTN yang diciptakan pada 1997 oleh aktivis Lakpesdam NU Jepara itu.

"Saya berasumsi, 80 % masyarakat Jepara itu "beragama" Nahdhatul Ulama. Makanya saya ciptakan shalawat ini, baik dalam tulisan latin maupun Arab pegon (tulisan beraksara Arab namun berbahasa Jawa, red)," terang pria kelahiran Jepara pada 1970 ini. "Yang Arab pegon ini cukup efektif untuk menggerakkan massa," imbuhnya.

Mengapa memilih shalawat sebagai media perlawanan? "Karena massa di Jepara itu mayoritas NU, maka saya harus menyederhanakan istilah tehnologi yang rumit dengan istilah lokal yang bisa diterima," jawab ayah seorang putera ini.

"Hanya saja, awalnya shalawat ini ditujukan untuk ibu-ibu majelis taklim. Mereka kan sulit memahami istilah-istilah PLTN. Maka harus dibahasakan lebih sederhana," alumni beberapa pondok pesantren di Jepara dan Yogjakarta ini berargumen.

Dikatakannya, shalawat ternyata memiliki efek yang tidak bisa dipandang sebelah mata. "Kalangan sepuh atau tua, memang banyak diam. Tapi anak-anak muda kian berani bersuara lain terhadap PLTN," terang "jebolan" Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Menurut Yankz - sapaan akrabnya - shalawat ini acapkali dibaca pada pertemuan-pertemuan budaya. Misalnya, pada pembacaan puisi, pertunjukan teater, dan sejenisnya, termasuk pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2007 lalu.

"Saya juga pernah membacanya di perlombaan teater, menjelang kejatuhan Soeharto," ujarnya. "Baru sebatas wilayah itu. Tidak seperti shalawat Nabi, yang bisa dibaca menjelang shalat wajib," imbuhnya.

Selain mengkriya Shalawat Anti-PLTN itu, Yankz juga aktif masuk ke lembaga-lembaga pelajar NU, guna mensosialisasikan dampak negatif PLTN. "Nanti yang mendominasi kan kiai-kiai muda. Makanya para gus atau "ma'syaral gawagis" ini perlu digarap. Beberapa pesantren yang nantinya diharapkan melakukan gerakan perlawanan juga kita organisir," katanya.

Yankz memang tidak mengenal lelah menolak PLTN. Dua pekan sekali, Yankz yang kini menetap di Ibu Kota Jakarta, menyempatkan diri pulang ke kampungnya guna memantau perkembangan isu PLTN. Yankz melihat, PLTN lebih banyak mendatangkan kemadharatan ketimbang kemanfaatan, baik bagi masyarakat maupun bagi lingkungan.

"Alasan agamanya kan selalu dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih (menolak kerusakan harus diutamakan ketimbang mengambil kemanfaatan, red). Dan, dampak yang akan ditimbulkan PLTN ini sangat mengerikan," ujarnya.

Selain itu, kata Yankz, di wilayah Jepara sebetulnya banyak alternatif lain yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembangkit listrik yang ramah lingkungan. "Kita bisa memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sebagainya. Kenapa bukan ini yang dikembangkan?" tanyanya kritis.

"Saya yakin, 100 % ini karena untuk kepentingan ekonomi, kendati dengan mengorbankan banyak pihak," jelasnya.

Kekuatirannya kian bertambah. Ternyata di negeri ini belum tersedia praktisi atau ahli nuklir khusus untuk urusan PLTN. "Sekedar ahli atau teoritisi, itu banyak. Tapi mereka ahli nuklir dalam kapasitas laborat bukan skala besar," ungkapnya. "Belum lagi soal pembiayaan yang sangat banyak. Dan ini pasti dari uang rakyat," imbuhnya.

"Makanya, walaupun seluruh masyarakat Jepara menerima PLTN, bahkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saya panuti sekalipun menerimanya, saya tetap akan menolaknya. Saya tidak ingin anak cucu saya diberi warisan utang dan kerusakan lingkungan. Inilah ideologi saya," tegasnya.

Gus Dur sendiri, jauh-jauh hari telah menyuarakan penolakannya atas rencana ini. Dituturkan Yankz, sekitar 1995, Gus Dur menyatakan, dirinya hendak menjalankan ritual puasa di tapak PLTN Ujung Watu. "Alasannya sangat NU. Karena di sana ada makam tokoh spiritual. Setelah saya cek, ternyata memang ada. Sikap Gus Dur ini menginspirasi penolakan saya pada PLTN," tandasnya.[]

*Suplemen the Wahid Institute di Majalah TEMPO, Senin, 25 Juni 2007

Tuesday, June 12, 2007

Prof. Dr. Udin Saripudin Winataputra: Civic Education Baru Knowing, Belum Doing

Puluhan tahun menggeluti civic education (CE), menjadikan Prof. Dr. Udin S. Winataputra sangat berkompeten berbicara soal ini. Menurutnya, CE di Indonesia baru sebatas knowing belum doing. Indikatornya jelas! Mahasiswa yang telah dibekali prinsip-prinsip CE, ketika demo tetap saja tidak tertib. Malah tak jarang anarkis. Berikut tuturannya pada Gamal Ferdhi dan Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Bisa Anda jelaskan tentang CE?
CE itu nomenklatur yang dikenal di AS dan negara-negara yang berkiblat padanya.

Apa tujuan awal diciptakannya CE?
Di AS, CE itu program kulikuler yang dirancang untuk sekolahan. Tujuannya membangun warga negara AS yang cerdas, demokratis dan bertanggungjawab. Atau smart dan good citizens. Warga itu hypothetical citizen kata Aristoteles. Semua orang baru bisa menjadi warga negara kalau ada upaya khusus mendidiknya. Tidak bisa dengan berharap, lalu akan tumbuh warga negara yang baik. Jadi harus ada upaya sistemik yang dilakukan pemerintah untuk membangun masa depan bangsanya. Salah satunya dengan melakukan pendidikan kewarganegaraan (CE).

