Thursday, January 25, 2007

Islam Itu Mesra, Tanpa Tapi

Oleh Nurul H Maarif


NurulPuluhan pendeta dan calon pendeta dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), terlihat sumringah kala berkunjung ke Pondok Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya Jawa Barat, 11-12 Januari 2007 lalu. Itu lantaran mereka disambut hangat oleh pengasuh ponpes yang juga mantan Rais Am Syuriah PBNU, KH M. Ilyas Ruhiat. Keluarga besar ponpes dan santri pun tak kalah hangat menyambut mereka.

Selama dua hari live in di sana, agenda demi agenda berjalan gayeng. Diskusi dengan keluarga ponpes berjalan santai dan menyenangkan. Akrab-akraban dengan santri juga enak dinikmati. Pertunjukan seni kasidah, puisi, juga lawakan, yang dipelopori putera pengasuh ponpes, Acep Zamzam Noor, juga tak kalah gayeng-nya. Bahkan kala itu, laki-laki-perempuan, tua-muda, Islam-non Islam, penghayat kepercayaan sekalipun, semua bisa duduk sama rendah. Tak ada gesekan apapun. Tak ada saling curiga sedikitpun. Lebih jauh lagi, tak ada pikiran negative secuilpun antara satu sama lain. Kerukunan dalam perbedaan, begitu nyata terlihat. Indah!

Apa resepnya?

Pertama, mereka, yang berbeda-beda itu, tidak sedikitpun membahas, apalagi memperdebatkan persoalan keyakinannya masing-masing. Biarkan yang muslim bercinta dengan Tuhan melalui keyakinannya. Biarkan yang Kristen bercinta dengan Tuhan, juga melalui keyakinannya. Pun, biarkan yang penghayat bercinta dengan Tuhan, melalui keyakinannya. Jangan berfikir untuk mengusik, apalagi memperdebatkan keyakinan mereka yang berbeda. Mengusik berarti memantik munculnya �perang.� Semua harus berpijak pada satu titik point; semua adalah hamba Tuhan yang sedang berusaha mendekati-Nya sedekat-dekatnya, dengan caranya masing-masing. Inilah titik temu perbedaan itu. Dan, inilah yang disebut tauhid (pengesaan dan kepasrahan pada Tuhan), titik api spiritualitas agama-agama.

Kedua, mereka, yang berbeda-beda itu, ketemu dalam fokus tema kemanusiaan atau kemiskinan. Agama apapun, akan menaruh perhatian lebih pada persoalan ini. Makanya, jika terbukti ada agama yang abai pada persoalan ini, yakinlah, itu bukan agama dalam makna sesungguhnya. Mengapa? Karena prinsip sosial agama adalah menolong saudaranya, seiman atau tidak seiman, yang kemanusiaannya dirampas oleh orang lain apalagi penguasa. Juga, agama harus berdiri tegak di atas penderitaan kawula alit yang hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang.

Misalnya saja, sebagai pemeluk agama, kita harus turut pula menyuarakan penolakan atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2006, yang nyata-nyata menguntungkan anggota dewan di seluruh wilayah Indonesia, namun merampas hak-hak rakyat kecil untuk mendapat kesejahteraan. Di kala rakyat sengsara, mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun, apalagi mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, di saat itulah banyak wakil rakyat yang �tanpa hati� tega menari di atas luka mereka. Menari bangga dengan saku melimpah rupiah. Kita, semua para pemeluk agama, harus menaruh memberantas ketidakadilan yang menjadi musuh bersama agama-agama ini.

Dua hal itulah, tidak memperdebatkan keyakinan dan fokus pada kemanusiaan dan kemiskinan, yang akan menjadi kunci bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian antar perbedaan. Karenanya, fokus dan carilah titik temu itu, jika kerukunan dan kedamaian memang kita canangkan sebagai tujuan jangka panjang. Sebaliknya, fokus dan carilah titik tengkarnya, jika perang yang kita harapkan. Tinggal pilih bukan? Tapi, bijak bestari niscaya akan memilih mencari titik temu, ketimbang sibuk mencari perbedaan.

