Wednesday, August 23, 2006

AL-QUR'N AL-KARIM WA TAFSIRUH (al-Qur'an dan Tafsirnya Depag RI)

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulI. MUKADDIMAH
Pemerintah yang baik, adalah pemerintah yang memahami kebutuhan masyarakatnya. Mereka lapar, pemerintah paham untuk menyediakan bahan makanan. Mereka bodoh, pemerintah paham untuk menyediakan pendidikan. Mereka sakit, pemerintah paham untuk menyediakan pengobatan. Termasuk ketika mereka membutuhkan ‘alat’ praktis pentafsir al-Qur’an (baca: kitab tafsir) dengan bahasa lokal Indonesia, pemerintah juga paham untuk menyediakannya. Itulah ‘sosok’ ideal pemerintah, yang mencerminkan kaidah fikih sayyid al-qaum khadimuhum.
Dalam kontek penyediaan ‘alat’ praktis pentafsir al-Qur’an itu, pemerintah Indonesia, zaman Orde Baru, paham untuk menyediakan kitab tafsir yang akan membantu masyarakat muslim Indonesia untuk memahami kitab sucinya. Untuk itu, pada tahun 1965 diterbitkanlah al-Qur’an dan Terjemahnya yang proses pembuatan dan penerbitannya difasilitasi pemerintah melalui Departemen Agama Republik Indonesia. Kemudian tahun 1972, masih melalui tangan Departemen Agama Republik Indonesia, pemerintah membentuk Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang berhasil menyusun al-Qur’an al-Karim wa Tafsiruhu atau al-Qur’an dan Tafsirnya.
Kedua upaya riil itu tentu sangat baik sebagai bagian dari program mencerdaskan bangsa. Hanya saja, dengan catatan, melalui dua karya itu pemerintah tidak lantas mendikte masyarakat muslim untuk menjadi hambanya. Setidaknya asumsi dan kekuatiran inilah yang selalu menyertai keberadaan dua karya di atas. Karya yang oleh banyak orang dinilai sebagai alat pemerintah Orde Baru untuk mendikte kelompok-kelompok muslim di negeri ini. ‘Ala kulli hal, yang pasti, upaya pemerintah itu tidak bisa dinilai sebagai tidak berguna sama sekali.
Untuk itulah, makalah sangat sederhana ini berupaya memotret sejauh mana kemanfaatan, kelebihan, kekurangan, termasuk situasi ekonomi-politik Orde Baru yang melingkupi pembuatan kedua karya itu, terutama al-Qur’an dan Tafsirnya.

II. IDENTIFIKASI FISIK
a. Judul
Karya tafsir berbahasa Indonesia yang akan menjadi pembahasan ini berjudul lengkap al-Qur’an wa Tafsiruh yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi al-Qur’an dan Tafsirnya.
b. Penyusun
Karya tafsir ini disusun oleh tim yang disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an (edisi lama) dan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI (edisi yang disempurnakan). Kedua tim penyusun ini perlu dibedakan, karena keduanya memiliki tugas berbeda. Tim pertama memang bertugas untuk menulis, sedang tim kedua (hanya) bertugas menyempurnakan hasil tulisan tim pertama.
c. Jilid
Baik yang edisi lama maupun edisi yang disempurnakan, seluruhnya terdiri 10 jilid dengan perincian setiap jilidnya terdiri 3 juz.
d. Pencetakan
Pencetakan pertama al-Qur’an dan Tafsirnya dilakukan pada 1975 berupa jilid I yang memuat juz 1 hingga juz 3. Setiap jilid tak kurang dari 450 halaman. Kemudian menyusul pencetakan jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya. Pencetakan secara lengkap, 30 juz, baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Sementara pencetakan edisi yang disempurnakan dilakukan oleh Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI; dan para pengusaha penerbitan mushaf al-Qur’an di Indonesia.
Untuk saat ini, setelah diterbitkannya KMA No. 280 Tahun 2003 baru selesai dicetak 4 jilid yang setiap jilidnya berisi 3 juz. Ini sesuai target yang setiap tahun hanya akan menyempurnakan 6 juz. Dan pada saatnya nanti akan dicetak utuh pada 2007 sembari menunggu koreksian dan masukan dari masyarakat. Perinciannya sebagai berikut: tahun 2004 telah selesai dicetak 2 jilid (juz 1-6) dan tahun 2005 telah selesai dicetak 2 jilid selanjutnya (juz 7-12).
e. Penerbitan dan Pembiayaan
Untuk penerbitan perdana, sengaja dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan guna memperoleh masukan yang lebih luas dari unsur masyarakat, antara lain, ulama dan pakar tafsir al-Qur’an, pakar Hadis, pakar sejarah, pakar Bahasa Arab, pakar IPTEK, dan pemerhati terjemah dan tafsir al-Qur’an.
Masukan dimaksud berupa koreksian dan tambahan penyempurnaan atas al-Qur’an dan Tafsirnya edisi 2004 ini sebelum dilakukan penerbitan secara massal oleh Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departeman Agama RI dan pengusaha penerbitan mushaf al-Qur’an di Indonesia.
f. ISBN dan lain-lain
Masing-masing jilid memiliki ISBN tersendiri. Dan jilid yang utuh ber-ISBN 979-3843-01-2. Untuk edisi yang disempurnakan, setiap jilid terdiri dari pedoman transliterasi Arab-Latin, daftar isi, sambutan Menag RI, sambutan Kepala Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag, sambutan Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Depag, kata pengantar Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag dan sebagainya.


III. LANDASAN FILOSOFIS PEMBUATAN
Seperti ditulis oleh sekretaris Tim Penyempurnaan Tafsir Depag RI, M. Shohib Tahar dalam artikelnya Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, ide penulisan Tafsir Departemen Agama dilandasi oleh komitmen Depag untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang Kitab Suci. Setelah berhasil menyusun al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak pertama kali pada tahun 1965, Depag lalu menyusun al-Qur’an dan Tafsirnya dengan harapan dapat membantu umat Islam untuk lebih memahami kandungan Kitab Suci al-Qur’an secara mendalam.
Dengan demikian, penulisan tafsir ini merupakan kegiatan atau proyek lanjutan dari penyusunan al-Qur’an dan Terjemahnya. Karenanya, kegiatan penyusunan al-Qur’an dan Tafsirnya ini, secara politik merupakan salah satu proyek pemerintah Orde Baru , dalam pembangunan lima tahun (Pelita) yang dimulai sejak pertengahan Pelita Pertama dan baru selesai pada pertengahan Pelita Kedua.
Menteri Agama RI M. Maftuh Basyuni, dalam sambutannya untuk penerbitan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI edisi yang disempurnakan 2004, juga menegaskan bahwa ide penulisan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kitab suci, dengan harapan akan dapat membantu umat Islam untuk memahami kandungan Kitab Suci al-Qur’an secara lebih mendalam. Dan komitmen pemerintah itu terlaksana pada masa Menteri Agama KH Ahmad Dahlan (1967-1973).
Dikatakannya juga, kehadiran tafsir al-Qur’an sebagaimana terjemah al-Qur’an sangat penting bagi masyarakat Indonesia, karena al-Qur’an yang dalam bagasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam di Indonesia. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci, al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya oleh umat Islam Indonesia agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah, sejak semula Pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap terjemah al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an dengan terus mengusahakan terjemah al-Qur’an maupun tafsir al-Qur’an yang diterbitkan melalui Depag RI.
Diakui Menag M. Maftuh Basyuni, kendati kehadiran tafsir ini sangat membantu masyarakat muslim Indonesia untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap disadari bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud sebenarnya ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini, menurutnya, disebabkan beberapa faktor. Dan faktor yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis maksud al-Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah).
Yang pasti, usaha apapun dan oleh siapapun, yang filosofi awalnya memang untuk membantu umat Islam di Indonesia untuk kian mendekatkan diri pada Kitab Sucinya, lebih menghayati untuk mengamalkannya, maka usaha itu sangat mulia dan patut diberi apresiasi tinggi, terlepas dari kekurangan yang ada. Sebab, kekurangan adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan pentafsir itu sendiri. Selain itu, usaha yang dirintis di tengah “ketidakpedulian” banyak pihak di negeri ini, juga menjadi point tersendiri yang tak boleh dilupakan.

