Tuesday, November 14, 2006

Berpolitik tanpa Partai

Oleh Nurul H Maarif

NurulTULISAN Saiful Amien Shalihin, Agamawan dan Pilihan Politik (Minggu, 22 Februari 2004), yang mengajak atau bahkan "memprovokasi" para agamawan untuk terjun ke gelanggang politik praktis secara intensif, cukup menggelitik. Di tengah-tengah berbagai kecaman kenegatifan dunia politik, para agamawan yang selama ini diklaim sebagai pengawal moral bangsa malah diajak nyemplung ke lumpur politik. Ini sama saja dengan mencelupkan sebelah kaki para agamawan ke dalam neraka.

Karena itu, pandangan Saiful yang cukup optimistis itu perlu mendapat sorotan. Jujur saja, sebagai santri, penulis tidak rela dan merasa eman-eman bila para agamawan, terutama kiai-kiai pesantren, menggadaikan urusan masyarakat yang lebih penting, untuk pindah dunia sebagai politisi praktis. Keberatan ini didasarkan beberapa alasan.

Pertama, berpolitik adalah keharusan bagi siapa pun, baik agamawan, kiai, atau masyarakat umum. Tapi, berpolitik dalam pengertian bukan politik praktis yang berkendaraan partai politik tertentu. Berkaitan dengan ini, Syaikh Ibnu ’Aqil -seperti acapkali dinukil oleh Masdar F. Mas’udi- memberikan definisi politik (bahasa agama; siyasah) secara apik. Menurut dia, politik tak lain berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemafsadatan (kerugian), kendati tidak berlandaskan syara’ dan tidak didasarkan wahyu.

Maka, perilaku apa pun yang mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, itulah politik. Lebih luasnya, perilaku politik ini dikenal dengan politik amar makruf nahi munkar. Politik seperti ini yang semestinya dilakukan para agamawan. Mereka tetap harus berpolitik, tetapi di luar sistem politik praktis. Berpolitik, tetapi tak berpartai. Itu lebih penting ketimbang harus masuk dalam gelanggang politik praktis. Toh mereka tetap bisa menyuarakan kebenaran.

Hal ini sekaligus menepis pandangan Saiful yang menyatakan, "Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran….". Seakan, kebenaran hanya dapat disuarakan dengan satu jalan; masuk parpol. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.

Kedua, para agamawan harus diposisikan sebagai pengawal moral masyarakat, sampai kapan pun. Konsekuensinya, mereka harus menjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar makruf nahi munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol para pelaku politik praktis itu sendiri. Karena itu, tatkala para agamaman berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Masyarakat yang seharusnya dibimbing? Ini akan rancu dan lucu. Sebab, tidak seharusnya para agamawan itu dikontrol. Mereka itulah simbol kontrol yang sejati. Yang lebih penting, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga dapat berinteraksi dengan masyarakat jenis apa pun.

Ketiga, betul, Khomeini dan tokoh-tokoh NU dulu banyak yang berpolitik praktis. Tapi, bukan berarti hal itu menjadi legitimasi bagi para agamawan selanjutnya untuk berpolitik praktis. Perbedaan situasi dan kondisi menuntut adanya perbedaan keputusan politik. Masuknya para agamawan pada dunia politik praktis dulu memang sangat dimungkinkan dan bagus saja. Tapi kini?

Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Sebut saja KH Zainuddin M.Z. Ruang geraknya kian memudar. Memang, beliau masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai dengannya, akan menjadi alergi. Karena, walau bagaimanapun, politik praktis akan mudah memunculkan alergi bagi masyarakat yang memang tidak sehaluan.

Dengan alasan-alasan di atas, sekali lagi, peran para agamawan harus dinetralkan dari virus partai atau politik praktis. Berpolitiklah di luar sistem atau politik amar makruf nahi munkar. Berpolitiklah tanpa partai. Karena sejatinya, itulah yang lebih penting. Akhirnya; Politik yes, politik praktis no. Wa Allah a’lam.[]

*Jawa Pos, Minggu, 29 Februari 2004

Haji Minus Kesalehan Sosial?

