Sunday, February 24, 2008

Ramai Santri Tekuni Eksakta

Oleh Nurul H. Maarif


cah-elikDulu santri identik dengan kitab klasik. Dinilai gagap teknologi. Kini, mereka ramai menekuni bidang eksakta. Memajukan pesantren alasan utamanya.

Sebagai santri kampung, Taufiq begitu kagum pada komputer. Piranti itu mampu menjawab apa saja, bahkan menampilkan gambar. Rasa penasaran terus menggelayuti benaknya. Kursus komputer pun ditekuninya sembari nyantri. Tapi malang, saat ujian kursus, Taufiq gagal. Nilainya di bawah standar.

"Dari situlah saya 'dendam'. Saya betul-betul ingin mempelajari komputer lebih jauh dan mendalam," ungkap pria bernama lengkap Taufiq Masyriqan mengisahkan awal perkenalannya dengan komputer saat menjadi santri Ponpes Darul Iman Kadupandak, Pandeglang Banten.

Setelah enam tahun nyantri dan lulus dari MTs MA Darul Iman, putera kelahiran Pasir Waru Lebak, Banten, ini lantas mengambil Program Studi (Prodi) Teknik Informatika UIN Jakarta. Kuliah pun dijalaninya sambil nyantri di Pesantren Luhur Darus-Sunnah Jakarta.

Menekuni dua bidang ilmu berbeda, tak mudah bagi mahasiswa semester VII ini. "Jurusan saya di MA, itu Bahasa Arab. Minim ilmu eksakta," kata Taufiq. Untuk mengejar ketertinggalan, ia dibantu kawan-kawan sekelasnya di kampus.

Taufiq tetap semangat. Ini karena cita-citanya ingin mengembangkan dakwah berbasis komputer. Misalnya, dengan memblock situs-situs mesum, supaya tidak bebas akses. Diakuinya, situs-situs itu sulit ditembus. "Tapi insya Allah saya tidak patah semangat. Ini jihad saya di dunia maya," katanya optimis.

Menurutnya, santri tidak hanya harus piawai kitab kuning, tapi juga teknologi. Dakwah santri pun tidak bisa terpaku pada media ceramah, tapi juga internet. "Dunia maya itu lebih global," jelasnya.

Taufiq tidak seperti kebanyakan santri yang lebih memilih program agama ketika melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun dia tidak sendirian. Ada juga Saidatul Husna yang kuliah di Prodi Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Motivasi mahasiswi semester II ini memilih jurusan itu, karena penilaian negatif masyarakat terhadap gizi para santri. Makanan santri dinilai miskin gizi, tidak sehat, dan kotor karena diolah sembarangan. "Saya akan berusaha menata ulang makanan di pesantren," kata alumni Ponpes Darul Ulum Jombang Jatim ini.

Menurut dara asal Bangil, Pasuruan Jatim ini, kesan negatif itu akan luntur jika santri mumpuni di bidang pangan. Kendati berasal dari pesantren, Saida tidak kerepotan mengikuti kuliahnya. Bahkan dari ratusan mahasiswa penerima Beasiswa Santri Berprestasi Depag RI, hanya ia yang memperoleh IPK 3,72. "Saya kaget, kok dapat IPK tertinggi. Ini tertinggi seangkatan mahasiswa Depag saja," kata Saida.

Motivasi serupa diungkapkan Zayini Nahdhoh, mahasiswi semester IV Prodi Teknik Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia ingin meningkatkan kadar gizi di pesantrennya. "Setidaknya saya bisa memperbaiki kekurangan itu," harap alumni MTs dan MA Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta ini.

Dara asal Cisurupan, Garut Jabar, yang kini masih nyantri di Pesantren Sunan Pandan Aran, ini juga ingin meningkatkan hasil pertanian di desanya. Caranya dengan memperbaiki teknologi pengolahan hasil pertanian.

Zayini punya penilaian sendiri terhadap rekan-rekan santri yang mengambil prodi eksakta. "Mereka umumnya kendel (berani), tidak minder dan mentalnya lebih kuat," ungkapnya. Kendati sempat kerepotan, kini nilai akademisnya bisa bersaing dengan kawan-kawannya yang berasal dari non pesantren. Semester II dan III, akunya, ia jalani dengan nikmat.

