Djudju Zubaidah: Pembebasan Itu Misi Rasulullah
Kesetaraan perempuan di pesantren tidak terbatas pada perdebatan wacana dalam buku dan pidato, melainkan advokasi dan konseling secara berkesinambungan. Salah satunya dilakukan Forum Kajian dan Sosialisasi Hak-hak Perempuan Nahdina yang didirikan 21 April 2002 di Cipasung, Tasikmalaya. Ketua Nahdina Cipasung Djudju Zubaidah menyampaikan kiprah lembaganya kepada Nurul Huda Maarif dari the WAHID Institute.
Apa kegiatan Nahdina?
Nahdina fokus pada kajian kesetaraan jender. Hasilnya kita sosialisasikan saban pengajian, melalui majelis taklim. Kita juga memberikan pengertian bagaimana membangun paradigma baru tentang relasi lelaki dan perempuan, kesehatan reproduksi dan sebagainya.
Selain itu, kita mengadakan pelatihan untuk guru-guru yang ada di lingkungan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya yang diasuh KH. Ilyas Ruhiat, mantan Rais 'Am Syuriyah PBNU, juga guru-guru di sekitar pesantren. Ini ajang untuk berkomunikasi, advokasi, dan sosialisasi gagasan kita tentang isu Islam dan hak-hak perempuan.
Sekarang kami sedang berusaha bagaimana agar mata pelajaran atau kurikulum itu punya perspektif jender. Pelajaran Biologi atau Fikih misalnya, itu dijelaskan dulu bagaimana perspektif jendernya. Semua ini kita masukkan melalui guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran. Guru-guru ini diharapkan bisa menularkannya pada anak didik.
Pada tahap selanjutnya, karena ada masalah dan ada korban akibat relasi tidak seimbang yang selama ini berjalan, maka kita mengambil bentuk advokasi.
Advokasinya seperti apa?
Ada dua pola. Pertama, menyoroti kebijakan pemerintah daerah. Kedua, penanganan langsung korban. Jika ada peraturan daerah tidak berpihak atau diskriminatif pada perempuan, maka kita mengadakan dialog dan dengar pendapat dengan DPRD Tasikmalaya. Tujuannya supaya mereka melihat kembali bahwa sebenarnya aturan itu tidak boleh dilaksanakan begitu saja, tapi harus menampung aspirasi masyarakat yang akan diatur. Sedangkan untuk advokasi korban, kita bikin crisis center di pesantren, bekerja sama dengan PUAN Amal Hayati cabang Cipasung.
Bagaimana respon DPRD?
Ketika dialog, umumnya mereka paham. Tapi untuk mengimplementasikannya dalam bentuk peraturan daerah yang adil, mereka mikir-mikir. Ada juga yang selama ini merasa telah diuntungkan, sehingga enggan untuk berubah.
Apa penyebab lainnya?
Paradigma lama masih tetap dipakai. Apa yang kita sampaikan, tampaknya hanya untuk konsumsi pemikiran. Jadi, banyak tokoh masyarakat yang terbuka pikirannya, tapi tindakan tetap saja.
Bagaimana dengan keluarga pemimpin Pesantren Cipasung?
Mereka justru lebih terbuka. Tapi kalau di tingkat ustadz kampung, masih banyak yang memakai paradigma lama. Walau mereka muda, tapi pemikiran tetap lama.
Respon Nahdina terhadap sikap mereka ?
Memang untuk konsisten pada perjuangan itu banyak tantangannya. Namun kita akan terus mensosialisasikan bahwa perempuan itu bukan ladang diskriminasi. Kita, melalui Nahdina yang berdiri pada 21 April 2002, juga akan mensosialisasikan buku-buku baru yang mengkritisi isi kitab kuning yang mendiskreditkan perempuan, seperti 'Uqud al-Lujjayn.
Apa rencana Nahdina lainnya?
Nampaknya Nahdina harus bekerja keras. Karena faktor yang mendukung timbulnya kekerasan terhadap perempuan semakin kuat. Sedang kerja kita masih sangat minim. Keadaan ekonomi yang terpuruk, misalnya, menjadikan perempuan sebagai korban. Kadang harus nanggung biaya hidup sendiri, ada yang ditinggalkan suami sementara anak sudah ada, dan banyak lagi. Jadi, karena masalah ekonomi nasib perempuan semakin terpuruk.
Mengapa Anda dan Nahdina begitu gigih berjuang?
Islam yang dibawa Rasulullah SAW, itu agama pembebasan. Karena itu, saya harus melakukan pembebasan semampu saya, apapun resiko yang saya hadapi. Mengapa? Karena misi Rasulullah SAW diutus ke dunia itu untuk menegakkan keadilan.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home