Apa beda CE di Indonesia dengan negara lain?
Negara lain mengembangkan CE dengan menempelkannya pada mata pelajaran tertentu. Dan mereka kesulitan jika CE hanya ditempelkan saja. Di Indonesia, CE itu menjadi mata pelajaran tersendiri dan independent. Ini plusnya. Minusnya ketika sudah menjadi mata pelajaran sendiri, maka ada tendensi lantas itu menjadi pengetahuan saja, karena diajarkan.

Adakah akar CE untuk konteks Indonesia?
Kita memang punya tradisi sendiri. Upaya membangun bangsa itu tidak lahir sejak reformasi. Awal abad 20 kita mencatat ada semangat berbangsa Indonesia yang oleh orang Barat ditengarai sebagai indikator bangkitnya kesadaran orang-orang Timur. Puncaknya pada 28 Oktober 1928. Ini historis yang paling menonjol terkait pembangunan bangsa. Saat itu sejumlah anak muda berikrar �berbangsa satu bangsa Indonesia, bertumpah darah satu tumpah darah Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia.� Ini semangat untuk menjadi banga yang satu, hidup di tanah tumpah yang satu dan berbahasa yang satu bahasa Indonesia. Ini kian mengkristal ketika Indonesia merdeka pada 1945.

Jadi kesadaran bernegara itu telah ada sejak dini?
Betul! Persoalannya bagaimana mewujudkan itu? Salah satu alatnya pendidikan sebagai sarana membangun bangsa ini lewat generasi mudanya. Student today leader tomorrow. Inilah latar belakang historis dan filosofis mengapa kita harus punya program pendidikan yang dirancang khusus untuk membangkitkan kesadaran berbangsa. Maka pada 61-an dikembangkanlah mata pelajaran Civic.

Pelopornya siapa?
Buku yang berpengaruh waktu itu ditulis Sopardo SH, berjudul Civic; Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia. Tapi waktu itu civic diisi bahan-bahan yang sangat indoktrinasi. Lewat mata pelajaran ini kita dicekoki bagaimana seharusnya menjadi warga negara dengan memahami doktrin politik kenegaraan waktu itu. Bahkan civic bukan lagi menjadi alat bagi bangsa dan negara, tapi menjadi alat pemerintah untuk mengindoktrinasi rakyat. Padahal sesungguhnya civic itu untuk membangun warga yang pro negara bukan pro pemerintah. Kalau perlu kritis terhadap pemerintah.

Itu berlangsung hingga tahun berapa?
Tahun 68 civic berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Itu mirip dengan CE juga. Doktrin pemerintahnya mulai dikurangi dan muncul doktrin negara. Yang dominan masuk ke situ UUD �45 dan Pancasila. Ini doktrin negara. Ini berlangsung sampai tahun 74. Tahun 75, nama PKN berubah PMP. Tahun 94 menjadi Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan (PPKn). Barulah beberapa tahun silam, muncul wacana baru tentang pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi dalam arti generic. Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi wahana pendidikan demokrasi.

Apa kelemahan CE yang ada?
CE yang ada di Asia baru teaching about democracy (pelajaran tentang demokrasi) yang lebih ke wacana. Dengan kata lain baru how to know democracy dan belum how to build democracy seperti di AS, Inggris dan New Zeland. Di Indonesia kita harus bergerak ke tengah dulu. Jangan dulu melompat ke building.

Bukankah CE sudah cukup lama diajarkan di Indonesia?
We cannot build democracy without culture. Demokrasi itu selalu ada kulturnya. Apakah kita tidak punya akar demokrasi? Hampir sebagian besar orang mengatakan, iya, kita tidak punya akar demokrasi. Karena sejarah kita itu sejarah kerajaan atau monarki lokal. Budaya kita bukan budaya mengindonesiakan Indonesia, tapi budaya komuniter. Saya sering dialog dengan orang DPR. Dalam benak mereka bukan Indonesia nomor satu, tapi partai. Apalagi kalau sudah menjelang Pemilu. Sekarang hanya sedikit orang yang masuk partai karena ideology. Saya setuju orang mengatakan, politikus itu lebih mencerminkan pekerja-pekerja politik. Ini beda dengan Syahrir yang sekali sosialis, sampai mati tetap sosialis. Moh. Rum yang sekali Masyumi tetap Masyumi. Meraka berpartai dengan keyakinan.

Jadi seakan politikus itu musuh CE?
Karena orang politik itu keberpihakannya terlalu pragmatis. Sebenarnya politisi harus diajarin slogan mereka sendiri. Mereka hafal, loyalitas pada partai itu selesai ketika loyalitas pada bangsa itu mulai. Begitu anggota DPR dilantik dan disumpah sebagai wakil rakyat, maka selesailah loyaliti pada partai.

Selain politikus, apa lagi tantangan yang dihadapi CE?
Tantangannya banyak dan sangat berat, termasuk system multipartai dan otonomi daerah. Misalnya sejarah lahirnya UUD 45 pasal 33 tentang bumi, air, dan kekayaan laut dipelihara oleh negara, itu yang merumuskan Hatta dan Syahrir. Mereka pemuda Sumatra yang tahu di bawah alam ada kekayaan. Tapi dengan Otda, ada kabupaten bertengkar soal laut. Nelayan bisa berkelahi rebutan lahan. Ini menyebabkan Indonesia terkapling-kapling. Akibatnya, yang terbentuk bukan orang yang punya jiwa keindonesiaan, tapi orang yang lokalis, primordial dan sangat egosentris.