Gito Waluyo, mahasiswa semester IV Prodi Ilmu dan Industri Peternakan UGM, punya motivasi tak beda. Peternakan, kata alumni Pesantren Darul Ulum, Kulonprogo, Yogyakarta ini, adalah bidang berprospek besar untuk meningkatkan taraf ekonomi pesantren, juga masyarakat.

Peternakan, imbuh putera asli Girimulyo Kulonprogo ini, akrab dengan kehidupan santri. Jadi memajukan perekonomian santri bisa dilakukan melalui bidang ini. "Saya bercita-cita menjadi pengusaha dan pendidik, untuk memajukan dunia pesantren," harapnya.

Memang, agar tidak dilibas jaman, pesantren harus akrab dengan teknologi. Karena itulah Helvea Rezano mengambil Prodi Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Helvea yang kini duduk di semester II, ingin mengembangkan program kitab kuning berbasis teknologi. "Ini untuk memajukan pesantren," terang alumni Pesantren al-Rahmah, Dahu Malang ini.

Demikian juga Doli Rizky Panggabean. Mahasiswa Prodi Teknik Geologi UGM asal Tanjung Balai Sumut ini menyatakan, santri tidak boleh hanya menguasai bidang agama. Dengan menekuni bidang ini, alumni Pesantren Darunnajah Jakarta ini mengaku mendapat banyak bukti kekuasaan Tuhan tentang fenomena alam.

Lulusan MA Darunnajah ini berharap, ilmunya bisa diterapkan di negeri ini, mengingat lokasi negeri ini yang rawan bencana. "Saya juga ingin memperkaya ilmu pesantren dengan ke-geologi-an," katanya.

Ada juga santri yang menekuni kedokteran. Rifki Zakariyya, mahasiswa Prodi Kedokteran UGM misalnya. Dengan menjadi dokter, alumni SMA Darul Ulum, Jombang, Jatim ini berharap bisa menginjeksikan nilai-nilai agama pada masyarakat. "Basis agama dokter dari umum kan tidak sebesar santri," terang pria asal Blitar, Jatim ini.

Sedang Edo Abdullah Fakih, alumni Pesantren Candangpinggan, Indramayu, Jabar mengambil Prodi Matematika UIN Jakarta. Dengan menekuni bidang ini, Edo ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa hitung-menghitung bikin puyeng santri. "Santri juga mampu kok. Saya sendiri nggak terlalu kerepotan," aku pria asal Arjawinangun Cirebon. Edo kini tengah memikirkan metode mudah menekuni Matematika.

Keluarganya yang berlatar santri tidak mempermasalahkan. "Mereka terserah saja. Yang penting sesuai otak dan kemampuan," ungkap putera almarhum KH. Syathori Salim -- pendiri Pesantren Mas Maliman Arjawinangun ini.

Kisah di balik kesuksesan mereka menembus prodi eksakta beragam. Para penerima beasiswa Depag, misalnya harus menjalani ujian Depag dan universitas yang diinginkan. "Kami ujiannya normal dan bahkan dobel. Karenanya, penyaringan menjadi lebih ketat," ujar Rifki.

Sedang Taufiq melalui PMDK. Ketika ujian, ia nyaris tidak ditanyai pernik-pernik rencana prodinya. "Ini barangkali yang membuat saya lulus," selorohnya. Di PMDK, ia menempati ranking ke-8 dari ratusan pendaftar lainnya.

Saidatul Husna mengaku tidak mempersiapkan diri secara khusus menghadapi SPMB. "Persiapan biasa-biasa saja, tidak ngoyo," katanya. "Les juga sih, tapi tidak intensif, karena waktu itu sambil nyantri," imbuhnya.

Kini banyak santri menggeluti bidang eksakta. Apalagi setelah Depag RI membikin program Beasiswa Santri Berprestasi. Mereka tergabung dalam Community of Santri Scholar (CSS), yang dibentuk di Grand Hotel Lembang Jawa Barat, 10-13 Desember 2007. Namun program yang telah berjalan tiga tahun ini perlu dievaluasi.

