Wednesday, January 30, 2008

Harlah NU ke-82
NU, Organisasi Papan Nama?

Oleh Nurul H. Maarif

cah-elikKamis, 31 Januari 2008 ini, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 82 tahun. Usia yang cukup matang dan mapan untuk sebuah organisasi muslim tradisional dengan jumlah pengikut puluhan juta ini. NU memang telah mengecap aneka pengalaman hidup: manis-getir, pasang-surut, dan seterusnya. Karenanya tak heran, di usianya ini, pujian dan kritikan terus hadir silih berganti. Baik dari internal NU (terutama anak mudanya) maupun dari eksternal NU (pengamat dan peneliti).

Kritikan itu, utamanya, lebih banyak disasarkan pada aspek hubungan NU dengan politik praktis. Polarisasi lantas terjadi; sebagian menyayangkan jalinan kemesraan NU-politik yang menyebabkan tak terurusnya persoalan riil keumatan, sebagian menilainya perlu karena politik itu bagian dari amar ma'ruf nahy munkar yang menjadi tugas NU, dan sebagian lagi cenderung netral.

Termasuk yang menyayangkan, adalah pengamat dan peneliti NU Laode Ida. Dalam Refleksi 82 Tahun NU, Membangun NU Berbasis Umat (Rabu, 16/01/2008) yang digelar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, ia menyatakan, sejak 1970-an NU telah kehilangan karakter keumatannya, karena begitu larut dalam arus utama politik.

Pergeseran orientasi ini, menurut Laode, kian kental dan nyata setelah era reformasi. Semua berebut kue kekuasaan, tak ketinggalan orang NU. Hanya segelintir ulamanya saja yang masih konsen pada program keumatan. Jika ini dibiarkan, kuatir Laode, NU akan menjadi "organisasi papan nama" karena ditinggalkan umat. Kegagalan calon dari NU memenangi pilkada di wilayah berbasis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, adalah contoh nyata betapa ikatan emosional warga nahdliyyin dengan NU kian melonggar.

Pertanyaannya kini: bagaimana sesungguhnya khittah politik NU? Menurut pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah, KH. Ahmad Mustofa Bisri, makna khittah politik itu sangat jelas, sehingga tidak memerlukan "tafsir jalan lain." Setidaknya, ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU.

Pertama, politik kebangsaan. Politik ini untuk tujuan keutuhan NKRI. Sejak berdirinya, NU telah menjalankan politik jenis ini. Munculnya resolusi jihad pada Oktober 1945, penetapan waliy al-amr al-dharuri bi al-syaukah untuk Bung Karno pada 1952 dan sebagainya, menjadi bukti sahih dalam hal ini.

Kedua, politik kerakyatan. Ini implementasi dari amar ma'ruf nahy munkar untuk membela umat. Menurut Gus Mus -- sapaan akrab KH. Ahmad Mustofa Bisri, peran ini kini banyak diambil-alih generasi muda NU melalui LSM-LSM, karena mereka melihat NU secara struktural tidak lagi peduli terhadap aspek kerakyatan ini.

Ketiga, politik kekuasaan. Politik jenis inilah, lazim disebut politik praktis, yang paling menyilaukan orang NU. Menurut Gus Mus, ini karena sukses luar biasa NU pada 1950-an. Dalam waktu singkat, Partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak saat itu, analisis Gus Mus, kemaruk politik merebak di sekujur urat nadi NU. Efeknya, persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah, terbengkalai.

Karena itu, penulis berfikir, untuk mengembalikan kejayaan NU, tak ada jalan lain kecuali menjauhkan NU sejauh-jauhnya dari hiruk-pikuk politik praktis. Apalagi - seperti sindiran banyak pengamat - NU tak ubahnya pendorong mobil mogok. NU ditinggalkan jika mobil itu telah berjalan. Kalaupun NU mesti berpolitik, dan ini wajib sesungguhnya, maka jenis politik kebangsaan dan kerakyatan lah yang seharusnya menjadi perhatian, bukan politik kekuasaan. Politik inilah yang akan menghadirkan maslahah dan menjauhkan mafsadah.

Ini sesuai pernyataan Abu al-Wafa' Ibn Aqil. Menurutnya, politik tak lain berarti segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' dan tidak didasarkan wahyu. Maka, perilaku apapun yang mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, itulah politik. Inilah politik amar ma'ruf nahy munkar itu.

Jadi, elegan sekali jika NU berpolitik di luar sistem politik praktis. Ini yang penulis sebut "berpolitik tanpa partai"; politiknya para kiai NU. Dan, ini jauh lebih penting ketimbang harus masuk dalam gelanggang politik praktis. Toh, kebenaran tetap bisa ditiupkan dari manapun. Dengan politik ini, para kiai juga bisa mendidik santrinya di pesantren menjadi umara' yang bermental ulama; membangun negara dengan kejujuran dan keikhlasan, tidak korupsi, hanya takut pada Allah SWT, tidak zalim dan sewenang-wenang pada rakyat, dan seterusnya. Menciptakan umara seperti ini juga politik. Maka akan tercipta kebangkitan umara' (nahdhatul umara').