Itu memang ironis. Lalu capaian apa yang telah diraih CE?
Yang paling kelihatan hanya knowing saja. Orang banyak tahu demokrasi. Itupun pada tingkat akademisnya. Jadi banyak pekerjaan yang harus kita lakukan. Karena itu seluruh komponen yang konsen dalam soal ini harus menyatukan pikiran. Dan yang konsisnten menyebarkan hal ini justru media massa. Kita juga harus membangun kesadaran bersama. Misalnya apa kesadaran orang Aceh, Jawa, Sunda, Manado dan sebagainya. Sama lahir di Indonesia, sama punya kepentingan. Bangunlah kesamaan itu. Jangan tonjolkan perbedaannya. Simbol-simbol Indonesia harus dikedepankan, seperti simbol budaya atau yang lain. Kalau simbol politik itu terlalu dipaksakan.

Perhatian pemerintah sendiri soal ini bagaimana?
Pemerintah harus mencermati dan mendorong soal ini.

Terkait standar isi, bagaimana Anda menilainya?
Saya prihatin dengan standar isi pendidikan kewarganegaraan untuk SD, SMP, dan SMA karena sangat dominan kontennya. Ini berarti anak sekolah hanya akan diperkuat knowing-nya. Untuk SMP misalnya, ada bunyi kompetensi, siswa mampu menganalisis suasana kebatinan perundangan-undangan yang berlaku. Celaka! Kalau anak SMP harus dicekoki untuk menganalisis apa sih suasana kebatinan itu? Ini untuk mahasiswa fakultas hukum jurusan hukum tata negara.

Perkembangan CE saat ini bagaimana?
CE sekarang sedang diperbaiki lewat BSNP. Ini tim nasional yang menyiapkan standar isi, standar pembelajaran, dan standar guru yang nantinya akan diajarkan dari SD sampai PT.

Evaluasinya seperti apa?
Itulah! Karena knowing, evaluasinya hanya testing. Itu resikonya! Kalau sudah doing, evaluasinya bukan lagi testing, tapi juga doing. Jadi upaya merubah atau menyempurnakan program pendidikan kewarganegaraan, itu juga harus disertai menata lingkungan belajar, metode pembelajaran dan kualifikasi guru-gurunya. Saya banyak bergaul dengan guru-guru PPKn. Yang ada dalam pikiran mereka hanya menuang buku pelajaran. Ini kan problem. Jadi masih sangat berat.

Jadi Anda mengakui CE baru sebatas knowing?
Di kita masih dominan itu. Doing-nya ada, tapi kalau dipresentasi mungkin knowing-nya 75 %. Buktinya anak-anak sekolahpun kalau demo nggak bisa tertib. Indikatornya itu saja lah. Mereka tahu demokrasi, tapi belum bisa mempraktikkannya.

Bukankah banyak orang beranggapan CE telah berhasil?
Itu sering bikin saya malu hati. Saya katakan, itu hanya lips service. Saya sendiri merasa, kita belum banyak beranjak secara signifikan. Dalam pemikiran memang banyak berubah.[]

Kiai Husein: "Memulung" Kebenaran Terpinggirkan

Oleh Nurul H Maarif

KH Husein Muhammad, 52 tahun, adalah segelintir kiai yang miris menatap tindak ketidakadilan terhadap perempuan. Lebih miris lagi, ternyata "agama" turut terlibat dalam arus besar budaya tidak adil itu.

"Tanpa disadari, ternyata telah terjadi tarik-menarik yang sulit dipisahkan antara sistem budaya dan "agama" yang memberikan kekuatan besar bagi terciptanya subordinasi dan ketertindasan bagi kaum perempuan," ujar Pengasuh Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon ini tercengang.

Tapi itulah, imbuhnya, realitas yang tengah terjadi di masyarakat, kendati sesungghunya agama maupun agamawan tidak menghendakinya. "Ada kesenjangan dan ketimpangan antara idealitas agama dan realitas sosial," jelas pendiri Fahmina Institute ini.

Kang Husein -- sapaan akrabnya -- melihat, ketidakmampuan memilah mana teks agama yang mencerminkan makna humanitas universal dan mana yang mencerminkan humanitas kontekstual, menjadi akar tunggal kesenjangan dan ketimpangan itu. "Saya melihat kenyataan di atas dan saya merasa terganggu. Saya lalu mencoba mencari-cari jawabnya melalui kajian terhadap teks-teks keagamaan klasik yang kebetulan menjadi basis intelektual saya," ujarnya. Hasilnya, apa yang tertera dalam kitab klasik merupakan interpretasi dan responsi ulama terdahulu terhadap kebudayaan setempat.

Sebab itu, satu-satunya jalan agar kitab klasik dapat dijadikan rujukan, adalah dengan menafsir ulang sesuai konteks kekinian. "Misalnya perlakuan tak adil dan kekerasan terhadap perempuan harus diluruskan, meski pandangan itu terdapat dalam kitab klasik," ujar penulis buku Fiqh Perempuan (LKiS: 2001) ini. Untuk itu, pada lokasi dan waktu berbeda, harus ada penafsiran berbeda. "Menutup peluang adanya penafsiran atas teks-teks kitab suci merupakan penghinaan terhadap kitab suci itu sendiri," katanya.

Alumni Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur 1973 ini menambahkan, dalam ajaran tauhid kedudukan manusia diletakkan sejajar. Hanya ketakwaan yang bisa mendudukkan manusia pada tingkat yang tinggi. "Merujuk pada tauhid ini, mestinya tak ada penindasan atau pensubordinatan terhadap perempuan," ujar penulis buku Islam Agama Ramah Perempuan (LKiS: 2004) ini.

Sejarah membuktikan, imbuhnya, melalui Alquran Nabi Muhammad SAW justru telah melakukan perjuangan menegakkan keadilan jender di tengah budaya patriarki yang akut. "Nabi sedang melakukan transformasi sosial-kultural Arab secara bertahap. Dan ternyata perempuan kala itu mulai mendapatkan perlakuan yang adil. Ketika ada perempuan lahir kemudian dibunuh secara diam-diam, Alquran mengkritiknya dengan nada sinis dan pengingkaran," ujarnya seraya mengutip QS At-Takwir [81]: 8-9. "Malah ketika masyarakat jahiliah tak memberikan hak waris pada perempuan, Alquran memberikannya meski separuh," imbuhnya lagi.