Zayini berharap penyebaran informasi yang merata, termasuk pada pesantren kecil di kampung-kampung. "Di sana kan ada santri berbakat, yang punya hak sama," katanya. "Pesantren juga banyak di belahan Indonesia Timur," imbuh Rifki. Rifki melihat, penerimanya kebanyakan dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Para santri ini seolah menyusuri jejak Ibn Sina (w. 1037 M) yang begelar Bapak Dokter Dunia. al-Khawarizmi (w. 850 M) dikenal sebagai ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. al-Jabar, adalah buku pertamanya yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Ia juga dijuluki Bapak Aljabar. Al-Battani (w. 929 M), menemukan pengganti busur dengan sinus, tangen dan kotangen. Abu al-Wafa (w. 997 M) menemukan metode membuat tabel sinus, memperkenalkan sekan dan kosekan.

Perkembangan sains di masa Islam klasik adalah buah persinggungan para ilmuwan Islam masa lalu dengan berbagai peradaban. Mereka tak alergi bersinggungan dengan yang lain.[]

*Suplemen the WAHID Institute Edisi 17 di Majalah TEMPO, 25 Februari-2 Maret 2008

Ahmad Shalahuddin
Merancang Islam Digital

Oleh Nurul H. Maarif

Nurul HudaDi sela padatnya jadual kuliah, tekadnya menghafal al-Qur'an tak pernah luntur. Targetpun ditetapkan. Dalam sehari, setidaknya sekaca halaman al-Qur�an dihafal. Itupun dijalaninya di sela waktu istirahat kuliah, yang tak lebih 2 jam sehari.

Hafalan itu lantas disetorkan pada gurunya di Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, tempatnya nyantri sejak kelas 1 Madrasah Aliyah (MA), setiap usai Maghrib dan Shubuh, kecuali Jum'at. "al-Hamdulillah, sekarang saya sudah hafal enam juz al-Qur'an," ujar Ahmad Shalahuddin, yang juga pernah ngaji di Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Di luar setoran al-Qur'an, bersama santri lainnya ia me-ngaji berbagai kitab kuning khas pesantren. Misalnya, al-Adab an-Nabawi, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, Irsyad al-'Ibad, Jam' al-'Ulum wa al-Hikam, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, dan sebagainya.

Itulah aktifitas Sholah -- sapaan akrab Ahmad Shalahuddin -- yang sehari-hari menjadi santri sekaligus mahasiswa semester empat Program Studi (Prodi) Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Ketertarikannya pada Ilmu Komputer, ujar remaja kelahiran Arjawinangun Cirebon, 8 April 1988 ini, bukan disengaja. Awalnya ia ingin mengambil Program Studi Matematika. "Tapi ibu saya nyeplos, kok nggak Ilmu Komputer saja?" kata putra pertama dari empat bersaudara pasangan M. Zainal Muttaqien dan Roghibah Zainuddin ini beralasan.

Karena waktu pendaftaran tersisa dua hari lagi, Sholah lantas menuruti ceplosan ibunya, kendati dengan basis keilmuan pas-pasan. Maklum, kebanyakan pesantren kurang memperhatikan ilmu eksakta. "Dulu di pesantren, saya belajar komputernya konyol," ujarnya berseloroh.

Kendati serba pas-pasan, bukan berarti ia tak mampu mengikuti mata pelajaran yang disajikan di bangku kuliah. Menurutnya, tidak ada pelajaran yang sulit. Hanya Matematika ia sedikit keteteran, terutama di semester pertama dan kedua.

Bergelut di dua bidang berbeda tidak mudah buat Sholah. Ini ibarat menerobos tembok kokoh tradisi. Apalagi ia dari keluarga santri totok. Kedua orang tuanya alumni Ponpes Tebuireng Jombang Jawa Timur. Ayahnya alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sedang ibunya alumni Fakultas Tarbiyah STAIN Sunan Gunung Djati Cirebon.

Namun, menguasai keduanya secara bersamaan, bukanlah hal mustahil. "Insya Allah saya bisa menggapai itu. Of course, saya akan mengejarnya dengan semangat," janji mahasiswa yang memperoleh Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama (Depag) RI 2006/2007 ini. Ia adalah penerima beasiswa angkatan pertama bagi UGM. Ia berhasil menyisihkan ratusan santri lainnya dari berbagai pesantren.

Di Prodi Ilmu Komputer, ia mempelajari berbagai bahasa pemrograman. Tak heran jika bersama empat kawannya, ia berhasil membuat game untuk HP. Slider Puzzle, demikian nama game ini. "Ini kerja kelompok dan sebagai program kampus. Ini pakai bahasa pemrograman Java," ujarnya.