IV. SITUASI POLITIK
Menurut Howard M Federspiel, dalam Kajian al-Qur’an di Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya ini secara riil disusun sebagai bagian dari program rezim Orde Baru. Secara politik, masa Orde Baru itu sendiri terbagi menjadi dua periode. Periode pertama yang berakhir 1974. Periode ini ditandai dengan, 1) pemerintah melakukan negosiasi kembali tentang utangnya ke negara-negara lain. 2), badan penasehat, yaitu suatu badan parlementer yang merumuskan tujuan jangka panjang bagi bangsa Indonesia menyusun kebijakan seterusnya yang mendukung pembangunan spiritual untuk mengimbangi pembangunan fisik dalam meningkatkan tarap ekonomi. Periode kedua, sejak tahun 1978 yang ditandai oleh stabilitas politik dan keberhasilan dalam bidang infrastruktur bagi sistem ekonomi yang maju.
Beberapa waktu kemudian, Mukti Ali, yang kemudian menjadi Menteri Agama RI, mengemukakan pandangan para aktivis muslim yang menyetujui kerjasama antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam dalam pembangunan nasional. Dalam bukunya yang berjudul Agama dan Pembangunan di Indonesia, Mukti Ali menyuarakan pentingnya para ulama berada di barisan depan dalam gerakan moral untuk mempromosikan nilai-nilai yang positif tentang pembangunan nasional. Pandangan tersebut merefleksikan posisi pemerintah atau peranan para guru agama dalam menunjang pembangunan.
Secara ringkas juga dapat dijelaskan, pembangunan bidang keagamaan yang telah mendorong kemajuan pada periode ini merangsang pemerintah untuk terlibat secara langsung dalam penerbitan buku-buku teks. Maka ditunjuklah sebuah badan yang menghasilkan dua karya. Pertama, al-Quran dan Terjemahnya. Para anggota tim yang mempersiapkan al-Qur’an dan Terjemahnya adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Bustami A. Gani, Muchtar Yahya, Toha Jahya Omar, A. Mukti Ali, Kamal Muchtar, Gazali Thaib, A. Musaddad, Ali Maksum, dan Busjairi Majidi. Kedua, al-Quran dan Tafsirnya. Para anggota tim penterjemah itulah yang mempersiapkan penyusunan al-Quran dan Tafsirnya.
Namun demikian, ada dugaan lain bahwa di balik “kebaikan” Orde Baru yang seakan mengerti kemauan umat Islam di Indonesia, itu ternyata ada ketakutan-ketakutan politis yang menghantuinya. Ketakutan-ketakutan itu misalnya, pertama, munculnya radikalisme Islam yang akan berjuang membentuk negara Islam Indonesia sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kedua, tampilnya kembali partai-partai politik Islam dalam percaturan politik nasional. Ketiga, kekhawatiran merebaknya isu primordialisme di tengah masyarakat, termasuk masalah primordialisme agama. Keempat, isu tentang negara Islam dan Piagam Jakarta.
Tentu saja, jika kekuatiran pemerintah Orde Baru itu benar-benar terjadi, maka itu akan menjadi bencana bagi kelangsungan pemerintah Orde Baru sendiri. Bahkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan keberbangsaan di negeri ini, yang sangat “didewakan” oleh Orde Baru, terancam tereliminasi untuk kemudian digantikan ideologi tunggal: Islam. Padahal sejatinya, pluralitas masyarakat Indonesia, baik agama, etnik, budaya, dan sebagainya, tidak bisa diatur oleh ideologi yang sectarian dan tunggal.
Diakui juga oleh Howard M. Federspiel, dengan berakhirnya masa Soekarno, kelompok politik muslim yang mendukung Islam sebagai dasar negara mengharapkan pemunculan kembali pembicaraan-pembicaraan tersebut. Namun, pemerintah Soeharto secepatnya menjelaskan bahwa UUD 1945 akan tetap dan bahwa Pancasila akan terus menjadi dasar dan falsafah negara. Sekalipun demikian, pemerintah Soeharto memberikan interpretasi baru atas Pancasila dan UUD 1945 yang mendukung upaya-upayanya dalam menyusun dan membangun kembali negara dan ekonomi nasional. Pada saat itu telah terjadi pembenahan partai politik dimana jumlah peserta pemilih menjadi tiga parpol.
Dengan rampungnya al-Quran dan Terjemahnya dan al-Quran dan Tafsirnya, menurut Howard M. Fiderspiel, sejumlah target telah terpenuhi. Pertama, pembuatan tafsir-tafsir tersebut menjadi bagian dari rencana pembangunan pemerintah lima tahunan dari pemerintah pusat, dan telah dianggap oleh masyarakat Islam sebagai bukti bahwa negara telah terlibat dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Kedua, para cendekiawan dari berbagai IAIN telah dilibatkan dalam penerjemahan dan penafsirannya, memperlihatkan kedewasaan dan kemampuannya sebagai para ahli tafsir. Ketiga, Departemen Agama telah merencanakan untuk menciptakan standar-standar dalam pembuatan tafsir dan terjemahnya lebh lanjut, dan kedua tafsir tersebut telah memenuhi harapan itu. Keempat, satu kelompok bangsa Indonesia dari dan luar pemerintah yang disebut “Muslim-Nasional”, telah menginginkan agar pandangan ideologi mereka akan bisa dijelaskan melalui pembuatan tafsir-tafsir tersebut.
Dituliskan oleh Adang Kuswaya, dalam makalahnya Menimbang Tafsir Depag R.I: Telaah Penafsiran Surat al-Fatihah, setelah mengamati situasi sosio-politik yang melatarbelakangi terbentuknya Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Quran Depag, dirinya menganggap bahwa usaha itu adalah sebagai salah satu upaya pemerintah mengobati dan meredam kemarahan yang “diderita” kelompok Islam dan sekaligus ingin membuktikan bahwa pemerintah peduli pada masalah agama. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Orde Baru itu sebenarnya upaya untuk menciptakan tafsir resmi yang dapat mengarahkan para guru dalam menyesuaikan pelajaran-pelajaran al-Quran dengan perkembangan dunia modern.