Fatwanya yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, menjadi bukti keberaniannya menerabas arus mayoritas itu. "Sejauh ini pandangan saya cukup jelas. Perempuan dibolehkan menjadi imam salat bagi siapa saja, baik bagi perempuan maupun laki-laki," tandas pendiri Balkis Women's Crisis Centre ini.

"Saya kira (pikiran Kang Husein, red) yang paling berani adalah soal kepemimpinan dalam shalat," ujar Indonesianis Andree Feillard mengakui. Kang Husein, imbuh Andree, selalu berusaha mencari makna esensial yang tertanam dalam satu ayat atau hadis menyangkut jender. "Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat, Kiai Husein mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis," kata Rais Syuriah PBNU KH A Sahal Mahfudh kagum.

Itulah Kang Husein, yang oleh Mantan Koordinator JIL Ulil Abshar-Abdalla digelari "pemulung� wacana terpinggirkan. "Ada yang bilang al-khata' al-masyhur khairun min al-shawab al-mahjur/kesalahan yang populer lebih baik dari kebenaran yang dimarjinalkan. Dan saya "pemulung" wacana al-shawab al-mahjur itu," kata Mantan Direktur Wacana Rahima ini.[]

Jejak Agamawan Organik

Oleh Nurul H Maarif, Gamal Ferdhi, dan Subhi Azhari

Lambaian nyiur diiringi semilir angin menemani Imron Anwar Mu'in Yusuf, 33 tahun, yang tengah melepas lelah di beranda rumahnya, di komplek Pesantren al-Urwatul Wustqo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Ia baru pulang dari menghadiri workshop nasional The WAHID Institute, di Kota Padang. Tiga hari acara ditambah dua hari perjalanan udara, benar-benar membuatnya capek.

Waktu santai selalu dimanfaatkan kyai muda penuh semangat ini untuk me-recharge ilmunya. Pada hari itu misalnya, di tangannya tampak sebuah kitab karya mantan pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar, Mesir Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya'rowi berjudul al-Fatawa al-Kubra (Fatwa-fatwa Agung, red). Dengan teliti, lembar demi lembar buku berbahasa Arab itu ditelaahnya.

Di Sulawesi Selatan, Imron dikenal sebagai keturunan "darah biru". Ia cucu salah satu ulama besar di sana, Anre Gurutta H Abdul Mu'in Yusuf, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan periode 1987-1997, yang digelari Kali Sidenreng (hakim agama di Sidenreng, red).

Meski kakeknya mantan ketua MUI Sulawesi Selatan, ia tetap bersikap kritis terhadap lembaga itu. Bahkan, dengan tegas ia menyatakan keluar dari keanggotaan MUI Sidrap, karena tidak setuju dengan fatwa hasil Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-7 2005 lalu. "Fatwa-fatwa itu tidak lagi menunjukkan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin", tandasnya berargumen.

Gurutta Imron, begitu ia biasa disapa santri-santrinya, memang tidak punya banyak waktu untuk sekedar bersantai. Selain menjadi pengasuh pesantren Al-Urwatul Wustqo, yang berlokasi di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan dengan 400 orang santri, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan di luar pesantren. Misalnya diskusi, seminar, advokasi kebijakan pemerintah, hingga pendampingan masyarakat lokal. Ia tidak pilah-pilih mana aktifitas sosial yang harus dilakukan dan mana yang kudu ditinggalkan. "Tidak ada persoalan. Karena kita ini khadimul ummah (abdi rakyat, red)" ujarnya.

Karena dedikasinya itu, pantas jika Imron menjadi figur agamawan muda muslim dambaan masyarakat. Ia memiliki karakter keberagamaan kuat, kemampuan intelektual mumpuni, pun tak abai membaca situasi sosial politik yang berlangsung di sekelilingnya. Agamawan saat ini memang dituntut untuk mampu mengartikulasikan realita dan menjadikan spirit-spirit ketuhanan sebagai alat kritik sosial serta respon terhadap berbagai bentuk ketidakadilan di masyarakat.

Meminjam istilah Antonio Gramsci, agamawan seperti ini disebut sebagai "intelektual organik", yakni intelektual yang melakukan perubahan bersama dan melebur dengan masyarakat. Mereka tidak asyik masyuk sendirian di "menara gading" dengan ide-ide besarnya. Itulah intelektual sejati.

Para agamawan organik ini, menurut pemikir progresif Moeslim Abdurrahman, tak sebatas membimbing ritualitas dan spiritualitas masyarakat melalui lembaga pendidikan yang mereka pimpin, tapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif agar masyarakat memiliki kesadaran tentang asal-muasal atau sumber penindasan dan bagaimana menyikapinya. Karenanya, isu-isu ketidakadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), masalah buruh, petani, persoalan gender, pemberantasan korupsi, permberdayaan ekonomi, penyelamatan lingkungan dan masalah pendidikan, merupakan lahan kerja intelektual organik ini.

Itu pula yang diteladankan Gurutta Imron. Ia berjibaku membela hak-hak Komunitas Agama Tolotang, yang oleh pemerintah dilabeli sebagai pemeluk Hindu. "Mereka juga bagian dari masyarakat Sidrap yang hak-hak publiknya harus dijamin" alumnus Universitas Al Azhar Kairo ini berargumen. Dan apa yang dilakukannya berhasil melahirkan kesadaran baru, bahwa ternyata ada motif-motif ekonomi para penguasa di balik semua itu.

Sikap kritis agamawan, semisal Gurutta Imron, memang sangat diperlukan masyarakat untuk menjelajahi kenyataan hidup yang terus berubah. Sikap seperti itu pula yang ditampakkan Tuan Guru Haji Syamsul Hadi Muhsin, 40 tahun, di Lombok Tengah, dengan aksinya memanfaatkan lahan tidur untuk kepentingan masyarakat sekitar.

