Jejak Agamawan Organik
Oleh Nurul H Maarif, Gamal Ferdhi, dan Subhi Azhari
Lambaian nyiur diiringi semilir angin menemani Imron Anwar Mu'in Yusuf, 33 tahun, yang tengah melepas lelah di beranda rumahnya, di komplek Pesantren al-Urwatul Wustqo, Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan. Ia baru pulang dari menghadiri workshop nasional The WAHID Institute, di Kota Padang. Tiga hari acara ditambah dua hari perjalanan udara, benar-benar membuatnya capek.
Waktu santai selalu dimanfaatkan kyai muda penuh semangat ini untuk me-recharge ilmunya. Pada hari itu misalnya, di tangannya tampak sebuah kitab karya mantan pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar, Mesir Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya'rowi berjudul al-Fatawa al-Kubra (Fatwa-fatwa Agung, red). Dengan teliti, lembar demi lembar buku berbahasa Arab itu ditelaahnya.
Di Sulawesi Selatan, Imron dikenal sebagai keturunan "darah biru". Ia cucu salah satu ulama besar di sana, Anre Gurutta H Abdul Mu'in Yusuf, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan periode 1987-1997, yang digelari Kali Sidenreng (hakim agama di Sidenreng, red).
Meski kakeknya mantan ketua MUI Sulawesi Selatan, ia tetap bersikap kritis terhadap lembaga itu. Bahkan, dengan tegas ia menyatakan keluar dari keanggotaan MUI Sidrap, karena tidak setuju dengan fatwa hasil Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-7 2005 lalu. "Fatwa-fatwa itu tidak lagi menunjukkan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin", tandasnya berargumen.
Gurutta Imron, begitu ia biasa disapa santri-santrinya, memang tidak punya banyak waktu untuk sekedar bersantai. Selain menjadi pengasuh pesantren Al-Urwatul Wustqo, yang berlokasi di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan dengan 400 orang santri, ia juga aktif dalam berbagai kegiatan di luar pesantren. Misalnya diskusi, seminar, advokasi kebijakan pemerintah, hingga pendampingan masyarakat lokal. Ia tidak pilah-pilih mana aktifitas sosial yang harus dilakukan dan mana yang kudu ditinggalkan. "Tidak ada persoalan. Karena kita ini khadimul ummah (abdi rakyat, red)" ujarnya.
Karena dedikasinya itu, pantas jika Imron menjadi figur agamawan muda muslim dambaan masyarakat. Ia memiliki karakter keberagamaan kuat, kemampuan intelektual mumpuni, pun tak abai membaca situasi sosial politik yang berlangsung di sekelilingnya. Agamawan saat ini memang dituntut untuk mampu mengartikulasikan realita dan menjadikan spirit-spirit ketuhanan sebagai alat kritik sosial serta respon terhadap berbagai bentuk ketidakadilan di masyarakat.
Meminjam istilah Antonio Gramsci, agamawan seperti ini disebut sebagai "intelektual organik", yakni intelektual yang melakukan perubahan bersama dan melebur dengan masyarakat. Mereka tidak asyik masyuk sendirian di "menara gading" dengan ide-ide besarnya. Itulah intelektual sejati.
Para agamawan organik ini, menurut pemikir progresif Moeslim Abdurrahman, tak sebatas membimbing ritualitas dan spiritualitas masyarakat melalui lembaga pendidikan yang mereka pimpin, tapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif agar masyarakat memiliki kesadaran tentang asal-muasal atau sumber penindasan dan bagaimana menyikapinya. Karenanya, isu-isu ketidakadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), masalah buruh, petani, persoalan gender, pemberantasan korupsi, permberdayaan ekonomi, penyelamatan lingkungan dan masalah pendidikan, merupakan lahan kerja intelektual organik ini.
Itu pula yang diteladankan Gurutta Imron. Ia berjibaku membela hak-hak Komunitas Agama Tolotang, yang oleh pemerintah dilabeli sebagai pemeluk Hindu. "Mereka juga bagian dari masyarakat Sidrap yang hak-hak publiknya harus dijamin" alumnus Universitas Al Azhar Kairo ini berargumen. Dan apa yang dilakukannya berhasil melahirkan kesadaran baru, bahwa ternyata ada motif-motif ekonomi para penguasa di balik semua itu.
Sikap kritis agamawan, semisal Gurutta Imron, memang sangat diperlukan masyarakat untuk menjelajahi kenyataan hidup yang terus berubah. Sikap seperti itu pula yang ditampakkan Tuan Guru Haji Syamsul Hadi Muhsin, 40 tahun, di Lombok Tengah, dengan aksinya memanfaatkan lahan tidur untuk kepentingan masyarakat sekitar.