V. KMA-KMA DAN PERIODE PENYEMPURNAAN
a. KMA-KMA
Sebagai kelanjutan dari terbitnya al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI pada tahun 1965 (pada masa Menag KH Saifuddin Zuhri-1962-1966), Menteri Agama KH Ahmad Dahlan (1967-1973) membentuk Tim Penyusun al-Qur’an dan Tafsirnya yang disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972.
Seiring perjalanan waktu, KMA No. 90 Tahun 1972 yang baru berjalan setahun itu direvisi oleh KMA No. 8 Tahun 1973. Melalui KMA ini, susunan Tim Penyusun al-Qur’an dan Tafsirnya mengalami perubahan, dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian: Ketua: Prof. H. Bustami A. Gani. Wakil Ketua: Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sekretaris I: Drs. Kamal Mukhtar. Sekretaris II H: Gazali Thaib. Anggota: K.H. Syukri Ghozali, Prof Dr. H.A. Mukti Ali, Prof H.M.Toha Yahya Omar, K.H.M. Amin Nashir, H.A. Timur Jailani M.A., Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML, K.H. A. Musaddad, Prof. H. Mukhtar Yahya, Prof. R.H.A. Soenarya S.H., K.H. Ali Maksum, Drs. Busyairi Majdi, Drs. Sanusi Latif, dan Drs. Abd. Rahim.
KMA ini pun selanjutnya disempurnakan oleh KMA RI No. 30 Tahun 1980 pada masa Menag Mayjen Alamsjah Ratuprawiranegara (1978-1983) – pencetus trilogi kerukunan umat beragama – dengan ketua baru Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian; Ketua: Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML. Wakil Ketua: KH Syukri Ghazali. Sekretaris: R.H. Hoesein Thoib. Anggota: Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. Dr. KH. Muchtar Yahya, Drs. Kamal Muchtar, Prof. KH. Anwar Musaddad, KH Sapari, Prof. KH. M. Salim Fachri, KH. Muchtar Lutfi el-Anshari, Dr. J.S. Badudu, KH. M. Amin Nashir, H. A. Aziz Darmawijaya, KH. M. Nur Asjik, MA, dan KH. A. Razak.
Berdasarkan tanggapan dan saran dari berbagai pihak masyarakat untuk menyempurnakan al-Qur’an dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama lantas menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003. KMA yang dimunculkan pada masa Menteri Agama Prof. Dr. KH. Said Aqil Husein al-Munawwar ini berisi mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian; Pembina: Menag Agama. Penasihat: KH HA Sahal Mahfudz, Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H. Kamal Muchtar, dan KH. M. Syafii Hadzami. Konsultan Ahli/Narasumber: Prof. Dr. H. Said Aqil Husin al-Munawwar, MA., Prof. Dr. H . M. Quraish Shihab, MA. Pengarah: Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar (Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan), Drs. H. Fadhal AR. Bafadal M.Sc (Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an). Ketua: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA. Wakil Ketua: Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Sekretaris: Drs. HM. Shohib Tahar, MA. Anggota: Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., Prof. Dr. H. Salman Harun, MA., Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, Dr. H. Muslih Abdul Karim, Dr. H. Ali Audah, Drs. H. Agus Salim Dasuki, M.Eng., Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. HM. Salim Umar, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, Drs. H. Sibli Sardjaja, LML, Drs. H. Mazmur Sya’roni dan Drs. Syatibi AH.
b. Periode Penyempurnaan
Sejak diterbitkan secara lengkap pada 1980, sebenarnya penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI terus-menerus dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an-Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan yang agak luas pernah dilakukan pada 1990 pada masa Menag Munawwir Syadzali (1983-1993). Hanya saja, saat itu tidak mencakup perbaikan secara substansial melainkan hanya pada aspek kebahasaan.
Dan perbaikan yang lebih luas baru dilakukan pada masa Menag Prof. Dr. KH. Said Aqil Husein al-Munawwar setelah terbit KMA No. 280 Tahun 2003 yang diawali dengan digelarnya Musyawarah Kerja Ulama Ahli al-Qur’an yang berlangsung 28-30 April 2003 dan dihadiri 56 peserta, baik ulama, akademisi, pakar ilmu sosial, kedokteran atau pemerhati.
Adapun aspek penyempurnaan dalam KMA RI No. 280 Tahun 2003 ini, sebagaimana dipaparkan ketua timnya, Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad, meliputi;
b.1. Judul. Sebelum memulai penafsiran, tulis ketua tim, ada judul yang disesuaikan dengan kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan. Dalam tafsir penyempurnaan, perbaikan judul itu dilakukan dalam kontek struktur bahasanya. Terkadang tim juga mengubah judul jika dirasa perlu. Ini misalnya karena judul awal dinilai kurang sesuai dengan kandungan ayat-ayat yang ditafsirkan.
b.2 Penulisan kelompok ayat. Dalam penulisan kelompok ayat ini, tulis ketua tim, rasm yang digunakan adalah rasm mushaf standar Indonesia yang telah banyak beredar dan juga mushaf yang ditulis ulang yang diwakafkan oleh Yayasan Iman Jama’ kepada Depag RI untuk dicetak dan disebarluaskan. Hanya saja, jika kelompok ayatnya terlalu panjang, maka tim merasa perlu membagi kelompok ayat dimaksud menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok diberikan judul baru.
b.3. Terjemah. Dalam menerjemahkan kelompok ayat, tulis ketua tim, terjemah yang dipakai adalah al-Qur’an dan Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Depag RI pada 2004.
b.4. Kosakata. Pada al-Qur’an dan Tafsirnya yang lama, tulis ketua tim, tidak ada penyertaan kosakata ini. Dalam edisi penyempurnaan ini, tim merasa perlu mengetengahkan unsur kosakata. Dalam penulisan kosakata, yang diuraikan terlebih dulu adalah arti kata dasar dari kata dimaksud, lalu diuraikan pemakaian kata itu dalam al-Qur’an dan kemudian mengetengahkan arti yang paling pas untuk kata itu pada ayat yang sedang ditafsirkan. Jika kosakata itu diperlukan uraian yang lebih panjang maka diuraikan, sehingga memberi pengertian yang utuh.
b.5. Munasabah. Sebenarnya, tulis ketua tim, ada beberapa bentuk munasabah atau keterkaitan antara ayat dengan ayat atau antara surah dengan surah. Misalnya munasabah antara satu surah dengan surah berikutnya, munasabah antara awal surah dengan akhir surah, munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya, munasabah antara satu ayat dengan ayat berikutnya, dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Dan yang dipergunakan dalam tafsir ini hanya dua jenis munasabah, yaitu munasabah antara satu surah dengan surah sebelumnya dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat sebelumnya.
b.6. Sabab al-Nuzul. Dalam penyempurnaan tafsir ini, tulis ketua tim, sabab al-nuzul dijadikan sub tema. Jika dalam kelompok ayat ada beberapa riwayat tentang sabab al-nuzul, maka sabab al-nuzul pertama dijadikan sub judul. Sedangkan sabab al-nuzul berikutnya cukup diterangkan dalam tafsirnya saja.
b.6. Tafsir. Secara garis besar, tulis ketua tim, penafsiran yang ada tidak banyak mengalami perubahan, karena masih cukup memadai. Kalaupun ada perbaikan, maka lebih pada perbaikan redaksi, menulis ulang penjelasan yang telah ada tanpa mengubah makna, meringkas uraian yang telah ada, membuang urian yang tidak perlu atau uraian yang berulang-ulang, membuang uraian yang tidak terkait langsung dengan ayat yang sedang ditafsirkan, mentakhrij Hadis atau ungkapan yang belum ditakhrij, dan atau mengeluarkan Hadis yang tidak sahih.
b.7. Kesimpulan. Tim, tulis ketua tim, juga melakukan perbaikan kesimpulan. Karena tafsir ini bercorak hida’i, maka dalam kesimpulan akhir, tafsir ini juga berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang telah ditafsirkan. Benarkah kesimpulan itu telah sesuai konsep corak hida’i, barangkali hanya pembaca yang dapat menilainya.
Pengindekan juga merupakan kreasi baru yang dapat kita temukan pada al-Qur’an dan Tafsirnya edisi yang disempurnakan. Kendati pengindekan itu tidak dilakukan oleh Tim Penyempurnaan Tafsir Depag, melainkan oleh pihak percetakan, tetap saja menurut penulis ini menjadi sub yang tak kalah penting untuk diapresiasi. Menariknya, setiap jilid selalu menampilkan pengindekan itu, sehingga akan sangat memudahkan pembaca menemukan tema atau kata tertentu yang sedang dicarinya di dalam tafsir Depag ini.