Usai studi kelak, selain mengajarkan Ilmu Komputer, ia berangan-angan membikin program komputer yang bisa dipakai untuk mendeteksi benda-benda yang hilang. Lingkupnya, ujarnya, untuk sementara hanya di sekitar rumah saja. "Ini masih angan-angan," ujarnya tanpa mau memerinci lebih jauh.

Angan lainnya adalah membikin virus yang bisa mempengaruhi psikologi para netter. "Lebih tepatnya mempengaruhi tingkat spiritualitasnya," jelasnya. Sistem dan cara kerjanya sudah terekam di benaknya, tinggal direalisasikan.

Ia juga punya cita-cita lain, yaitu mengubah kekolotan kaum santri di bidang teknologi. Caranya, dengan mendirikan pesantren tahfidh (hafalan al-Qur'an, red.) yang didukung kemampuan teknologi informasi. "Sepertinya ini keinginan yang agak bodoh. Tapi saya ingin pesantren bisa menyongsong masa depan Islam yang digital," harap Sholah.[]

*Suplemen the WAHID Institute Edisi 17 di Majalah TEMPO, 25 Februari-2 Maret 2008

Sunday, February 10, 2008

Pesantren dalam Ancaman Narkoba

Oleh Nurul H. Maarif

UrulSinyal atau alarm tanda bahaya bagi pesantren telah dibunyikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sekretaris Jenderal PBNU, Endang Turmudi, dalam sambutan pembukaan Pelatihan Peningkatan Kemampuan dalam Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Narkoba yang diikuti 12 pesantren se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Yogyakarta, di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis (31/01/2008), menyatakan, beberapa survei mensinyalir adanya segelintir santri yang terbukti mengonsumsi narkoba.

Statemen ini begitu menghentakkan, terutama bagi warga pesantren. Betapa tidak, narkoba yang lumrahnya identik dengan perilaku nakal remaja kota, kini mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Padahal, pesantren identik dengan "surga", sedang narkoba identik dengan "neraka". Karenanya, sungguh menggelikan jika dua simbol yang berbeda ini bertemu, justru di lingkungan pesantren. Jika demikian, apa yang salah dengan pesantren? Tidak mudah menjawabnya. Namun ada beberapa catatan yang penting diajukan terkait kenyataan ini.

Pertama, pesantren acap disebut sebagai "penjara suci", karena kentalnya nilai-nilai relijiusitas di dalamnya. Namun jika terbukti ada narkoba yang masuk ke dalamnya, ini tak lepas dari efek pasar bebas yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siapapun yang diyakini akan menghasilkan keuntungan, mereka akan menjadi korbannya, tak terkecuali para santri. Bandar memang tak peduli siapa korbannya. Pun tak peduli runtuhnya benteng moralitas mereka.

Kedua, banyak ahli meyakini, kecanduan narkoba bermula dari kebiasaan merokok. Ini bukan kesimpulan yang benar 100 persen, namun banyak yang membenarkannya. Dan, santri adalah tipe perokok hebat. Kadang ada gurauan di kalangan santri; "siapapun belum sah disebut santri jika nggak merokok". Ini bukti bahwa merokok telah menjadi bagian dari kesantrian itu sendiri, termasuk menjadi tradisi para kiai yang tak mudah dihentikan.

Menurut hemat penulis, jika benar ada keterkaitan erat antara narkoba dengan kebiasaan merokok, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk mentolerir para santri melakukannya secara bebas. Diakui memang, keharaman merokok masih debatable. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan. Yang pasti, dalil keharaman merokok tak pernah ditemukan dalam doktrin Islam.

Kendati demikian, pintu apapun yang (diduga) akan mengantarkan pada narkoba, maka seharusnya ia ditutup rapat-rapat. Dalam tradisi pesantren, dikenal adagium amrun bi al-syai� amrun bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan perantaranya). Jika narkoba harus dihindari, maka perantara yang akan mengantarkan padanya juga harus dihindari. Simpelnya, jika rokok diyakini sebagai pintu masuk pada narkoba, maka rokok juga harus dihindari. Ini logika sederhana para santri, yang biasa disebut sadd al-dzari'ah (menutup pintu terjadinya kerusakan).