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulBanyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih gereget mengerjakan ibadah haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji. Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya istitha’ah (kemampuan), yakni istitha’ah fisik dan harta. Tanpa adanya kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa sangat pribadi model ibadah tersebut.

Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab, dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan wong-wong alit.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa sosial, juga mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat, puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, al-muta’addy afdhal min al-qashir (ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah bertanya dalam nada menggugat, "Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga, padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang sepanjang zaman, akan masuk neraka?"

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. "Di manakah aku dapat menemukan Engkau, ya Allah?" tanya Musa. "Temukan diriku dalam diri orang-orang yang papa," jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita, umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita? Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri (individualisme) ketimbang orang lain (altruisme). Barangkali karena kita sudah sedemikian parah dininabobokan oleh simbol-simbol keagamaan yang sangat literalistik. Kita tidak pernah berpikir tentang esensi simbol-simbol itu.

Dr Komarudin Hidayat punya tamsil sendiri tentang hal itu. Dia mengibaratkan simbol keagamaan sebagai sangkar burung, sementara esensi simbol itu sebagai burungnya. Saat ini, menurut dia, kita lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya. Karena keenakan ngurusi sangkarnya, kita pun lupa pada isinya.

Selain itu, tampaknya kita lebih senang dilihat oleh masyarakat dalam konteks strata sosial. Kita lebih bahagia dan bangga mantasarufkan harta kita untuk mengoleksi titel-titel sosial, seperti haji, ketimbang mengoleksi kebaikan-kebaikan sosial.

Padahal, dalam sejarah, Nabi SAW hanya berhaji sekali, lainnya semata umrah. Toh, memang yang wajib hanya sekali. Atau barangkali hal ini disebabkan minat traveling kita sedemikian tinggi sehingga kerap kita mendengar istilah wisata spiritual. Istilah yang mengasyikkan, tapi sebenarnya tidak lebih dari jalan-jalan semata.

Melihat kenyataan di atas, sudah saatnya kita mengubah perilaku keagamaan kita, dari perilaku individualisme menuju altruisme. Dari simbol ke esensi. Dari sangkar ke burung. Kita harus memulainya saat ini juga. Tidak bisa ditunda-tunda lagi.

Jadikan "perilaku ganjil" kita di masa lalu sebagai wahana introspeksi. Ingat, masih banyak orang-orang kecil di sekeliling kita yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Mereka hanya membutuhkan bantuan kita, bukan Pak Haji yang tidak sudi membantu mereka. Wallallahu a’lam.[]

*Jawa Pos, Minggu, 23 Feb 2003

Intoleransi karena Fikih Oriented?

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulKita acapkali mendengar statemen (baca: tuduhan) yang mencoba mencari kambing hitam terhadap pemahaman kita yang cenderung - pinjam terminologi Dr Dawam Rahardjo - legalistik dan formalistik melalui fikih. Dua model pemahaman yang berawal dari fikih oriented ini, pada akhirnya, akan menampilkan wajah Islam yang eksklusif, radikal, malah intoleran terhadap kenyataan perbedaan. Pertanyaannya kini, benarkah pangkalnya fikih oriented? Persoalan ini cukup menarik untuk ditelusuri karena setiap muncul pemahaman keagamaan yang garang, tudingan itu yang muncul.

Menurut saya, fikih itu berkarakter dinamis. Ia akan senantiasa berkembang menuruti perkembangan zaman dan budaya masyarakat. Ia akan selalu berubah secara elastis mengikuti perubahan atau geliat pola kehidupan masyarakat. Perkembangan zaman dan perubahan pola kehidupan masyarakat akan menimbulkan fikih yang baru. Begitu seterusnya.

Sebagaimana diketahui, penafsiran fikih akan selalu berbeda antara satu ulama dan ulama yang lain, bergantung pada konteks zaman dan masyarakat. Malah tak jarang, seorang ulama mengubah fatwanya karena melihat perbedaan konteks yang ada.