VI. EDENTIFIKASI METODOLOGIS
Sebagian ulama menyamakan antara manhaj dengan tahariqah, dan sebagian lain membedakannya. Tidak terlalu penting dibahas secara detail siapa yang menyamakan dan siapa yang membedakan, karena tulisan ini tidak diniatkan untuk mengulas secara panjang-lebar penyamaan atau pembedaan itu. Hanya saja dalam makalah ini, untuk memudahkan, penulis lebih cenderung membedakannya dengan pembedaan yang sangat simpel, yaitu bahwa manhaj cakupannya lebih luas ketimbang thariqah.
Pertama, manhaj. Manhaj dalam keilmuan tafsir acapkali dibedakan menjadi dua, al-tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-naqli dan al-tafsir bi al-ma’qul. Menurut Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, dalam karyanya Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, al-tafsir bi al-ma’tsur memang diperhadapkan secara konfrontatif pada al-tafsir bi al-ma’qul. Jika yang pertama lebih cenderung mengandalkan nukilan dari riwayat, sebaliknya yang kedua cenderung mengandalkan akal. Namuan demikian, sebetulnya kategorisasi binner seperti ini tidaklah mutlak. Karena yang pertamapun tak berarti meninggalkan akal sepenuhnya dan sebaliknya yang kedua juga tidak berarti meninggalkan nukilan riwayat sepenuhnya. Karenanya, kategorisasi itu harus dimaknai dalam kontek dominitas (mana yang dominan) dalam sebuah karya tafsir.
Dan dalam kontek tafsir Depag, penulis mengkategorikannya sebagai ber-manhaj al-tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-naqli. Ciri-ciri tafsir ini misalnya, bisa dilihat dari mashadir-nya, yaitu a), ma shahha min al-ahadits al-marfu’ah ila rasulillah shalla Allah ‘alaih wa sallam. b), ma shahha ‘an al-shahabah min aqwalin ma’tsuratin fi al-tafsir. c), ma shahha min aqwal al-tabi’in.
Ada juga yang menyatakan, al-tafsir bi al-ma’tsur bercirikan tafsir al-qur’an bi al-Qur’an, tafsir al-Qur’an bi al-sunnah, dan al-Qur’an bi aqwal al-shahabah. Sementara untuk tafsir al-Qur’an bi aqwal al-tabiin tampaknya masih terjadi perdebatan panjang yang berkutat pada: apakah aqwal al-tabiin bisa dinilai sebagai ma’tsur atau tidak.
Kedua, thariqah. Jika menggunakan analisis Abd al-Hayy al-Farmawi, maka thariqah al-tafsir bisa dibedakan menjadi empat; tahlili, ijmali, muqara(i)n dan maudhu’i. Dan menurut hemat penulis, ciri-ciri yang ada pada tafsir Depag lebih pas dengan ciri-ciri tahlili, yaitu thariqah yang menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai urutan suratnya, dari awal surat hingga surat pemungkas.
Ketiga, laun. Menurut penelitian M. Shohib Tahar, tafsir Depag bercorak tafsir sunni. Sementara menurut Pedoman Penyempurnaan Tafsir 2003, tafsir Depag bercorak ijtima’i/tarbawi. Sedangkan berdasarkan pengakuan Ketua Tim Penmyempurnaan al-Qur’an, tafsir Depag ini bercorak hida’i. Bagi penulis sendiri, tidak masalah sebuah karya tafsir terdiri dari berbagai corak. Karena sejauh ini, ternyata tidak ada corak yang tunggal. Yang ada hanya corak yang dominan dan yang tidak dominan. Sebagai tafsir bercorak hida’i misalnya, tafsir Depag ini selalu menampilkan kesimpulan akhir yang tampaknya sebagai upaya mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat bersangkutan.
Keempat, isi/kandungan. Sebagai karya tafsir yang utuh menafsirkan seluruh ayat al-Quran, sudah pasti seluruh aspek yang ada di dalamnya tak luput untuk ditafsirkan. Karenanya, di dalamnya terkandung persoalan akidah, fikih, akhlak, tasawwuf, isyarat-isyarat ilmu pengetahuan seperti tehnologi, ekonomi, sosial, budaya, sejarah, dan sebagainya. Hanya, tentu saja porsi penafsiran atas bidang-bidang itu tidak sepenuhnya sama. Ada yang ditafsirkan secara panjang lebar, seperti persoalan fikih dan akidah, dan sebaliknya ada juga yang dielaborasi seperlunya, seperti masalah ilmu pengetahuan atau ekonomi.
Kelima, model pengulasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut hemat penulis, tafsir Depag sangat sistematis. Ini bisa dilihat melalui cara tafsir ini mengulas sebuah ayat. Misalnya, pengulasan ayat ditempuh dengan memberi sub-sub bab secara spesifik; tema ayat, terjemah (ditulis italic), kosakata, munasabah (jika ada), sabab al-nuzul (jika ada), tafsir, dan kesimpulan. Dengan model pengulasan demikian, pembaca akan sangat termudahkan. Orang yang hendak mencari terjemah, bisa langsung merujuk pada sub bab terjemah. Yang berhasrat mencari makna kata, bisa langsung merujuk pada sub bab kosakata. Yang hendak mengetahui tafsir, munasabah, sabab al-nuzul atau bahkan langsung ingin mengetahui kesimpulan, maka tinggal merujuk pada sub bab yang diinginkan. Inilah kelebihan dan kemudahan yang dimiliki tafsir Depag.

VII. KETERPENGARUHAN
Menurut Adang Kuswaya, dalam tulisannya Menimbang Tafsir Depag RI: Telaah Penafsiran Surat al Fatihah, al-Qur’an dan Tafsirnya banyak terpengaruh, antara lain, oleh Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1952 M), Tafsir Mahasin al-Ta’wil karya Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (w. 1914 M), Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tafshil karya al-Baidhawi (w. 1291 M), Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 1373 M), Fi Dhilal al-Quran karya Sayyid Quthb (w. 1966 M), al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, dll. Bahkan menurut M. Sohib Tahar, dalam tulisannya Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, setidaknya 60 literatur dari berbagai aliran dan faham digunakan sebagai referensi untuk edisi revisinya.
Menurut penulis, rujukan yang digunakan oleh tim penyempurnaan tafsir Depag RI jauh lebih kaya ketimbang yang digunakan oleh tim-tim sebelumnya, kendati ada beberapa kitab rujukan yang sama. Karena itu, berdasarkan referensi yang digunakan, penulis akan berusaha melakukan klasifikasi rujukan-rujukan itu ke dalam beberapa kategori.
Pertama, rujukan kitab tafsir. Misalnya, Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan, Tafsir al-Qur’an al-Jalil Haqaiq al-Ta’wil karya Ahmad Abdullah, Ruh al-Ma’ani karya Syihab al-Din al-Sayyid al-Alusi, Tafsir al-Khazin karya Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Abdullah bin Umar al-Baidhawi (w. 1291 M), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karya Abu Thahir al-Fairuzabadi, al-Tafsir al-Kabir karya al-Fakhr al-Razi, al-Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud al-Hijazi, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad al-Jashshash, Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1952 M), Mahasin al-Ta’wil karya Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi (w. 1914 M), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Aisar al-Tafasir karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil karya Abdullah al-Nasafi, Shafwah al-Tafasir dan Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam keduanya karya Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir al-Bayan dan Tafsir al-Nur keduanya karya Hasbie al-Shiddiqie, Fath al-Qadir karya Muhammad bin Ali al-Syaukani, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Abu Ja’far al-Thabari, al-Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili, al-Kasysyaf karya Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakr Muhammad bin Abdullah Ibnu al-Arabi, Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 1373 M), Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya Nidham al-Din al-Naisapuri, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Thanthawi Jauhari, Kalimat al-Qur’an al-Tafsir wa al-Bayan dan Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an keduanya karya Hasanain Muhammad Makhluf, Tafsir Taysir al-Rahman karya Abd al-Rahman Nasir, Fi Dhilal al-Quran karya Sayyid Quthb (w. 1966 M), Talkhish al-Bayan fi Majazat al-Qur’an karya al-Saif al-Radhi, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus.
Kedua, rujukan kitab ‘ulum al-Qur’an. Misalnya, I’jaz al-Qur’an karya Sayyid Muhammad al-Hakim, Mabahits fi Ulum al-Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qaththan, Tsalats Rasail fi I’jaz al-Qur’an karya al-Rummani dkk, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad Ali al-Shabuni, al-Itqan karya Jalal al-Din al-Suyuti, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad Abd al-‘Adhim al-Zurqani, Min Balagh al-Qur’an karya Ahad Badawi, Min Nasamat al-Qur’an karya Ghassan Hamdun, al-Qur’an wa I’jazuhu wa al-‘Ilm karya Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jizat al-Qur’an wa al-Tarqim karya Abd al-Razaq Naufal, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an karya Subhi al-Shalih, Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab, dan I’jaz al-Qur’an al-Bayani karya Hifni Muhammad Syarif.
Ketiga, rujukan kitab mu’jam. Misalnya, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi dan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits karya AJ Wensinck.
Keempat, rujukan kitab mufradat. Misalnya, al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad Syarif al-Jurjani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfihani, dan Kamus Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta.
Kelima, rujukan kitab Hadis. Misalnya, Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Musnad al-Imam Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, dan Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi.
Keenam, rujukan kitab terjemah al-Qur’an. Misalnya, the Holy Qur’an karya Abdullan Yusuf Ali, al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI, dan the Glorious Koran karya Pickthall Marmaduke.
Ketujuh, rujukan kitab sejarah. Misalnya, Tarikh Tasyri’ al-Islami karya Khudhari Beik, Hayah Muhammad karya Muhammad Husein Haikal, al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, Tarikh al-Qur’an karya Abdusshabur Syahin, dan Dairah Ma’arif al-Qarn al-Isyrin karya Muhammad Farid Wajdi.
Ketujuh, rujukan kitab sabab al-nuzul. Misalnya, Asbab al-Nuzul karya Ali bin Muhammad al-Wahidi.
Dengan klasifikasi di atas, bisa dilihat bahwa tafsir Depag secara teologis kental aspek kesuniannya dengan asumsi semua rujukan dinukil dari brangkas kelompok Sunni. Bahkan dari segi sufisme juga Sunni. Fikihpun kental kesuniannya. Inilah pentingnya melakukan klasifikasi sumber rujukan yang digunakan tafsir ini.