Siapapun kita, jika telah menyadari fokus titik temu ini, kita akan dapat menghadirkan agama yang ramah lingkungan. Kalau Kristen, itulah Kristen yang ramah. Kalau Hindu, itulah Hindu yang ramah. Kalau Budha, itulah Budha yang ramah. Kalau kepercayaan, itulah kepercayaan yang ramah. Kalau Islam, itulah Islam yang ramah, atau �Islam tapi Mesra,� yang dijadikan motto Komunitas Azan pimpinan Acep Zamzam Noor. Namun sejatinya, Islam itu mesra, tanpa �tapi.� Wa Allah a�lam.[]

Friday, January 12, 2007

Politisi dan Pengamen

Oleh Nurul H Maarif

Ya Nabi salam �alaika
Ya Rasul salam �alaika

Ya Habib salam �alaika
Shalawatullah �alaika

cah-elikShalawat Nabi, yang tak asing di telinga kaum muslim, itu meluncur dari bibir seorang pengamen, di Bus AC 76 Ciputat-Senin. Pengamen bertopi haji putih dan berambut gondrong itu, mendendangkannya dengan suara pas-pasan plus tajwid yang berantakan. Sepintas, semuanya terlihat biasa-biasa saja. Layaknya pengamen lain, tak tampak sedikitpun tanda-tanda keistimewaan.

Tapi jika diperhatikan lebih jauh, apa yang dilakoninya, itu berbeda dengan para pengamen pada umumnya (biasanya mereka lebih suka menyebut diri musisi atau seniman jalanan). Jika umumnya mereka lebih senang menjual lagu-lagu band terkenal, semisal Ungu, Peterpan, Dewa 19, Samson, Nidji, Ada Band, Radja, Ratu, atau sejenisnya, ia justru menawarkan Shalawat Nabi. Dan, jika biasanya simbol agama ini muncul hanya pada bulan Ramadhan, kali ini muncul pada hari biasa.

Lalu, apanya yang istimewa? Dengan menyuguhkan simbol agama, dalam konteks ini Shalawat Nabi, ia sebetulnya sedang menebar jaring untuk menangkap simpati penumpang yang kebanyakan kaum muslim. Kemampuan merebut simpati, berarti keuntungan melimpah, tentu secara materi. Dan terbukti, banyak penumpang simpati. Yang awalnya berat, jadi ringan memberi. Yang awalnya berniat memberi Rp. 500, jadi Rp. 1000. Begitu seterusnya. Ini tak lain karena ada simbol suci agama Islam yang disentuh melalui shalawat itu: yaitu Nabi Muhammad Saw.

Tentu saja, tak ada larangan mendendangkan syi�ir keagamaan, apalagi Shalawat Nabi. Itu hak asasi. Tapi alangkah indahnya, jika itu dikidungkan di luar wilayah publik. Siapa tahu ada penumpang non-muslim yang tidak nyaman mendengar kidung keagamaan itu, sehingga bisa memantik munculnya fitnah yang akan merusak citra kaum muslim dan Islam itu sendiri. Lebih-lebih, jika syiir keagamaan itu didendangkan (hanya) untuk mencari keuntungan pribadi berupa materi. Ini akan dinilai sebagai �menjual� simbol keagamaan untuk kepentingan duniawi.

Di sinilah letak titik temu pengamen ini dengan sebagian (besar) politisi muslim di negeri ini. Untuk mendapat keuntungan pribadi, keluarga atau kelompok, para politisi yang pintar-pintar itu tak rikuh �menjual� agama. Di hadapan konstituen misalnya, mereka �mengamen� melalui isu penegakan Syariah Islam (SI), penerapan perda-perda SI, dan sebagainya. Simpati kaum muslim diharapkan diberikan kepada mereka, lantaran isu agama ini. Inilah yang disebut cendekiawan muslim asal Mesir, Muhammad Said al-Asymawi, sebagai gerakan Islam politik (al-islam al-siyasi).

Penulis buku al-Islam al-Siyasi ini lantas menyatakan, arada Allah lil al-Islam an yakun dinan, wa arada bih al-nas an yakuna siyasah (Allah Swt sejatinya menginginkan Islam [hanya] sebagai agama. Tapi manusia menginginkan Islam [juga] sebagai sistem politik.� Dan, katanya, Islam politik itu bukan Islam yang sebenarnya, melainkan Islam yang dipolitisasi. Ini sama halnya mengebiri atau mengerdilkan kebesaran Islam itu sendiri. Inilah bahayanya, jika sebagian (besar) politisi muslim kita meletakkan simbol-simbol Islam hanya sebagai barang dagangan, yang selalu bernuansa formalistik bukan substantif.