Sebagai misal, kita mengenal dua qaul Imam al-Syafi’i (w. 204 H), yakni al-qaul al-qadim (fatwa lama) dan al-qaul al-jadid (fatwa baru). Al-qaul al-jadid merupakan perwajahan baru dari al-qaul al-qadim. Dua qaul (fatwa hukum) itu muncul karena dua latar belakang konteks yang berbeda. Al-qaul al-qadim muncul ketika beliau tinggal di wilayah Baghdad, sementara al-qaul al-jadid muncul setelah beliau mutasi ke Mesir. Perubahan qaul ini harus dilakukan karena dia melihat konteks dan realitas yang berbeda antara dua masyarakat yang berbeda tadi, masyarakat Baghdad dan Mesir.

Bahkan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah; realitas, tradisi, dan indikasi-indikasi lain yang ada pada masyarakat menjadi bagian terpenting dalam penetapan keputusan hukum (hukum Islam). Menurut dia, bila hal-hal tersebut diabaikan dalam proses penetapan hukum, maka yang terjadi justru fatwa yang dhalalah (sesat menyesatkan), bukannya fatwa yang mengandung mashlahah. (I’lam al-Muwaqqi’in : III/78). Ini membuktikan betapa pentingnya realitas masyarakat, yang sekaligus menuntut dinamisasi fikih. Dan karena sifatnya yang dinamis itu pulalah, perbedaan-perbedaan dalam fikih yang berimplikasi pada perbedaan mazhab hukum, menjadi hal yang lumrah dan tak dapat dielakkan.

Dalam tradisi ulama fikih sendiri, ada semacam community agreement (kesepakatan bersama) yang senantiasa menjaga mereka untuk selalu bersikap terbuka dan tasamuh (toleran) dalam menghadapi perbedaan. Community agreement itu bentuknya seperti yang pernah diungkapkan oleh Imam al-Syafi’i, Ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’yu ghairina khata’ yahamil al-shawab (Pandangan yang kita yakini benar, mengandung kemungkinan salah. Dan pandangan orang lain yang kita duga salah, mengandung kemungkinan benar).

Prinsip seperti inilah yang mereka pegang teguh dan menjadi acuan untuk bersikap toleran dan saling menghargai antarperbedaan pandangan. Mereka merasa tidak berhak manyalahkan pendapat lain yang berbeda sebagai "yang salah" dengan mengklaim pendapat sendiri sebagai "yang benar". Mereka tidak yakin pendapat mana yang benar, mana yang salah, benar semua, atau malah salah semua.

Hal ini tak lain karena apa yang mereka lakukan masih dalam tataran ijtihad semata. Mereka sadar sepenuhnya bahwa ijtihad tidak terbebas dari dua kemungkinan di atas, benar atau salah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasulullah SAW, "Siapa yang berijtihad dan hasilnya benar, maka dia akan mendapat dua pahala. Dan siapa yang berijtihad dan hasilnya salah, maka dia akan mendapat satu pahala". Pernyataan ini turut memperkuat dua kemungkinan hasil ijtihad tadi.

Imam Malik (w. 179 H) juga pernah menyatakan, "Manakala kamu menemukan pendapatku keliru, maka buanglah ia jauh-jauh. Manakala kamu mendapati pandanganku benar, maka ikutilah apa yang aku ikuti." Ini berarti bahwa beliau yang nota bene pemikir besar tidak pernah memutlakkan pendapatnya sebagai "yang terbenar". Lebih dari itu, beliau sama sekali tidak pernah memaksa orang lain untuk mengekor pendapatnya secara buta, kendati pendapat itu dianggap nyata-nyata benar. Beliau malah menyuruh mengikuti apa yang beliau ikuti (baca: Nash al-Qur’an wa al-Sunnah), bukan apa yang beliau putuskan. Beliau sadar bahwa apa yang beliau putuskan semata tawaran gagasan, yang tetap mengandung dua kemungkinan di atas, benar atau salah.