Ketiga, hubugan kiai-santri yang mungkin agak renggang, karena kesibukan kiai dan sebagainya, perlu dirajut dan dieratkan kembali secara lebih intensif. Kiai dan stake holder lainnya, kini memiliki tanggungjawab baru untuk memantau perkembangan demi perkembangan para santrinya secara serius; baik perkembangan pendidikan, pergaulan, moralitas atau tingkah laku. Dengan pantauan ini, diharapkan penyimpangan-penyimpangan dapat terhindarkan. Pesantren pun betul-betul berjalan sesuai fungsinya, yaitu membentuk jiwa-jiwa relijius nan jauh dari jejaring setan.

Keempat, pengelola pesantren mulai kini perlu menginjeksi informasi sebanyak-banyaknya seputar bahaya narkoba. Sebab bukan tidak mungkin, segelintir santri yang kedapatan mengonsumsi narkoba, itu lantaran mereka tidak memahami bahaya zat yang dikonsumsinya. Penginformasian ini bisa disisipkan di sela-sela pengajian kitab kuning, muhadharah, atau pengadaan seminar kecil dengan menghadirkan ahli atau mantan pecandu narkoba. Taburan informasi ini diharapkan bisa meminimalisir peredaran narkoba di lingkungan pesantren.

Kelima, genderang perang terhadap narkoba harus ditabuh dari pesantren dengan menjadikan pesantren sebagai basis penanggulangan narkoba. Ini tak lain karena pesantren adalah benteng terakhir umat Islam di negeri ini. Jika benteng ini jebol, narkoba dipastikan membanjir di mana-mana. Karena itu, pesantren harus memiliki kepedulian dan keseriusan mengatasi ancaman ini.

Jika point-point di atas bisa dilaksankan, sinyal bahaya narkoba bagi pesantren akan segera padam. Pesantrenpun akan kembali pada fungsi awalnya. Dan mudah-mudahan, pesantren bisa meloloskan dirinya dari intaian orang-orang jahat �bandar� narkoba. Syukur-syukur, pesantren bisa menjadi lembaga penyembuhan bagi para pecandu narkoba (seperti Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat asuhan Abah Anom), bukannya lembaga yang malah subur dihuni para pecandu narkoba. Amin! Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Senin, 11 Februari 2008)

Thursday, February 07, 2008

Kikisnya Budaya Dialog Kita

Oleh Nurul H. Maarif

Nurul HudaBenarkah budaya dialog/musyawarah dalam diri kita kian hari kian terkikis? Siapapun tidak akan mudah menjawab pertanyaan ini. Namun jika melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada bulan pertama 2008 ini, di berbagai wilayah negeri ini, tampaknya kita sulit membantah pertanyaan itu. Semuanya seakan justru membenarkannya.

Umpamanya, tindak anarkisme hebat yang dilakukan aremania (suporter Arema Malang). Lantaran menilai wasit pertandingan Arema Malang vs Persiwa Wamena (1-2) tidak adil dan diskriminatif, karena menganulir 3 gol yang dilesakkan Arema, mereka lantas memporak-porandakan Stadion Brawijaya milik Persik Kediri. Kursi-kursi dihancurkan. Gawang dibakar. Fasilitas stadion lainnya diobrak-abrik. Kerugian ditaksir mencapai miliaran. Wasit dan asistennya pun dikeroyok.

Di Mataram terjadi bentrok antar mahasiswa IAIN Mataram dengan aparat kepolisian. Pemicunya adalah kebijakan rektorat menaikkan biaya smester. Karena dinilai memberatkan, mahasiswa lantas menggelar aksi penolakan dengan berdemonstrasi. Akibatnya, tiga mahasiswa ditangkap. Efek dominonya, demonstrasi tidak hanya dilakukan untuk menolak kebijakan rektorat, tapi juga untuk meminta pembebasan tiga rekan mereka.

Di Jawa Timur juga terjadi bentrok antara masyarakat yang menolak pengoperasian PT Petrochina, dengan aparat kepolisian. Seorang warga mengalami luka serius di kepala, sehingga harus dirawat. Dari luar Jawa tersiar kabar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang sedang menggelar aksi demonstrasi terlibat bentrok dengan pengiring jenazah. Seorang pengiring jenazah dikeroyok hingga babak belur.