Selain itu, NU harus diposisikan sebagai pengawal moral masyarakat secara umum, termasuk para politikus, sampai kapanpun. Konsekuensinya, NU harus menjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Netralitas posisi ini penting, karena ghayah (tujuan) utama politik kebangsaan dan kerakyatan hanya akan terwujud melalui posisi ini.

Atas dasar alasan-alasan di atas, sekali lagi, NU harus dinetralkan dari virus politik praktis. Dan akhirnya, jika semua ini betul-betul diperhatikan dan dilaksanakan para petinggi NU, maka kekuatiran NU akan menjadi organisasi papan nama, tidak perlu terjadi, bukan? Wa Allah a�lam.[]

(Radar Banten, Kamis, 31 Januari 2008)

Monday, January 28, 2008

Ghirah Membantu Si Lemah

Oleh Nurul H. Maarif dan Gamal Fedhi

Untuk membantu yang lemah, masyarakat punya cara sendiri. Mereka mengorganisir diri melakukan simpan-pinjam. Dananya dari kocek pribadi sampai patungan. Ada yang dikelola secara kekerabatan hingga profesinal. Keuntungan bukan tujuan.

Siti Mukaromah kaget bukan kepalang. Saat hendak berbelanja, dompetnya tertinggal di lemari rumahnya. Sedihnya lagi, kunci lemari terbawa suaminya ke kantor. Mau tidak mau, ia harus pinjam tetangga. Namun tak satupun yang memberi.

"Mau minjem saja susah banget. Bukan karena mereka nggak punya uang lho," kata Siti Mukaromah, ibu rumah tangga di Jl. Semanggi II Ciputat Tangerang mengenang peristiwa tujuh belas tahun silam.

Dari peristiwa itu, Bu Joko, panggilan akrab Siti Mukaromah, menyadari betapa sulit dan sedihnya tidak punya uang. Dia pun menerapkan simpan-pinjam kecil-kecilan di kelompok pengajian al-Qur'an tiap Sabtu yang dipimpinnya.

Awalnya, 12 anggota pengajian itu dalam seminggu menabung Rp 500. Seiring waktu, kini tabungan mereka berkembang hingga Rp 100 ribu sampai Rp 125 ribu. Simpanan itu kemudian disepakati sebagai modal pokok anggota yang tidak boleh diambil. Di luar itu, ada anjuran menabung per-minggu minimal Rp 5 ribu.

Uang yang terkumpul terus bertambah, yang puncaknya dijadikan modal simpan-pinjam, terutama bagi anggota pengajian. Dari gethok tular antar tetangga, anggota bertambah jadi 30 orang. Di luar anggota, simpan-pinjam tidak berlaku.

Kini dana yang terkumpul mencapai Rp 30 juta. Jumlah yang besar bagi kelompok pengajian sekecil itu. Pengajian itu juga tidak membatasi jumlah pinjaman. "Ada yang pinjem Rp 3 juta dengan mudah," imbuh alumni Universitas Muhammadiyah Klaten ini.

Prosedur peminjaman pun tak berbelit. Tidak perlu perjanjian dan prasyarat formal lainnya. Lantaran tujuannya untuk meringankan beban anggota kelompok yang sedang membutuhkan dana. Misalnya, untuk bayar semesteran atau menyekolahkan anak, modal usaha, atau pengobatan mendadak. Saling percaya adalah modal dan jaminannya.

Kelompok ini memberlakukan kelebihan bagi peminjam sebesar lima persen dari pinjaman. Tapi proses pengembaliannya tidak mengikat, dengan mencicil antara tiga sampai lima kali, dalam jangka waktu 3-5 bulan.

"Tapi ini juga nggak kaku. Kadang ada yang gampang pinjem, tapi susah ngembaliin, karena memang belum punya," ujar perempuan asal Klaten ini.

Karena faktor kepercayaan dan keanggotaan yang jelas, hingga kini belum ada kasus peminjam yang kabur. "Lagian pinjamnya juga nggak banyak," kata ibu dua putra ini.

Terkait peningkatan ekonomi anggotanya, Bu Joko punya ukuran yang unik. Jika yang meminjam makin sedikit, berarti taraf ekonomi mereka kian baik. "Ukurannya itu saja, nggak usah susah-susah," tegas Bu Joko.

Namun diakuinya, peningkatan ekonomi ini bukan berkat pinjaman itu. Itu murni usaha mereka sendiri. "Pinjaman ini tidak untuk meningkatkan ekonomi. Tapi untuk memudahkan saja," terangnya.