Kalau demikian, lalu siapa dan apa yang memutlakkan pendapat para ulama sebagai "yang benar" sehingga keberagamaan kita cenderung eksklusif, radikal, dan intoleran? Pun kita anti dan alergi terhadap pendapat di luar kita? Sulit menjawab pertanyaan ini dengan tepat. Tapi, ada asumsi bahwa hal ini terjadi, antara lain, karena pola pengajaran fikih yang kita terima dari guru-guru kita cenderung doktriner dan hanya satu sisi.

Doktriner dalam pengertian bahwa guru-guru kita hanya "mencekoki" (memberi secara paksa) doktrin bahwa apa yang mereka ajarkan adalah satu-satunya "yang benar", sementara yang lain salah. Hanya satu sisi dalam pengertian bahwa kita hanya diperkenalkan pada satu sisi pemikiran (baca: satu mazhab hukum), tanpa pernah diperkenalkan sisi pemikiran yang lain. Dengan pembelajaran model demikian, maka akan tertanam sebuah keyakinan bahwa pendapat yang ada dan benar hanya "itu-itu" saja. Tidak ada pendapat lain di luar yang "itu-itu" tadi. Padahal, pembelajaran model ini, yang disebut oleh Dr Harun Nasution sebagai kepincangan (Teologi Islam; h. xi), pada akhirnya justru akan memunculkan pemahaman yang -pinjam istilah Dawam- in-group feeling dan out-group feeling tadi.

Di negara kita, yang umat Islamnya mayoritas, kita hanya mengenal empat mazhab pemikiran fikih yang masyhur, itu pun paling-paling kita hanya "paham" salah satunya. Kita tidak pernah memahami keempat-empatnya secara bersamaan. Selain itu, secara umum, kitab-kitab fikih yang beredar di sekitar kita hanya terbatas pada satu pemikiran mazhab semata, seperti kitab fikih Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali.

Lebih-lebih di lingkungan pesantren, kita hanya disodori satu model pemikiran fikih. Kita jarang (atau malah tidak pernah) diperkenalkan pada kitab fikih model perbandingan. Hal ini diperkuat oleh hasil riset Martin Van Bruinessen yang menengarai bahwa kitab-kitab fikih yang satu arah itulah yang banyak diajarkan di dunia pesantren dan fikih biasanya malah menjadi pelajaran primadona ketimbang pelajaran-pelajaran yang lain.(Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat: h. 112. Lihat juga tabel kitab-kitab fikih yang diajarkan dalam dunia pesantren, h. 115).

Oleh karena itu, bila kita ingin melihat pemahaman keagamaan yang inklusif, pluralistik, dan toleran, maka jawabannya tak lain adalah kita harus mengubah pola pembelajaran kita selama ini. Sedini mungkin, kita harus mengenalkan realitas keberagaman pandangan yang ada dalam dunia fikih. Karena sejatinya, kita telah dituntun untuk memahami perbedaan itu melalui kitab-kitab fikih perbandingan. Mulai saat ini, kita harus memperkenalkan kitab-kitab fikih perbandingan, semisal Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd atau al-Fiqh ’ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Imam al-Jazairi.

Sebagaimana kita pahami bersama, penulisan kitab-kitab fikih perbandingan ini, antara lain, diniatkan supaya kita dapat memahami adanya perbedaan-perbedaan itu dengan penuh lapang dada. Dari sini, sebenarnya kita telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga, yakni bagaimana mengemas dan mengelola perbedaan-perbedaan itu dalam bingkai saling menghargai dan menghormati satu sama lain sehingga model keberagamaan yang inklusif, pluralistik, dan toleran itu dapat kita tampilkan. Hal ini jelas akan menambah keistimewaan tersendiri dalam keberagamaan kita.

Umar bin Abd al-Aziz (cucu Khalifah Umar bin al-Khattab) pernah menyatakan bahwa perbedaan dalam fikih itu tidak saja boleh terjadi, malah harus terjadi. Karena dengan demikian, wajah Islam yang rahmatan lil ’alamin akan menampak. Masyarakat yang memiliki realitas (tradisi) berbeda dapat memilih pandangan fikih yang dirasa sesuai. Imam al-Khattabi juga pernah menyatakan bahwa perbedaan dalam konteks fikih sah-sah saja terjadi, tetapi sangat berbahaya dalam konteks teologi. Oleh sebab itu pula, perseteruan yang dahsyat - yang berakibat saling bunuh dan mengkafirkan- justru terjadi dalam wilayah teologi, bukan pada fikih.

