Tuesday, April 22, 2008

Rasulullah dan Tetangga Non-muslimnya

Oleh Nurul H. Maarif

cah-elikRasulullah Saw adalah teladan kebaikan atau uswah hasanah (Surah al-Ahzab [33] : 21). Ibarat mata air, aneka kebaikan terus menyembur dari dirinya, tiada habis-habisnya. Dan, tak sebutir keburukanpun yang muncul darinya.

Akhlak beliau adalah cermin keagungan. Perangainya cermin kemuliaan. Maka tak heran, jika permaisuri tercintanya, 'Aisyah binti Abi Bakr berucap takjub; kana khuluquhu al-Qur'an/akhlak beliau adalah al-Qur'an. (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid V, h. 163). Akhlak al-Qur'an, tak syak lagi, adalah seagung-agung dan semulia-mulia akhlak.

Itulah teladan paling agung (sekaligus paling berat untuk ditiru) dari Rasulullah Saw. Beliau, seperti diakuinya, memang diberi mandat oleh Allah Swt li utammima makarim al-akhlaq/untuk menyempurkan moralitas (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).

Karena itu, sebagai umatnya, sudah seharusnya kita menimba banyak-banyak mata air akhlak itu dari Rasulullah Saw, untuk diamalkan dalam keseharian kita di tengah masyarakat. Inilah sejatinya inti bi'tsah beliau ke dunia fana ini, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin/kerahmatan bagi semua makhluk (Surah al-Anbiya' [21] : 107).

Diantara kemuliaan akhlak Rasulullah Saw, adalah tata krama atau etikanya dalam menjalin hubungan sosial dengan para tetangganya. Diceritakan, suatu ketika Aisyah r.a. menyelenggarakan kenduri dengan menyembelih kambing.

Seusai matang, oleh Aisyah r.a., masakan daging kambing itu lantas dibagi-bagikan pada tetangga dekatnya. (Ini sesuai anjuran Rasulullah Saw, jika kita memasak, hendaklah diperbanyak kuahnya, supaya para tetangga juga turut merasakannya/HR Muslim dan al-Darimi).

"Isteriku, apakah Si Fulan juga telah dikirimi masakan?" tanya Rasulullah Saw memastikan.

"Belum! Dia itu Yahudi dan saya tidak akan mengiriminya masakan," jawab Aisyah r.a. tegas.

Apa reaksi Rasulullah Saw? Beliau tetap meminta Aisyah r.a. untuk mengiriminya. "Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia adalah tetangga kita," pinta Rasulullah Saw beralasan.

Itulah etika bertetangga Rasulullah Saw. Beliau "mengritik" sikap isterinya sendiri yang memilih-milih dan memilah-milah tetangga berdasarkan latar belakang agamanya. Bagi beliau (dan seharusnya bagi umatnya), tetangga tetaplah tetangga sampai kapanpun, tiada peduli latar belakang suku, agama, ras, golongan dan sebagainya. Karena itu, pada kesempatan lain, beliau mengategorikan tetangga menjadi tiga.

Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Inilah tetangga yang paling rendah haknya. Mereka ini tetangga yang musyrik dan tidak memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga.

Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Mereka ini tetangga yang beragama Islam. Mereka memiliki hak sebagai tetangga dan memiliki hak sebagai muslim.

Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Inilah tetangga yang paling tinggi haknya. Mereka ini tetangga yang beragama Islam sekaligus memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga, muslim, dan keluarga. (HR al-Bazzar dari Jabir bin Abdillah).

Anjuran berbuat baik pada tetangga, dengan tanpa melihat apapun latar belakangnya, juga kita temukan dalam Surah al-Nisa' [4]: 36. Tetangga, dalam ayat ini, dibedakan menjadi dua: al-jar dzi al-qurba (tetangga dekat) dan al-jar al-junub (tetangga jauh).

Abu al-Fida' Isma'il bin Katsir, dalam Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001 M, jilid I, h. 483), menukil beberapa penafsiran untuk mejelaskan hal ini. Misalnya, penafsiran Ibn 'Abbas yang menyatakan, al-jari dzi al-qurba adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Sedang al-jar al-junub, adalah mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita.