Syamsul Hadi merupakan agamawan muda yang tidak hanya memiliki penguasaan ilmu-ilmu keislaman klasik mendalam. Jebolan Universitas Al-Azhar Mesir 1994 ini mampu meracik pendekatan-pendekatan yang datang dari khazanah klasik (Islam) dan modern (Barat) dengan sangat baik. Selain piawai mengelola pesantren, ia juga lihai mengelola lahan pertanian. Keterbelakangan ekonomi dan pendidikan masyarakat Lombok misalnya, menjadi inspirator pengasuh Pondok Pesantren Nusrusshobah, Batunyale Praya, Lombok Tengah yang hobi bertani ini, untuk menyulap lahan tidur menjadi produktif. Semua diorientasikan untuk kepentingan masa depan ekonomi dan pendidikan masyarakat setempat.

Berbekal jaringan yang dimiliki, Syamsul lantas mengontak rekan-rekannya di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mataram untuk dicarikan bibit jahe. Tanpa diduga, panen jahe kelompok binaannya sangat menggembirakan. Itu memancing belasan kelompok petani lain untuk berbondong-bondong mengikuti jejaknya.

"Antusiasme ini muncul, karena inilah yang mereka harapkan. Selama ini mereka sudah muak dengan para cendekiawan yang hanya bisa ngomong", jelasnya. Untuk itu, bersama The WAHID Institute, ia mendirikan Koperasi Sejahtera untuk mewadahi animo para petani di daerahnya.

Seperti halnya Gurutta Imron dan Tuan Guru Syamsul, jejak keberpihakan agamawan organik kepada masyarakat ini juga dapat temui dalam diri Bahruddin, 40 tahun. Pria sederhana yang lahir di Desa Kalibening, Salatiga, ini memiliki gairah keagamaan begitu tinggi. Ia santri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Salatiga pimpinan KH. Mahfud Ridwan yang dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat dengan masyarakat akar rumput. Meskipun jauh dari kesan sebagai "tokoh pendidik", justru lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang ini adalah Direktur SLTP Alternatif Qoryah Toyyibah Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah, salah satu sekolah yang berbasis pada komunitas dengan prinsip pendidikan murah.

Tidak hanya itu. Dari pergumulannya dengan masyarakat setempat, Bahruddin melahirkan kelompok tani yang dinamakan Al-Barokah, yang diartikannya berkah dari alam. Paguyuban petani itu tidak hanya memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi hama dan irigasi, melainkan juga menanamkan pentingnya pertanian organik sebagai sistem pertanian terpadu.

"Saya mendirikan lembaga pendidikan dan berbagai lembaga itu bersama masyarakat, dengan hasil yang luar biasa. Itu menunjukkan bahwa mereka punya kemandirian dan kearifan," jelas ayah tiga putera ini.

Ia rajin mengkritisi para aktivis yang hanya bisa menempatkan masyarakat sebagai obyek perubahan. "Masyarakat itu memiliki potensi yang tidak pernah terekspos. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadari hal itu," keluhnya.

Sosok lain dalam deretan agamawan organik yang tak kalah penting adalah KH. M Dian Nafi', 41 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Windan, Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Lahir dari lingkungan pesantren yang kental dengan tradisi keagamaan, tak membuatnya sempit dalam memandang Islam.

Spirit agama, menurutnya, justru merupakan pendorong paling kuat untuk melahirkan perdamaian, persaudaraan dan rekonsiliasi antar umat manusia. Prinsip itu ia tanamkan pada para santrinya. Bahkan suami Murtafiah Mubarokah ini mempraktekkan prinsip itu dengan terjun langsung membantu rekonsiliasi di Maluku yang dilanda konflik sejak tahun 1999.

"Jika kita berhasil memfasilitasi rekonsilliasi, maka kita tidak berhak atas pujian, karena merekalah yang telah bersedia melakukan rekonsiliasi. Itu adalah hak mereka," ungkap Dian mengenang pengalamannya di Maluku.

Itulah fenomena agamawan organik yang, antara lain, terjadi di lingkungan Nahdhatul Ulama. Walau mereka acap disebut generasi hibrida NU, namun kemunculan mereka tidak bisa dilepaskan dari pengaruh generasi sebelumnya. Mereka bukanlah si Malin Kundang yang terkutuk. Mereka datang bukan tanpa preseden dalam sejarah.

KH. Abdurrahman Wahid di Nahdlatul Ulama dan Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif di Muhammadiyah adalah sosok-sosok besar yang punya andil luar biasa bagi kelahiran generasi hibrida di dua organisasi Islam terbesar itu. Bahkan "jalan hidup" generasi tersebut tak terputus dari ghirah pendiri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan.

Kehadiran agamawan organik itu menjadi lebih bermakna. Mereka seolah muncul dari kubangan para agamawan yang terjun ke dunia politik tanpa visi transformatif, melainkan visi material. Ironisnya, setelah "godaan politik material" semakin telanjang, kiprah mereka ditenggelamkan kecenderungan agamawan (Islam) yang semakin jauh dari gerakan pastoral.[]

Djudju Zubaidah: Pembebasan Itu Misi Rasulullah

Kesetaraan perempuan di pesantren tidak terbatas pada perdebatan wacana dalam buku dan pidato, melainkan advokasi dan konseling secara berkesinambungan. Salah satunya dilakukan Forum Kajian dan Sosialisasi Hak-hak Perempuan Nahdina yang didirikan 21 April 2002 di Cipasung, Tasikmalaya. Ketua Nahdina Cipasung Djudju Zubaidah menyampaikan kiprah lembaganya kepada Nurul Huda Maarif dari the WAHID Institute.