Pengajian ini juga mengumpulkan iuran perminggu Rp 500, khusus untuk membantu warga yang sakit di luar kelompok pengajian, juga pengurusan jenazah.

Menurut Bu Joko, peduli pada yang sakit, yang meninggal, dan yang kesusahan, itu diajarkan Islam. Karena itu, apa yang dilakukan bersama kelompok pengajiannya, tak lain untuk itba' (mengikuti, red.) Rasulullah SAW. "Walaupun tidak ada seberapanya," akunya.

Simpan-pinjam juga dijalankan Majelis Taklim al-Maksumy Prajegan Bondowoso Jawa Timur pimpinan Ny. Hj. Ruqayyah Maksum. Anggotanya, lebih dari 200 kaum ibu, umumnya tulang punggung keluarga. Profesi mereka, antara lain, pedagang kecil dan buruh tani.

Awalnya pada 2004, banyak anggota majelis itu yang membutuhkan dana untuk modal usaha. Mereka lantas pinjam ke pihak tertentu dengan bunga besar. Belum lagi, pinjaman baru bisa turun jika ada agunan. Padahal mereka tidak punya apapun untuk dijaminkan. Kalau pinjam ke koperasi atau lembaga keuangan, mereka harus menjadi anggota terlebih dahulu dan dikenai biaya administrasi.

Keluhan demi keluhan, akhirnya sampai ke telinga Ruqayyah. "Bermula dari niat kami membantu anggota Majelis Taklim al-Maksumy, walaupun tidak banyak," ujar Ruqayyah kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Dengan uang pribadi sebesar Rp 10 juta, Ruqayyah meminjami anggotanya sejak empat tahun lalu. Jumlah pinjaman tidak besar, mengingat modal yang terbatas dan skala usaha anggota majelisnya yang juga kecil. Awalnya, paling banyak Rp 500 ribu. Jika mengembalikan pinjaman tepat waktu, selambatnya 10 bulan, dia boleh meminjam lagi Rp 1 juta.

Pengembalian dibayar mencicil, pada pertemuan pengajian seminggu dua kali. Besar cicilan terserah peminjam. Tidak ada ketentuan khusus. Ada yang Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, bahkan Rp 5 ribu. Bahkan peminjam yang kebanyakan pedagang bahan makanan pokok, ini tidak dikenai kelebihan sepeserpun.

"Pinjam Rp 1 juta, ya kembalinya Rp 1 juta. Niatnya memang betul-betul untuk meringankan mereka," ujar Ruqayyah.

Kepercayaan dan ikatan emosional dengan jemaah pengajian, adalah jaminannya. Prosedurnya juga tidak formal. "Saya yakin mereka tidak akan lari," katanya yakin. Namun kendala tetap ada. Misalnya, ada yang lebih 10 bulan belum mengembalikan pinjaman. "Itu beberapa orang saja, karena memang tidak punya," imbuh ibu seorang putra ini.

Sebelum uang pinjaman dikucurkan, dilakukan survei kecil agar tepat sasaran. "Mereka itu kan tidak punya sumber penghasilan lain," kata Ruqayyah.

Kini Ruqayyah gembira melihat peningkatan usaha anggota majelisnya. Indikatornya, jumlah peminjam kian menurun. "Atau setidaknya usaha mereka masih bertahan. Karena kalau pinjam ke rentenir, usahanya pasti akan merosot," ujarnya.

Selain meminjami, Ruqayyah juga menganjurkan anggotanya menabung. Di setiap pertemuan, mereka menyimpan seadanya, mulai dari Rp 500 hingga Rp 10 ribu.

Djudju Zubaidah, koordinator LSM Nahdina di Cipasung, Tasikmalaya juga menerapkan tabungan bagi 40 anggota pengajiannya sejak empat tahun silam. "Kami masih merintis. Belum sampai pinjam-meminjam, karena baru untuk menabung saja Rp 1.000 per hari," katanya.

Simpanan itu untuk kebutuhan lebaran, kurban, atau modal usaha. Sisanya, akan dipinjamkan untuk modal usaha kecil masyarakat sekitar.

Usaha simpan-pinjam dalam skala yang lebih besar dan profesional dijalankan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) al-Amin di Pasar Wangon, Banyumas, Jawa Tengah. Lembaga keuangan mikro ini, selain memberikan kredit lunak kepada pedagang dan pengusaha kecil, juga menerapkan tabungan bagi anggotanya.

Kholis, seorang pedagang sandal dan sepatu di Pasar Wangon, merasa terbantu dengan kredit murah yang diberikan BMT al-Amin. Sebelumnya, Kholis menjadi anggota BMT lain di Kecamatan Wangon. Tapi, ia kecewa lantaran pengajuan pinjamannya sebesar Rp 1 juta ditolak. Padahal, telah setahun ia menjadi anggota.