Sebab itu pula, melihat fakta-fakta di atas, seharusnya fikih oriented justru akan menyebabkan kita semakin matang, dewasa, dan terbuka dalam menyikapi dan memahami perbedaan-perbedaan pendapat yang ada. Fikih oriented tidak semestinya menjadikan kita terkungkung dalam -pinjam bahasa Harun Nasution- kepincangan. Tidak malah membuat kita semakin eksklusif, radikal, dan intoleran. Pun tidak menuntun kita dalam in-group feeling atau out-group feeling. Pada akhirnya, fikih oriented pun tidak dituduh sebagai kambing hitam penyebab model keberagamaan yang kaku. Tapi lagi-lagi, kenyataan-kenyataan keberagaman yang ada dalam dunia fikih, yang seharusnya menjadi keistimewaan itu, sering terkalahkan oleh model pembelajaran yang doktriner dan hanya satu sisi tadi. Dan di sinilah letak kekurangan kita. Wa Allah a’lam.[]

*Jawa Pos, Minggu, 27 April 2003

Gagasan Toleransi Ulama Klasik

Oleh Nurul H Maarif dan Gamal Ferdhi

Kalimat demi kalimat kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil dibacakan para santri yang bersila mengelilinginya. Ia menyimak dengan khusyu’. Kadang menyela untuk meluruskan bacaan atau memberi penjelasan dari maksud penafsiran Abu Said al Baidhawi (w. 691 H/1191 M) terhadap ayat al-Qur’an tertentu.

“Simaklah, karya al-Baidhawi ini. Dalam kitab-kitab kuning memang banyak penjelasan mengenai batasan-batasan pembalasan yang boleh dilakukan apabila terjadi kekerasan. Saya sendiri sangat menghindari terjadinya kekerasan, apalagi kok sampai pertumpahan darah,” jelas Abdurrahman Wahid pada 1 Ramadhan 1427 H lalu di Masjid al Munawarrah, Ciganjur.

Sebulan Ramadhan penuh, Gus Dur, begitu cucu pendiri Nadhdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari itu biasa dipanggil, ngaji pasanan (mengaji di bulan puasa, red.) kitab kuning bersama para santrinya di pesantrennya di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Kitab kuning, adalah sebutan khusus untuk karya-karya ulama abad pertengahan yang biasa dikaji di pesantren-pesantren NU. Kitab ini membahas berbagai bidang tertentu, diantaranya tafsir, fikih, aqidah, hadits, akhlak dan tasawuf.

Sebut saja misalnya, Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir paling terkenal di kalangan pesantren. Kitab ini sangat lunak dalam menafsirkan kebebasan berkeyakinan. Misalnya, saat mengulas Qs. Yunus ayat 99: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksakan manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”

Penulis Tafsir al-Jalalain, yaitu Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H/1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) menyatakan, “Jangan (kau paksa) dengan apa yang Allah Swt sendiri tidak ingin melakukannya terhadap mereka!” Begitu juga dengan al-Baidhawi yang menafsirkan, “Sesungguhnya perbedaan keinginan/kehendak mustahil disamakan dengan jalan paksa.” Sedang Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim-nya menyatakan, “(Hidayah) itu bukan urusanmu, malainkan urusan Allah Swt.”

Contoh lainnya, Qs. al-Nahl ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

al-Baidhawi menafsiri ayat ini dengan; “Tugasmu hanya menyampaikan (al-balaqh) dan mendakwahkan (al-da’wah). Sedang petunjuk (al-hidayah) dan kesesatan (al-dhalal) itu bukan urusanmu. Allah Swt lebih tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Allah Swt lah yang (berhak) membalas mereka.”