Apa kegiatan Nahdina?
Nahdina fokus pada kajian kesetaraan jender. Hasilnya kita sosialisasikan saban pengajian, melalui majelis taklim. Kita juga memberikan pengertian bagaimana membangun paradigma baru tentang relasi lelaki dan perempuan, kesehatan reproduksi dan sebagainya.

Selain itu, kita mengadakan pelatihan untuk guru-guru yang ada di lingkungan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya yang diasuh KH. Ilyas Ruhiat, mantan Rais 'Am Syuriyah PBNU, juga guru-guru di sekitar pesantren. Ini ajang untuk berkomunikasi, advokasi, dan sosialisasi gagasan kita tentang isu Islam dan hak-hak perempuan.

Sekarang kami sedang berusaha bagaimana agar mata pelajaran atau kurikulum itu punya perspektif jender. Pelajaran Biologi atau Fikih misalnya, itu dijelaskan dulu bagaimana perspektif jendernya. Semua ini kita masukkan melalui guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Guru-guru ini diharapkan bisa menularkannya pada anak didik.

Pada tahap selanjutnya, karena ada masalah dan ada korban akibat relasi tidak seimbang yang selama ini berjalan, maka kita mengambil bentuk advokasi.

Advokasinya seperti apa?
Ada dua pola. Pertama, menyoroti kebijakan pemerintah daerah. Kedua, penanganan langsung korban. Jika ada peraturan daerah tidak berpihak atau diskriminatif pada perempuan, maka kita mengadakan dialog dan dengar pendapat dengan DPRD Tasikmalaya. Tujuannya supaya mereka melihat kembali bahwa sebenarnya aturan itu tidak boleh dilaksanakan begitu saja, tapi harus menampung aspirasi masyarakat yang akan diatur. Sedangkan untuk advokasi korban, kita bikin crisis center di pesantren, bekerja sama dengan PUAN Amal Hayati cabang Cipasung.

Bagaimana respon DPRD?
Ketika dialog, umumnya mereka paham. Tapi untuk mengimplementasikannya dalam bentuk peraturan daerah yang adil, mereka mikir-mikir. Ada juga yang selama ini merasa telah diuntungkan, sehingga enggan untuk berubah.

Apa penyebab lainnya?
Paradigma lama masih tetap dipakai. Apa yang kita sampaikan, tampaknya hanya untuk konsumsi pemikiran. Jadi, banyak tokoh masyarakat yang terbuka pikirannya, tapi tindakan tetap saja.

Bagaimana dengan keluarga pemimpin Pesantren Cipasung?
Mereka justru lebih terbuka. Tapi kalau di tingkat ustadz kampung, masih banyak yang memakai paradigma lama. Walau mereka muda, tapi pemikiran tetap lama.

Respon Nahdina terhadap sikap mereka ?
Memang untuk konsisten pada perjuangan itu banyak tantangannya. Namun kita akan terus mensosialisasikan bahwa perempuan itu bukan ladang diskriminasi. Kita, melalui Nahdina yang berdiri pada 21 April 2002, juga akan mensosialisasikan buku-buku baru yang mengkritisi isi kitab kuning yang mendiskreditkan perempuan, seperti 'Uqud al-Lujjayn.

Apa rencana Nahdina lainnya?
Nampaknya Nahdina harus bekerja keras. Karena faktor yang mendukung timbulnya kekerasan terhadap perempuan semakin kuat. Sedang kerja kita masih sangat minim. Keadaan ekonomi yang terpuruk, misalnya, menjadikan perempuan sebagai korban. Kadang harus nanggung biaya hidup sendiri, ada yang ditinggalkan suami sementara anak sudah ada, dan banyak lagi. Jadi, karena masalah ekonomi nasib perempuan semakin terpuruk.

Mengapa Anda dan Nahdina begitu gigih berjuang?
Islam yang dibawa Rasulullah SAW, itu agama pembebasan. Karena itu, saya harus melakukan pembebasan semampu saya, apapun resiko yang saya hadapi. Mengapa? Karena misi Rasulullah SAW diutus ke dunia itu untuk menegakkan keadilan.[]

Kritik Dijawab Kritik

Oleh Nurul H Maarif

Berawal dari realitas kehidupan yang terus berubah, kitab Syarh 'Uqud al-Lujjayn fi Huquq al-Zaujayn, mendulang banyak pertanyaan dan bahkan gugatan. Kitab karya Muhammad bin �Umar al-Bantani (1813 M-1898 M), yang hingga kini masih menjadi "buku wajib" bagi perempuan dalam membina hubungan dengan lelaki, ini dinilai mengandung banyak unsur ketidakadilan, utamanya terkait kedudukan perempuan di hadapan laki-laki. Penilaian seperti ini, antara lain, dinyatakan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3).

FK3, yang diketuai Ny. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan beranggotakan cendekiawan dan feminis muslim, seperti KH Husein Muhammad, Lies Marcoes Natsir, Badriyah Fayumi, Syafiq Hasyim, Farcha Cicik, Faqihuddin Abdul Kodir, dan Juju Zubaidah, ini merasa bertanggungjawab menelaah ulang kitab -- yang menurut KH Bisri Mustofa Rembang membuat laki-laki besar kepala -- ini secara kritis dan akademis. Telaah ini berupa takhrij -- penelusuran terhadap riwayat-riwayat hadis yang menjadi sandaran buku ini -- dan ta'liq -- pemberian komentar atas beberapa pandangan pengarang.

"Dengan telaah ini diharapkan muncul pembacaan yang kritis dan proporsional, yang memberikan nuansa dan pemahaman baru bagi penciptaan hubungan laki-laki dan perempuan, suami-isteri," tulis tim FK3.