Pinjaman itu sangat berarti buat bapak tiga anak ini. Kios sandal dan sepatunya memerlukan suntikan modal untuk menghadapi lebaran yang kian dekat. Karena kecewa, Kholis mencabut keanggotaannya dari BMT itu.

Untuk mencukupi kebutuhan modal yang kian mendesak, Kholis mengajukan pinjaman ke BMT al-Amin. Pengurus pun mengabulkannya.

Itulah kisah awal Kholis menjadi anggota BMT al-Amin pada 2004. "Sekarang kalau aku butuh modal, tinggal bilang. Prosedur peminjamannya mudah," ungkapnya.

Kholis merasakan manfaat besar menjadi anggota BMT al-Amin. Usahanya kian berkembang. Kios di Pasar Wangon yang dulu berstatus kontrak, kini menjadi miliknya. Selain meminjam, ia pun menabung. Bahkan Kholis dan kelompoknya juga menitipkan tabungan qurban.

"Selain dekat dari tempat usaha, BMT al-Amin memang yang paling kami percaya," katanya kepada Gamal Ferdhi dari the WAHID Institute.

Kepercayaan jugalah yang membuat Jumanto menitipkan hasil jerih payahnya ke BMT al-Amin. Ayah tiga anak yang sehari-hari menarik becak dan memulung barang bekas ini, menjadi anggota sejak BMT ini berdiri.

Ia mengaku beruntung menjadi anggota BMT ini. Di akhir tahun, selain mendapat sisa hasil usaha (SHU), Jumanto mendapat bantuan sembako. Anak laki-lakinya, juga ikut khitanan masal yang digelar BMT ini.

BMT al-Amin didirikan sastrawan cum pendakwah Ahmad Tohari bersama karibnya H. Iwan pada 2001. "Lembaga ini memang kami niatkan untuk beramal lewat kredit bagi para pengusaha kecil," katanya.

Karena niat itulah, para anggota BMT dapat memperoleh kredit lunak tanpa prosedur yang njelimet. "Para anggota yang sudah lama dapat meminjam tanpa agunan. Ngomong sekarang, dikabulkan sekarang bisa. Karena kita sudah percaya pada mereka," kata Manajer BMT al-Amin, Widia A. Tohari.

Ghirah atau semangat mulia ini terus tumbuh tanpa campur tangan pemerintah.[]

*Suplemen the WAHID Institute XVI di Majalah TEMPO, Senin, 28 Januari 2008

Monday, January 21, 2008

Shahabat Ali dan Kebijakan Transportasi

Oleh Nurul Huda Maarif*

UrulDi masa kepemimpinannya, yang tak lebih dua tahun, khalifah keempat Ali bin Abi Thalib dikenal sangat memperhatikan kualitas sarana transportasi di wilayahnya, terutama jalan umum. Perhatian ini tak lepas dari fungsinya sebagai penghubung berbagai gerak kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya.

Lebih dari itu -- ini yang paling ditakutkan Ali --, baik-buruknya kualitas sarana transportasi terkait erat dengan nyawa rakyatnya. Jika sarana transportasinya baik, masyarakat akan nyaman dan tenang melaju di atasnya. Sebaliknya, jika kualitasnya buruk, tak mustahil nyawa mereka justru terancam dan atau menjadi taruhan.

Karena hal inilah, ayah Hasan dan Husein ini begitu ketakutan seandainya saja ada keledai yang terperosok di jalan berlobang yang ada di wilayahnya. Beliau begitu memuliakan makhluk Allah SWT, hatta keledai sekalipun. Apalagi, jika yang terperosok itu manusia, tentu ketakutan menantu Rasulullah SAW ini akan kian menjadi-jadi.

Kenapa ia ketakutan sedemikian hebatnya? "Inni lakhasyitu an yas'alani Allah/sungguh aku takut, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawabanku," ujar suami Fatimah al-Zahra ini. Bagi Ali, kepemimpinannya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melainkan (terutama) kepada Allah SWT di hari kemudian.

Inilah karakteristik kepemimpinan Ali. Ia meyakini, segala kebijakannya senantiasa dalam pantauan dan pengawasan Allah SWT, yang karenanya tak seorangpun dapat berkelit dari pengadilan-Nya. Untuk itu, hendaknya segala kebijakan penguasa pertama-tama diorientasikan untuk kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ala al-rai'yyah manuthun bi al-mashlahah, bukan untuk popularitas, keuntungan pribadi, kelompok dan seterusnya. Apalagi dengan mengorbankan rakyat banyak.

