Thursday, July 20, 2006

Saya Kan Wakil Rakyat!

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSore itu, beberapa hari setelah Sidang Paripurna DPR RI menetapkan tunjangan Rp. 10 juta perbulan untuk wakil rakyat, terjadi dialog ala kadarnya antara seorang wakil rakyat (selanjutnya disingkat Warak) dengan yang ’diwakili’nya, di Warteg Watut Matraman. Warak itu memang kerap mampir di sana, sekedar untuk menunjukkan bahwa dirinya suka berbaur dengan wong cilik (selanjutnya disingkat Wocil). Oalah…

“Wah, tambah kaya saja sampean,” seloroh Wocil yang tampak bodoh dan lusuh itu. Kebodohan dan kelusuhan memang absah baginya, karena selama ini selalu dibodohin dan dilusuhin wakilnya itu.

“Kamu nyindir saya?” tanya Warak itu sok peka, yang selama ini nyaris tidak punya kepekaan sama sekali.

“Sampean baru saja dapat pulung, to?,” tanya Wocil itu lagi.

“Pulung apa?,” tanya balik Warak, pura-pura tidak ngerti konteks.

“Sampean kan kini dapat tunjangan Rp. 10 juta perbulan. Apa itu nggak pulung?”

”Oh..itu. Itu bukan pulung. Pulung itu kalau tiba-tiba saya dapat sesuatu, tanpa upaya apapun. Saya kan wakil rakyat, wakil kamu. Saya selalu membela rakyat dalam setiap tarikan nafas. Membela itu capek. Butuh tenaga dan fikiran. Dan perlu kamu tahu, zaman ini tidak ada pembelaan tanpa kompensasi. Siapa yang mau?,” ceramah Warak itu mulai membodohi.

”Tapi, untuk pembelaan yang tidak seberapa itu, mengapa kompensasinya begitu besar? Padahal sudah ada gaji pokok yang juga besar?,” tanya Wocil itu benar-benar bodoh.

“Itu disesuaikan kenaikan BBM saja.”

”Di tengah rakyat miskin yang tawuran, bacok-bacokan, pada pingsan, membunuh RT, hanya untuk mendapat KKB secuil Rp. 100-300 ribu? Apa itu tidak keterlaluan?”

”Tidak ada yang keterlaluan. Yang keterlaluan itu kalau pembelaan saya pada wong cilik tidak mendapat kompensasi apapun. Saya kan wakil rakyat! Capek!”

”Termasuk rencana kenaikan gaji pada Januari 2006 mendatang tidak keterlaluan?”

”Tentu saja! Itu sama sekali tidak keterlaluan! Itu normal saja.”

Mereka pun ngeloyor pergi dari warung kelas bawah itu. Warak itu langsung ngacir dengan mobil mewahnya, setelah memencet remote control, entah ke hotel mana. Sedang Wocil itu tertatih-tatih berjalan dengan terompahnya yang kebesaran, disertai keringat bercucuran, menuju gubuk kardusnya yang reot di bawah jembatan sungai Matraman.
Diam-diam, sejuta tanya menyeruak menembus pikiran bodohnya.

“Enak juga jadi wakil rakyat. Diam dapat uang. Teriak sekali muncul berlembar rupiah dari mulutnya. Tidur ngorok juga menyemburkan uang. Plesiran disangoni. Jangan-jangan ngiler atau kentut juga menghasilkan uang. Hebat! Ha..” gumamnya.

Padahal, Wocil dengan ekonomi mengenaskan yang menjadi mayoritas penghuni negara ini, ngos-ngosan hanya untuk mencari sesuap nasi, puntang-panting hanya untuk beli sekaleng susu, pecicilan hanya untuk menyekolahkan anak walau nggak sampai sarjana, mpot-mpotan hanya untuk bayar sewa kontrakan, eh, Warak itu…

”Apakah Warak itu betul-betul mewakili rakyat? Apakah tunjangan di saat seperti ini juga mewakili hati nurani rakyat?,” tanyanya aneh.

Wocil itupun teringat dawuh Mantan Presiden RI Romo KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saat berbuka puasa bersama di RM Raden Kuring, Cikini, Jakarta, Minggu (23/10/2005). Ini kebiasaan Gus Dur tiap Ramadhan; mengumpulkan kawula alit, ngobrol ngalor-ngidul, hanya untuk menghibur kepenatan mereka, sembari memberi jamuan ala kadarnya.

Saat itu Gus Dur dawuh: “Tunjangan Rp. 10 juta di tengah-tengah kondisi begini kok rasanya risih. Keadaan kita krisis kok seolah-olah wakil rakyat itu tidak krisis. Apa itu tidak lari dari kenyataan?”

”Kalau begitu, yang wakil rakyat itu mereka atau Gus Dur? Sulit juga mengidentifikasi mana yang wakil rakyat sesungguhnya dan mana bunglon yang berjubah wakil rakyat. Tidak ada ukuran fisiknya, ” gumamnya lagi asal-asalan.

Wocil itu lalu manggut-manggut mengakui apa yang pernah dituturkan Raden Ngabehi Bagus Burham Ronggowarsito, bahwa jaman ini adalah jaman edan. Yang nggak edan nggak keduman. Yang waras ikut-ikutan edan, hanya untuk keduman.

”Semuanya serba jungkir-balik. Yang kaya ngaku miskin hanya biar dapat KKB. Yang miskin ngaku miskin nggak ada yang percaya. Edan tenan! Yang wakil maunya jadi bos. Yang bos malah seperti wakil. Lihat saja tuh Wapres. Maunya jadi bos saja. Juga MUI yang ‘wakil’ Tuhan, maunya jadi Tuhan. Termasuk wakil rakyat. Katanya wakil kok malah jadi cakil yang rakus,” gumamnya lagi kian asal-asalan.

Itulah tabiat Wocil. Sering dibodohin membuat mereka asal ngejeplak saja, seakan tidak ada adab sama sekali pada wakil rakyatnya. Wocil memang tidak tahu bagaimana beradab pada mereka. Juga tidak tahu, apakah mereka pantas diadabi atau tidak. Ingat! Mereka itu wakil rakyat yang terhormat, lho! Yang ngaku-nya punya hati nurani, padahal hati saja tidak punya, apalagi hati nurani. Ha..[]

*Pernah dipublikasikan www.gusdur.net

Menuntut Kearifan Anggota Dewan

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulEntah kenapa, para Dewan Perwakilan Rakyat tak pernah jera ’dijewer’ kiri-kanan. Setelah menerima tunjangan kontroversial senilai Rp. 50 juta, sejumlah anggota Badan Urusan Rumah Tangga Dewan Perwakilan Rakyat masih nekad menggelar kunjungan (yang juga kontroversial) ke negeri Fir’aun Mesir, 16-20 Desember 2005 lalu, hanya untuk mempelajari peraturan perjudian (al-maysir). Kini kontroversi kembali merebak seiring dibangunnya pagar setinggi tiga meter dengan dana miliyaran rupiah mengelilingi gedung DPR-MPR itu.

Uang besar untuk proyek-proyek itu, seyogyanya bisa disumbangkan untuk keperluan korban kelaparan, korban DBD, penderita gizi buruk, banjir bandang dan longsor di sejumlah daerah di nusantara ini. Karena, out put dana yang dikeluarkan toh tak diimbangi in put yang diperoleh bagi bangsa ini. Mereka malah bersenang-senang untuk pemuasan kepentingan pribadi, sementara ribuan orang di negerinya mengerang diterpa aneka penderitan. Itulah sisi ’ketidakarifan’ sebagian besar anggota dewan yang ’terhormat’ itu.

Sebagai anggota dewan, sudah seharunya mereka memahami kaidah ‘our wisdom comes from our experience and our experience comes from our foolishness’ (kearifan bermula dari pengalaman dan pengalaman bermula dari ketidaktahuan). Kaidah ‘pengalaman adalah guru terbaik’, juga semestinya menjadi panduan langkah bagi mereka, sehingga mereka tidak terjerembab berkali-kali.

Misalnya, bisa dimaklumi jika pada mulanya mereka tidak tahu bahwa kunjungan ke luar negeri dengan menghabiskan banyak biaya, itu akan mendatangkan kontroversi dan malah kontraproduktif bagi kehormatan mereka. Atau ada kekuatiran jika gedung wakil rakyat itu tak berpagar maka tanahnya akan diserobot pengusaha untuk pembangunan hotel, maka bisa dimengerti kebijakan pembangunan itu. Dengan catatan, pagar itu tidak malah membatasi akses rakyat banyak seperti yang terjadi sekarang. Mungkin benar belaka tuduhan, bahwa mereka baru ’kemarin sore’ menjadi anggota dewan, sehingga khilaf melihat semua yang tak pernah dilihat.

Kendati ada yang bersuara lantang menolak pembangunan pagar itu misalnya, suara itu seakan tak bermakna karena baru terdengar setelah pembangunan pagar itu berjalan dan nyaris selesai. Kenapa tak teriak dari dulu? Karena itu, dugaan kepura-puraan mereka atas semua itu tak dapat disangkal. Mungkin juga itu sebagai bentuk ’kampanye kepagian’ sebagian anggota dewan.

Untuk itu, bisa dilihat apa yang dilakukan para wakil rakyat mencerminkan bahwa mereka tak pernah menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai guru. Akibatnya, kontroversi dan ’jeweran’ dari berbagai pihak terus-menerus berhamburan menerpa mereka. Supaya kejadian serupa tak terulang kembali, kali ini barangkali semua pihak harus ramai-ramai ’menjewer’ mereka secara keras, sehingga menimbulkan kekapokan dalam diri mereka. Dengan demikian, sikap arif sedikit demi sedikit mulai merambah kepribadian mereka sebagai wakil rakyat.

Terkait upaya mewujudkan kearifan ini, setidaknya ada tiga langkah yang harus diperhatikan para anggota dewan. Pertama, program apapun yang mereka lakukan hendaknya merupakan terjemahan dari aspirasi rakyat yang diwakilinya, bukan terjemahan dari aspirasi diri sendiri, keluarga atau kroni. Prinsip ’rakyat wajib dinomorwahidkan’ harus menjadi acuan langkah mereka. Sehingga program-program yang mereka laksanakan akan berefek positif bagi kehidupan rakyat. Jika tidak, alangkah baiknya tidak usah ada program apapun dan anggarannya kembalikan untuk kepentingan rakyat.

Kedua, harus ada kesadaran bahwa status wakil ’lebih rendah’ ketimbang yang diwakili. Sebagai misal, wakil presiden secara struktur lebih rendah dari presiden. Wakil gubernur demikian. Wakil bupati juga demikian. Begitu pula wakil rakyat, seyogyanya lebih rendah ketimbang rakyat yang diwakilinya. Relasi itu laksana ‘tuan’ dan ‘pembantu’. Rakyat sebagai ‘tuan’ dan wakil rakyat sebagai ‘pembantu’ yang bertugas melayani kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Apa yang rakyat butuhkan harus diprioritaskan paling awal sebelum kebutuhan pribadi.

Kearifan seperti ini acap ditunjukkan Nabi Muhammad Saw. Dalam suatu perjalanan misalnya, sahabat-sahabatnya kehausan. Apa yang dilakukan Nabi? Ketika mendapat minuman susu, sebagai orang yang paling mulia dan dijadikan panutan, Nabi malah minum terakhir kali. Nabi tidak akan minum sebelum yang lain kenyang. Nabi juga tidak mau kaya sementara umatnya kelaparan. Teladanilah apa yang Nabi teladankan, sebisa mungkin. Sebab, antara nabi dan anggota dewan, dalam satu sisi mempunyai tugas sama: melayani umat. Tapi realitas di zaman yang semua serba jungkir-balik ini menunjukkan, bukan wakil rakyat yang melayani rakyatnya, melainkan rakyat yang melayani wakilnya.

