Monday, December 29, 2008

Renungan Tahun Baru Islam 1430 H:
Menuju Kemanusiaan Berbasis Tauhid

Oleh Nurul H. Maarif*

Kalender Islam (KI) kini telah menapaki usia ke-1430, tepat pada 29 Desember 2008. Itu berarti, peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya KI telah terjadi 14 abad silam (perihal terbentuknya KI, lihat: MM Azami, 65 Sekretaris Nabi, 2008, hal. 24-29). Peristiwa hijrah ini memang klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya terus mengalami kebaruan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan zaman.

Uraian demi uraian yang menggali nilai-nilai adiluhung hijrah terus dilakukan, hatta oleh akademisi nonmuslim. Mutiara dan hikmah kehidupan pun terkuak dengan berbagai cahaya kemilaunya. Sampai-sampai Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1972) menyebut peristiwa ini sebagai “pembuka pintu baru dalam kehidupan politik.” Pasalnya, paska hijrah ini Nabi Saw mencanangkan dasar peradaban yang menghormati martabat dan HAM.

Nabi Saw misalnya, mengakui kebebasan beragama, menyatakan pendapat, jaminan keselamatan harta benda, larangan tindak kejahatan, dan sebagainya. Ini terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas. Tahapan baru kehidupan Nabi Saw ini, oleh Guru Besar Sosiologi Universitas California AS Robert N Bellah, malah disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban. Menurutnya, ini terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu.

Ini baru satu sisi mutiara hijrah Nabi Saw. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik diulas. Namun toh samudera inspirasi itu tak pernah kering. Bahkan terus menyemburkan nilai-nilai baru. Ibarat mutiara, peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung siapa yang memandangnya.

Dan benar saja, hijrah baik dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. M. Abdullah al-Khatib dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, mengisahkan sahabat yang sowan pada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat hijrah telah berakhir.” “Sesungguhnya hijrah tidak ada hentinya, hingga terhentinya tobat. Tobat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” respon Nabi Saw.

Kemanusiaan Berbasis Tauhid
Diantara nilai adiluhung hijrah Nabi Saw, adalah pengajaran prinsip “kemanusiaan berbasis tauhid”. Maksudnya, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesehatan kaum papa, dll), namun berpijak pada ketauhidan yang kukuh. Bukan kemanusiaan yang kering nilai ketauhidan.
Misalnya, sebelum Nabi Saw dan para sahabatnya eksodus ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), sisi ketauhidan lebih dulu ditancapkan di Makkah selama + 13 tahun. Di bumi spiritual Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat ketauhidan yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diniatkan sebagai landasan pacu mengarungi kehidupan ini.

Setelah ketauhidan ini kukuh, barulah Nabi Saw dan para sahabat dititahkan mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Di sana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Yahudi, Nasrani, Watsani (penyembah berhala) dan sebagainya. Lantas dicanangkan tata kehidupan bermasyarakat melalui Piagam Madinah. Di sinilah peran khalifah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah.

Di Madinah yang + 10 tahun ini, ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada si lemah, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi kehidupan di Madinah lebih pada nilai humanisme ketimbang spiritualisme an sich. Namun, nilai kemanusiaan ini baru terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kukuh. Karenanya, menjadi “tak ada makna” bahkan kering, nilai kemanusiaan yang tak dipondasi nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT. Begitupun “tak ada nilai” orang yang percaya wujud Allah SWT tapi acuh pada nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasinya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (Qs. at-Taubah: 20). Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang yang beroleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.

Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi Saw dan bahkan berat ditinggalkan, tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya. Kendati Makkah adalah tempat yang sungguh-sungguh menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di menara gading Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada hijrah Nabi Saw; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.

Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Nabi Saw sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada 12 Ramadhan 8 H. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Nabi Saw tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya.

Akhirnya, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kukuh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. “Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wa Allah a’lam.[]

Jakarta, 24 Desember 2008
*Pengajar YPI Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten

11 Comments:

At 12:58 AM, March 05, 2009, Blogger Ipung said...