Setelah bekerja selama tiga tahun, hasil telaahan atas kitab yang kadung mengakar di dunia pesantren ini terbit pada 2001 dengan judul Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah Kitab 'Uqud al-Lujjayn. Dunia pesantren yang selama ini adem-ayem pun terusik. Keterusikan ini memantik sejumlah "kiai muda" dari Pasuruan Jawa Timur yang tergabung dalam Forum Kajian Islam Taradisional (FKIT) untuk membuat buku bantahan berjudul Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3 dalam Buku Wajah Baru Relasi Suami Isteri, Telaah Kitab 'Uqud al-Lujjayn, yang terbit pada 2004.

Dalam kata pengantarnya, Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyyah Kab. Pasuruan, KH Abdulhalim Mutamakkin menyatakan, FKIT merasa terpanggil untuk meluruskan hasil telaah FK3 yang mereka nilai "tidak lurus".

"Mengritisi sebuah karya memang perbuatan yang terpuji dalam rangka mencari suatu kebenaran. Akan tetapi apabila dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak benar atau oleh orang yang tidak memiliki cukup ilmu untuk memahami karya bersangkutan, maka harus diluruskan," terang KH Abdulhalim.

"Risalah ini adalah benar-benar menegakkan kebenaran ajaran Rasulullah Saw dan meluruskan paham orang yang salah, melenceng dari tuntunan ulama'una al-salaf," tulis KH Muhammad Subadar dalam sambutannya.

FKIT yang dibentuk oleh Rabithah Ma'ahid Islamiyyah Kab. Pasuruan ini beranggotakan, antara lain, Muhhibbul Aman Ali, Baihaqi Juri, M. Idrus Ramli, Nur Hasan, Bahrul Widad Sayuthi, Bahrullah Shadiq, dan banyak lagi.

Di bukunya masing-masing, dua kelompok ini selalu berseberangan. Misalnya perihal kebolehan suami memukul isterinya yang nusyuz (membangkang). Menurut FK3, Nabi Saw tidak pernah memukul isterinya dan bahkan melarang melakukannya. "Bagaimanapun juga, pemukulan itu akan menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik. Lebih-lebih bila sampai diketahui anak-anak, maka dampaknya akan kian tidak baik lagi. Karena itu, pemukulan harus dihindarkan," tulisnya (h. 52).

Mengomentari kesimpulan di atas, FKIT menyatakan, Qs. al-Nisa'i ayat 34 dengan jelas menolerir pemukulan untuk tujuan mendidik. "Yang jelas, dalam al-Qur'an perintah memukul sebatas pada hukum mubah, bukan wajib. Bahkan yang terbaik menurut para ulama, tidak melakukannya," tulisnya (h. 51).

Inilah ciri khas tradisi pesantren. Kritik selalu dijawab dengan pembelaan atau kritik balik, namun tetap dalam koridor saling menghormati satu sama lain.[]

KH Ahmad Sobri: Mengawal Tradisi Dengan Bedug

Bedug di masjid-masjid kota besar banyak disingkirkan, lantaran dinilai bid'ah (menyimpang dari ajaran Islam) oleh kelompok Islam tertentu. KH. Ahmad Sobri khawatir, tradisi luhur peninggalan Wali Songo itu hilang ditelan sejarah. Bedug berukuran besar-besarpun dibuatnya sebagai perlawanan. Berikut petikan wawancara Pengasuh Pondok Pesantren al-Falah Tinggarjaya Mangunsari Jatilawang Banyumas Jawa Tengah itu dengan Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Kenapa yang ditiru bedugnya Wali Songo?
Kalau meniru yang lainnya, saya kira itu nggak patek repot. Meniru soko (tiang, red) itu gampang. Tapi kalau meniru bedug, ini tidak gampang.

Filosofinya bagaimana?
Saya melihat, sepertinya bedug di masjid-masjid kota besar sudah pada punah atau hilang. Saya takut sekali dengan syiar Islam yang hampir hilang. Makanya, itulah yang saya lakukan. Saya merasa tertantang.

Hilangnya karena faktor apa?
Mereka (kelompok Islam tertentu, red) menganggap itu bid'ah.

Artinya, itu karena ideologi keagamaan kelompok tertentu?
Mungkin begitu. Betul itu! Kalau itu dibiarkan, tradisi NU atau Wali Songo akan hilang.

Melihat kreasi ini, respon masyarakat bagaimana?
Ini menjadi kebanggaan mereka.

Efeknya bagi mereka apa?
Saya melihat, masyarakat menjadi semangat ke masjid, karena ada suara bedug sebelum Jum'at misalnya. Orang yang sedang bekerja tahu, oh bedugnya sudah berbunyi. Dan mungkin kalau nggak ada rumah-rumah, bunyinya bisa terdengar sampai 5 km. Itu tanpa pengeras suara.

Adakah ritual khusus dalam proses pembuatannya?
Setiap kita mulai mengerjakan tidak pernah meninggalkan hari Rabu. Kita mengerjakannya malam hari dengan didahului tahajjud. Yang kerja nggak pernah batal wudhu' sebelum pasang welulang (kulit). Kalau kentut wudhu lagi. Kenapa? Karena ini bukan untuk pameran, melainkan untuk memanggil umat menghadap Allah SWT. Jadi bukan sekedar kita bikin. Kita juga tawasulan agar bedug ini bermanfaat dan menggugah semangat umat untuk beribadah, karena ini salah satu alat memanggil atau syiar untuk mereka.

Apakah ketika Wali Songo bikin bedug juga begitu?
Kalau Wali Songo kan memang nggak pernah hadats (kotor secara ruhani, red). Kalau Wali Songo, mungkin kayunya saja dibolong pakai tangan. Itulah karamah (kelebihan kakasih Allah, red).

Kalau kulit bedugnya diambil dari hewan apa?
Sapi carol. Itu sapi yang tidak ada punuknya. Itu saja! Kelebihannya kalau tidak ada punuk, bedug itu bisa kenceng.