Bagaimana Transportasi Kita?
Apa yang diteladankan Ali dalam kepemimpinannya -- termasuk juga Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin al-Khattab, 'Usman bin 'Affan, dan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz -- sudah seharusnya menjadi cambuk bagi para pemimpin di negeri ini untuk lebih mementingkan kemaslahatan rakyat. Karena sesungguhnya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya (sayyid al-qaum khadimuhum). Termasuk, tentunya, melayani kemaslahatan mereka di bidang transportasi.

Tapi, bagaimana perhatian para pemimpin kita di bidang ini? Sudahkah kebijakan mereka mencerminkan orientasi kemaslahatan bagi rakyatnya? Jawabnya menyesakkan dada dan belum melegakan; baik pemimpin di tingkat nasional maupun lokal, belum banyak yang memiliki orientasi memadai soal ini.

Memang harus diakui, ada beberapa pemimpin lokal yang serius memperhatikan soal ini. Namun jumlahnya sangat terbatas. Selebihnya cenderung sepele dan menyepelekan hal yang sangat penting bagi rakyat ini. Lihat saja misalnya, kecelakan kereta api, mobil, pesawat, dan seterusnya, masih terus beruntun terjadi. Tak sedikit nyawa yang melayang sia-sia. Ini tentu bukan murni kesalahan para pemimpin, namun dengan kebijakan mereka, seharusnya ada kontrol yang baik dalam hal ini.

Pada musim penghujan ini, sarana transportasi banyak yang rusak, bahkan kadang sangat parah. Jika kita lihat jalan-jalan di ibu kota Jakarta saja umpamanya, lubang menganga yang mengancam nyawa bertebaran di mana-mana. Tidak hanya sekali-dua kali penulis melihat pengendara motor terjerembab, tanpa ada kesempatan menghindar sama sekali. Herannya, pemerintah setempat "tampak acuh" dengan tak lekas membenahinya. Padahal pajak motor tak pernah alfa ditarik setiap tahunnya. Tapi balasan apa yang mereka dapatkan?

Selain jalan, sarana angkutan umum juga banyak yang tidak memadai. Misalnya, yang sering disoal banyak orang; kualitas perkeretaapian di negeri ini. Masih terngiang di telinga dan terbayang di mata, KA Rangkas-Jakarta yang atapnya runtuh (dengan mudahnya), karena usianya yang telah lanjut. Ini cerminan fasilitas yang ada cenderung apa adanya.

Tak selesai di situ, berjubelnya penumpang di kereta ini juga menjadi tambahan masalah. Terjadinya penyanderaan KA Rangkas-Jakarta di Parung Panjang beberapa waktu lalu oleh penumpangnya sendiri, mencerminkan hal ini; tidak ada keseimbangan antara jumlah angkutan dengan jumlah penumpang. Membludaknya penumpangpun mustahil terhindarkan.

Bahkan, dalam sebuah kesempatan naik kereta ini, penulis melihat langsung seorang ibu muda yang tengah hamil, pingsan lantaran kekurangan asupan oksigen. Anak-anak kecil pun banyak yang menangis tak kuat menahan panasnya suasana gerbong. Belum lagi banyaknya copet (di setiap gerbong), yang leluasa mencomot dompet para penumpang. Semua ini terjadi karena begitu berjubelnya penumpang. Rasa amanpun lantas hilang sama sekali. Siapa yang mesti bertanggungjawab?

Jika melihat kondisi riil ini, semestinya para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, prihatin dan mulai serius memikirkan solusinya. Pun, para calon pemimpin yang hendak bergelut memperebutkan kursi kekuasaan melalui Pemilu atau Pilkada, harus ikut serius memikirkannya. Tak etis rasanya, jadi pemimpin tanpa peduli masalah sekrusial ini.

Akhirnya, seperti diyakini Ali bin Abi Thalib, yakinlah bahwa kepemimpinan itu tidak selesai di dunia belaka, melainkan ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sanggupkah kita menghadapinya? Wa Allah a'lam.[]

Kp. Sarian, Sabtu, 19 Januari 2008
(Radar Banten, Selasa, 22 Januari 2008)

Thursday, January 17, 2008

Toleransi Berangkat dari Rumah

Oleh Nurul H. Maarif

UrulIni kisah persahabatan dua bocah cilik. Nilna (perempuan, 16 bulan) dengan tetangga ciliknya Christopher (lelaki, 2 tahun). Keduanya dari keluarga dengan latar belakang agama berbeda. Nilna dari keluarga muslim dan Christopher dari keluarga Kristen. Itu nyata tersirat dari pilihan nama bagi keduanya.

Namun, bukan soal pilihan nama ini yang menarik diperbincangkan. Menurut sebagian orang, apa sih arti sebuah nama? Di samping itu, toh keduanya juga belum tahu apa itu 'nama islami' dan apa itu 'nama kristiani'. Apalagi untuk memilih sebuah agama dengan kesadaran, tak pernah terpikirkan oleh anak sebelia itu. Orang tuanyalah yang nantinya memilihkan (tepatnya 'memaksakan') agama mana yang musti mereka anut.