Penafsiran lainnya dari Nauf al-Bukali, al-jar dzi al-qurba adalah al-jar al-muslim (tetangga yang muslim). Sedang al-jar al-junub adalah al-Yahudi wa al-Nashrani (Yahudi dan Kristen).

'Abd al-Rahman bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzy, dalam Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1404 H, jilid II, h. 78-79) juga menukil riwayat yang kurang lebih sama. Namun ditambahkannya, al-jar dzi al-qurba itu terjadi karena faktor ke-Islam-an itu sendiri.

Tiada Sekat
Kategorisasi tetangga yang diberikan Rasulullah Saw di atas, menyiratkan pelajaran dan keteladanan sangat peting bagi kita. Bagi beliau, kebertetanggaan tidak seharusnya disekat oleh latar belakang apapun.

Hatta pada tetangga yang musyrik sekalipun, beliau tidak lantas menjauhinya. Bagi beliau, mereka tetap memiliki satu hak sebagai tetangga dan hak itu harus ditunaikan. Untuk itu, komunikasi, relasi sosial dan hubungan kemasyarakatan tetap penting di jalin dengan mereka. Dan itu dibuktikannya melalui traktat Piagam Madinah.

Satu hal yang terlarang dijalin bersama mereka adalah akidah. Soal akidah ini, harus ada garis demarkasi yang jelas dan tegas. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka. Tidak boleh ada pencampurbauran.

Dalam al-Qur'an disebutkan dengan terang, lakum dinukum wa liya din/bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Surah al-Karifun [109] : 6). Akibatnya pun harus ditanggung masing-masing di hadapan Allah Swt kelak.

Pertanyaannya kini; jika demikian agung dan mulianya etika bertetangga Rasulullah Saw, sudahkah kita meneladaninya? Sudahkah kita hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan tetangga kita yang non-muslim?

Tampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Karena alih-alih dengan tetangga yang non-muslim, dengan tetangga muslim yang beda riual qunut subuh, tahlil, wirid, ziarah kubur atau maulid saja, kita acapkali masih saja 'berantem' tiada henti. Seakan tiada kata damai diantara kita.

Lantas, kapan kita akan mulai meneladani etika bertetangga a la Rasulullah Saw, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin itu? Wa Allah a'lam.[]

Banten, Selasa, 17 Maret 2008

Wednesday, April 09, 2008

Dakwah Islam di Dunia Digital

Oleh Nurul H. Maarif

Urul"Tiga puluh tahun lagi, tidak akan ada koran dan buku," demikian kata seorang kawan, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang mengagetkan, sekaligus mengkhawatirkan ini, ujarnya didasarkan pada analisis para pakar media. Koran dan buku, katanya, akan tergantikan oleh teknologi digital. Para penerbit pun ditaksir akan gulung tikar.

Saudara sepupu penulis, yang kini tengah menekuni Program Studi Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. "Ini mungkin agak bodoh. Saya ingin mendirikan pesantren tahfidh, dengan basis skill ilmu komputer. Islam harus lebih digital," kata Santri Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, yang tengah menghafal al-Qur'an ini.

Keinginan yang disebutnya "agak bodoh" ini, juga didasarkan pada prediksi jauh ke depan. Dunia kelak akan kian mengglobal. Semua serba berteknologi canggih. Tak menguasai teknologi, berarti ketinggalan kereta. Pertarungan dakwahpun akan lebih hebat terjadi di dunia maya (digital), bukannya di media cetak.

Untuk menghadapi era seperti ini, Islam -- terutama Islam pesantren -- harus bersiap diri. Inilah "masa depan" Islam. Al-hamdulillah, kini muncul kesadaran baru di kalangan santri. Banyak di antara mereka yang serius menekuni bidang eksakta di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri.

Program Studi Ilmu Komputer, Teknik Informatika, Sistem Informasi, dan seterusnya, yang biasanya dinilai tabu bagi kaum sarungan, kini menjadi santapan mereka. Santapan yang sama lezatnya dan sama bergizinya dengan kitab kuning. Dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat yang dilontarkan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tengah mereka "terobos".