Ketiga , yang tak kalah penting, untuk menumbuhkan kearifan itu, telinga anggota dewan harus peka tatkala ada teriakan lapar rakyatnya, ada erangan penderitaan rakyatnya, pun ketika banyak orang rame-rame ’menjewer’nya, karena mereka mungkin keliru melangkah. Wakil harus mau ditegur dan diluruskan oleh yang diwakilinya sebagai yang punya kuasa. Karenanya, ’jeweran’ harus diposisikan sebagai peringatan bagi mereka, bukan upaya memusuhi.

Akhirnya, sekali lagi, wakil rakyat itu tak lebih sebagai ’pihak yang dititipi kuasa’ oleh rakyat yang ’punya kuasa’. Mereka tidak akan menjadi wakil kalau tidak ada yang mewakilkan. Untuk itu, bertindaklah dari aspirasi rakyat untuk kepentingan rakyat.Wa Allah a'lam.[]

*Pernah dipublikasikan di www.gusdur.net

Menghapus Citra Ibadah Berdarah

Oleh Nurul Huda Maarif


NurulMusim haji 1426 H, kembali ’menumbal’ nyawa. Sedikitnya 358 jamaah haji tewas di Mina, saat ritual lempar jamrah, akibat berdesakan dan terinjak, 12 Januari 2006 lalu. Sepekan sebelumnya, 5 Januari, tak kurang 76 jamaah tewas tertimpa runtuhan Hotel al-Rayahin dekat Masjid al-Haram. Pada musim haji kali ini, total 434 nyawa melayang sia-sia. Ini di luar yang meninggal lantaran sakit atau kelelahan.

Tregedi haji, seakan ’ditakdirkan’ untuk terus terjadi tiap musim haji. Di mana ada musim haji, di situ ada tragedi kematian, terutama saat ritual lempar jamarah. Yang terparah misalnya, terjadi pada 2 Juli 1990. Sedikitnya 1426 jemaah haji tewas, akibat terperangkap dalam terowongan Mina.

Kenyataan-kenyataan di atas membuktikan secara sharih (gamblang), bahwa hingga detik ini, penyelenggaraan ritual haji tak steril dari tragedi maupun kecelakaan yang berakibat meregangnya ribuan nyawa. Kondisi mengkhawatirkan ini meniscayakan adanya reformasi secara radikal perihal penyelenggaraan haji yang ‘bebas musibah’, sehingga jamaah haji yang niatan awalnya untuk menjalankan ritual keagamaan secara aman dan tenteram, bukan malah disibukkan bertempur untuk menyelamatkan nyawanya. Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu kekhusyu’an prosesi ritual para jamaah itu sendiri.

Untuk itu, banyak persoalan yang perlu ditinjau dan ditata ulang terkait penyelenggaraan ritual haji ’bebas musibah’ ini, sebelum ’tumbal-tumbal’ lain menyusul. Pertama, tinjauan ulang soal waktu pelaksanaan ritual haji. Gagasan Direktur P3M Masdar F. Mas’udi yang sangat kontroversial pada awal tahun 1990-an, barangkali bisa diajukan. Kala itu Masdar ’berspekulasi’ atau ’berandai-andai’, umpama waktu penyelenggaraan haji tidak disempitkan hanya pada bulan Haji atau Dzulhijjah yang terbatas hanya lima hari (9-13 Dzulhijjah), maka tragedi jamarat tak akan pernah terjadi.

Dengan merujuk Qs. al-Baqarah 2: 197, Masdar menafsir, haji sah dilaksanakan sepanjang tiga bulan yang disebut sebagai asyhurun maklumat (bulan-bulan yang diketahui), yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Menurut Masdar, sebelumnya gagasan ini pernah juga digulirkan seorang Jenderal di Mesir, waktu pelaksanaan haji tak ubahnya waktu pelaksanaan shalat yaang bersifat muwassa’ (waktunya luas). Mengerjakan shalat paling lama kira-kira sepuluh menit, tapi waktu yang disediakan untuknya bisa berjam-jam. Pelakunya tinggal memilih waktu mana yang disukai, karena di sana ada waktu jawaz (waktu boleh) dan afdhal (waktu utama). Ibadah hajipun demikian, ada waktu jawaz dan ada waktu afdhal.

Hanya saja memang, opsi yang dinilai ekstrim, misalnya oleh Ahmad Tohari dalam tulisannya Matematika Haji ini, tak akan mudah terlaksana. Cost-nya akan sangat tinggi dan mahal, karena hal ini menyangkut persoalan keyakinan yang sudah mengakar sekian abad lamanya dan telah tertancap kuat di dada jutaan kaum muslim dunia. Karenanya, tawaran ini dirasa mustahil untuk diejawentahkan. Tapi tidak menutup kemungkinan, pada saatnya nanti, gagasan ini bisa diterima masyarakat muslim dan diterapkan secara luas, tentunya jika mereka secara mayoritas telah menerima gagasan ini. Masdar dan pengikut mazhabnya harus berjuang keras untuk itu.

Kedua, pembatasan quota haji. Pembatasan ini perlu ditempuh secara tegas, baik oleh pemerintah penyelenggara haji maupun pemerintah ’pengirim’ jamaah haji, karena hingga kini ketegasan itu tidak nampak sama sekali. Dengan pembatasan tegas ini, diharapkan antara jumlah jamaah haji dengan sarana haji yang ada, seperti di Jamarat Mina, akan terjadi keseimbangan. Sehingga kemungkinan menumpuknya jamaah haji yang berakibat desak-desakan dan berujung kematian akan terkurangi. Karenanya, target kian banyak jamaah haji, kian banyak ’pendapatan’ yang dapat diraih, harus dienyahkan. Ini untuk kemaslahatan bersama.

Kendati demikian, pembatasan quota ini bukan berarti tanpa cost. Tetap saja akan banyak kaum muslim kecewa, karena pembatasan itu. Perebutan kursi pun pasti akan terjadi sangat alot. Tapi apa boleh buat, kebijakan ini harus diterapkan, hatta secara ’paksa’ sekalipun. Sebab dengan jalan inilah, ke-mudharat-an yang lebih besar seperti tragedi Mina baru lalu itu akan terhindarkan. Kaidah ushul fiqih menegaskan, idza ta’aradhat al-mafsadatani ru’iya a’dhamuhuma dhararan bi artikabi akhaffihima. Jika dua ’kerusakan’ saling berhadapan, maka kerusakan yang paling serius harus menjadi pertimbangan utama, dengan mengerjakan kerusakan yang terkecil. Dalam kontek ini, ada dua pilihan yang sama-sama pahit. Quota dibatasi atau membiarkan tragedi Mina terulang? Cost terendah, yaitu membatasi quota haji dengan konsekuensi banyak masyarakat kecewa, itu yang harus ditempuh ketimbang membiarkan tragedi hilangnya nyawa itu terulang.

Ketiga, pengetatan kreteria calon jamaah haji. Umpamanya, haji baru boleh dilaksanakan oleh calon jamaah yang telah berusia di atas 17 tahun. Sebab selama ini banyak jamaah haji yang sebenarnya belum terkena kewajiban secara syar’i. Ketegasan pemerintah juga diperlukan terkait fenomena ’kemaruk’ ibadah haji. Terbukti, banyak calon jamaah haji yang telah haji berkali-kali, tetap diloloskan untuk yang kesekian kalinya. Perilaku ini, selain zalim karena menghilangkan kesempatan calon jamaah yang belum pernah berhaji, juga akan berdampak kian kentalnya kesenjangan sosial di masyarakat.

Padahal uang itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar, seumpama membantu korban bencana alam, banjir, busung lapar, DBD, dan sebagainya. Itu jelas akan lebih berguna karena berdampak sosial. Ajaran Islam menegaskan, al-muta’addy afdhal min al-qashir. Ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh pelaku dan orang lain, itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunnya belaka. Dengan demikian, membantu orang lain yang membutuhkan lebih utama ketimbang haji berkali-kali.

Dengan mempertimbangkan point-point di atas, diharapkan – pinjam bahasa Ahmad Tohari – ibadah haji tidak tercitra sebagai ibadah yang berdarah-darah.Wa Allah a'lam.[]

Tradisi Pesantren dan Terorisme

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulStigma pesantren sebagai ‘produsen’ teroris telah menggelinding ke seluruh penjuru nusantara. Masyarakatpun menangkap dan memaknai bola panas itu secara beragam. Sebagian membenarkan, sebagian ragu penuh tanya, dan sebagian besar lainnya menolak tegas. Diskusi, artikel, dan komentar terus-menerus bermunculan di berbagai media, terkait isu besar ini.

Dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menjadi satu-satunya sosok yang paling banyak dan bertubi-tubi menerima ’hadiah’ protes dan demo dari kelompok yang menolak, karena Ketua Umum Partai Golongan Karya ini dianggap sebagai pihak pertama yang ’bertanggungjawab’ menggelindingkan bola panas itu. Misalnya bermula dari statemen kontroversialnya pesantren harus diawasi hinga pengambilan sidik jari santri.
Yang pasti, kini stigma itu telah ’memporak-porandakan’ the great tradition (tradisi agung) pesantren yang selama ini dikenal sebagai lembaga pencetus muslim moderat. Jika stigma ini tidak segera dibendung, dikuatirkan efeknya akan kian meluas dan pesantren akan kian tersudut.

Untuk itu, melalui artikel sederhana ini, penulis berupaya membendung arus deras stigma itu, melalui penelusuran terhadap geneologi tradisi pesantren. Pertanyaan besarnya: benarkah secara genetis pesantren terkait atau bahkan bermula dari doktrin-doktrin terorisme?

Geneologi Tradisi Pesantren

Dalam karya monumentalnya, Kitab Kuning, Indonesianis asal Negeri Kincir Angin Martin van Bruinessen menulis, munculnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. (1995: h. 17). Dengan ujaran lain, tradisi, baik tradisi pemikiran maupun lelaku yang berkembang di pesantren, tak lain merupakan implementasi ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab klasik itu. Logika sederhananya, jika pesantren dianggap sebagai produsen teroris, maka ajaran-ajaran yang terhampar dalam kitab-kitab itu juga cerminan ajaran teroris. Betulkah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis berupaya menulusuri kitab-kitab klasik apa saja yang diajarkan di pesantren dan apakah ajaran kekerasan ala terorisme itu termuat di dalamnya.

Pertama, kitab-kitab fiqh. Hampir semua pesantren di nusantara ini mengajarkan kitab-kitab fiqh yang berhaluan Mazhab al-Syafii. Itu menunjukkan, secara geneologi, pemahaman fiqh pesantren di nusantara ini tidak berujung pada bentuk fiqh yang kaku atau keras. Karena, Imam Muhammad bin Idris al-Syafii (w. 204 H) sebagai pencetusnya, dikenal sebagai pemikir moderat. Ia berhasil memoderasi pemikiran fiqh Abu Hanifah (w. 150 H) yang cenderung rasional-kontektual dan pemikiran fiqh Malik bin Anas (w. 179 H) yang cenderung kaku dan rigid.

al-Syafii juga dikenal sebagai sosok penuh toleransi atas perbedaan. Wasiatnya yang paling terkenal misalnya: ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’y ghairina khata’ yahtamil al-shawab (pandangan yang kami yakini benar, mungkin salah; dan pandangan orang lain yang kami yakini salah, mungkin benar). Ini menunjukkan, betapa al-Syafii berupaya menghindari klaim ’ini salah’ dan ’ini benar.’ Padahal klaim inilah yang banyak digaungkan para teroris itu, jika berhadapan dengan kelompok yang beseberangan. Untuk itu, jika runutan genetika pemikiran figh pesantren berujung pada al-Syafii, bisa dipastikan pemikiran fiqh moderatlah yang dikembangkan pesantren.

