Sunday, March 02, 2008

al-Farabi dan Gagasan Negara Ideal

Oleh Nurul H. Maarif

UrulAbu Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal. Bagaimana penjelasan konsep ini?

Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka.

Dalam hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, yakni; Pertama, negara utama (al-madinah al-fadhilah). Ia merupakan cermin negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan warga negaranya. Segala kebijakan yang ditetapkan, senantiasa diorientasikan demi kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan golongan apalagi pribadi.

Di negara ini, tidak dikenal hukum rimba yang kuat memangsa yang lemah. Penguasa tidak bertindak sebagai macan yang mencaplok rakyat jelata. Bila kepentingan rakyat berhasil ditempatkan di atas segalanya, serta-merta akan tercipta negara utama yang penuh ketenteraman, kedamaian, dan kesejukan. Rakyat akan merasa terlindungi hak-haknya. Supremasi hukum akan dapat ditegakkan. Rasa aman menyelimuti warganya dan perekonomianpun berkembang pesat.

Kedua, negara sesat (al-madinah al-dhalalah), yaitu negara yang berdiri congkak di atas kebodohan rakyat tentang kebenaran. Rakyat akan berbuat semaunya, tanpa ada kontrol dan etika kebenaran. Kebebasan benar-benar menjadi trend nomor wahid. Kehidupan kacau, karena tidak terikat perilaku kebenaran. Tatanan norma tidak berlaku sama sekali. Bahkan tindakan-tindakan mereka lebih mengarah pada perilaku destruktif dan anarkis.

Ketiga, negara jahil (al-madinah al-jahilah), yakni negara yang rakyatnya selalu mengikuti jalan kejahatan. Negara ini berbeda dengan negara sesat yang rakyat tidak menyadari kejahatannya. Rakyat dalam negara jahil sadar atas kejahatan yang diperbuat. Mereka sadar menyimpang, tapi tidak malakukan pertaubatan. Mereka malah buru-buru mencari kebahagiaan dan kenikmatan lain yang fana. Menurut al-Farabi, negara jahil dapat dicirikan dengan, 1) rakyatnya melulu berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, 2) berdagang untuk menumpuk kekayaan (kapitalis), 3) terpesona oleh kenikmatan keji, 4) gila hormat, 5) haus (rakus) kekuasaan, dan 6) membiarkan hawa nafsu terumbar secara liar. Dapat dibayangkan, apa yang bakal menimpa sebuah negara yang berdiri di atas kepentingan-kepentingan fana ini?

Keempat, negara imoril (al-madinah al-al-fusqah), yakni negara yang rakyatnya telah mengenal kebenaran mengenai tuhan, akhirat, dan kebahagiaan sejati. Hanya saja, mereka hidup di luar konsep-konsep itu. Padahal, kebahagiaan sejati hanya akan dicapai melalui kebaikan dan pengamalan terhadap konsep-konsep itu. Karenanya, mereka tidak akan pernah mengenyam kebahagiaan sejati.

Kelima, negara massa (al-madinah al-jami'ah). Dalam negara bentuk ini, rakyat cenderung serba bebas untuk berbuat semau gue. Semua unsur masyarakat sama rasa sama rata. Warga pribumi dan non-pribumi disamakan secara mutlak. Pemimpin yang 'baik' dan 'ideal' dalam pandangan mereka, adalah yang paling cakap menyediakan kesempatan untuk melampiaskan nafsu. Bahkan lebih jauh lagi, rakyat tidak perlu mentaati perundang-perundangan yang diberlakukan pemerintah.

Kepala (otak) silahkan pandai dan pintar, namun tidak berhak memerintah orang lain. Mereka juga tidak memberikan perhatian terhadap pendidikan kepemimpinan, sehingga calon-calon pemimpin yang ideal (bukan menurut selera mereka, tapi benar-benar ideal) pun tak pernah ada. Pemimpin tidak ada artinya sama sekali, kecuali pemimpin yang seide dalam membuat kerusakan. Bila ini terjadi, negara akan terjerumus pada tindakan destruktif dan anarkis.

Dalam kaitannya dengan lima bentuk negara di atas, al-Farabi memandang bentuk negara pertamalah, al-madinah al-fadhilah, yang dapat disebut sebagai negara ideal. Menurutnya, dalam negara ini, kepala negara adalah satu-satunya person yang memegang peranan penting sekaligus sebagai person terpenting. Kepala negara dituntut berasal dari sosok yang paling sempurna dan cakap -- baik moril, intelektual, maupun menejerial -- diantara masyarakat yang ada. Kepala negara dituntut berani, tegas, dan cepat dalam mengambil keputusan. Ia tidak boleh tergiur oleh iming-iming duniawi. Apalagi hobi korupsi.

Bakat menjadi panglima perang juga menjadi prasyarat pemimpin negara tipe ini. Bakat ini bukan berarti harus militer. Siapapun dan dari latar belakang apapun, yang mempunyai kemampuan mengatur siasat keamanan, perekonomian, dan politik, perlu disokong sebagai kepala negara. Dan yang tidak boleh dilupakan, menurut al-Farabi, kepala negara harus zahid (tidak gila harta) dan jauh dari tindak korupsi. Sebab, jika faktor cinta dunia mendominasi ambisinya, penindasan demi penindasan, ketimpangan demi ketimpangan, kebrutalan demi kebrutalan, kerusuhan demi kerusuhan, akan terjadi di mana-mana. Akibatnya, cita-cita mewujudkan negara idealpun akan terbengkalai.

Menurut pembaca, Indonesia termasuk kategori negara yang mana? Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Jum'at, 29 Februari 2008)