Ahmad Shalahuddin
Merancang Islam Digital
Oleh Nurul H. Maarif
Di sela padatnya jadual kuliah, tekadnya menghafal al-Qur'an tak pernah luntur. Targetpun ditetapkan. Dalam sehari, setidaknya sekaca halaman al-Qur�an dihafal. Itupun dijalaninya di sela waktu istirahat kuliah, yang tak lebih 2 jam sehari.
Hafalan itu lantas disetorkan pada gurunya di Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, tempatnya nyantri sejak kelas 1 Madrasah Aliyah (MA), setiap usai Maghrib dan Shubuh, kecuali Jum'at. "al-Hamdulillah, sekarang saya sudah hafal enam juz al-Qur'an," ujar Ahmad Shalahuddin, yang juga pernah ngaji di Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
Di luar setoran al-Qur'an, bersama santri lainnya ia me-ngaji berbagai kitab kuning khas pesantren. Misalnya, al-Adab an-Nabawi, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, Irsyad al-'Ibad, Jam' al-'Ulum wa al-Hikam, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, dan sebagainya.
Itulah aktifitas Sholah -- sapaan akrab Ahmad Shalahuddin -- yang sehari-hari menjadi santri sekaligus mahasiswa semester empat Program Studi (Prodi) Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Ketertarikannya pada Ilmu Komputer, ujar remaja kelahiran Arjawinangun Cirebon, 8 April 1988 ini, bukan disengaja. Awalnya ia ingin mengambil Program Studi Matematika. "Tapi ibu saya nyeplos, kok nggak Ilmu Komputer saja?" kata putra pertama dari empat bersaudara pasangan M. Zainal Muttaqien dan Roghibah Zainuddin ini beralasan.
Karena waktu pendaftaran tersisa dua hari lagi, Sholah lantas menuruti ceplosan ibunya, kendati dengan basis keilmuan pas-pasan. Maklum, kebanyakan pesantren kurang memperhatikan ilmu eksakta. "Dulu di pesantren, saya belajar komputernya konyol," ujarnya berseloroh.
Kendati serba pas-pasan, bukan berarti ia tak mampu mengikuti mata pelajaran yang disajikan di bangku kuliah. Menurutnya, tidak ada pelajaran yang sulit. Hanya Matematika ia sedikit keteteran, terutama di semester pertama dan kedua.
Bergelut di dua bidang berbeda tidak mudah buat Sholah. Ini ibarat menerobos tembok kokoh tradisi. Apalagi ia dari keluarga santri totok. Kedua orang tuanya alumni Ponpes Tebuireng Jombang Jawa Timur. Ayahnya alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sedang ibunya alumni Fakultas Tarbiyah STAIN Sunan Gunung Djati Cirebon.
Namun, menguasai keduanya secara bersamaan, bukanlah hal mustahil. "Insya Allah saya bisa menggapai itu. Of course, saya akan mengejarnya dengan semangat," janji mahasiswa yang memperoleh Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama (Depag) RI 2006/2007 ini. Ia adalah penerima beasiswa angkatan pertama bagi UGM. Ia berhasil menyisihkan ratusan santri lainnya dari berbagai pesantren.
Di Prodi Ilmu Komputer, ia mempelajari berbagai bahasa pemrograman. Tak heran jika bersama empat kawannya, ia berhasil membuat game untuk HP. Slider Puzzle, demikian nama game ini. "Ini kerja kelompok dan sebagai program kampus. Ini pakai bahasa pemrograman Java," ujarnya.
Usai studi kelak, selain mengajarkan Ilmu Komputer, ia berangan-angan membikin program komputer yang bisa dipakai untuk mendeteksi benda-benda yang hilang. Lingkupnya, ujarnya, untuk sementara hanya di sekitar rumah saja. "Ini masih angan-angan," ujarnya tanpa mau memerinci lebih jauh.
Angan lainnya adalah membikin virus yang bisa mempengaruhi psikologi para netter. "Lebih tepatnya mempengaruhi tingkat spiritualitasnya," jelasnya. Sistem dan cara kerjanya sudah terekam di benaknya, tinggal direalisasikan.
Ia juga punya cita-cita lain, yaitu mengubah kekolotan kaum santri di bidang teknologi. Caranya, dengan mendirikan pesantren tahfidh (hafalan al-Qur'an, red.) yang didukung kemampuan teknologi informasi. "Sepertinya ini keinginan yang agak bodoh. Tapi saya ingin pesantren bisa menyongsong masa depan Islam yang digital," harap Sholah.[]
*Suplemen the WAHID Institute Edisi 17 di Majalah TEMPO, 25 Februari-2 Maret 2008
0 Comments:
Post a Comment
<< Home