VIII. KASUS PENAFSIRAN
a. Tentang al-Islam (Qs. Ali Imran ayat 19)

KEESAAN DAN KEADILAN ALLAH SERTA AGAMA YANG DIRIDAINYA

•                            

Terjemah
(19). Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Kosakata:
Baghyan (3: 19)
Akar katanya بغى yang mempunyai arti dasar tuntutan untuk melampaui batasan-batasan yang telah ditentukan. al-Baghyu biasa dipergunakan untuk dua pengertian, salah satunya digunakan untuk hal-hal terpuji, seperti melampaui batasan definisi perbuatan yang adil kepada yang ihsan atau mengerjakan sesuatu yang lebih dari sekedar kewajiban, seperti perbuatan-perbuatan yang disunahkan. Sedangkan pengertian al-baghyu yang kedua digunakan pada hal-hal tercela, seperti perbuatan yang melampaui batas-batas yang hak, yaitu perbuatan yang batil, diantaranya takabur, berbuat kerusakan, zalim, dengki dan sebagainya, secara garis besar setiap hal yang melewati batas kewajaran tertentu.

Munasabah
Dalam ayat-ayat yang lalu diterangkan kesesatan orang-orang kafir disebabkan mereka sangat dipengaruhi oleh harta dan anak-anak, sifat takwalah yang menyelamatkan manusia dari pengaruh harta benda itu. Maka dalam ayat-ayat ini diterangkan dasar-dasar ketauhidan yang menjadi sumber dari takwa tersebut, dasar agama yang benar yakni agama Islam.

Tafsir
(19) Agama yang diakui Allah hanyalah Islam, agama tauhid, agama yang mengesakan Allah. Dia menerangkan bahwasanya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam. Semua agama dan syariat yang dibawa nabi-nabi terdahulu intinya satu, ialah “Islam”, yaitu berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, menjunjung tinggi perintah-perintah-Nya dan berendah diri kepada-Nya, walaupun syariat-syariat itu berbeda di dalam beberapa kewajiban ibadah dan lain-lain.”
Muslim yang benar ialah orang yang ikhlas dalam melaksanakan segala amalnya, serta kuat imannya dan bersih dari syirik.
Allah mensyariatkan agama untuk dua macam tujuan:
1. Membersihkan jiwa manusia dan akalnya dari kepercayaan yang tidak benar.
2. Memperbaiki jiwa manusia dengan amal perbuatan yang baik dan memurnikan keikhlasan kepada Allah.
(dan seterusnya, penulis)

Kesimpulan
1. Allah menyatakan keesaan Zat-Nya dan keadilan-Nya begitu pula para malaikat dan para ahli ilmu mengakui dan menyatakan ke-Esaan-Nya.
2. Semua agama yang dibawa oleh para nabi, adalah satu, Islam, yaitu agama berdasarkan tauhid serta berserah diri kepada Allah. Karenanya, sebutan agama-agama samawi itu tidak tepat, karena agama samawi hanya satu.
3. Para rasul bertugas menyampaikan agama Allah kepada umatnya.

b. Kebenaran Agama-agama (Qs. al-Baqarah ayat 62).

PAHALA BAGI ORANG YANG BERIMAN

•     •                   

Terjemah
(62). Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Kosakata:
as-Sabiin (2: 62)
as-Sabiin berasal dari kata kerja saba’a-yasba’u yang artinya berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Dengan demikian, Sabiin berarti orang-orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang beragama Sabi’ah, yaitu agama yang mengajarkan ibadah dengan penyembahan kepada bintang. Agama ini merupakan salah satu agama kuno yang saat ini sudah hilang dan tidak berkembang lagi. Selain itu, penganutnya juga sudah tidak dapat ditemukan. Pada masanya, kata ini dipergunakan untuk menyebut penduduk Mesopotamia, Irak, yang menyembah bintang. Keterkaitannya juga karena penduduk Mesopotamia kuno adalah penyembang bintang.


Munasabah
Dalam ayat yang lalu Allah menerangkan keingkaran dan kesalahan-kesalahan orang Yahudi, yang menyebabkan mereka mendapat kemurkaan Tuhan dan menderita kehinaan dan kemiskinan, maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa semua golongan agama lain pada masanya, jika mereka beriman dan bertobat, tentulah mereka mendapat pahala di dunia dan di akhirat, seperti yang diperoleh orang-orang mukmin lainnya.

Tafsir
(62) Dalam ayat ini Allah menjelaskan keadaan tiap-tiap umat atau bangsa pada masanya yang benar-benar berpegang pada ajaran nabi-nabi mereka serta beramal saleh, mereka akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan maghfirah Allah selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.
“Orang-orang mukmin” dalam ayat ini ialah orang yang mengaku beriman kepada Muhammad Rasulullah Saw dan menerima segala yang diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. Sabiin ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw, yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang. Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul saw sewaktu Jibril a.s. menemuinya. Nabi berkata, (hanya ditulis artinya, penulis) Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (riwayat Muslim dari Umar r.a.)
Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina tempat Nabi Isa dilahirkan. Siapa saja diantara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw dan benar-benar beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut Islam.

Kesimpulan
1. Orang-orang Islam, orang Yahudi, orang Nashrani dan orang Sabiin yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan masa berlakunya syariat masing-masing memperolah pahala dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad Saw, semua umat manusia wajib mengikuti agama yang dibawanya.

c. Kesetaraan Lelaki-Perempuan (Qs. al-Nisa’ ayat 34).

PERATURAN HIDUP SUAMI ISTERI

                                       •     




Terjemah
(34) Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.