Lebih dari itu, imanpun belum mereka miliki, kecuali iman primordial yang dibawa sejak dari rahim bundanya. Iman hasil perjanjian suci antara calon jabang bayi dengan Tuhannya. Itupun, untuk anak seumuran mereka, belum mewujud sebagai identitas. Namun justru lantaran ketidakmengertian mereka tentang agama dan iman itulah, persahabatan mereka menjadi alami dan unik -- setidaknya menurut saya sendiri.

Suatu ketika, bunda Si Nilna (saya menggunakan Si untuk menunjukkan kebeliaannya) memembelikan sepotong roti untuknya. Tak dinyana, roti itu dibelahnya menjadi dua bagian. Sebagian dimakan sendiri dan sebagian diulurkan buat Si Christopher, yang keluarganya Kristen dari Batak itu. Kendati tanpa perbincangan sedikitpun, karena keduanya belum bisa bercakap, toh keakraban diantara mereka tetap tampak nyata.

Kisah persahabatan dua bocah cilik ini memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, persahabatan memang tidak musti dinyatakan melalui ucapan. Yang jauh lebih penting adalah tindakan nyata. Berbagi, sebagai simbol persahabatan yang ditunjukkan Si Nilna misalnya, tak perlu dimediasi oleh ucapan apapun. Apalagi perlu sorotan dan publikasi berbagai media massa. Cukup dengan tindakan nyata. Tangan kanan memberi, tangan kiri pun tak perlu mengetahuinya. Itulah sejatinya inti dari ajaran agama; tindakan. Karenanya, agama tak bermakna apa-apa jika hanya dikhutbahkan melulu di bibir, tanpa ada tindakan nyata untuk kemanusiaan. Jika hanya di mulut, agama menjadi kecil dan kerdil.

Kedua, persahatan tidak seharusnya disekat oleh perbedaan, baik perbedaan suku, agama, ras, dan sejenisnya. Persahabatan itu universal. Karenanya, jika ada kelompok tertentu memilih-milih dan memilah-milah sahabat, seorang muslim hanya memilih dan memilah kawan dari muslim lainnya, yang Kristen pun demikian, maka substansi persahabatan menjadi hilang. Bahkan nyaris tak ada gunanya.

Ketiga, persahabatan dua bocah cilik itu mengisyaratkan bahwa konflik antar agama atau antar iman, itu tidak pernah (setidaknya jarang) terjadi di tingkat bawah. Bahkan, ketika Si Nilna dan banyak anak-anak muslim di lingkungannya sakit, (sebut saja) Bidan Manurung yang Kristen Batak menjadi rujukan penyembuhan. Ini soal kepercayaan, bukan keterpaksaan, karena masih banyak dokter muslim di sana. Tapi bahwa kerja medis bidan ini lebih cocok bagi pasien, itu tidak bisa dipungkiri. Sekat keimananpun menjadi lebur, karena kesalingpercayaan.

Yang tak kalah penting, yang membuat pasien muslim kerasan, adalah keramahan dan ketelatenan Nenek (ia menyebut dirinya) menjawab keluhan pasien yang tak direka-reka. Dan, tak ada satu pasien muslimpun yang menyoal latar belakang imannya. Mereka datang untuk mengobati fisik yang luka, bukan mengobati iman yang koyak. Mereka datang bertanya resep kesehatan, bukan bertanya akidah. Kesehatan adalah kesehatan dan akidah adalah akidah. Keduanya terpisah jelas. Soal akidah misalnya, lakum dinukum wa liya din. Ternyata orang di bawah 'lebih paham' pemisahan ini.

Jika nyatanya di bawah no problem, jangan-jangan benar belaka dugaan bahwa wacana konflik antar agama atau antar iman itu sejatinya melulu problem elit: 'masalah orang pinter' atau 'yang dipermasalahkan orang pinter'. Saking pinternya, termasuk yang bukan masalahpun dipermasalahkan. Kalaupun ada masyarakat bawah yang turut meributkannya, saya yakin sekali itu lantaran pengaruh atau bahkan hasil komporan 'orang pinter' itu.

Keempat, persahabatan dua bocah cilik itu -- secara tidak langsung -- juga bisa dimaknai sebagai kritik bagi para penggiat dialog antar agama. Jujur saja, tingkat keberhasilan dialog jenis ini -- termasuk melalui munculnya Trilogi Umat Beragama oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara -- masih perlu uji lebih jauh. Apalagi dialog ini lumrahnya hanya melibatkan orang dewasa yang telah memiliki 'prasangka laten' pada 'yang lain'.