Lihat saja misalnya. Karena sebagian (besar) politisi di negeri ini berorientasi pada keuntungan pribadi, mereka acuh saja, atau pura-pura tidak tahu, disahkannya PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan Anggota Dewan. PP yang disahkan pada 14 November 2006 dan nyata-nyata menciptakan kondisi surga bagi wong elit dan neraka bagi wong alit, ini nyaris tak ada anggota dewan yang mempermasalahkannya. Ini, tak lain, karena PP ini menaikkan gaji berkali lipat bagi pimpinan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh penjuru negeri ini, per awal 2007. Ini berarti keuntungan.

Inilah kenyataan yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat kita yang tengah diselimuti duka lara: flu burung, kelaparan jamaah haji di Arafah-Mina, hilangnya Adam Air, tenggelamnya KM Senopati, banjir, gempa, tanah longsor, banjir lumpur, angka pengangguran yang terus meningkat dan banyak lagi. Ini sungguh ironis, karena semua yang mereka tawarkan, lagi-lagi ujungnya untuk kepentingan pribadi, termasuk dengan menjual agama yang dilakukan sebagian (besar) politisi kita. Akhirnya, agama layaknya lagu bagi pengamen; didendangkan untuk mendapat keuntungan.

Makanya, betul pepeling (peringatan) yang disampaikan dalang wayang suket Ki Slamet Gundono. Para politisi kita seharusnya mengembangkan konsep politik rahmatan lil �alamin, bukan rahmatan untuk diri, keluarga, atau kelompoknya saja. Orientasi politik memang harus manuthun bi al-mashalah, berorientasi untuk kebaikan masyarakat secara umum. Inilah politikus muslim sesungghnya.

Untuk itu, jika masih ada politisi muslim yang menjual agama untuk mencari keuntungan, mereka tak ubahnya pengamen yang diceritakan di awal tulisan ini. Keduanya sama-sama menawarkan simbol agama sebagai alat mengambil simpati audiens, yang tujuannya untuk kepentingan pribadi. Bedanya, pengamen hanya mendapat sesuap atau dua suap nasi (dan ini patut dimaklumi), sedang politisi mengeruk ribuan kali lipatnya (dan ini patut disayangkan). Tapi, bahwa politisi seperti ini sebetulnya pengamen dalam arti sesungguhnya, siapa yang membantah? Wa Allah a�lam.[]

Friday, January 05, 2007

Terorisme Ekologi

Oleh Nurul H Maarif

Nurul Suatu malam, saya menerima sms dari seorang pembimbing spiritual (bahasa Arab: mursyid). �Mas, aku mau ngobrol soal ekologi,� tulisnya singkat. �Pasti ada yang sangat penting disampaikan,� gumam saya dalam hati. Benar saja, ini ada kaitannya dengan bencana yang silih berganti terhampar di depan mata kita dan terus menjadi headline koran, majalah, radio, dan televisi, di negeri ini.

Ia bercerita. Banjir, longsor, gunung meletus, kecelakaan pesawat/mobil, gelombang laut yang mengganas, angin besar dan sebagainya, masih akan terus terjadi. Inilah mendung kelam yang akan mengiringi hari-hari kita, bangsa Indonesia, hingga beberapa tahun ke depan.

Ia, tentu saja, melihatnya dari kaca mata spiritual, yang oleh orang-orang tertentu bisa dianggap �ramalan belaka.� Namun sebetulnya, siapapun yang memiliki kesadaran akan pentingnya keseimbangan ekosistem, ia bisa menangkap gejala-gejala ini secara kasat mata dan gamblang. Karena semua ini tak lepas dari ulah tangan-tangan kita sendiri.