Baiknya lagi, Depag RI lekas menyadari kebutuhan ini. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi, Depag menggelontorkan miliaran rupiah untuk menguliahkan para santri di bidang eksakta � kendati penerimanya kebanyakan dari pesantren besar dan pesantren kecil di kampung-kampung, seakan tak berkesempatan dan terlupakan.

Islam Digital
Pertanyaannya, benarkah semua akan berubah menjadi digital? Melihat perkembangan yang ada, tidak mustahil ini jadi kenyataan. Jika kita mau meluangkan waktu sebentar untuk berselancar (browsing) di dunia digital, betapa informasi keislaman dari berbagai bidang tersedia di sana. Ibarat menu makanan, apapun yang ingin kita santap telah tersaji. Situs-situs keislaman -- dari yang bervisi keras, lunak, bahkan liberal -- semua ada.

Keserbatersediaan ini, pada gilirannya bisa menggulung eksistensi perpustakaan reguler yang ada. Juga mengancam eksistensi kitab kuning yang sehari-hari ditelaah para santri. Kitab kuning, yang khas dengan bau kertasnya, akan menjadi kenangan (semoga tidak pernah terjadi). Apalagi, kini telah muncul program canggih "literatur digital" semisal al-Maktabah al-Syamilah (berisi ribuan e-book kitab tafsir-ilmu tafsir, hadis-ilmu hadis, fikih-ushul fikih, teologi, akhlak, spiritual, bahkan aneka kamus Arab dan sebagainya).

Ada juga Maktabah al-Fiqh wa Ushulihi (berisi ribuan kitab fikih dan ushul fikih dari berbagai mazhab) dan al-Maktabah al-Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah (berisi ribuan kitab hadis), dan masih banyak lagi. Menggunakan "literatur digital" ini, dengan sangat mudah dan cepat, kita akan menemukan tema keislaman apapun yang kita inginkan. Inilah yang disebut era Islam digital.

Respon Santri
Bagaimana pesantren, yang kebanyakan ada di kampung-kampung, merespon hal-hal yang barangkali belum disadari, apalagi dibayangkannya ini?

Pertama, suka tidak suka, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun, termasuk pesantren, tidak bisa berkelit. Inilah konsekuensi zaman serba global dan modern. Di satu sisi, hal ini perlu dikhawatirkan karena alasan-alasan di atas. Di sisi lain, ia akan memudahkan kerja dakwah Islam. Pesantren mesti mengambil sisi positifnya, dengan membuang sisi negatifnya. Ini sesuai kredo pesantren: al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).

Kedua, kitab kuning harus tetap dilihat sebagai aset keislaman yang penting, terutama bagi pesantren, yang karenanya harus dipertahankan hingga "titik darah penghabisan". Tanpanya, kekhasan pesantren akan pudar. Ia tidak seharusnya tergantikan oleh apapun juga.

Ketiga, pesantren harus mengupayakan penanaman skill teknologi pada santri. Mungkin serba perlahan, karena ini membutuhkan ongkos tidak murah; baik materiil maupun moril (apalagi mungkin masih ada pesantren yang mengharamkan teknologi). Tapi tidak ada yang mustahil bagi pesantren. Dan tentu saja, negara harus mendukungnya. Melalui Depag misalnya, negara bisa memberi fasilitas teknologinya.

Keempat, pesantren harus mulai memikirkan dakwah Islam damai di dunia digital; dunia tanpa batas ruang dan waktu. Jangkauan aksesnya tak bisa dibatasi apapun. Jika pesantren bisa berdakwah melalui jalur ini, masa depan Islam dan pesantren tak lagi suram. Pesantren niscaya bisa bersaing dengan siapapun, untuk tujuan li i'lai kalimah Allah (untuk mengunggullkan kalimat Allah).

Dan al-hamdulillah, kini banyak pesantren besar, baik yang modern maupun tradisional, memiliki perhatian serius soal dakwah digital ini. Bahkan mereka punya situs sendiri. Sebut saja Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Modern Gontor, Ponpes Buntet dan Ponpes Dar al-Tauhid Cirebon, Ponpes Darul Ulum Jombang, Ponpes Nurul Jadid Paiton, Ponpes Sunan Pandan Aran Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

Mereka telah mulai menapaki kerja dakwah di dunia digital. Siapa menyusul? Wa Allah a'lam.[]