Lebih tegas lagi, kitab-kitab acuan pesantren yang berhaluan Mazhab al-Syafii seperti Fath al-Mu’in, I’anah al-Thalibin, Taqrib, Kifayah, Muhaddzab, dan sebagainya, tak ada satupun yang mendorong munculnya aksi kekerasan. Andaipun kitab-kitab itu memaparkan jihad misalnya, yang pertama kali ditekankan bukanlah jihad dalam pengertian sempit mengangkat senjata.

Kedua, kitab-kitab tasawuf. Dalam tradisi pesantren nusantara, secara umum kitab-kitab tasawuf yang diajarkan adalah karya-karya Muhammad al-Ghazali (w. 505 H), seperti Ihya ’Ulum al-Din atau Bidayah al-Hidayah. Di sana juga tak terdapat satupun ajaran yang menghendaki tindak kekerasan semisal terorisme. Bahkan, kelembutan muslim Indonesia lebih banyak diwarnai ajaran tasawuf itu.

Malah Damarjati Supadjar, kala memberi pengantar buku Islam Jawa karya Mark R Woodward menulis, Islam yang pertama kali datang ke Indonesia berhaluan Syiah Batiniyyah yang bercorak sufistik. Dan sepanjang sejarah, tidak ada aksi terorisme yang diawali ajaran tasawuf, karena tasawuf cenderung diam menyikapi gejolak kehidupan. Martin van Bruinessen juga mengakui, pada mulanya tradisi pesantren lebih bernafaskan sufistik. (h. 20).

Ketiga, kitab-kitab tauhid (teologi). Diketahui, mayoritas pesantren di nusantara cenderung mengajarkan kitab-kitab tauhid berhaluan Asy’ariyyah atau Maturidiyyah, seperti Umm al-Barahin, Sanusi, Dasuqi, Kifayah al-’Awwam, Tijan al-Darari, dan sebagainya. Mereka juga terkenal moderat, karena berhasil memoderasi tauhid a la Muktazilah yang menonjolkan nalar dan Khawarij yang gampang melontarkan tuduhan kafir pada kelompok lain. Bahkan kelompok Khawarij ini tak canggung melakukan kekerasan fisik (pembunuhan) pada kelompok yang tak sefaham. Jika secara genetis tradisi pesantren berakar dari Khawarij, maka bisa dimaklumi pesantren identik dengan aksi-aksi terorisme. Tapi nyatanya tidak demikian, karena tradisi pesantren tidak bersumber dari Khawarij.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan, secara genetika pesantren tidak terkait sedikitpun dengan kelompok yang mengedepankan kekerasan atau terorisme. Karena itu, jika terbukti ada segelintir alumni pesantren yang terseret arus terorisme, bisa dipastikan mereka telah termakan ajaran-ajaran yang berkembang di luar tradisi pesantren. Sebagai bukti, dalam karyanya Aku Melawan Terorisme, Imam Samudra yang alumi pesantren mengaku, dirinya bertindak demikian karena terilhami buku Ayat al-Rahman fi Jihad al-Afghan karya Abdullah Azzam. Buku ini tidak pernah dijadikan acuan dalam tradisi pesantren.

Selain itu, jika pesantren diklaim sebagai produsen teroris, padahal pesantren hanya mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab klasik, mengapa hanya pesantren di Indonesia saja yang dikait-kaitkan dengan terorisme, sementara banyak pesantren di negara lain juga mengajarkan kitab-kitab yang sama? Ini pertanyaan besar yang sulit dicari jawabnya. Wa Allah a’lam.[]

Berebut Massa Lewat Media

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulLaki-laki yang gemar mengenakan jubah itu terlihat hadir lebih awal di Masjid Pertamina Cirebon, Jawa Barat. Ia, Prof. Dr. KH. Salim Bajri, Jum’at itu bertugas sebagai khatib. Di sela waktu sebelum naik mimbar, tanpa disengaja, Guru Besar Tafsir al-Qur’an Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sunan Gunung Jati Cirebon itu mendapati buletin Warkah al-Basyar.

Sejurus kemudian, Sekretaris Umum Forum Ulama Indonesia (FUI) Jawa Barat yang juga penasihat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu mendatangi Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Pertamina untuk menegurnya. Intinya, ia tidak setuju jika Warkah al-Basyar ‘menyusup’ ke masjid-majid di wilayah Cirebon, termasuk masjid Pertamina.

“Melihat ada Warkah al-Basyar di Masjid Pertamina itu, Salim Bajri langsung minta ke DKM agar tidak membagikannya ke jamaah,” tutur Pemimpin Redaksi Warkah al-Basyar, Rosidin.

Rosidin menceritakan, ketidaksetujuan Salim Bajri itu lantaran Warkah al-Basyar yang diterbitkan oleh Fahmina Institute, dinilainya telah meracuni umat melalui pikiran-pikiran yang ‘bertentangan’ dengan Islam, melecehkan ayat-ayat al-Qur’an, dan bahkan didanai Yahudi. “Ketika berkhutbah di atas mimbar, Salim Bajri menyampaikan semua ini ke jamaah,” ujarnya.

“Dia juga mengutip Fatwa MUI soal keharaman pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Intinya, jamaah diminta untuk berhati-hati pada keberadaan Warkah al-Basyar. Bahkan Salim Bajri menganjurkan, jika menemukan buletin ini supaya dibuang saja ke tempat sampah atau dibakar,” imbuhnya.

Dikatakan Rosidin, apa yang terjadi di Masjid Pertamina itu hanya satu dari banyak kasus serupa. “Di beberapa masjid Cirebon, juga terjadi hal yang sama. DKM-DKM sebetulnya tidak mempermasalahkan. Hanya saja, ada kelompok Islam tertentu yang secara serius mengampanyekan pelarangan membaca Warkah al-Basyar,” keluhnya. “Syukurnya distribusi kita masih terus jalan,” imbuhnya.

Penerbitan buletin yang kini beroplah 14.000 ini, imbuhnya, berangkat dari kajian keislalaman yang dilakukan Fahmina Institute akhhir 2001. “Kita berfikir supaya kajian itu tidak hilang dan dapat dibaca orang. Karenanya, kita bikin buletin yang disebarkan ke masjid-masjid, pesantren-pesantren, majelis taklim, forum lintas agama, dan sebagainya. Pada 2003 kita sebar ke Kuningan, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon sendiri,” katanya.

Melalui buletin yang terbit dwimingguan ini, pihaknya berambisi mentransformasikan sisi ajaran kemanusiaan Islam yang tidak hanya ada di ruang-ruang diskusi. “Kita ingin menyampaikannya langsung pada masyarakat. Dan respon masyarakat bagus. Mereka bilang buletin ini sebagai bacaan alternative,” imbuhnya.

Selain Warkah al-Basyar, buletin Ikhtilaf (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), al-Tasamuh (Lingkar Studi dan Aksi), al-Tanwir (Center for Moderate Muslim), Islam Damai (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama), juga menawarkan keislaman yang kurang lebih sama.

Buletin Jum’at al-Nadhar juga demikian halnya. Buletin yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (PM3) ini bertujuan mensosialisasikan gagasan Islam Emansipatoris di pesantren, masjid, perguruan tinggi dan majelis taklim, sehingga dapat memberikan pemahaman alternatif bagi masyarakat.

“Buletin ini menyajikan tema-tema yang berkaitan dengan penguatan demokrasi, pluralisme, egalitarianisme, HAM dan toleransi. Setiap dua minggu dicetak sebanyak 30.000 eksemplar,” jelas divisi buletin Ali Sobirin seperti tertuang di situs P3M.

Diakui Rosidin, Warkah al-Basyar terus ‘berebut’ massa dengan buletin yang diterbitkan kelompok-kelompok Islam yang berseberangan, seperti HTI dengan buletin al-Islam-nya, juga buletin lain yang serupa semisal Khilafah atau al-Mukhlisin. “Karenanya, melalui Warkah al-Basyar kita berusaha mengimbanginya,” akunya. “Selain itu, positifnya, melalui ‘perang’ media seperti ini, angka kekerasan atas nama agama bisa dikurangi,” imbuhnya.

Menurut amatan Rosidin, buletin al-Islam terbitan HTI yang gencar mengampanyekan penegakan Syariah Islam ini, termasuk yang peredarannya cukup luas di masyarakat. “Diakui, al-Islam milik HTI banyak berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan masyarakat,” akunya.

Hal serupa dinyatakan mantan aktivis HTI yang juga mahasiswa Universitas Islam Negeri (UINI) Syarif Hidayatullah Jakarta, Syamsul Fuad. “Buletin al-Islam ini sifatnya nasional dan disebarkan ke seluruh pelosok Indonesia,” ujarnya.

Terkait pengaruh buletin terhadap keberagamaan masyarakat ini, Pakar Komunikasi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak begitu saja meyakininya. Menurutnya, buletin tidak cukup efektif membentuk sikap keberagamaan mereka. “Saya kira tidak terlalu efektif. Tapi kalau satu masjid hanya buletin itu-itu saja yang diterima, dari kelompok tertentu saja, mungkin ada dampaknya. Kalau yang mereka terima hanya buletin-buletin radikal misalnya, mereka bisa jadi radikal. Tapi itu khusus untuk jamaah masjid itu,” katanya. “Karena jamaah masjid itu sebagian datang karena masalah geografis saja, bukan karena ideologis,” katanya kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Namun katanya, justru buletin radikallah yang kini banyak direspon masyarakat muslim. “Buletin Jum’at yang sektarian saya kira lebih banyak memperoleh pasar. Buletin Jum’at dari DDII (Dakwah, red) itu bertahan cukup lama,” katanya. “Karakteristik buletin ini simplifikasi. Mereka memandang agama itu secara sederhana, hitam putih, benar salah, dapat petunjuk dan sesat, kafir dan mukmin. Dan untuk masyarakat Indonesia yang sedang kelelahan menghadapi persoalan hidup, mereka ingin mengambil agama secara lebih sederhana,” tegasnya.

Jalal berharap, supaya buletin atau media apapun tidak menampilkan sisi sektarianisme, karena karakter media adalah universalisme. Dengan berjalan seiring karakternya, media bisa dinikmati dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. “Media harus ditujukan kepada massa secara luas. Media Islam harus nonsektarian. Kalau temanya universal seperti menolong orang dan sebagainya, buletin itu bukan saja bisa dibaca oleh orang muslim, orang muslim yang Islamnya tidak seberapa mendalam, tapi juga orang nonmuslim akan menerimanya,” sarannya.

Universalisme ini penting ditekankan, imbuhnya, karena buletin sektarian tak jarang justru menyebabkan kekerasan. “Keberadaan buletin ini bagus juga! Tapi bagaimana kalau buletin itu juga memprovokasi kekerasan fisik? Itu bisa menjadi pengantar untuk tindakan kekerasan. Apalagi kalau dibina terus-menerus,” himbaunya.

Hal sama diakui pengamat komunikasi dan media dari Institut Studi Arus Informasi, Agus Sudibyo. Menurutnya, selain etika jurnalistiknya lemah sekali, media sekctarian tak jarang justru menampilkan provokasi yang bisa memicu terjadinya kekerasan fisik. “Kita bisa mulai dari sisi judul. Biasanya, judulnya sangat provokatif, tidak etis, dan tak jarang langsung menghakimi,” katanya kepada www.islamlib.com.