Ini sesuai sunnatullah, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. ar-Rum ayat 41: �... Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan pada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).�

Dengan menilik ayat di atas, setidaknya ada dua isyarat penting yang bisa ditangkap. Pertama, bencana yang terjadi, itu tak lain karena ulah kita sendiri. Ada yang menyatakan, itu terjadi karena letak negeri ini yang secara geografis memang rawan bencana. Betul! Tapi perlu diingat, kerawanan itu (hanya) baru potensi, yang belum tentu terjadi. Potensi itu akan meledak jika dipicu. Dan pemicunya tergantung bagaimana cara kita berhubungan atau berinteraksi dengan alam.

Banjir bandang yang menenggelamkan tujuh kabupaten di wilayah timur Aceh beberapa waktu lalu, yang menyebabkan meninggalnya 69 jiwa, 367.752 orang mengungsi, 10.323 rumah rusak, itu karena dalam setahun terakhir, perampokan kayu di Gunung Leuser terjadi secara menggila. (Majalah Tempo, 7 Januari 2007). Penebangan kayu secara liar, dibarengi ketamakan pelakunya, itulah pemicu terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Akibatnya? Semua orang tentu tahu! Begitu juga yang terjadi dengan banjir di Sumatera dan tempat-tempat lain lainnya yang tak terekspos media massa

Banyaknya kecelakaan pesawat, mobil, kereta, dan sebagainya, yang berakibat melayangnya ratusan nyawa, juga meluapnya Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo, semua tak lepas dari ulah kita sendiri. Selama ini kita hanya berfikir mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya demi kepentingan hedonisme, dengan abai terhadap aspek-aspek kemanusiaan dan alam yang harus dijunjung tinggi. Akhirnya ekploitasi manusia atas manusia dan ekploitasi manusia terhadap alam terjadi di mana-mana. Bahkan, ratusan ribu jamaah haji dari negeri ini, yang merupakan tamu Allah SWT, kelaparan di Padang Arafah saat wukuf. Ini juga ekploitasi manusia atas manusia. Dalam kacamata spiritual, semua ini akan memicu �kemarahan� alam.

Kedua, bencana yang terjadi, itu tak ubahnya sinyal atau peringatan awal, supaya kita menyadari bahwa ada yang salah pada diri kita, terutama terkait hubungan kita dengan alam. Kita diingatkan untuk yarji�un, kembali kepada kemanusiaan dasar kita yang ramah pada alam; tidak liar menebang pohon, tidak rakus mengeruk kekayaan laut, tidak tamak mengeruk isi perut bumi, dan sebagainya. Dengan kembali pada kemanusiaan dasar ini, �kemarahan� alam yang lebih dahsyat lagi tidak akan terjadi atau setidaknya terminimalisir.

Itulah pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Karenanya, sangking pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem ini, Allah SWT jauh-jauh hari sebelumnya telah mengingatkan dengan keras, �Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang-orang yang membuat kerusakan.� (Qs. al-Qashash ayat 77). Allah SWT melarang kita berbuat kerusakan, tak lain karena akibatnya akan kembali pada diri kita sendiri. Kita sendiri, dan generasi setelah kita, yang rugi!

Dan, perusakan yang menyebabkan ketidakseimbangan alam inilah yang perlu disadari selekasnya. Inilah, yang oleh Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, disebut eco-terrorism atau terorisme ekologis (Kompas, 2 September 2006). Ini sebentuk �terorisme� atau ancaman penebaran kebahayaan yang dilakukan oleh alam, karena kita tidak lagi berinteraksi secara baik dengan alam. Ini dampaknya jauh lebih mengerikan ketimbang bom. Jika bom hanya melantakkan lokasi dengan radius meter tertentu, maka eco-terrorism bisa melantakkan berpuluh-puluh kabupaten/kota, bahkan sebuah negara. Jika bom hanya mampu membunuh ratusan nyawa, eco-terrorism bisa membunuh ribuan nyawa.

Untuk itu, tak ada kata lain, kecuali mari perbaiki hubungan kita dengan alam. Ramahlah pada alam, sehingga alam ramah pada kita. Tebarkanlah energi positif pada alam, sehingga alam menyinarkan energi positifnya pada kita. Inilah satu-satunya jalan yang diyakini bisa meredam �kemarahan� alam. Selanjutnya, terserah kita masing-masing, toh peringatan untuk itu selalu hadir setiap saat. Wa Allah a�lam.[]