Kosakata
Qawwamun (4: 34)
Kata qawwamun adalah jamak dari kata qawwam bentuk mubalagah dari kata qa’im, yang berarti orang yang melaksanakan sesuatu secara sungguh-sungguh sehingga hasilnya optimal dan sempurna (al-Manar). Oleh karena itu, qawwamun bisa diartikan penanggung jawab, pelindung, pengurus, bisa juga berarti kepala atau pemimpin, yang diambil dari kata qiyam sebagai asal kata kerja qama-yaqumu yang berarti berdiri. Jadi kata qawwamun menurut bahasa adalah orang-orang yang melaksanakan tanggung jawab atau para pemimpin dalam suatu urusan. Pada ayat ini, qawwamun adalah orang-orang yang memimpin, yang mengurusi atau bertanggungjawab terhadap keluarganya yaitu para suami selama mereka melaksanakan kewajiban tanggung jawabnya kepada keluarganya. Kata qawwamun disebutkan satu kali dalam al-Qur’an, yaitu an-Nisa’/4:34.

Munasabah
Ayat-ayat yang lalu melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh karunia lebih banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, menurut bagiannya masing-masing. Ayat ini menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum perempuan, dan cara-cara menyelesaikan perselisihan suami isteri.

Tasir
(34) Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggungjawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi isteri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap isteri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya, maka isteri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya. (dan seterusnya, penulis).

Kesimpulan
1. Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang telah menjadi istri dan keluarganya.
2. Setiap isteri wajib menaati suaminya dalam mengurus rumah tangga, memelihara kehormatannya, memelihara harta suaminya.
3. (dan seterusnya, penulis)



d. Hubungan antar Agama-agama (Qs. al-Baqarah ayat 120).

KEINGKARAN ORANG KAFIR TERHADAP KENABIAN MUHAMMAD SAW

     •             •                

Terjemah
(120) Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong selain dari Allah.

Kosakata
Al-Millah (2: 20)
Millah sinonim dengan ad-din atau syari’ah. Kata millah sendiri berarti apa yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya melalui nabi-nabi. Perbedaan antara din dan millah, bahwa din (agama) diidhofahkan (disandarkan) kepada Allah atau Muhammad saw, seperti dinullah atau dinu Muhammad, sedangkan millah hanya diidhofahkan kepada nabi tertentu, seperti Nabi Ibrahim; millah Ibrahim (Ali Imran/3: 95) atau millah aba’i (Yusuf/12: 38). Kata millah bisa juga diambil dari imlal artinya mendiktekan dan menuliskan. Ajaran agama dituliskan agar supaya diamalkan. Ungkapan “hatta tattabi’ millatahum” merupakan kinayah dari rasa putus asa terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mau mengikuti syariat Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Islam bahkan mereka menginginkan Muhammad-lah yang mengikuti ajaran mereka karena mereka tidak benar-benar mengikuti ajaran Taurat dan Injil, kalau mereka benar-benar mengikuti, pasti mereka beriman karena sifat-sifat nabi disebutkan dalam kitab-kitab suci tersebut.

Munasabah
Ayat-ayat yang telah lalu menerangkan tentang pengakuan orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah mempunyai anak dan Allah mempunyai sekutu. Ayat ini menerangkan tentang pengingkaran orang musyrik Mekah terhadap kenabian Muhammad dan pengingkaran terhadap apa yang dibawanya.

Tafsir
(120) Ayat ini menyatakan keinginan Ahli Kitab yang sebenarnya sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, menyekutukan Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad Saw, nabi terakhir. Mereka tidak akan berhenti melakukan tindakan itu sebelum Nabi Muhammad dan pengikutnya menganut agama yang mereka anut, yaitu agama yang berasal dari agama-agama yang dibawa para nabi yang terdahulu, tetapi ajaran-ajarannya sudah banyak diubah-ubah oleh mereka. Karena itu, hendaklah kaum muslimin waspada terhadap sikap Ahli Kitab, janganlah ragu-ragu mengikuti petunjuk Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, bukan petunjuk yang berasal dari keinginan dan hawa nafsu manusia, terutama keinginan dan hawa nafsu orang-orang Yahudi dan Nasrani. (dan seterusnya, penulis).




Kesimpulan
1. Allah mengutus para rasul disertai dalil-dalil dan bukti-bukti yang lengkap. Hanya orang yang telah tertutup hatinya dan ada penyakit di dalamnya yang tidak mau memahami dalil-dalil dan bukti-bukti itu.
2. Tugas seorang rasul hanyalah menyampaikan agama Allah, bukan untuk menjadikan manusia berimana kepada Allah. Beriman atau tidaknya seseorang, adalah urusan Allah.
3. Orang Yahudi dan Nasrani tidak rela seseorang menganut agama Islam. Mereka selalu berusaha agar kamu mengikuti mereka. Allah tidak akan menolong orang yang telah mengetahui kebenaran, tetapi tidak mau mengikutinya atau mengamalkannya.

IX. KELEBIHAN-KELEBIHAN
Secara jujur, harus diakui bahwa al-Qur’an dan Tafsirnya menyimpan banyak kelebihan, baik kelebihan yang terkait langsung dengan substansi tafsirnya itu sendiri ataupun dari sisi kemunculannya. Misalnya pertama, sebagaimana diakui M. Quraish Shihab, dalam karyanya Menabur Pesan Ilahi, tafsir Depag ini telah berhasil mengisi kekosongan kitab tafsir di Indonesia. Tentu, ini menunjukkan bahwa tafsir yang ditelorkan Depag ini muncul pada saat yang tepat, sehingga akan banyak bermanfaat bagi umat Islam di Indonesia.
Kedua, para penulisnya memiliki kompetenensi di bidangnya. Dikatakan M. Quraish Shihab, kerja sebuah tim yang anggota-anggotanya memiliki kualifikasi yang diperlukan – apabila terkoordinir dengan baik – dan dengan waktu yang memadai, tanpa dipaksa oleh target penyelesaian yang ketat, pastilah menghasilkan satu karya yang melebihi karya perorangan. Nama-nama anggota tim, imbuhnya, baik tim awal yang menyusun tafsir ini maupun tim yang melakukan perbaikan, adalah orang-orang yang cukup kompeten, paling tidak pada masanya. Diakuinya, memang ada di antara mereka yang sedikitpun tidak mengerti – jangankan mendalami bahasa Arab atau pakar yang diandalkan dalam bahasa Indonesia atau bidang ilmu tertentu – namun agaknya keterlibatan mereka atau paling tidak nama mereka masih diperlukan dalam konteks kondisi satu proyek pemerintah ketika itu. Karena itu, ia menganjurkan, jika dugaan ini benar, maka ini bisa menjadi faktor kelemahan yang harus dihindari di masa yang akan datang. Sayang sekali, karena ketawadhuannya, beliau tidak mau “tunjuk hidung” siapa orang yang “hanya diperlukan” dalam kontek proyek ini.
Ketiga, menurut hemat penulis, al-Qur’an dan Tafsirnya ditulis dengan sistematis, menggunakan sub-sub bab yang akan sangat memudahkan kerja para pembaca, seperti yang telah penulis singgung sebelumnya. Misalnya, setiap menafsirkan ayat, maka pembaca akan menjumpai banyak sub bab; terjemah, kosakata, munasabah, tafsir, sabab al-nuzul, atau kesimpulan. Jika pembaca ingin mengetahui arti ayat, cukup melihat sub terjemah. Jika ingin mengetahui makna sebuah mufradat, cukup mencari sub kosakata. Jika ingin mengetahui tafsir ayat, cukup melihat sub tafsir, dan seterusnya. Ini akan membuat nyaman para pembaca dan banyak menghemat waktu. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya mencari hal-hal tersebut jika kitab tafsir yang ada tidak memiliki sistematisasi pensuban seperti ini? Disamping menyusahkan, tentu saja juga akan membuang banyak waktu. Itulah sisi positif lain tafsir Depag.
Keempat, kendati M. Quraish Shihab mengritik tafsir Depag sebagai bertele-tele, namun penulis melihat sebaliknya, yaitu tidak bertele-tele. Sebab, ukuran bertele-tele itu juga tidak tegas. Quraish menilainya bertele-tele dari sisi ketebalan jilid-jilidnya. Namun dalam tataran praktis, karya tafsir Quraish justru lebih tebal ketimbang karya Depag. Selain itu, jikapun tafsir Depag dirasa bertele-tela dan banyak menampilkan informasi yang tidak perlu, toh untuk memudahkan pembaca tafsir Depag telah memberi pilihan kepada pembaca untuk merujuk, misalnya, kesimpulan. Dengan langsung merujuk kesimpulan, dugaan bertele-tele jelas akan hilang.
Kelima, menampilken index. Kendati index ini, asumsi penulis, tidak dibuat oleh tim pentafsir maupun tim penyempurnaan tafsir Depag, melainkan dibuat oleh penerbit, namun tetap saja perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Dengan index, pembaca akan terbantu memudahkan tema atau point tertentu yang ia cari di dalam tafsir ini.
Sedang terkait substansi, penulis tidak banyak menyorotnya, karena itu akan sangat subyektif. Masing-masing orang akan memiliki pandangan yang berbeda-beda. Untuk itu, dalam hal substansi ini, penulis lebih cenderung menyorotnya dalam point kritikan-kritikan di bawah ini.