“Media seperti ini sangat sering tidak memperhatikan fakta masyarakat kita yang plural dan mudah terprovokasi konflik. Mestinya, setiap media sensitif akan fakta itu dan punya tanggung jawab sosial dan moral untuk menghindarkan terjadinya konflik,” imbuhnya.

Untuk itulah, perlu diupayakan media “ramah lingkungan”, bukan media yang justru turut memicu terjadinya aksi anarkisme, apalagi atas nama agama.Wa Allah a'lam.[]

Wednesday, July 19, 2006

Mengikis Fundamentalis dengan Berbisnis

Oleh Nurul H Maarif dan Gamal Ferdhi

LARA SAADE tampak grogi saat Habib Saggaf menyurungkan microphone dan memintanya mem-perkenalkan diri. Sebagai spesialis pengembangan masyarakat di Bank Dunia, berorasi di depan massa bukan hal baru bagi Lara. Tapi berbicara di depan para santri, jelas pengalaman pertama perempuan asal Lebanon itu.

"Baru kali ini saya berbicara di hadapan ribuan laki-laki di dalam masjid. Apalagi baru selesai menunaikan shalat Jumat," aku Lara dalam Bahasa Arab, di Masjid Agung Pondok Pesantren (ponpes) Al Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, Jum'at (23/6/2006).

Tentu saja, kedatangan Lara ke sana untuk mengemban tugas dari boss-nya, Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz yang juga pernah mengunjungi ponpes itu awal April 2006. Paul kagum pada penge-lolaan ponpes itu. Ponpes yang mengasuh 8.231 santri itu mampu menghidupi dirinya sendiri, tanpa memungut bayaran sepeserpun dari para santrinya.

"Makan, tidur, sekolah, juga kesehatan, semua gratis. Yang penting kita belajar, bekerja dan berusaha," ujar pemimpin ponpes, Habib Saggaf, panggilan akrab Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar.

Ponpes yang didirikan 17 Juli 1998 ini memadukan sistem salafi, sekolah umum dan peningkatan kualitas keahlian santri. Santri mengikuti jenjang pendidikan dari ibtidaiyah, tsanawiyah, 'aliyah sampai universitas.

"Santri di sini banyak yang miskin dan yatim piatu. Tapi kualitas ustadz-nya cukup baik. Mereka alumni Timur Tengah dan sejumlah universitas dalam negeri lulusan S1, S2, dan S3," jelas Habib.

Ponpes yang berdiri di atas lahan seluas 160 ha ini, mengharuskan santrinya tinggal di asrama. "Kita tidak menerima murid yang keluar-masuk. Karena nanti tidak terkontrol," imbuh pria berdarah Yaman yang selalu mengenakan jubah ini (lihat: Habib Ramah di Balik Jubah).

Mengoperasikan ponpes sebesar itu, tentu butuh dana besar. Namun Habib punya cara agar ponpesnya tetap mandiri. "al-Hamdulillah, ponpes ini bisa berjalan dengan pengolahan sampah, pertanian dan pabrik roti," katanya.

Daur ulang sampah adalah bisnis pertama yang dirintis. "Sampah organik kita jadikan kompos untuk kebun ponpes dan dijual. Sampah lainnya didaur ulang dan dijual ke penampung. Sekali jual insya Allah dapat Rp. 1 juta," ungkap Saiful, santri Fakultas Tarbiyah Universitas Habib Saggaf dari Sukabumi Jawa Barat, yang Jum'at itu bertugas mensortir sampah.

Bahkan Habib Saggaf berencana mengelola sampah Pasar Parung. "Belum ada kesepakatan. Kabupaten Bogor belum mau men-drop sampahnya ke sini. Ini aneh. Padahal jika sampahnya kita olah, Pemda diuntungkan. Mereka bilang masih dalam proses. Beginilah birokrasi Indonesia," keluh Habib.

Selain pengolahan sampah, pertanian juga menjadi usaha ponpes. "Sekarang lahan sudah mencapai 20 ha. Ada sawah, kolam, kebun lavender dan bunga matahari. Juga ada kebun sayuran dan palawija. Hasilnya, separuh untuk kelompok santri, separuh untuk ponpes," jelasnya.

Dua konsultan pertanian pun disediakannya untuk mengembangkan keahlian bertani santri. "Saya rekrut dari IPB dan Universitas Sriwijaya," ungkap lelaki kelahiran Dompu, Nusa Tenggara Barat, 15 Agustus 1945 itu.

Missi Habib Saggaf mening-katkan keahlian santrinya, bukan hanya di atas kertas. Sebuah pabrik roti pun didirikan di halaman ponpes. "Kalau mereka lulus, bisa bikin pabrik roti," kata Habib berharap.

Pabrik roti dengan produksi 8.000 roti perhari itu, dijalankan ke-lompok santri secara bergiliran. "Kita belum jual keluar. Baru dimakan oleh santri saja," katanya.

Hasil kerja para santri selama di ponpes disimpan di koperasi santri. "Dana simpanan itu hampir mencapai Rp 1 miliar. Koperasi juga menyediakan barang dengan harga 30% lebih murah dari harga di luar," kata Cece, santriwati kelas 3 tsanawiyah asal Cianjur, Jawa Barat.

Tidak hanya santri yang diberi kesempatan menggarap lahan milik ponpes. Pasangan suami-istri alumni ponpes itu juga diberi kesempatan bercocok tanam di lahan seluas 1 ha, selama dua tahun di daerah Banten. "Hasilnya, setengah buat mereka, setengah buat ponpes," kata Habib.

Lahan ponpes di Banten seluas 1.272 ha itu, terdiri dari sawah, empang dan mata air mineral. Sisa lahan masih dikerjakan orang kampung dengan sistem pembagian yang sama. "Kami juga berniat menjadikan mata air sebagai pabrik air minum kemasan di daerah itu," obsesinya.

Kemandirian serupa juga dijalankan Ponpes al-Ittifaq, Babakan Jampang, Ciwidey, Bandung. Ponpes asuhan KH. Fuad Affandi yang berdiri pada 1934 dan kini diisi 300 santri salaf itu, selain dikenal dengan kajian kitab klasiknya, juga dikenal aktivitas agribisnisnya. Di samping ditanamkan kesalehan pribadi, para santri juga dibekali kesalehan sosial.

"Kegiatan agribisnis dikelola santri untuk pembiayan mereka di ponpes," kata Kiai Fuad.

Di lahan kering seluas 15 ha itu, para santri dilatih bercocok tanam, terutama sayuran, seperti tomat, wortel, jipang, dan sebagainya. Hasilnya sehari mencapai empat ton dan dipasok ke berbagai hipermarket di Bandung dan Jakarta.

"Saya punya prinsip; jangan ada sampah yang ngawur, jangan ada tanah yang tidur dan jangan ada waktu yang nganggur," ujar alumni Ponpes al-Hidayah, Rembang Jawa Tengah ini. "Jika ada 500 ponpes seperti ini, kaum muslim di Indonesia tidak ada yang miskin," tambah Kiai Fuad.

Untuk menjaga kontinuitas pasokan sayuran dan buah-buahan ke hipermarket-hipermarket, santri dan petani binaan menerapkan pola tanam. "Kerja sama dengan kelompok tani lain juga digalang," jelas generasi ketiga keluarga ponpes ini.

Ponpes yang dipimpinnya sejak 1974 itu, juga memiliki usaha perikanan dan peternakan
sapi, kambing, ayam dan kelinci yang pakannya dari limbah sayuran. Sedang kotorannya diolah menjadi pupuk kandang. "Semua harus dimanfaatkan, karena tidak ada ciptaan Allah yang tak berguna," ujar Kiai Fuad.

Masyarakat sekitar juga boleh menggarap lahan milik ponpes, seluas 300 ha, yang saat ini sudah digunakan untuk budidaya teh, garmen, pupuk organik, dan sebagainya. "Baik pengembangan SDM, manajemen pemasaran, maupun permodalan difasilitasi ponpes," ujar Dandan, salah satu menantu Kiai Fuad.

Ponpes al-Ittifaq juga tak rikuh bekerja sama dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah. Bahkan ponpes itu pernah bahu-membahu dengan Kedutaan Besar Belanda melalui horticulture program untuk membantu petani di sekitar ponpes. "Kita mengambil tutornya dari Belanda," ujar Dandan.

Saat ini, Ponpes al-Ittifaq bersama pemerintah Taiwan, sedang mengembangkan cabe organik. "Permintaan dari negara itu meningkat. Jadi kita harus terus berinovasi," katanya.

Hasil dari bisnis pesantren itu menjadi sumber dana operasional ponpes. Juga digunakan untuk membantu masyarakat miskin, bahkan merenovasi pemukiman warga yang tidak layak huni. "Kita juga rutin mengadakan nikah masal setiap Syawal dan khitanan massal setiap Rajab. Sejak 2002 kita juga membangun 36 masjid dengan dana sekitar Rp 6 miliar," ujar Dandan.

Ponpes memang tak bisa cuci tangan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Dengan alasan itu, pengasuh Ponpes Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, KH. Abdul Ghofur memelopori penghijauan lahan kritis dengan tanaman mengkudu.

Berkat kegigihan kiai kelahiran Paciran, 12 Februari 1949 ini, kini ribuan hektar lahan kritis di Kecamatan Mantup, Paciran, Ngimbang dan Sugio di Kabupaten Lamongan berhasil dihutankan. Sekitar 8.000 warga sekitar pun mendapat berkah menjadi petani mengkudu. "Buahnya bisa mencapai 10 ton lebih tiap hari untuk dijual," ujar putra Kiai Ghofur, Anwar Mubarak.

Menurut Anwar, Ponpes Sunan Drajat membeli mengkudu masyarakat itu untuk diproses menjadi minuman kesehatan (jus). "Jus mengkudu produksi Ponpes Sunan Drajat sudah diekspor ke Jepang, Malaysia dan Brunei," ujarnya.

Anwar menceritakan, ayahnya mulai merintis usaha itu sejak 2002, dengan luas lahan sekitar 40 ha. Perkembangannya ternyata pesat. Sehingga pada 2004, Kiai Ghofur dinominasikan mendapat Penghargaan Kalpataru.

Namun baru tahun 2006 Kiai Gofur meraih penghargaan itu untuk kategori Pembina Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka, Senin, 12 Juni 2006.

Selain budidaya dan produksi jus mengkudu, ponpes yang memiliki sekitar 10.000 santri itu, juga memproduksi pupuk majemuk, pupuk organik, pengembangan koperasi, dan in-dustri bordir.

Kiai Ghofur juga merintis Forum Komunikasi Pondok Pe-santren Agribisnis yang diketuainya sejak 2001. Forum yang beranggotakan ponpes se-Indonesia ini juga bekerjasama dengan organisasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan Lembaga
Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama.

"Saya ingin mengajak masyarakat supaya jangan mikir akhirat saja, tapi juga mikir dunia dengan mengembangkan pertanian, industri, dan perikanan. Ini kan perintah al-Quran dan Hadis. Akhirat tidak akan sempurna jika duniawinya tidak ditata," kata Kiai Ghofur yang yang juga keturunan Sunan Drajat ini, seperti dikutip Kompas (17/06/06).

Para ulama dan kiai itu tampak serius mengembangkan kemandirian ekonomi ponpes dan santri-santrinya. Karena dari pengamatan mereka, jika tidak mapan secara ekonomi akan banyak campur tangan kepentingan pihak luar terhadap keberlangsungan ponpes. Masalah ekonomi juga berpengaruh kepada para santri yang potensial bertindak di luar etika kesantrian.

Seperti Habib Saggaf yang yakin bahwa salah satu pemicu tindak terorisme adalah kemiskinan. "Karena uang tidak ada, seseorang bisa terjerumus dalam terorisme," jelasnya.