Yang terbaru, ribuan guru dan siswa di Meringin Jambi, mogok belajar-mengajar (hingga artikel ini ditulis, mereka telah menjalankan aksinya selama empat hari). Mereka berdemo menuntut 20 % alokasi APBD untuk kepentingan pendidikan, sesuai amanat Undang-undang. Nyatanya Pemda hanya menganggarkan 4,3 % dari jumlah APBD Rp 900 M. Inilah pemicu kekecewaan mereka.

Kikisnya Dialog
Melihat peristiwa-peristiwa di atas, disamping berbagai peristiwa serupa lainnya yang tidak terekspos media masa, tampaknya kita cenderung membenarkan bahwa budaya dialog diantara kita kian hari kian terkikis, terkikis dan terkikis. Dalam menyelesaikan persoalan, bahasa dialog tidak lagi kita lirik, kalah oleh bahasa anarkisme, demonstrasi, ngotot-ngototan, bentrok dan seterusnya. Jika ini terus terjadi, tidak mustahil budaya dialog akan betul-betul pudar. Predikat sebagai penjunjung asas "musyawarah untuk mufakat" pun akan luntur dari diri kita.

Diakui atau tidak, perubahan budaya ini dipantik oleh banyak hal: kemiskinan yang kian menggila, perpolitikan yang carut-marut, ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana, dan seterusnya. Namun, begitu mudahnyakah semua ini mengikis budaya dialog kita yang telah tertanam begitu lamanya? Atau ada hal lain yang salah dalam diri kita, misalnya terkait penghayatan kita pada ajaran agama?

Dalam doktrin agama apapun, tak terkecuali Islam, dialog atau musyawarah sangat dipentingkan untuk dijadikan alat menyelesaikan berbagai persoalan; keagamaan, sosial, politik maupun ekonomi. Tentu dialog yang betul-betul dilakukan dengan kesadaran bersama untuk mencari kemufakatan, ditempuh dengan kesabaran, kerendahhatian, dan tanpa emosi. Jika hal-hal ini dijalankan, peristiwa anarkisme di atas tidak seharusnya terjadi.

Karena pentingnya budaya ini, Allah SWT berfirman, "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (Qs. Ali Imran: 159). Melalui ayat ini, Allah SWT melarang kita berbuat kasar pada musuh sekalipun dan menyuruh kita menjalankan musyawarah jika ada persoalan. Karenanya, tidak seharusnya emosi dikedepankan, lebih-lebih jika yang kita hadapi adalah saudara sendiri, yang hidup di tanah air yang sama.

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka," (Qs. al-Syura: 38). Dialog inilah yang senantiasa dijalankan Ras�lull�h SAW, dalam hal apapun. Ketika suatu saat beliau menempatkan pasukan perangnya di daerah yang tandus-kering tak berair, beliau lantas meminta pandangan para sahabat. al-Hubbab bin al-Mundzir, lantas memberi masukan. Tempat itu, menurutnya, tidak strategis, sehingga akan menyulitkan pasukan muslimin. Atas usulan sahabatnya ini, beliau menerima dan mengubah posisi pasukannya. (Sangat banyak contoh lain terkait sikap Rasul ini).

Firman Allah SWT dan sikap Rasulullah SAW itu menunjukkan betapa urgennya dialog. Karena dialog adalah naluri kita. Kehilangan semangat dialog, berarti terkikisnya naluri kemanusiaan kita. Namun kami yakin, siapapun (di kedalaman hatinya) setuju akan pentingnya dialog untuk mengatasi berbagai persoalan. Hanya saja masalahnya, kesadaran untuk menjalankan dialog ini acapkali terkalahkan oleh ego dan emosi, sehingga dialog dianggap tidak penting dan tidak bermanfaat.

Jika hal ini yang terjadi, tidak malukah kita disandangi predikat sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi-tinggi asas "musyawarah untuk mufakat" Karena hal itu sesungguhnya bukanlah budaya kita. Budaya kita adalah dialog, musyawarah, kekeluargaan, guyub, gotong-royong dan seterusnya.

Akhirnya, semoga dialog atau musyawarah tidak kehilangan fungsi dan manfaatnya di negeri ini. Wa Allah a'lam.[]

Jurang Mangu, Sabtu, 26 Januari 2008

(Dimuat di Radar Banten)