Syamsul Hadi merupakan agamawan muda yang tidak hanya memiliki penguasaan ilmu-ilmu keislaman klasik mendalam. Jebolan Universitas Al-Azhar Mesir 1994 ini mampu meracik pendekatan-pendekatan yang datang dari khazanah klasik (Islam) dan modern (Barat) dengan sangat baik. Selain piawai mengelola pesantren, ia juga lihai mengelola lahan pertanian. Keterbelakangan ekonomi dan pendidikan masyarakat Lombok misalnya, menjadi inspirator pengasuh Pondok Pesantren Nusrusshobah, Batunyale Praya, Lombok Tengah yang hobi bertani ini, untuk menyulap lahan tidur menjadi produktif. Semua diorientasikan untuk kepentingan masa depan ekonomi dan pendidikan masyarakat setempat.
Berbekal jaringan yang dimiliki, Syamsul lantas mengontak rekan-rekannya di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mataram untuk dicarikan bibit jahe. Tanpa diduga, panen jahe kelompok binaannya sangat menggembirakan. Itu memancing belasan kelompok petani lain untuk berbondong-bondong mengikuti jejaknya.
"Antusiasme ini muncul, karena inilah yang mereka harapkan. Selama ini mereka sudah muak dengan para cendekiawan yang hanya bisa ngomong", jelasnya. Untuk itu, bersama The WAHID Institute, ia mendirikan Koperasi Sejahtera untuk mewadahi animo para petani di daerahnya.
Seperti halnya Gurutta Imron dan Tuan Guru Syamsul, jejak keberpihakan agamawan organik kepada masyarakat ini juga dapat temui dalam diri Bahruddin, 40 tahun. Pria sederhana yang lahir di Desa Kalibening, Salatiga, ini memiliki gairah keagamaan begitu tinggi. Ia santri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Salatiga pimpinan KH. Mahfud Ridwan yang dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat dengan masyarakat akar rumput. Meskipun jauh dari kesan sebagai "tokoh pendidik", justru lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang ini adalah Direktur SLTP Alternatif Qoryah Toyyibah Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah, salah satu sekolah yang berbasis pada komunitas dengan prinsip pendidikan murah.
Tidak hanya itu. Dari pergumulannya dengan masyarakat setempat, Bahruddin melahirkan kelompok tani yang dinamakan Al-Barokah, yang diartikannya berkah dari alam. Paguyuban petani itu tidak hanya memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi hama dan irigasi, melainkan juga menanamkan pentingnya pertanian organik sebagai sistem pertanian terpadu.
"Saya mendirikan lembaga pendidikan dan berbagai lembaga itu bersama masyarakat, dengan hasil yang luar biasa. Itu menunjukkan bahwa mereka punya kemandirian dan kearifan," jelas ayah tiga putera ini.
Ia rajin mengkritisi para aktivis yang hanya bisa menempatkan masyarakat sebagai obyek perubahan. "Masyarakat itu memiliki potensi yang tidak pernah terekspos. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadari hal itu," keluhnya.
Sosok lain dalam deretan agamawan organik yang tak kalah penting adalah KH. M Dian Nafi', 41 tahun, pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad, Windan, Makamhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Lahir dari lingkungan pesantren yang kental dengan tradisi keagamaan, tak membuatnya sempit dalam memandang Islam.
Spirit agama, menurutnya, justru merupakan pendorong paling kuat untuk melahirkan perdamaian, persaudaraan dan rekonsiliasi antar umat manusia. Prinsip itu ia tanamkan pada para santrinya. Bahkan suami Murtafiah Mubarokah ini mempraktekkan prinsip itu dengan terjun langsung membantu rekonsiliasi di Maluku yang dilanda konflik sejak tahun 1999.
"Jika kita berhasil memfasilitasi rekonsilliasi, maka kita tidak berhak atas pujian, karena merekalah yang telah bersedia melakukan rekonsiliasi. Itu adalah hak mereka," ungkap Dian mengenang pengalamannya di Maluku.
Itulah fenomena agamawan organik yang, antara lain, terjadi di lingkungan Nahdhatul Ulama. Walau mereka acap disebut generasi hibrida NU, namun kemunculan mereka tidak bisa dilepaskan dari pengaruh generasi sebelumnya. Mereka bukanlah si Malin Kundang yang terkutuk. Mereka datang bukan tanpa preseden dalam sejarah.
KH. Abdurrahman Wahid di Nahdlatul Ulama dan Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif di Muhammadiyah adalah sosok-sosok besar yang punya andil luar biasa bagi kelahiran generasi hibrida di dua organisasi Islam terbesar itu. Bahkan "jalan hidup" generasi tersebut tak terputus dari ghirah pendiri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Kehadiran agamawan organik itu menjadi lebih bermakna. Mereka seolah muncul dari kubangan para agamawan yang terjun ke dunia politik tanpa visi transformatif, melainkan visi material. Ironisnya, setelah "godaan politik material" semakin telanjang, kiprah mereka ditenggelamkan kecenderungan agamawan (Islam) yang semakin jauh dari gerakan pastoral.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home