Akibat lainnya, para santri bisa menjadi pelaku kriminal. "Termasuk jadi dukun bohong-bohongan dan bisa menjadi preman, karena merasa diri punya kekebalan," jelas Habib Saggaf. "Saya selidiki, ini semua terjadi karena mereka kesulitan secara ekonomi. Sebaliknya, jika tidak diajarkan agama, orang juga bisa jadi koruptor, pencuri atau penipu," imbuh Habib Saggaf.

Untuk mengikis dampak negatif dari kemiskinan dan kemerosotan moral itu, para ulama pun menyelenggarakan pendidikan multidisiplin di ponpes mereka.
"Kita harus membuat sekolah yang selain mengajarkan pengetahuan modern full, agama juga full," tegas Habib Saggaf.

Sekaranglah waktunya para ulama dan kiai membangun santrinya agar mumpuni di bidang agama, teknologi, juga memiliki harta cukup. Semua itu dianjurkan Islam, bukan? Wa Allah a'lam[]

Monday, July 17, 2006

al-Ibriz Li Ma'rifah Tafsir al-Qur'�n al-Aziz Tafsir Berbahasa Jawa Karya KH Bisri Musthofa

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSatu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal , adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas.

Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren di Jawa.

Hanya saja, karya tafsir ini tidak disebut sama sekali dalam karya Howard M Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, yang mengulas sejarah perkembangan tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia. Padahal buku ini merupakan salah satu rujukan lengkap dan penting, kendati tidak detail dan kurang tajam, terkait perjalanan kajian al-Qur’an di Indonesia. Buku ini membicarakan karya tafsir dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab.

Mengapa karya tafsir Kiai Bisri yang lengkap 30 juz ini tidak disebut dalam analisis Howard? Ada asumsi, Howard hanya mengkaji karya tafsir yang berbahasa Indonesia belaka. Mau tidak mau, tafsir berbahasa Arab seperti Marah Labid karya Syeikh Nawawi al-Bantani dan berbahasa Jawa seperti al-Ibriz karya KH Bisri Musthofa ini tereleminasi dari analisisnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa dua karya tafsir yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kajian al-Qur’an di Indonesia ini tidak turut dianalisis Howard?

Lebih Dekat dengan KH Bisri Musthofa

KH Bisri Musthofa, nama kecilnya Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.

Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.

Tokoh Tiga Zaman

KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.

Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.

Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye.

Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.

Dari Kasingan ke Kasingan

Semula, Mashadi (nama kecil Kiai Bisri) tidak berminat sama sekali belajar di pesantren, tapi toh akhirnya nyantri juga di sana. Mashadi pertama kali mengenal pesantren usai tamat sekolah Ongko Loro, karena kakaknya, H Zuhdi, pernah mengirimnya ke pesantren asuhan Kiai Chasbullah di Kajen untuk mengaji pasanan. Di sana Mashadi tidak kerasan dan baru tiga hari pulang kembali ke rumah. Begitu juga ketika disuruh mengaji di pesantren Kiai Kholil di Kasingan (kelak menjadi mertuanya), tetangga desanya di Rembang, Mashadi kembali ogah-ogahan.
Apa yang menyebabkan Mashadi selalu berusaha menghindari dunia pesantren? Dalam pandangan Mashadi, pelajaran di pesantren sangatlah sulit dan rumit, terutama pelajaran nahw dan sharaf. Karenanya, Mashadi malas belajar di pesantren. Selain itu, Kiai Kholil, Pengasuh Pesantren Kasingan, dalam pikiran Mashadi waktu itu, terkesan angker, galak dan menakutkan. Bagi Mashadi, lebih baik tidak usah mengaji di pesantren dari pada nanti terkena pukulan kiai.

Keinginan Mashadi sendiri saat itu bukanlah mengaji di pesantren, malainkan bekerja mencari uang. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat di daerahnya mayoritas pedagang. Kakaknya, H Zuhdi, membuka toko cukup besar. Kakak iparnya, H Mukhtar adalah pedagang batik terkenal di pasar Rembang, pasar Sulang, dan pasar Kaliori. Namun demikian, setelah beberapa waktu berhenti dalam kebimbangan, Mashadi akhirnya kembali lagi ke pesantren Kasingan. Kali ini dengan jurus baru. Untuk penyesuaian diri, Mashadi sementara waktu tidak ikut mengaji langsung pada Kiai Kholil. Bukan takut pukulannya, tapi untuk belajar terlebih dahulu secara diam-diam pada santri senior bernama Suja’i, yang tak lain ipar Kiai Kholil sendiri. Tak tanggung-tanggung, Mashadi langsung mengaji kitab Alfiyyah Ibn Malik, kitab nahw berbentuk seribu(an) nadham.

Mashadi berhasil dan mendapat perhatian istimewa dari kiai dan teman-teman santrinya. Mashadi selalu duduk di depan dan paling pintar dalam setiap majlis pengajian nahw. Sejak itulah, kehadiran Mashadi mulai diperhitungkan. Bahkan teman-temannya, mempercayai Mashadi sebagai pengulang pelajaran kiai dan lurah pondok. Pada Juni 1935, Kiai Kholil mengawinkan Mashadi yang masih berusia 20 tahun, dengan puterinya, Ma’rufah bint Kholil, yang baru berumur 10 tahun. Sebagai menantu kiai, Mashadi dituntut untuk menjadi pengajar. Kenyataan ini membuat Mashadi bingung, karena banyak santri yang minta dibacakan kitab ini atau kitab anu. Padahal Mashadi sendiri belum pernah tahu wujudnya, apalagi mengajinya.

Prinsip belajar candhak kulak (belajar sambil mengajar) pun dilakoninya. Mashadi belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab di Karanggeneng pada Kiai Kamil. Hasil musyawarah itu dibacakan besok paginya di depan para santri di Kasingan. Karenanya, jadwal mengaji di Kasingan sangat tergantung pada jadwal di Karanggeneng. Kalau Karanggeneng libur misalnya, pengajian di Kasingan pun otomatis turut libur. Itu berarti Mashadi kehabisan bahan.

Lama kelamaan, Mashadi tidak betah dengan model candhak kulak ini. Mashadi pun berkeinginan meninggalkan Rembang. Yang penting bagi Mashadi adalah pergi dari ‘bumi panas’ Ponpes Kasingan. Karenanya, saat musim haji tiba, Mashadi nekat pergi ke Makkah dengan uang tabungan dari hasil jual kitab Bijuraimi Iqna’. Menjelang rombongan pulang ke Tanah Air, Mashadi teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan pengetahuan pas-pasan. Mashadipun memutuskan tidak turut pulang dan tiketnya dijual.

Bersama dua temannya, Suyuti Kholil dan Zuhdi dari Tuban, Mashadi bermukim di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Selama setahun di sana, Mashadi berguru kepada Kiai Bakir, Syeikh Umah Hamdan al-Maghribi, Syeikh al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath, Sayid ‘Alawi, dan Kiai Abdul Muhaimin. Dan pada musim haji berikutnya, Mashadi baru kembali ke Tanah Air.

Kiai-Penulis yang Produktif

Sejarah hidup Mashadi, selanjutnya disebut Kiai Bisri, memang menarik. Bukan saja karena Kiai Bisri seorang ulama, politisi, pengarang, dan sastrawan, tapi juga kehidupannya yang tidak seperti kebanyakan kiai di Jawa. Kiai Bisri dinilai agak ‘aneh’ dalam beberapa hal. Misal pandangannya tentang keikhlasan. Menurutnya, keikhlasan tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir bersamaan dengan kondisi ketika seseorang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan dalam menuntut keikhlasan. Misalnya, seseorang dipaksa ikhlas seusai bekerja, tanpa imbalan jelas. Ini, menurutnya, tidak lebih dari pemerkosaan terhadap muatan ikhlas.

Mengapa seseorang lamban dalam berprestasi? Sebabnya antara lain, karena ia merasa malu menghitung ikhtiarnya dalam ukuran ekonomi. Dalam hal ini, Kiai Bisri tidak segan-segan memberi muatan ikhlas dengan perhitungan yang jelas secara ekonomis. Kiai Bisri ingin berkarya secara professional dan dari sinilah lahir dorongan untuk terus berkarya. “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, sangat wajar,” katanya pada suatu kesempatan kepada KH. Ali Ma’sum dari Krapyak.

“Pak Bisri, Sampean pergi-pergi melulu. Kapan sampean sempat ngajar santri?” protes Kiai Ali Ma’sum suatu saat. “Meskipun saya tidak mengajar, sesungguhnya para santri mengaji pada saya, termasuk santri Sampean,” jawab Kiai Bisri enteng. Buku-buku karangan Kiai Bisri memang banyak dibaca para santri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kiai Bisri juga relative jarang di rumah untuk mengajar para santri di pesantrennya. Sebagai seorang muballigh terkemuka, Kiai Bisri sering berdakwah keluar daerah, karena tidak tega menolak permintaan masyarakat yang mengundangnya berdakwah. Untuk itulah Kiai Bisri punya target ideal dengan menulis karya-karyanya. Selain mendapat akhirat, ekonomi juga didapatkannya. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak, bukan hanya tanggung jawab, tapi keharusan yang berpahala.

Karya Kiai Bisri tidak kurang dari 25 buah judul, baik, terjemahan, nadm/syi’r, maupun esai. Dan karyanya, dalam banyak hal, ditujukan pada dua obyek. Pertama, kelompok santri di ponpes. Karya-karya ini berupa Ilmu Bahasa Arab, terutama nahw, sharaf, manthiq, dan balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan. Karya-karya untuk mereka lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis terkait ‘ubudiyyah.

Seputar al-Ibriz

Karya tafsir Kiai Bisri Musthofa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah.

Oleh penulisnya, seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya.

Kiai Bisri menuturkan, ‘Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya. Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu.

Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang.

Metodologi Penulisan al-Ibriz

Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa, pemakalah hanya mengikuti apa yang telah dinyatakannya. Kiai Bisri menegaskan, metode penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut:
a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.
c. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain.

Apa yang ditegaskan Kiai Bisri ini, bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan dalam terhadap al-Ibriz ini, utamanya berkaitan dengan sistematika penulisannya. Untuk point a dan b, pemakalah tidak kerepotan mendeteksinya, karena keduanya tak terlalu jauh berbeda. Fungsinya mirip. Point b merupakan elaborasi bebas dari point a. Tapi untuk point c, hingga kini pemakalah masih belum memiliki kejelasan yang clear, apa yang Kiai Bisri maksudkan dengan kategori tanbih, faidah, qishshah atau muhimmah. Pun fungsi dari masing-masing kategori itu, belum tertemukan jawabannya. Ini karena Kiai Bisri tak pernah menjelaskannya. Kabut penasaran akhirnya terus menggelayuti benak pemakalah.
Selain itu, berdasarkan penelitian ‘prekok’ yang pemakalah lakukan, cukup banyak ‘kerancuan’ atau ketidakpastian perihal penggunaan ketiga kategori itu. Kategori faidah yang mulanya pemakalah asumsikan sebagai ruang penyebutan sabab nuzul al-ayat, ternyata tidak selamanya benar. Terbukti, terkadang sabab nuzul al-ayat juga disebutkan pada kategori muhimmah, tanbih, atau kategori yang lain. Misalnya, kategori faidah pada juz xv/847 memang digunakan untuk menuturkan sabab nuzul al-ayat Qs. al-Isra’ ayat 45.