Bagaimana dengan kayunya?
Kayunya kita cari kayu Waru. Karena selain Waru, itu kalau di-bengkung-kan (dibengkokkan, red) semuanya patah. Kita pernah mencoba kayu Nangka, Laban, dan sebagainya, itu lempeng saja dan tidak bisa dibikin pinggul. Kayu Jati juga tidak bagus. Hanya saja, pakai Waru ini kita tidak bisa pakai satu batang. Namun hasilnya anggun karena ada pinggulnya.

Rencananya mau bikin berapa bedug?
Saya merencanakan bikin sembilan buah. Itu yang besar-besar. Yang kecil-kecil kita bikin banyak.

Kalau nama-nama bedug itu diambil dari mana?
Nama Bedug Wulung Mangunsari, itu dari Banyumas. Ini khas Banyumas. Nama yang agak angker. Kalau Mangunsari itu dari bahasa Arab ma'unatu al-sari, yang artinya pemberian Allah SWT kepada orang yang suka berjalan malam. Bukan jalan kaki, melainkan banyak memohon di waktu malam. Orang Jawa kan kangelan (kesulitan, red). Yo wis, dadine Mangunsari saja.

Bedug ini dipakai untuk acara apa saja?
Hari raya, Jum'at, muktamar, juga MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an). Dan sudah dibawa ke banyak tempat, ke Langitan, Kediri, dan sebagainya.

Selain bedug, adakah kerajinan yang lain?
Sekarang belum ada.

Pak Kiai adalah pelestari tradisi NU. Ada pesan untuk generasi NU?
Waktu Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri, red) ke sini, saya bilang; kalau di Katolik itu kan ada Katolik Ortodok di Roma. NU itu juga punya jutaan orang ortodok. Sampai sekarang, mereka ini belum tersentuh. Di sini juga ada banyak thariqah (lembaga spiritual Islam, red). Ini kekayaan NU yang belum tersentuh. Yang diemong cuma bocah-bocah (anak-anak, red) saja dengan seminar-seminar. Saya berharap, kita tidak meninggalkan tradisi yang sudah digarap sejak zaman Rasulullah SAW.[]

Wajah Islam Moderat di Dinding Kanvas

Oleh Nurul H Maarif

Menampilkan wajah Islam moderat tak mesti lewat orasi atau karya ilmiah. Kanvaspun bisa dijadikan media. Itulah yang dilakukan kaligrafer Jauhari Abdul Rosyad (34 tahun).

"Saya hanya bisa menulis kaligrafi. Ngajar atau pidato nggak bisa. Yang penting saya memberikan sesuatu untuk perdamaian dunia ini," ujar alumni 1996 Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur kelahiran Jakarta 1973 ini.

Peraih juara pertama lomba kaligrafi se-Jawa Timur pada 1992 ini sengaja memilih isu pluralisme agama, keadilan sosial, juga multikulturalisme, sebagai tema karyanya. "Saya prihatin! Sekarang banyak muncul kelompok Islam radikal yang mengusung isu syariatisasi dan menafikan toleransi atau pluralisme," ujar ayah dua putera ini beralasan.

Dikatakannya, apa yang dilakukannya, itu ibarat "pembangkangan" seorang santri terhadap teks sakral leluhurnya. "Saya Islam, Nahdhatul Ulama, dan Syafi'iyyah. Dalam Syafi'iyyah misalnya, membunuh orang murtad (keluar dari Islam, red) itu kok menjadi ijma' (konsensus ulama, red)," kritiknya. "Tapi saya pikir lagi, apa iya? Dari sisi tahrim (kemuliaan, red) manusia, masak sih ketentuan ini masih relevan? Ini menimbulkan pergolakan dalam diri saya," sambungnya.

Diakuinya, menulis kaligrafi dengan tema seperti ini memakan banyak tenaga dan pikiran. "Saya capek, karena bergulat dengan pikiran, bukan hanya kreasi. Bahkan kadang menabrak teks lama," akunya. "Makanya saya telah dicap macam-macam. Keislaman saya diragukan, dibilang murtad, bahkan teman baik jadi menjauh. Ini resiko dari kebebasan pikiran saya," imbuhnya.

Melalui lukisan-lukisannya, lulusan Madrasah Aliyah (MA) ini mengingatkan pentingnya saling menghargai keragaman. "Kita harus saling menghargai. Wong kita masih sama-sama sembahyang madep ngulon kok," katanya. "Dan ini, terus terang, saya banyak terpengaruh Gus Dur. Saya baca karya-karya Gus Dur dan ngaji bulan puasa pada beliau di Pesantren Ciganjur," akunya lagi.

Akhir Mei 2007, pria yang pernah berkeliling ke masjid-masjid besar se-Jawa untuk menulis kaligrafi di dindingnya, ini menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia Jl. Medan Merdeka Timur No.14 Jakarta. Pameran bertema Kaligrafi Multikultural ini menampilkan 41 buah karyanya, yang ditulis tiga tahun terakhir.

"Pameran ini untuk memberikan pengertian pluralisme, multikulturalisme dan toleransi," katanya. "Dan untuk mencapai tujuan itu, pembaca harus membacanya secara runtun. Kita nggak bisa mengambil satu ayat lalu kita paksanan. Makanya, itu saya susun sedemikian rupa; kita tahu Allah dulu, di mana posisi kita, baru masuk wilayah itu," imbuhnya.

Pada pameran perdananya ini, ia menampilkan kaligrafi dengan latar tulisan dari beragam etnis. "Secara visual, jenis tulisannya memang dari beragam kultur. Ada kaligrafi Arab, Mandarin/China, Jawa, Jepang, bahkan Hirogliph," ujarnya sembari mengaku sedang menyiapkan pameran keduanya.

Bukankah kaligrafi Islam itu identik dengan tulisan Arab? "Itulah masalahnya. Islam diidentikkan dengan Arab. Islam ya Islam! Arab ya Arab! Keduanaya beda. Karena itu, kultur non-Arab saya jadikan media memahami al-Qur'an, agama dan kebenaran," tandasnya beralasan. Wa Allah a'lam.[]