Salam kenal,

Dimanakah dulu Mas bersekolah? SMA Subahkah? Saya juga warga Subah dan sekarang tinggal di jakarta. Senang membaca blog anda nan penuh nuansa kontemplasi.

Bolehlah berkunjung ke blog saya sesekali: futnot.blogspot.com

Regards
Ahmad Saiful Huda

 
At 7:13 PM, March 08, 2009, Anonymous Anonymous said...

Salam Juga Kang Saiful.

Wah, ternyata ada juga orang Subah di Jakarta. He...Tapi kini saya tidak lagi di Jakarta, melainkan di Banten. Mengabdi untuk orang kampung. He...

Saya sekolah MTs-nya di Kemiri. Mungkin Kang Saiful tahu. Aliyah di Cirebon. Dan terus ke Barat. Dan, kini mentok di Banten. Semoga bisa istiqamah.

Kang Saiful alumni mana? Seneng juga saya bisa mengunjungi blog Kang Saiful yang bertaburan puisi itu. Sukses. Tq.

Nurul H. Maarif

 
At 8:32 AM, November 09, 2009, Blogger mz arifin said...

MENGAPA TAK AKTIF LAGI?

 
At 11:47 AM, December 06, 2009, Anonymous Anonymous said...

D tunggu loh karya2 ustad yg lain_~coz i have been enjoying it_~

 
At 7:11 PM, December 11, 2009, Anonymous Anonymous said...

salam...mas arifin yang baik...tak aktif lagi, ini soal "hijrah" juga. hee..saya dulu di jakarta tiap menit berinternet,,,kini hijrah ke kampung mengabdikan diri untuk orang lain, dengan konsekuensi jauh internet,,,dan dengan sadar saya memilih pengabdian dengan mengorbankan hal lain itu...mohon doanya dan semoga kelak lancar lagi berblog,,,amin..nhm

 
At 8:49 PM, December 11, 2009, Anonymous Anonymous said...

Amiin2 ya robbal 'alamin_d kampung juga bisa ko tiap menit internetan,coz saya juga d kampung nih_~

 
At 9:59 PM, December 13, 2009, Anonymous Anonymous said...

iya, harusnya sekarang gak ada beda antara kota ma kampung...tapi tetap aja sih ada beda..mas arifin di mana? pakai emali saja ya..emailku nurulhudamaarif@gmail.com sesekali lihat blog kami mas...www.pondokbacaqifalah.blogspot.com...kami tengah ngembangin taman baca di kampung..nhm

 
At 10:13 PM, December 13, 2009, Anonymous Qiqi said...

Assalamu'alaikm,maaf sebelumnya ngoment tanpa identitas.yg d kampung tuh bukan mas arifin,tapi saya.sekali lg minta maaf_perpusnya nyatu ama pondok atau terpisah,dah berapa santri d sana??_kapan2 kLo ada waktu kesana(insyaALLAH).Oh ya..quthrotul falah artinya tetesan kebahagiaan apa kemenangan?_soalnya baca d profilnya artinya tetesan kebahagian.afwan.Qiè

 
At 2:53 AM, December 19, 2009, Anonymous Anonymous said...

waalaikumussala..ini mas apa mbak? domisili di mana? mangga silahkan main-main..pondok baca kami di bawah naungan yayasan..namun kami kelola secara mandiri tanpa keterlibatan yayasan, baik dari sisi program maupun penganggaran...ditunggu kehadirannya..tq

 
At 5:28 AM, December 21, 2009, Anonymous Maryam said...

3 jum'at g kul, hmmm...berat rasanya¤wah pak nurul punya taman baca toh_jadi pengen tau,hi hi hi_~

 
At 12:16 AM, December 23, 2009, Anonymous Qiqi said...

Mas boleh,mba juga boleh.gmn enaknya aja,he2.d banten,Sama kya mas nurul.klo boleh tau alamat perpusnya d mana yah??

 

Post a Comment

<< Home