Ibn Katsir sendiri menyatakan, “Kamu jangan berhasrat mengarahkan orang yang tersesat (dari jalan-Nya). Itu bukan urusanmu. Tugasmu hanya menyampaikan dan hisab itu urusan Kami (Allah Swt).”
Jika kitab-kitab tafsir banyak mengapresiasi perbedaan dan toleransi pada keyakinan kelompok lain, apakah kitab fikih, yang menurut Martin van Bruinessen dalam karyanya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat , sebagai “primadona” dalam pesantren, juga demikian?

Menurut Pengasuh Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir, kitab fikih juga sarat ajaran toleransi. “Berdasarkan bacaan saya. sering dijumpai hal-hal toleransi di dalam kitab fikih,” paparnya.

Kiai kharismatik ini lantas mencontohkan uraian fardhu kifayah dalam kitab Fath al-Mu’in karya Zain al-Din bin Abd al-‘Aziz al-Malibari (w. 975 H/1567 M) dari Mazhab Syafii. Menurutnya, penulisnya menguraikan, diantara fardhu kifayah adalah kiswatu ‘arin, memberi pakaian pada orang yang telanjang, termasuk kafir dzimmi (non muslim yang sudah menyerah, red). “Jadi, kalau ada kafir dzimmi telanjang, fardhu kifayah bagi umat Islam untuk memberi mereka pakaian,” ungkapnya.

Contoh lainnya, imbuh salah satu faqih NU terkemuka ini, jika umat muslim dan kafir dzimmi bersama dalam sebuah perahu yang keberatan beban, sehingga terancam tenggelam, maka harus ada barang-barang di atas perahu yang dikorbankan. Ini demi keselamatan manusia, termasuk keselamatan kafir dzimmi itu. “Kitab fikih banyak sekali bicara seperti itu,” kata Kiai Afif.

Karena itu, tegas Kiai Afif, kebodohan adalah penyebab kaum muslim mengumbar kekerasan terhadap orang yang berbeda keyakinan. “Itu karena ngaji-nya nggak tuntas. Semakin dalam ilmu agama seseorang, saya kira akan semakin toleran,” ujarnya.

“Umar bin Abd al-Aziz sendiri mengatakan, ma yasurruni lau anna umma muhammadin lam yakhtalifu. Aku tak gembira seandainya umat Muhammad ini tak berbeda. Ada perbedaan, maka ada toleransi,” jelasnya.

Penilaian sama dinyatakan Pengasuh Ponpes Nurul Islam Jember Jawa Timur, KH. Muhyiddin Abdussomad. Menurutnya, di dalam kitab Tanbigh al-Ghafilin karya Abu al-Laits al-Samarkandi (w. 373 H/983 M) dijelaskan, umat Islam harus bersikap santun baik kepada orang muslim, yahudi, nashrani, maupun yang berkeyakinan lain.

Ketika ada ayat, faqula lahu qaulan layyinan la’allahu yatadzakkaru aw yakhsya (Berkatalah, wahai Musa dan Harun, pada Fir’aun dengan halus, supaya dia sadar atau takut), sambungnya, itu ditafsirkan oleh penulis kitab ini, bahwa berkata pada Fira’un saja harus santun dan lemah lembut, apalagi pada selainnya.

“Fir’aun itu tidak hanya kafir, tapi zalim. Kepada orang kafir dan zalim kita harus sopan dan santun, apalagi pada orang yang tidak sama agama dan mereka berbaikan dengan kita. Tentunya kita salah besar jika bersifat congkak dan tidak menghormati mereka,” imbuh Kiai Muhyiddin.

Pandangan yang cenderung lunak dan toleran terhadap umat agama lain, juga disampaikan kitab Raudhah al-Thalibin karya Imam Yahya bin Sharaf An-Nawawi Ad-Dimasqi (w. 676 H/1278 M) dari Mazhab Syafii. “Imam al-Nawawi itu lahir pada masa pemerintahan telah rapuh dan hidup di komunitas yang ada Kristennya, di Damaskus, itu dia lebih lunak. Orang kafir menurutnya tidak boleh diperangi, kecuali kalau mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam,” kata Pengasuh Pesantren An-Nur, Surabaya, Jawa Timur KH Imam Ghazali Said.