Tapi di kesempatan lain, pada juz xv/874, kategori tanbih juga digunakan untuk menyebutkan sabab nuzul al-ayat, yakni Qs. al-Isra’ ayat 111. Sabab nuzul al-ayat terkadang juga disebutkan pada kategori muhimmah, seperti pada juz xv/894, terkait Qs. al-Kahf ayat 28. Pun sabab nuzul al-ayat tak jarang disebutkan pada kesempatan-kesempatan lain di luar ketiga kategori itu. Misalnya pada juz xv/891 terkait Qs. al-Kahf ayat 23. Ketidakpastian seperti inilah yang memunculkan kerancuan dalam diri pemakalah.

Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Karenanya, pemakalah berani menyimpulkan, bahasa Jawa yang digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus).

Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko digunakan tatkala Kiai Bisri menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada keterkaitan dengan cerita tertentu dan tidak terkait dengan dialog antar dua orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan untuk mendeskripsikan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak memiliki status sosial berbeda. Satu di bawah dan lainnya di atas. Satu hina dan lainnya mulia. Misalnya, deskripsi dialog yang mengalir antara Ashab al-Kahf dengan Raja Rumania yang lalim, Diqyanus, antara Qithmir (anjing yang selalu mengiringi langkah Ashab al-Kahf) dengan Ashab al-Kahf, antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy bernama Uyainah bin Hishn, antara Allah SWT dengan Iblis yang enggan menuruti perintah-Nya untuk bersujud pada Adam AS, juga antara Khidir AS dengan Musa AS.

Kiai Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya. Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi a la Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.

Pertanyaan selanjutnya: metode apakah yang ditempuh Kiai Bisri dalam menyusun karya tafsirnya ini? Berdasarkan analisis yang pemakalah lakukan secara ‘ijmalistis’ alias global dan tidak mendetail ini, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah tahlili. Cocok juga disebut sebagai al-tahlili al-wajiz, seperti halnya Tafsir al-Jalalain. Dan tak salah juga disebut ijmali. Sedang manhaj-nya tak lain adalah al-ma’tsur.

Kasus Penafsiran dalam al-Ibriz

Perihal penafsiran Kiai Bisri dalam karya tafsirnya ini, pemakalah akan memberikan beberapa contoh penafsirannya secara acak. Misalnya terkait Qs. al-Isra’ ayat 23, KH Bisri menulis, ‘Allah Ta’ala wus perintah supoyo siro kabeh ora nyembah kejobo namung marang Panjenengan Dewe, lan supoyo ambeciki marang wong tuwo loro, ateges ngabekti marang bopo biyung. Lamun salah suwijine wong tuwo loro utowo karo pisan wus tuwo, tur dadi tanggungan iro, ojo pisan-pisan siro ngucap marang deweke: ‘opo’ utowo ‘hush’. Lan siro ojo nyentak marang wong tuwo loro. Ngucapo marang wong tuwo loro sarono pangucap kang bagus, alus’.

(Allah Swt telah memerintahkan, supaya kamu semua tidak menyembah selain-Nya dan supaya berbuat baik kepasa kedua orang tua, maksudnya berbakti kepada ibu-bapak. Jika salah satu dari atau keduanya sudah lanjut usia, dan menjadi tanggunganmu, maka jangan sekali-kali kamu berkata; ‘apa’ atau ‘hush’. Kamu jangan membentak keduanya. Berkatalah pada keduanya dengan perkataan yang baik, halus).

Terkait Qs. al-Isra ayat 29, Kiai Bisri menulis, ‘Tangan iro ojo siro belenggu oleh gulu iro, ateges medit ora infaq babar pisan, lan iyo ojo iro beber babar pisan, mundak-mundak siro dadi wong pinahidu [meryo ora aweh babar pisan] utowo dadi getun ora duwe opo-opo [mergo olehe infaq dikabehaken].’

(Tanganmu jangan kamu belenggukan pada leher, maksudnya pelit tidak berinfaq sama sekali, pun jangan kamu umbar sama sekali, nanti kamu menjadi orang yang dicela (karena tidak memberi sama sekali) atau menjadi menyesal tidak punya apa-apa [karena diinfakkan semua]).

Misalnya lagi, terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis: Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus.

Tanbih: wa la tajhar bi shalatika. (Tentang) firman bi shalatika ini ulama berbeda pendapat. Menurut shahabat Ibn Abbas, penafsiran shalatika itu membaca al-Qur’an. Saat itu Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga tidak bagus. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

Tentang penafsiran shalatika ini Kiai Bisri memang ‘mengekor’ kepada ulama sebelumnya, yaitu Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah. Namun ketika persoalan larangan mengeraskan bacaan al-Qur’an atau do’a itu dikontekkan pada saat ini, Kiai Bisri memberi ramuan penafsiran yang berbeda. Menurutnya, jika saat ini pembacaan al-Qur’an secara keras tidak menjadi sebab bagi orang-orang kafir menjelek-jelekkan al-Qur’an dan Allah Ta’ala, maka hukum pelarangan itu menjadi hilang. Dalam hal ini, Kiai Bisri paham betul kaidah fikih, al-hukm yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-amkan wa al-ahwal atau idza wujidat al-‘illah wujida al-hukm wa in intafat al-‘illah intafa al-hukm.

Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat

Ketika menafsirkan Qs. al-Rahman ayat 27 yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika dzu al-jalali wa al-ikram, Kiai Bisri menafsirkan, ‘Sekabehane kang ana ing bumi (hewan-hewan lan liya-liyane) kabeh rusak. Lan tetep ora rusak Dzate Pangeran ira kang kagungan sifat kahagungan lan mulyaakan marang wong-wong mukmin.’ (Semua yang ada di bumi [hewan-hewan dan yang lainnya], semua hancur. Dan Dzat Allah SWT yang memiliki sifat agung dan memuliakan kaum mukmin tidak hancur.)

Terkait Q.s al-Qashshash ayat 88 yang berbunyi wa la tad’u ma’a Allah ilahan akhara la ilaha illa huwa kullu syai’in halikun illa wajhahu lahu al-hukmu wa ilaihi turjaun, Kiai Bisri menuliskan, ‘Siro ojo nyembah bareng-bareng karo nyembah Allah. (Ojo nyembah) sesembahan liyo, ora ono Pangeran kang hak disembah kejobo namung Allah ta’ala dewe. Sekabehane opo bae iku mesti rusak kejobo Panjenengane Allah. Iku namung kagungane Allah ta’ala dewe sekabehane putusan kang lestari. Lan namung marang Panjenengane Allah dewe siro kabeh bakal dibalekake (sowan, tangi sangking kubur banjur podo ngerasaake walese Pangeran dewe-dewe)’.

(Kamu jangan menyembah Allah dengan disertai menyembah selain-Nya. Jangan menyembah sesembahan lain. Tidak ada Pangeran [Tuhan] yang hak disembah kecuali Allah saja. Apapun yang ada pasti hancur kecuali Dzat Allah. Keputusan yang abadi hanya kepunyaan Allah. Dan hanya pada Allah lah kalian semua akan dikembalikan [bangun dari kubur lantas masing-masing merasakan balasan Tuhan]). Wa Allah a’lam.
Sedang terkait Qs. al-Zumar ayat 67 yang berbunyi, wa al-samawatu mathwiyyatun bi yaminih, Kiai Bisri mengartikannya ‘utawi piro-piro langit iku dilempit kelawan asto tengene Allah.’ (Langit dilipat dengan tangan kanan Allah). Lantas Kiai Bisri menafsirkan, ‘Langit-lagit dilempit, dikumpulaken serana kakuasaane Allah Ta’ala.
Itulah beberapa kasus penafsiran dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz karya Kiai Bisri Musthofa, ayahanda al-marhum KH Cholil Bisri dan KH A Musthofa Bisri. Dan masih banyak kasus penafsiran lain yang tak kalah menarik dan patut dielaborasi lebih jauh pada kesempatan lain. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.[]

Konsep Iman, Islam, Kufr, dan Ahli Kitab dalam Qur�n, Liberation & Pluralism

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSalah satu manifestasi (dan konsekuensi) meningkatnya kekakuan teologi Islam adalah pembakuan istilah-istilah seperti iman, Islam dan kufr. Istilah-istilah ini tidak lagi dipandang sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu; kualitas yang dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap hidup individu itu. Bahkan, istilah-istilah itu kini dipandang sebagai kualitas yang tertanam dalam kelompok, sebagai pagar karakteristik etnis. Cara istilah ini dipergunakan di dalam al-Qur’an dan beberapa literatur tafsir menunjukkan bahwa hubungan antara pemaknaan awal dengan penggunaannya saat ini telah agak berselisih. Meski beberapa aspek pemaknaan kontemporer berakar dari yang awalnya, ada aspek lain yang telah diabaikan sepenuhnya. = Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), hal. 156 =

A. Muqaddimah

Farid Esack, dalam Qur’an, Liberation and Pluralism yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, mencoba memberikan tawaran pada umat Islam dewasa ini, untuk melakukan reinterpretasi secara radikal terhadap istilah-istilah agama yang telah mengalami pembakuan dan pembekuan. Pembakuan dan pembekuan ini pada gilirannya akan kian mempersulit upaya mewujudkan keadilan. Karena itu, yang terjadi, istilah itu justeru akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Imân, Islâm dan kufr, menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis.

Untuk itulah, upaya membedah pikiran-pikiran – meminjam bahasa Farid Esack – progresif yang ditawarkannya perlu dilakukan secara kritis dan mendalam. Sehingga, hubungan keberagamaan yang saling menghargai dan menguntungkan satu sama lain bisa dikedepankan. Sebab, hanya dan hanya dengan model keberagamaan seperti inilah, harmonisasi antar berbagai pemeluk agama akan terajut dengan sangat indah memukau.

B. Sketsa Biografi Farid Esack

Farid Esack lahir pada 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, Afrika Selatan. Ia lahir dari seorang ibu yang ditinggalkan suaminya bersama lima orang anak yang lain. Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack lantas mau tidak mau harus memainkan peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu bagi enam anaknya yang masih kecil-kecil.

Karena keterbatasan perekonomian, tak jarang mereka mengemis meminta belas kasihan orang lain. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan.

Kenyataan-kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain. Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus , adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.

Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas. Esack juga seorang pengagum dan pengidola Abû Dzarr al-Ghifârî, bapak sosialisme Islam. Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja.

B. Pendidikan dan Aktivisme

Di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen. Terkait aktivitasnya, sejak usia 9 tahun Esack telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood). Esack juga berkesempatan menuntut ilmu di Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah al-‘Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang Hukum Islam.

Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan “tukang kredit” berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.
Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di mana ia sering menemui penindasan terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977, Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah.

Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.

Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nashrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi antara lain:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة: 120).

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu” (QS al-Baqarah: 120).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة: 51).

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (QS al-Ma’idah: 51).

Hal inilah yang mendorong Esack mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci yang seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University Nortridge).

C. Gagasan tentang Imân, Islâm, Kufr, dan Ahli Kitab

1. Imân

Ketika berbicara tentang îmân, Farid Esack acapkali mengutip QS al-Anfâl: 2-4.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4). (الأنفال: 2-4).

Artinya: “Sungguh, mu’minûn adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka; dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya, semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan diri (2), yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah mu’minûn yang sebenar-benarnya. (3) Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (4). (QS al-Anfal: 2-4).

Menurut Esack, ayat diatas adalah yang paling eksplisit mendefinisikan kata mu’min. Meski mu’min di sini secara luas dimaknai sebagai “mu’min yang utuh”, ide tentang keutuhan atau ketidakutuhan îmân itu sendiri menunjukkan dinamisme konsep, dinamisme yang lebih jauh menggarisbawahi adanya îmân yang diperkuat dan dipertinggi. Teks ini juga merefleksikan hubungan antara îmân dengan amal saleh.