X. KRITIKAN-KRITIKAN
Untuk melakukan kritik atas al-Qur’an dan Tafsirnya, baik kritik substansi maupun kritik non-substansi, penulis lebih banyak meminjam kritikan orang lain yang penulis yakini sangat layak dan sangat kredibel melakukan tugas kritik ini. Mereka adalah M. Quraish Shihab, Nasaruddin Umar dan Nashruddin Baidan. Ketiganya doktor bidang tafsir yang tidak patut lagi diragukan kemampuannya. Dan “kebetulan” juga, ketiganya tidak terlibat secara langsung dalam proyek penerbitan tafsir Depag itu, sehingga sikap kritis tidak terkikis dari mereka. Sebaliknya, mereka cenderung sangat kritis terhadap tafsir Depag ini.
Pertama, Kritikan M. Quraish Shihab
a. Peruntukan tidak Jelas. M Quraish Shihab, dalam buku barunya Menabur Pesan Ilahi, menuliskan, bahwa peruntukan Tafsir Depag tidak jelas, apakah untuk orang awam, ilmuwan atau siapa. Quraish menyatakan, “Jika dilihat bilangan jilidnya, terkesan bahwa ia ditujukan kepada masyarakat berpendidikan tinggi dan itupun bagi mereka yang memiliki penghasilan memadai.” Tapi, imbuhnya, jika melihat kandungan isinya yang telah beredar dan yang telah disempurnakan, maka terkesan bahwa tafsir ini lebih banyak ditujukan kepada masyarakat umum.
Peruntukan ini penting ditegaskan, karena hampir setiap karta tafsir sebetulnya memiliki obyek pembacanya masing-masing. Sesuai obyeknya itu, maka peredaksian, ketebalan jilid, atau model penyampaian isi, harus disesuaikan kemampuan mereka. Jika tidak, sangat mungkin pesan-pesan yang ingin disampaikan gagal total. Bila ini terjadi, tafsir yang orientasi awalnya sebagai hidayah malah ujungnya tak akan membantu apa-apa. Misalnya, untuk obyek masyarakat umum, penyampaiannya tidak bisa disamakan dengan kelompok masyarakat berpendidikan tinggi. Begitu juga sebaliknya. Karenanya, penyampaikan yang ‘ala qadri ‘uqulihim (tergantung obyeknya) sangat penting dipertimbangkan.
Karena itu juga, yang tak kalah penting diingat adalah, bahwa dalam dunia penafsiran ada lingkaran proses yang selalu kait-mengait: tafsir itu sendiri, cara penyampaian, dan pembaca. Ketiganya harus selalu memiliki ketersambuangan yang baik. Tidak boleh ada misskomunikasi antara satu dengan lainnya yang akan menyebabkan tidak sampainya apa yang ingin disampaikan.
b. Jilid Ketebalan. Dikatakan M Quraish Shihab, siapapun sasaran yang dikehendaki, hendaknya jilidnya tidak terlalu tebal sehingga dapat dijangkau pembaca. Cendekiawan tidak membutuhkan banyak contoh atau aneka riwayat. Kalangan umum tidak mampu membeli satu judul buku yang terdiri dari ribuan halaman dan juga tidak akan betah membaca secara tuntas karya-karya yang panjang.
Itulah problem sesungguhnya yang acap kali dihadapi para mufassir dan juga tak disadarinya. Kenikmatan menafsirkan tak jarang malah menjadikan karyanya sebagai fih kullu syai’in illa al-tafsir. Di lautan itu ada semuanya, kecuali ikan. Ini memang sulit terhindarkan dalam tataran praktis, kendati sangat mudah diwacanakan. Buktinya, M Quraish Shihab sendiri, yang selalu menekankan kerenyahan karya tafsir sehingga dapat dikunyah siapa saja, baik yang punya gigi maupun yang tidak, toh tetap saja ketika menulis Tafsir al-Mishbah tidak bisa menghindari ketebalan jilid. Alasannya satu: kenikmatan mengarungi samudera al-Qur’an (baca: menafsirkan) tak jarang membuat lupa idealitas sebuah karya tafsir.
c. Tidak Menampilkan Perbedaan Pandangan. Menurut M. Quraish Shihab, tafsir Depag tidak menampilkan perbedaan pandangan ulama menyangkut masalah-masalah yang menyentuh perhatian masyarakat, agar tidak timbul kesan bahwa hanya satu pendapat yang memonopoli kebenaran. Dikatakannya, fungsi al-Qur’an sebagia ma’dubat Allah (hidangan Allah) yang tentu saja beraneka ragam pilihan suguhannya, perlu benar-benar ditampakkan.
Menurutnya, memang sesekali perbedaan itu telah disinggung, namun uraiannya belum cukup untuk melahirkan toleransi di tengah-tengah masyarakat kita sebagaimana sebagian diantaranya tidak memiliki relevansi dengan situasi dewasa ini, paling tidak masyarakat Indonesia.
Menurut hemat penulis, dengan tidak menampilkan perbedaan pandangan diantara ulama atas sebuah persoalan tertentu, itu menunjukkan bahwa tafsir Depag telah memiliki keberpihakan primordial dan frame pemikiran tertentu, baik dalam bidang fikih, akidah, maupun tasawuf. Keberpihakan primordial seperti inilah yang akan melanggengkan eksklusivisme pandangan keagamaan umat Islam. Namun demikian, barangkali bisa dimaklumi, karena sedari awal tafsir Depag memang tidak diniatkan sebagai tafsir perbandingan antar berbagai perbedaan pandangan ulama. Dengan ujaran lain, tafsir ini memang diniatkan sebagai tafsir monolitis nan eksklusif.
d. Tidak Menunjang Kerukunan Hidup Beragama. Dengan untaian kata yang sangat halus, sopan, rendah hati, samar-samar, tidak tegas dan sangat diplomatis, sebetulnya M. Quraish Shihab “menuding” tafsir Depag tidak mendukung kerukunan hidup beragama. Misalnya terkait penafsiran tentang Qs. al-Baqarah ayat 120.
Quraish dengan halus menulis, “Penulis – dalam keterbatasan rujukan dan pengetahuan – tidak menemukan seorang ulama tafsir, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, yang memberi penafsiran semacam ini. (contoh penafsirannya telah disebutkan sebelumnya, penulis). Sekali lagi, kita bisa berbeda pendapat, tetapi apakah tidak sebaiknya dikemukakan juga pendapat-pendapat yang demikian banyak dan mudah ditemukan yang – menurut hemat penulis (Quraish, red) – lebih tepat sekaligus dapat menunjang kerukunan hidup beragama.”
Ungkapan yang sangat halus ini menunjukkan kebijaksanaan yang tinggi dari seorang M. Quraish Shihab. Namun di sebalik kehalusan ungkapannya, tersimpan kritikan yang maha dahsyat, menyangkut dukungan atas kerukunan hidup beragama di negeri ini. Jika boleh dijabarkan lebih jauh lagi, barangkali ungkapan Quraish itu bisa dimaknai, bahwa model tafsir Depag dalam hal ini justru akan “meningkatkan” ketidakrukunan (bukannya kerukunan) hidup beragama.
e. Banyak Alih Bahasa Tidak Tepat. Menurut M. Quraish Shihab, pengalihbahasaan suatu kalimat tidak mungkin sama sepenuhnya dengan seluruh kandungan yang dimaksud oleh kalimat yang dialihbahasakan. Lebih-lebih kalimat bahasa Arab yang kosakatanya sangat kaya, sehingga tidak ditemukan padanannya dalam bahasa lain. Karenanya, sulit menemukan penerjemahan yang berhasil. Namun demikian, diingatkannya, bukan berarti kita tidak perlu berusaha sekuat kemampuan untuk itu.
Dan, Quraish melihat adanya ketidaktelitian pengalihbahasaan dalam tafsir Depag. Misalnya, kata al-Baqarah sebagai nama surah. Mengapa harus diterjemahkan dengan “sapi betina”, padahal itu bentuk tunggal dari baqar yang digunakan untuk menunjuk yang jantan maupun yang betina. Tidak semua lafal yang menggunakan ta’ marbuthah menunjuk kelamin betina. Misalnya tamrah (kurma) atau syahmah (lemak). Karena kritikan tajam ini pula, tafsir Depag edisi yang disempurnakan tidak lagi menerjemahkan baqarah dengan sapi betina melainkan (cukup) sapi.
f. Ada Unsur Plagiat. Menurut M. Quraish Shihab, untuk kasus penafsiran surat al-Dhuha, al-‘Alaq, al-Zalzalah, dan lain-lain, tafsir Depag diduga kuat menjiplak Tafsir al-Maraghi karya Muhammad Musthafa al-Maraghi yang juga guru Bustami A. Ghani. Quraish menulis, “Di sana penulis (Quraish, red) temukan bahwa sekian banyak uraian merupakan terjemahan harfiah, kalau enggan berkata 99 % maka paling tidak 95 %, adalah teks asli dari Tafsir al-Maraghi.”
Kalaupun ada perbedaan, ujar Quraish, itu hanya pada contohnya saja. Jika pada surat al-Zalzalah al-Maraghi mencontohkannya dengan gempa di Italia, maka tafsir Depag mencontohkannya dengan gempa Krakatau. Tidak lebih dari itu. Jika dugaan ini benar, maka ini merupakan tindakan yang menurut Quraish “sungguh tidak pantas terjadi dari satu tim yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, lebih-lebih Depag.”
Kedua, Kritikan Nasaruddin Umar. Saat diskusi Bias Jender dalam Penafsiran al-Quran, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Nasaruddin menyatakan, terjemahan al-Quran yang diterbitkan Depag hanya mendasarkan pada tafsir klasik, yang dilakukan oleh beberapa ulama yang hidupnya dalam budaya menjunjung tinggi posisi laki-laki (patriarki).
Ketiga, Kritikan Nashruddin Baidan. Menurut Nasruddin dalam bukunya Metodologi Penafsiran al-Qur’an, tafsir Depag tidak mengapresiasi nuansa ke-Indonesiaan. Dikatakannya, “…tafsir Depag terlihat mengikuti pola dan metode yang diterapkan oleh tafsir-tafsir berbahasa Arab seperti al-Maraghi sehingga corak keindonesiaannya tidak tampak. Di sini terletak perbedaannya yang mencolok dari Tafsir Hamka karena meskipun dari segi isinya tak jauh dari tafsir yang berbahasa Arab, tapi tafsir Hamka dikemas di dalam budaya bangsa kita dan gaya bahasa Indonesia popular yang amat dekat dekat dengan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan demikian, penafsiran Departemen Agama tersebut dapat dikatakan tidak mengembangkan pemikiran ke-Indonesiaan di dalam penafsiran al-Qur’an melainkan lebih berfungsi sebagai transfer ide-ide yang ada dan berkembang di Timur Tengah, serta tidak mengemukakan gagasan baru yang bersifat ke-Indonesiaan.”
Keempat, Kritikan Pemakalah.
a. Tafsir Depag dilingkupi pandangan eksklusifisme dan monolitis. Tafsir Depag sangat menutup diri dari pandangan-pandangan yang berada di luar domain mainstream. Padahal ini sejatinya bisa saja dimanfaatkan sebagai pengayaan atau keragaman tafsir Depag. Tapi yang jelas, itulah pilihan rasional (rational choice) yang telah menjadi pilihan tafsir Depag dan harus dihargai kendati dengan ketidakpuasan.
b. Buruknya peredaksian. Orang-orang yang teliti terhadap aspek kebahasaan, susunan kalimat dan pilihan diksi, akan dengan mudah melihat bahwa tafsir Depag sangat buruk dari sisi peredaksian. Banyak sekali gaya menuangkan peredaksian yang tidak seragam dan cenderung asal-asalan. Mengapa demikian? Ini karena tafsir Depag disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari banyak person dengan kemampuan tulis-menulis berbeda. Ada yang memang memiliki skill menulis baik, sehingga penuangan diksinya baik, dan lebih banyak lagi yang tidak memiliki skill menulis sama sekali, sehingga diksinya buruk. Perpaduan peredaksian orang yang memiliki skill menulis baik dengan orang yang tidak memiliki skill menulis baik dalam sebuah karya, maka hasilnya akan buruk, jika tidak ditengahi oleh editor. Karenanya, menurut hemat penulis, dibutuhkan editor atau penyelaras bahasa, sehingga keserasian peredaksian akan terwujud. Mungkin, editor atau penyelaras bahasa inilah yang tidak dimiliki tim pentafsir Depag.