Sebaiknya, dialog itu lebih dicurahkan untuk anak-anak kecil yang belum memiliki paradigma apapun tentang 'yang lain'. Anak-anak yang bersih ini perlu dibekali perjumpaan dan perkenalan dengan umat agama lain. Biarkan pengalaman lapangan yang berbicara dan menjadi guru mereka, bukan dialog wacana yang acap hanya ada di kepala. Dengan 'toleransi lapangan' sejak dini itu, 'prasangka laten' yang menjadi faktor utama konflik antar agama sangat mungkin dikikis. Tentu saja, setelah itu tetap penting diinjeksi wacana-wacana yang damai dan toleran.

Dengan ujaran lain, janganlah dialog antar agama digelar dengan mengabaikan keluarga dan anak-anak. Toleransi dan keterbukaan yang sesungguhnya, hanya akan terwujud jika sedari dini keluarga dan anak-anak telah merasakan arti sesungguhnya toleransi dan keterbukaan itu. Untuk itu, toleransi dan keterbukaan harus diberangkatkan dari rumah. Dan, tentu saja, ini butuh kerja keras dengan durasi waktu panjang. Tujuan mulia memang butuh kesungguhan! Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Kamis, 17 Januari 2008)

Monday, January 14, 2008

Ijtihad Kang Husein tentang Presiden Perempuan

Oleh Nurul H. Maarif

NurulKH Husein Muhammad, yang akrab disapa Kang Husein, lahir di Arjawinangun Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1973, ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, tamat tahun 1980. Ia kemudian melanjutkan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Kembali ke Tanah Air pada tahun 1983 dan memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.

Kang Husein aktif dalam berbagai kegiatan, diskusi dan seminar keislaman, terutama seminar-seminar yang membincangkan seputar persoalan agama dan jender, serta isu-isu perempuan lainnya. Ia juga aktif menulis di sejumlah media massa dan menerjemahkan sejumlah buku. Bukunya yang paling sakral adalah Fikih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.

Ia juga aktif di pengembangan wacana LSM Rahima, Puan Amal Hayati, dan sekarang menjabat direktur Fahmina Instutute Cirebon. Bersama teman-temannya, ia juga mendirikan Klub Kajian Bildung. Dan barangkali, karena aktivitasnya yang akrab dengan persoalan keperempuanan, julukan Kiai Yang Pembela Kaum Perempuan memang layak disematkan padanya.

Soal Fikih Presiden Perempuan
Menurut Kang Husein, sampai hari ini belum diketahui pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat kepala negara (setingkat presiden). Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan, syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati seluruh umat manusia di mana dan kapanpun.

Sementara itu, menurut Kang Husein, Wahbah al-Zuhaili mengatakan, laki-laki sebagai syarat seorang imam (kepala negara) sudah menjadi kesepakatan (ijma') para ulama ahli fikih. Wahbah acap menyatakan; "Tidak sah perempuan menduduki jabatan al-imamah al-uzhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah al-balad)."

Menurut Kang Husein, argumen untuk seluruh persoalan peran perempuan di atas, pertama-tama mengacu pada QS al-Nisa' ayat 34. Laki-laki adalah qawwamun atas perempuan, karena Allah Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka.

Para ahli tafsir menyatakan, qawwamun berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Selanjutnya, mereka mengatakan, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.

Sebagai misal, ar-Razi mengatakan, kelebihan itu meliputi dua hal: ilmu pengetahuan (al-'ilm) dan kemampuan fisik (al-qudrah). Akal dan pengatahuan laki-laki, menurut ar-Razi, melebihi akal dan pengetahuan perempuan dan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan keras, laki-laki lebih sempurna. al-Zamakhsyari, pemikir Mu'tazilah terkemuka mengatakan, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-'aql), ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-'azm), kekuatan fisik (al-qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitabah) dan keberanian (al-furusiyyah wa ar-ramyu).

al-Thabataba'i berpendapat, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir (quwwat al-ta'aqqul) yang, karena itu, melahirkan keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional.

Para penafsir lain, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Muhammad 'Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, al-Hijazi, dan lain-lain mempunyai pendapat yang sama. Mereka juga sepakat, kelebihan-kelebihan laki-laki tersebut merupakan pemberian Tuhan, sesuatu yang fitri, yang alami, yang kodrati. Atas dasar semua ini, mereka berpendapat perempuan tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara.

Menurut Kang Husein, dewasa ini pandangan tentang kelebihan-kelebihan tersebut di atas telah terbantahkan dengan sendirinya melalui fakta-fakta riil. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan, telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap sebagai hanya menjadi monopoli kaum laki-laki. Kita juga telah menyaksikan sejumlah perempuan yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik, dan sebagainya. Demikian juga dengan pekerjaan dan profesi.