Esack juga memberikan definisi îmân, kendati banyak mengadopsi gagasan pemikir-pemikir sebelumnya, seperti al-Baidhawi, Lane, atau Fazlur Rahman. Menurut Esack, îmân merupakan bentuk verbal dari akar kata a-m-n yang merujuk pada pengertian “aman”, “mempercayakan”, “berpaling kepada”, yang dari sana diperoleh makna “keyakinan yang baik,” “ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan”. Bentuk amânah memiliki makna ganda “percaya” dan “menyerahkan keyakinan.” Dengan demikian, makna primernya adalah “menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati; bukan hanya di lidah.”

Pengertian îmân seperti ini, sebelumnya telah diberikan oleh E.W. Lane melalui kamusnya, Lane’s Arabic-English Lexicon. Dengan demikian, pemaknaan îmân model Esack tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan pemaknaan menurut Lane. Sebab, Esack dengan terang-terangan merujuk karya Lane itu. Selain itu, Esack juga mengutip pandangan-pandangan al-Baidhâwî. Esack menulis, dengan mengutip al-Baidhâwî, ketika a-m-n diikuti partikel bi, kata itu berarti “mengakui” atau “mengenali”. Kata ini juga dipakai dalam makna “percaya”, yaitu ketika orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang.

Esack kemudian menulis dengan mengutip Fazlur Rahman; menurut al-Qur’an, “îmân adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng terhadap cobaan.” Karena itu, lanjut Esack, melalui pemahaman atas QS al-Anfâl: 2-4 itu, setidaknya ada tiga tema pokok yang dapat diambil terkait persoalan îmân ini. Pertama, watak dinamis îmân. Kedua, kesalingterkaitan antara îmân dengan amal saleh. Dan ketiga, îmân sebagai respon personal kepada Tuhan.

Dalam karya agungnya, al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Esack mengulas cukup panjang tentang kontroversi fluktuasi îmân: apakah îmân dinamis atau justrru statis? Sebagai bentuk pembandingan, supaya mendapatkan gambaran yang utuh dan jernih tentang persoalan ini, disamping menuliskan argumen kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân, Esack juga menampilkan kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Setelah itu Esack baru memberikan pandangannya, kendati tetap jatuh pada salah satu kelompok yang “berseteru” itu. Ini merupakan keputusan wajar seorang penafsir.
Dalam bukunya ini, pertama-tama Esack menuliskan pandangan kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân. Esac menulis, kebanyakan penafsir berpendapat bahwa dalam kalimat “semakin kuatlah îmân mereka” yang semakin menguat adalah aspek penegasan dan kepuasan hati, bukan îmân itu sendiri. Al-Thabari mengatakan: “Ditambahkanlah pengakuan lebih banyak lagi pada pengakuan mereka saat itu.” Al-Zamakhsyarî mengatakan, “yang bertambah adalah keyakinan dan kepuasan di hati.” Al-Râzî menegaskan, yang bertambah itu kepastian, ketegasan, dan kesadaran (bukan îmân itu sendiri).

Esack kemudian membandingkan gagasan kelompok ini dengan kelompok yang berseberangan, yakni kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Sebagai wakil dari kelompok ini, Esack menampilkan Ibn ‘Araby (dari kalangan sufi), al-Thabathabai (dari kalangan Syiah), dan Râsyid Ridha (dari kalangan Sunni). Menurut Esack, ketiga tokoh terkemuka dari wakil kelompok yang berbeda-beda ini dengan cara yang berbeda-beda pula menerima ide bahwa îmân itu sendirilah yang bertambah. Ibn Araby menyebutnya sebagai “kemajuan dari tingkat pengetahuan menuju tingkat keyakinan.” Al-Thabathabai sepakat bahwa “cahaya îmân itu memancar secara berangsur-angsur ke dalam hati, dan intensitasnya meningkat sampai terang sempurna... îmân kemudian semakin bertambah dan tumbuh sampai pada tingkat keyakinan.” Sedang Ridha menafsirkan bertambahnya îmân sebagai “keyakinan (yang makin besar) untuk patuh, kuatnya kepuasan hati, dan kekayaan dalam pengenalan.” Ridha juga mengatakan, “sebenarnya îmân dalam hati itu sendirilah yang bertambah atau berkurang.”
Pertanyaannya kemudian, di mana posisi Farid Esack? Esack berdiri kokoh di tengah pandangan kelompok kedua yang mengakui dinamisasi dan fluktuasi îmân. Esack menulis, persoalan paling signifikan adalah bahwa îmân merupakan pengakuan pribadi dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi îmân ini mengimplikasikan bahwa îmân berfluktuasi dan dinamis. Esack kemudian merujuk setidaknya pada dua hadis: “îmân akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti” dan “îmân itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tiada tuhan selain Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. (Bahkan) kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.” Esack melanjutkan, meski sumber asli îmân adalah karunia dan kemurahan Tuhan, îmân tatap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh berbagai pengalaman sosial dan personalnya. Kemudian secara lebih tagas lagi Esack menyatakan, “semua ini membuktikan bahwa realitas tingkatan îmân lebih bisa diterima dibandingkan ide tentang îmân yang stabil dan tidak berubah.” Bagaimana kita menjelaskan posisi pemikiran Esack yang justeru berdiri di tengah kelompok kedua? Untuk menjawab pertanyaan ini, diskusi yang baik perlu kita lakukan.

Tentang îmân yang selalu terkait dengan amal saleh, seperti tergambar dalam QS al-Anfâl: 2-4 di atas, Esack menyatakan, îmân secara instrinsik terkait dengan amal saleh, entah sebagai bagian atau konsekuensi dari îmân. Esack kemudian mengutip ucapan Rahman, bahwa memisahkan îmân dari tindakan adalah absurd dan tak dapat diterima menurut pandangan al-Qur’an.

Lagi-lagi, Esack juga setuju dengan gagasan pemikir sebelumnya, Izutsu. Bahkan Esack mengatakan, penjelasan paling baik tentang hubungan ini adalah seperti yang dikatakan Izutsu: “Kaitan terkuat dari hubungan semantiknya mengikat shâlih (kesalehan) dan iman sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihah (amal saleh)...sehingga kita dapat dibenarkan jika mendefinisikan yang pertama dalam terma yang kedua, atau mengekspresikan yang kedua dalam terma yang pertama.”

Dalam kesempatan lain, terkait hubungan antara îmân dan amal saleh ini, Esack juga menulis sekaligus menyentil tradisi kaum muslim secara umum yang keimanannya tidak menjadikan dirinya peka terhadap realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Esack menyindir, îmân (keyakinan) kita seperti jubah dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid, sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan sipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak diantara kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam masjid atau daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli. Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya.

Dengan pernyataan ini, jelas bahwa Esack sangat menekankan teori keimanan yang diiringi praksis tindakan. Keimanan tak ada maknanya, tanpa diiringi tindakan nyata bagi kehidupan masyarakat. Keduanya harus dipadukan, laksana – meminjam bahasa Izutsu – benda dan bayangannya. Dan inilah sebenarnya, yang melatari Esack menulis buku al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme.

2. Islâm

Ketika mengulas terma Islam, mula-mula Farid Esack mengutip QS Ali Imrân: 19:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (ال عمران: 19).

Artinya: “Sungguh, dîn di sisi Allah hanya Islâm. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena dengki diantara mereka. Barang siapa menolak (yakfur) ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imrân: 19).

Menurut Esack, sebagai bentuk invinitif dari aslama, Islâm bararti “tunduk”, “menyerah”, “memenuhi atau melakukaan”. Dalam konteks kalimat “ia masuk ke dalam al-silm”, Islâm diartikan sebagai nama suatu agama. Istilah ini juga bermakna “rekonsiliasi”, “damai” atau “keseluruhan”. Dalam hal ini, secara tidak langsung memang, sebenarnya Esack “mengakui” dirinya banyak terpengaruh oleh pemaknaan yang tawarkan pemikir sebelumnya, seperti Rasyid Ridha, Amir Ali, dan Muhammad Ali. Kedua nama terakhir ini, oleh Esack diidentifikasi sebagai kaum liberal Muslim.

Esack menulis (dan menyetujuinya), Rasyid Ridha adalah satu-satunya yang membedakan secara eksplisit antara Islâm yang dilembagakan dengan yang tidak. Ridha berpendapat, penggunaaan al-Islâm dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut Muslim, masih relatif baru, dan didasarkan pada prinsip fenomenologi “agama sebagai apa yang dianut oleh para pemeluknya.” Islam sosial dan Islam adat, “yang beragam dan tergantung pada perbedaan yang terjadi pada penganutnya melalui penerimaan yang tidak kritis, tak ada hubungannya dengan Islâm yang sebenarnya, tapi sebaliknya menyimpang dari iman yang sejati.

Tentang pemaknaan Islam yang tidak sektarian, Farid Esack juga setuju dengan pandangan Cristian Troll. Troll misalnya, mengatakan: “Islâm primordial dan universal, yaitu penyerahan diri kepada Yang Absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan, di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang...Setiap respons tulus terhadap panggilan dari sang Misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan Islâm eksistensial dan personal.”

Dan jika ditelusuri lebih jauh, gagasan Esack tentang Islam ini sebenarnya banyak diwarnai oleh gagasan Jane Smith dalam karyanya, A Historical and Semantic Study of the Term ‘Islam’ as seen in Sequence of Qur’an Commentaries. Bahkan, jika kita menelaah secara seksama karya Esack al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, kita akan melihat betapa Jane Smith paling banyak dijadikan referensi gagasan Esack tentang term ini. Misalnya, Esack setuju dengan Smith yang memperlihatkan, bahwa arti yang asli dari Islâm terdapat dalam gabungan pemahaman individu dan kelompok. Dalam tafsir tradisional, Islâm adalah ketundukan individual sekaligus nama suatu kelompok. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan Jane Smith yang diadopasi (secara kritis?) oleh Esack dalam karyanya ini.

Yang menjadi persoalan dalam wacana dominan Muslim kontemporer, menurut Esack, adalah wacana itu didasarkan pada ide bahwa Islâm hanyalah Islam yang sudah dilembagakan. Di dalam teks yang menggunakan kata itu jelas terkandung makna personalis sekaligus kelompok. Esack lantas menganjurkan, supaya kedua pengertian itu ditampung dalam setiap upaya untuk membuat ruang bagi keduanya: pentingnya ketundukan pribadi dalam kerangka identifikasi kelompok, sekaligus kemungkinan ketundukan pribadi di luar parameter historis komunitas Muslim.

Esack juga menulis, meski QS Ali Imrân: 19 acap digunakan untuk menegaskan keutamaan Islam atas agama-agama lain, muatan universal dalam istilah Islâm memberi pemahaman bahwa teks itu ditujukan bagi siapa saja yang tunduk pada kehendak Tuhan. Dengan demikian, cakupan ini memasukkan agama-agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya, dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka. Karena itu, Esack setuju dengan ucapan Ridha yang menyatakan, Muslim yang sejati adalah yang tak ternoda oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apapun, dalam periode kapanpun, dan di tempat asal manapun.” Dari sinilah, gagasan Esack tentang pemaknaan asal Islam menjadi terurai dengan sangat nyata. Dan gagasan Esack – kendati banyak setuju dan mengadopsi gagasan pemikir muslim modernis sebelumnya – inilah yang mentahbiskan dirinya sebagai pemikir muslim progresif yang layak mendapat apresiasi tinggi.

3. Kufr

Dalam merefleksikan makna kufr, Esack berpijak pada QS Ali Imrân: 21-22.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِحَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (21) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ. (22). (ال عمران: 22).

Artinya: “Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfurûn) ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuh orang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkanlah bahwa mereka akan memperolah siksa yang pedih. (21). Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya, dan mereka sekali-kali tidak akan memperoleh penolong.” (22). (QS Ali Imrân: 21-22).