XI. KHATIMAH
Diingatkan oleh M. Quraish Shihab dalam karya barunya, Menabur Pesan Ilahi, bahwa tak ada satu kitab tafsir, walaupun disusun oleh tim, yang dapat memuaskan semua pembacanya. Menurutnya, itulah rumus yang dikenal di kalangan para penulis ilmu al-Qur’an. Namun, jika membandingkan satu karya dengan karya lainnya, maka akan dapat ditemukan bahwa yang ‘ini’ lebih baik dari yang ‘itu’ atau yang ‘itu’ lebih mendekati sasaran daripada yang ‘ini.’
Untuk itu, ambillah apa yang terbaik dari al-Qur’an dan Tafsirnya buah kerja keras Departemen Agama RI dan berilah masukan atau kritikan konstruktif untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada. Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]

Daftar Pustaka

al-Qur’an al-Karim
Adang Kuswaya, Menimbang Tafsir Depag R.I: Telaah Penafsiran Surat al Fatihah, dalam http://www.stainsalatiga.ac.id.
Depag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Depag RI, 2004.
Howard M Federspiel, Kajian al- Qur’an di Indonesia, Bandung, Mizan, 1996.
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Jakarta, Lentera Hati, 2006.
M. Shohib Tahar, Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, dalam Jurnal Lektur al-Qur’an, Volume 1, No. 1, 2003, Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003.
Media Indonesia, Kamis, 10 Oktober 2002.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta, Paramadina, 2001.
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
Nurul Huda Maarif, KH Ali Mustafa Yaqub MA; Kiai Yang Penulis, Penulis Yang Kiai, dalam Majalah Bina Pesantren edisi 1/2004, Jakarta, Depag RI-P3M.
Nurul Huda Maarif, Membincang al-Tafsir bi al-Ma’tsur Lebih Kritis Lagi, makalah di Pascasarjana UIN Jakarta, 2004.
Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, Dimasyq, Dar al-Qalam, 2002 M/1423 H.

*yang pingin makalah di atas lengkap dengan foot notenya, mohon kirim email ke nurulhudamarif@gmail.com