Friday, June 29, 2007

Melawan Nuklir dengan Shalawat*

Oleh Nurul Huda Maarif

Eling-eling sira manungsa,
PLTN gawe sengsara,
Mumpung durung diputusna,
Mula sira padha mikira

Eling-eling sira manungsa,
PLTN bisa cilaka,
Mumpung durung ditutugna,
Mula sira padha nolak'a

Nuklir ora kaya mebel ukir,
Nuklir beda karo lampu senthir,
Nuklir uga dudu untir-untir,
Proyek Nuklir mara'ake fekir.
(Proyek Nuklir mara'ake kenthir)

Melawan kekuasaan tidak mesti menggunakan kekuatan fisik. Shalawat pun bisa jadi alternatif kekuatan yang tak kalah ampuh. Inilah yang ditempuh aktivis muda dari Jepara, Zakariyya el-Anshori, untuk menentang rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria Jepara Jawa Tengah.

Hingga kini, rencana yang telah berjalan sejak masa Orde Baru tahun 1978, itu belum juga terlaksana. Penolakan datang bergelombang dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya penolakan melalui Shalawat Anti-PLTN yang diciptakan pada 1997 oleh aktivis Lakpesdam NU Jepara itu.

"Saya berasumsi, 80 % masyarakat Jepara itu "beragama" Nahdhatul Ulama. Makanya saya ciptakan shalawat ini, baik dalam tulisan latin maupun Arab pegon (tulisan beraksara Arab namun berbahasa Jawa, red)," terang pria kelahiran Jepara pada 1970 ini. "Yang Arab pegon ini cukup efektif untuk menggerakkan massa," imbuhnya.

Mengapa memilih shalawat sebagai media perlawanan? "Karena massa di Jepara itu mayoritas NU, maka saya harus menyederhanakan istilah tehnologi yang rumit dengan istilah lokal yang bisa diterima," jawab ayah seorang putera ini.

"Hanya saja, awalnya shalawat ini ditujukan untuk ibu-ibu majelis taklim. Mereka kan sulit memahami istilah-istilah PLTN. Maka harus dibahasakan lebih sederhana," alumni beberapa pondok pesantren di Jepara dan Yogjakarta ini berargumen.

Dikatakannya, shalawat ternyata memiliki efek yang tidak bisa dipandang sebelah mata. "Kalangan sepuh atau tua, memang banyak diam. Tapi anak-anak muda kian berani bersuara lain terhadap PLTN," terang "jebolan" Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Menurut Yankz - sapaan akrabnya - shalawat ini acapkali dibaca pada pertemuan-pertemuan budaya. Misalnya, pada pembacaan puisi, pertunjukan teater, dan sejenisnya, termasuk pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2007 lalu.

"Saya juga pernah membacanya di perlombaan teater, menjelang kejatuhan Soeharto," ujarnya. "Baru sebatas wilayah itu. Tidak seperti shalawat Nabi, yang bisa dibaca menjelang shalat wajib," imbuhnya.

Selain mengkriya Shalawat Anti-PLTN itu, Yankz juga aktif masuk ke lembaga-lembaga pelajar NU, guna mensosialisasikan dampak negatif PLTN. "Nanti yang mendominasi kan kiai-kiai muda. Makanya para gus atau "ma'syaral gawagis" ini perlu digarap. Beberapa pesantren yang nantinya diharapkan melakukan gerakan perlawanan juga kita organisir," katanya.

Yankz memang tidak mengenal lelah menolak PLTN. Dua pekan sekali, Yankz yang kini menetap di Ibu Kota Jakarta, menyempatkan diri pulang ke kampungnya guna memantau perkembangan isu PLTN. Yankz melihat, PLTN lebih banyak mendatangkan kemadharatan ketimbang kemanfaatan, baik bagi masyarakat maupun bagi lingkungan.

"Alasan agamanya kan selalu dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih (menolak kerusakan harus diutamakan ketimbang mengambil kemanfaatan, red). Dan, dampak yang akan ditimbulkan PLTN ini sangat mengerikan," ujarnya.

Selain itu, kata Yankz, di wilayah Jepara sebetulnya banyak alternatif lain yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembangkit listrik yang ramah lingkungan. "Kita bisa memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sebagainya. Kenapa bukan ini yang dikembangkan?" tanyanya kritis.

"Saya yakin, 100 % ini karena untuk kepentingan ekonomi, kendati dengan mengorbankan banyak pihak," jelasnya.

Kekuatirannya kian bertambah. Ternyata di negeri ini belum tersedia praktisi atau ahli nuklir khusus untuk urusan PLTN. "Sekedar ahli atau teoritisi, itu banyak. Tapi mereka ahli nuklir dalam kapasitas laborat bukan skala besar," ungkapnya. "Belum lagi soal pembiayaan yang sangat banyak. Dan ini pasti dari uang rakyat," imbuhnya.

"Makanya, walaupun seluruh masyarakat Jepara menerima PLTN, bahkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saya panuti sekalipun menerimanya, saya tetap akan menolaknya. Saya tidak ingin anak cucu saya diberi warisan utang dan kerusakan lingkungan. Inilah ideologi saya," tegasnya.

Gus Dur sendiri, jauh-jauh hari telah menyuarakan penolakannya atas rencana ini. Dituturkan Yankz, sekitar 1995, Gus Dur menyatakan, dirinya hendak menjalankan ritual puasa di tapak PLTN Ujung Watu. "Alasannya sangat NU. Karena di sana ada makam tokoh spiritual. Setelah saya cek, ternyata memang ada. Sikap Gus Dur ini menginspirasi penolakan saya pada PLTN," tandasnya.[]

*Suplemen the Wahid Institute di Majalah TEMPO, Senin, 25 Juni 2007

1 Comments:

At 5:24 AM, July 17, 2007, Blogger Unknown said...

assalamu'alaikum wrwb
salam kenal

Kita harus realistis.

Sumber energi terbatas, minyak sudah semakin sedikit, pendangkalan waduk sebagai sumber PLTA lebih cepat dari yg diperkirakan, ligkungan rusak.

Sementara itu kebutuhan listrik semakin banyak. Berapa pertambahan penduduk pertahun. Berapa pertumbuhan rumah. Berapa kebocoran, pencurian listrik yg menyebabkan ineffisiensi. Jika keadaan sekr ini berterusan, dalam waktu tidak sampai 20 th kita sdh sangat kekurangan listrik.

Dengan energi apakah itu terselesaikan. Saat ini ..maaf.. Nuklir jawabnya.

PLTN jika dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat. Sedikit sekali dampak lingkungannya (pencemaran dll) sangat besar tenaganya dan tahan lama. Lihat Jepang, Korea, Perancis, Jerman, dll.

Nuklir jika dikelola seenaknya.. bakal menjadikan dampak yang sangat berbahaya. Banyak contoh yg kita lihat.

Jadi masalahnya bukan kontra PLTN. Masyarakat (akhlak, disiplin) yg harus dibenahi.

 

Post a Comment

<< Home