Menurut Esack, teks ini menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan yang sosiopolitis (keadilan). Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang pedih” dan hilangnya dukungan. Dan kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” adalah salah satu cara untuk menggambarkan kaum lain dalam al-Qur’ân, dengan memakai bentuk-bentuk dari kufr. Bentuk lain adalah kâfir, dan jamaknya kuffâr atau kâfirûn.

Dalam pemaknaan etimologisnya, Esack setuju dengan pemaknaan yang diberikan Ibn Mandzur dan Lane. Keduanya memaknai kufr dengan “menutup”. Kemudian kufr digunakan untuk penutupan sesuatu dengan niat untuk menghancurkannya. Namun – dalam hal ini Esack setuju dengan al-Baidhawi – pemaikaian awalnya yang paling lazim adalah “penutupan perbuatan baik” yaitu “tidak bersyukur.” Esack juga sepakat dengan Izutsu yang mengatakan, ketika Islâm diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim dengan penolakan terhadapnya. Seorang kâfir, dengan demikian, berarti “orang yang menerima kebaikan dari Tuhan, namun tidak bersyukur atau malah mengingkarinya.”

Izutsu juga menunjukkan, inti struktur (makna primer) term kufr bukan “tak percaya”, melainkan “tak bersyukur” atau “tak tahu berterima kasih”. Di dalam al-Qur’ân, kufr mendapat makna sekunder “orang yang tak meyakini Tuhan”, karena ia sering muncul sebagai lawan dari mu’min. Karenanya, Esack menuliskan, obyek kekufuran di dalam al-Qur’an seringkali berupa keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan, dan para nabi. Terkadang Esack juga mengaitkan kufr dengan penolakan untuk bermurah hati kepada orang lain.

Dalam tulisannya yang lain, Tauhid dan Pembebasan, Esack juga menulis: kufr bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan, tetapi juga sebuah pola perilaku. Kita tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid. Kita tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang lain). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko.

Karenanya, Esack berpesan, agar tidak terjadi perlakuan tidak adil terhadap mereka yang tidak berlabel “Muslim”, maka ada beberapa hal penting yang mesti diindahkan, antara lain, pertama, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islâm dan Mulim, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasi keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan ini. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kâfir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, namun memilih menolak mengakuinya. Ketiga, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kufr untuk menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, karena pertimbangan material (QS al-Anbiyâ’: 53; QS al-Syu’arâ’: 74; QS Luqmân: 21); ikatan kesukuan (QS al-Zukhruf: 22); dan karena Islâm akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak adil (QS Ali Imrân: 21).

4. Ahli Kitab

Salah satu masalah pokok yang diungkap al-Qur’ân ialah Ahli Kitab. Secara umum, kaum Yahudi dan Nashrani, adalah komunitas yang ditunjuk al-Qur’ân sebagai Ahli Kitab. Dua komunitas itu secara jelas diketahui memiliki persambungan akidah dengan kaum Muslim. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan Injil (kitab suci agama Nashrani) serta mengopreksi sebagian lainnya. (Lihat QS Ali Imrân: 3; QS al-Mâ’idah: 48; dan QS al-An’âm: 92).

Kendati demikian, sebenarnya al-Qur’ân sendiri memiliki konsep yang tidak selalu sama mengenai Ahli Kitab. QS Ali Imrân: 64 mengajak Ahli Kitab untuk mencari titik temu (kalimah sawâ’) dengan umat Islam. Mereka juga kelompok yang harus diperlakukan dengan baik (QS al-Ankabût: 46); sebagian dari mereka ada yang beriman kepada al-Qur’ân dan kitab-kitab lain (QS Ali Imrân: 113-115 dan 199); sebagian dari mereka juga ada yang mendapat kecaman dalam al-Qur’ân (QS al-Mâ’idah: 59, QS Ali Imrân: 69, QS al-Baqarah: 109); dan sembelihan dan wanita-wanita yang baik dari mereka halal bagi kaum Muslim (QS al-Mâ’idah: 5).

Terkait persoalan Ahli Kitab, Esack mengatakan, posisi al-Qur’an terhadap Ahli Kitab dan bahkan pengertian tentang siapa yang disebut Ahli Kitab itu berkembang dalam beberapa fase. Memang ada kesepakatan bahwa istilah ini selalu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang ditemui Nabi Muhammad selama misi kenabiannya. Al-Qur’an pada dasarnya hanya menyinggung perilaku dan keyakinan kaum Ahli Kitab yang benar-benar mengalami kontak sosial dengan masyarakat Muslim awal. Karenanya, menyamakan begitu saja kategori al-Qur’an tentang Ahli Kitab dengan kaum Yahudi dan Nashrani dalam masyarakat kontemporer, lanjut Esack, berarti mengabaikan realitas historis masyarakat Madinah, serta perbedaan teologis antara kaum Yahudi dan Nashrani yang dulu dan yang sekarang.

Melalui pernyataan ini, tergambar jelas dalam benak kita bahwa Esack mencoba melakukan pembedaan secara tegas antara Yahudi dan Nashrani secara historis yang ditemui Nabi Muhammad di Madinah – ini yang banyak disebut al-Qur’an sebagai Ahli Kitab – dengan Yahudi dan Nashrani yang hidup saat ini. Karena itu, pada kesempatan lain, Esack menyatakan: “ada beberapa masalah dalam membahas Ahli Kitab sebagai kelompok agama kontemporer yang dianggap sama dengan yang dimaksud al-Qur’an.” Esack sendiri tampaknya tidak terlalu mementingkan klaim-klaim Ahli Kitab atau bukan Ahli Kitab itu. Bagi Esack, yang jauh lebih penting adalah bagaimana hubungan antara pemeluk agama yang berbeda bisa terajut dengan harmonis, apakah itu dengan Ahli Kitab atau dengan pemeluk agama yang lain.

Sebab itu pula, pada kesempatan lain Esack menyatakan, untuk menghindari penyamarataan (gagasan Ahli Kitab—red) ini, dibutuhkan gagasan yang jelas dari sumber-sumber keyakinan mereka, dengan berbagai nuansanya, yang mencirikan berbagai komunitas yang bertemu dengan kaum Muslim awal. Dalam disiplin tafsir, sejarah, maupun pemikiran hukum Islam, sambung Esack, tak ada satupun yang mendekati konsensus tentang identitas Ahli Kitab. Yang ada justeru perselisihan soal kelompok spesifik mana dari Yahudi dan Nashrani yang digolongkan Ahli Kitab. Terkadang, kaum Hindu, Buddha, Zoroaster, Magian, dan Sabiin dimasukkan atau dikeluarkan dari golongan Ahli Kitab, tergantung kecenderungan teologis penafsir.

Gagasan Esack yang mencoba “membatasi” terma Ahli Kitab hanya pada kaum Yahudi dan Nashrani yang melakukan kontak sosial langsung dengan Nabi Muhammad, tampaknya bukan gagasan genuine dari Esack. Ternyata gagasan ini dapat kita runut persambungannya (selain pada ulama klasik tentunya, juga) pada gagasan Mohammed Arkoun. Menurut Arkoun, Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang harus dihadapi Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah. Mereka disebut sebagai pemilik wahyu yang lebih awal, orang-orang yang dikasihi Allah sama dengan orang-orang Muslim, yang telah menerima wahyu yang baru. Karena itu pula, untuk menjembatani terma Ahli Kitab yang sudah tidak memadai untuk konteks saat ini, Arkoun lantas menawarkan terma baru Masyarakat Kitab. Sedang Esack sendiri tampaknya tidak menawarkan terma baru sebagaimana Arkoun.

Yang jelas, seperti dikatakan Esack, al-Qur’an secara khusus mengakui Ahli Kitab sebagai komunitas sosioreligius yang sah. Ada sejumlah petunjuk di dalam al-Qur’an tentang legitimasi esensial ini. Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan:

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ. (المؤمنون: 52).

Artinya: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu.” (QS al-Mu’minûn: 52).

Kedua, dalam dua bidang sosial yang penting, makanan dan perkawinan , sikap murah hati al-Qur’ân terlihat jelas: makanan “orang-orang yang diberi kitab” dinyatakan sebagai sah (halâl) bagi kaum Muslim dan makanan kaum Muslim sah bagi mereka (QS al-Mâ’idah: 5). Demikian pula pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Mâ’idah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara sangat eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.

Menariknya, menurut Esack, teks QS al-Mâ’idah: 5, menyebut wanita Ahli Kitab dengan cara yang sama dengan wanita beriman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ. (المائدة: 5).

Artinya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu.” (QS al-Maidah: 5).

Ayat ini menunjukkan, aturan kebolehan ini berkaitan dengan dinamika sosial komunitas Muslim awal dan dengan kebutuhan akan kepaduan komunitas.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nashrani diakui (QS al-Mâ’idah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi Muhammad ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka (QS al-Mâ’idah: 42-43).

D. Khatimah

Maulana Farid Esack acap berpesan: “Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan panggilan kaum tertindas sama dengan mengabaikan penggilan Allah.” Jelas, ini ungkapan yang sakral bagi Esack dan mendasari seluruh bangunan pemikirannya. Dalam seluruh pernik-pernik gagasannya, Esack selalu menekankan keberiringan hubungan antara langit (baca: Tuhan) dengan bumi (baca: makhluk) atau dalam bahasa yang lain antara keimanan dengan amal saleh. Dan runutan gagasan ini, bisa disibak melalui sejarah hidupnya sebagai orang yang tertindas.

Sebab itu pula, semua gagasannya bisa dibaca secara utuh melalui perspektif seorang tertindas yang ingin melakukan pemberontakan atas ketertindasannya. Itu pulalah yang menyeret takdir dirinya sebagai pemikir muslim progresif. Kam min fiatin qalîlatin ghalabat fiatan katsîratan bi idznillâh. Pun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan dalam-dalam, ternyata kebesaran seseorang – dalam hal ini Esack – tidak bisa serta-merta dilepaskan dari “bayang-bayang” kebesaran orang-orang sebelumnya. Wa Allâh al’lam.[]

E. Referensi

1. Referensi Buku
al-Baidhawi, Majmu’ah min al-Tafasir, Beirut, Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Tth.
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’ân dan Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
Al-Syaukanî, Fath al-Qadîr, Beirut, Dâr al-Fikr, 1973.
Burhanuddin, Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid Esack dan Charles Kurzman Tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu Yang Diciptakan, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatulah.
Cristian Troll, The Qur’anic View of Other Religions: Grounds for Living Together, Ttp, 1987.
Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Bandung, Mizan, 2000.
Farid Esack, On Being a Muslim, Yogyakarta, Ircisod, 2003.
Farid Esack, Tauhid dan Pembebasan, dalam Jurnal al-Huda, Vol. II, No. 6, 2002.
Irwandi, Membaca Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah.
Marzuki Wahid, Nomenklatur Islam: Problem Hermeneutika al-Qur’an dan Fakta Historis dalam dimuat Jurnal al-Burhan, No. 6, tahun 2005.
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur’ân, terj. Machasin, Jakarta, INIS, 1997.
Mohammed Arkoun, Pemikiran tentang Wahyu: Dari Ahli Kitab Sampai Masyarakat Kitab, dalam Jurnal Ulûm al-Qur’ân No. 2, Vol. IV, 1993.
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Beirut, Dâr al-Fikr, Tth.
Nurcholish Madjid, Fikih Lintas Agama, Jakarta, Paramadina, 2004.
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Atas Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000.
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal, McGill University Press, 1966.

2. Referensi website

http://www.gusdur.net/
http://www.republika.co.id/
http://www.islamlib.com/
http://swaramuslim.net/.
http://www.qalam-online.com/