Dari Mazhab Hanafi, kata Kiai Imam Ghazali, ada kitab al-Radd al-Mukhtar yang terkenal dengan Hasyiyah Ibn Abidin karya Muhammad Amin ibn Abidin (w. 1252 H/1836 M). “Ibn Abidin sangat toleran dalam mengapresiasi hukum-hukum non muslim, seperti asuransi,” jelas Wakil Syuriah PCNU Surabaya ini.

Karena itu, Kiai Imam Ghazali meyakinkan, kitab kuning secara keseluruhan lebih didominasi ajaran yang toleran. “Yang keras sangat sedikit. Jadi, bisa kita ambil kesimpulan, pada umumnya fikih klasik itu sangat toleran,” papar master bidang metodologi pengajaran bahasa Arab dari Khourtoum International University Sudan ini.

Kenyataan-kenyataan di atas seperti menepis Temuan Survey Nasional: Sikap dan Perilaku Kekerasan Keagamaan di Indonesia, yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Juli 2006 silam. Salah satu pusat penelitian UIN Jakarta itu menemukan, ajaran kitab kuning berpotensi mendorong terjadinya kekerasan antar agama.

“Dalam kitab kuning ada istilah heretic atau sesat. Itu ada kan? Itu jelas mendorong kekerasan terhadap pemeluk agama lain,” tegas peneliti PPIM Jajang Jahroni.

Tapi Jajang buru-buru menampik anggapan, bahwa survey lembaganya itu menyimpulkan mayoritas kitab kuning mendorong kekerasan. “Sebetulnya kita tidak sedang meneliti kitab kuning, melainkan kekerasan atas nama agama,” jelas Jajang.

Adanya tema fikih yang agak kaku dalam merespon perbedaan keyakinan, ini diakui KH Muhyiddin Abdussomad . “Karena fikih itu doktrinnya ke dalam. Jadi prinsipnya agak kaku. Dalam hal ini toleran, tapi dalam hal lain tidak toleran. Tapi saya kira tergantung siapa yang memahaminya. Semisal Gus Dur, Gus Mus, Pak Masdar, itu semua kan produk kitab kuning. Tapi implementasi toleransi mereka begitu luar biasa, layak kita teladani,” jelas Ketua PCNU Jember ini.

Penyebab banyaknya ulama pengusung toleransi di NU, ini diungkapkan KH Mahfudz Ridwan. “Salah satu yang mendorong sikap ini, karena mereka sering membaca kitab kuning. Kitab semisal Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib dan yang lain, kebanyakan ajarannya kan tasamuh (toleransi, red)” kata Pengasuh Wisma Santri Edi Mancoro Gedangan, Salatiga (Lihat: Teladan Pengusung Tasamuh), ini pada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Bahkan NU menjadikan tawasuth (moderat), i’tidal (keadilan), tawazun (berimbang) dan tasamuh (toleran), sebagai prinsip organisasi Islam terbesar itu. Prinsip-prinsip itu diperkenalkan mantan Rais Syuriah PBNU almarhum KH Ahmad Shiddiq.

“Itu memang diambil dari karya kitab kuning Sunni. Maksudnya untuk melindungi semua warga negara yang tidak hanya muslim, tapi terdiri dari berbagai etnis,” jelas KH Imam Ghazali Said.

Berdasarkan bukti-bukti itu, tak salah jika Gus Dur menegaskan, “Kalau kita baca kitab-kitab kuno, jika diandaikan diri kita hidup pada zaman kitab-kitab itu ditulis, maka banyak ditemukan penafsiran yang melampaui zamannya.”

Akhirnya, ajaran toleransi yang bertebaran di dalam kitab kuning, tidak seharusnya terkalahkan oleh segelintir ajaran yang memang berpotensi memantik munculnya sikap intoleransi pada perbedaan. Inilah esensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.[]

*Suplemen TWI di Majalah Tempo, akhir November 2006