Realitas ini tentu saja memperlihatkan, bahwa pandangan yang meyakini kealamiahan dan kekodratiahan sifat-sifat di atas tidaklah benar. Yang benar adalah bahwa ia merupakan produk bangunan sosial yang sengaja diciptakan. Pada sisi lain, kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian maju. Kehidupan tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak terus-menerus, dari kehidupan nomaden ke berperadaban, dari kerangka berpikir tradisionalis ke berpikir rasionalis, dari pandangan tekstualitas ke pandangan substansialis, dari ketertutupan ke keterbukaan, dan seterusnya.

"Dengan demikian, bagaimana kita menyikapi ayat di atas?" tanyanya. Menurutnya, ayat di atas kudu dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara popular dikenal dengan peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan.

Menurutnya pula, ayat al-Qur'an yang menempatkan perempuan pada posisi itu dalam masyarakat demikian adalah tepat dan maslahat. Bahkan penyebutan perempuan oleh Tuhan dalam ayat suci merupakan kemajuan luar biasa, jika dibandingkan dengan bagaimana orang-orang Arab pra-Islam memperlakukan kaum perempuan. Perempuan dalam pandangan masyarakat jahili sama sekali tidak mempunyai hak untuk disebut-sebut. Mereka sama sekali dianggap tidak berharga. Ini dengan jelas dinyatakan Umar bin al-Khattab: "Kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru tahu bahwa mereka memiliki hak atas kami."

Adalah watak al-Qur'an bahwa ia memutuskan segala sesuatunya berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis dan ini hanya bisa dilakukan secara gradual. Karena itu, akan menjadi kesalahan besar apabila kita selalu ingin memposisikan perempuan dalam setting budaya seperti itu ke dalam setting sosial dan budaya modern seperti sekarang ini. Hal ini juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Artinya, perempuan dalam masyarakat modern tidak selalu dapat diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat masa lalu itu. Yang menjadi tuntutan al-Qur'an adalah kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Jadi, menurut kang Husein, QS al-Nisa ayat 34 itu tidak lain merupakan bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil yang terjadi saat ayat itu diturunkan.

Kenyataan sosial dewasa ini, sekali lagi, memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektualitas dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, meskipun tangan-tangan hegemonik laki-laki masih berusaha -- melalui kesadaran atau tidak -- untuk mempertahankan superioritas dirinya. Kehebatan intelektual dan profesi adalah dua hal yang menjadi syarat sebuah kepemimpinan dalam berbagai wilayahnya, domestik maupun publik. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik, termasuk menjadi presiden.

Kang Husein juga berpendapat, argumen yang kedua bagi mereka yang tidak menghendaki jabatan publik dipegang perempuan adalah Hadis Rasulullah Saw: "Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan." (HR al-Bukhari). Menurutnya, Ibn Hajar mengatakan, Hadis ini melengkapi kisah Kisra yang telah merobek-robek surat Nabi Saw. Suatu saat ia dibunuh oleh anak laki-lakinya. Anak ini kemudian juga membunuh saudara-saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran bint Syiruyah bin Kisra. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana doa Nabi Saw.

Hadis ini, tegasnya, jelas diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, sebuah informasi yang disampaikan Nabi Saw semata dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Tegasnya, Hadis dari Abu Bakrah ini tidak memiliki relevansi hukum. Menurutnya juga, makna Hadis ini sama sekali tidak dapat dipertahankan jika dihadapkan pada fakta-fakta sejarah yang ada. Sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, kita mengenal Ratu Bilqis, penguasa negeri Saba', seperti diceritakan al-Qur'an. Kepemimpinannya dikenal sukses gemilang dan negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Bilqis mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangannya yang demokratis.

Indira Gandi, Margaret Tatcher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, menurut Kang Husein, adalah beberapa contoh saja dari pemimpin bangsa di masa modern yang relatif sukses. Sebaliknya, terdapat sejumlah besar kepala negara/pemerintahan berjenis kelamin laki-laki yang gagal memimpin bangsanya. Kesuksesan atau kegagalan dalam memimpin suatu bangsa, dengan demikian, tidak ada kaitan sama sekali dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang diterapkan dan kemampuannya memimpin.

Jika demikian, maka Hadis itu harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu yang kepemimpinannya boleh jadi bersifat sentralistik, tiranik, dan otokratik. Hal paling esensial dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas; dua hal yang pada saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan.

Jadi sekali lagi, tegasnya, tidak ada persoalan apakah seorang presiden harus laki-laki atau perempuan. Perempuan dapat menjadi presiden jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, seorang laki-laki tidak layak menjadi presiden, apabila ia dapat membawa kesengsaraan dan penderitaan rakyatnya. Wa Allah a'lam.[]