Tuesday, June 12, 2007

KH Ahmad Sobri: Mengawal Tradisi Dengan Bedug

Bedug di masjid-masjid kota besar banyak disingkirkan, lantaran dinilai bid'ah (menyimpang dari ajaran Islam) oleh kelompok Islam tertentu. KH. Ahmad Sobri khawatir, tradisi luhur peninggalan Wali Songo itu hilang ditelan sejarah. Bedug berukuran besar-besarpun dibuatnya sebagai perlawanan. Berikut petikan wawancara Pengasuh Pondok Pesantren al-Falah Tinggarjaya Mangunsari Jatilawang Banyumas Jawa Tengah itu dengan Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Kenapa yang ditiru bedugnya Wali Songo?
Kalau meniru yang lainnya, saya kira itu nggak patek repot. Meniru soko (tiang, red) itu gampang. Tapi kalau meniru bedug, ini tidak gampang.

Filosofinya bagaimana?
Saya melihat, sepertinya bedug di masjid-masjid kota besar sudah pada punah atau hilang. Saya takut sekali dengan syiar Islam yang hampir hilang. Makanya, itulah yang saya lakukan. Saya merasa tertantang.

Hilangnya karena faktor apa?
Mereka (kelompok Islam tertentu, red) menganggap itu bid'ah.

Artinya, itu karena ideologi keagamaan kelompok tertentu?
Mungkin begitu. Betul itu! Kalau itu dibiarkan, tradisi NU atau Wali Songo akan hilang.

Melihat kreasi ini, respon masyarakat bagaimana?
Ini menjadi kebanggaan mereka.

Efeknya bagi mereka apa?
Saya melihat, masyarakat menjadi semangat ke masjid, karena ada suara bedug sebelum Jum'at misalnya. Orang yang sedang bekerja tahu, oh bedugnya sudah berbunyi. Dan mungkin kalau nggak ada rumah-rumah, bunyinya bisa terdengar sampai 5 km. Itu tanpa pengeras suara.

Adakah ritual khusus dalam proses pembuatannya?
Setiap kita mulai mengerjakan tidak pernah meninggalkan hari Rabu. Kita mengerjakannya malam hari dengan didahului tahajjud. Yang kerja nggak pernah batal wudhu' sebelum pasang welulang (kulit). Kalau kentut wudhu lagi. Kenapa? Karena ini bukan untuk pameran, melainkan untuk memanggil umat menghadap Allah SWT. Jadi bukan sekedar kita bikin. Kita juga tawasulan agar bedug ini bermanfaat dan menggugah semangat umat untuk beribadah, karena ini salah satu alat memanggil atau syiar untuk mereka.

Apakah ketika Wali Songo bikin bedug juga begitu?
Kalau Wali Songo kan memang nggak pernah hadats (kotor secara ruhani, red). Kalau Wali Songo, mungkin kayunya saja dibolong pakai tangan. Itulah karamah (kelebihan kakasih Allah, red).

Kalau kulit bedugnya diambil dari hewan apa?
Sapi carol. Itu sapi yang tidak ada punuknya. Itu saja! Kelebihannya kalau tidak ada punuk, bedug itu bisa kenceng.

Bagaimana dengan kayunya?
Kayunya kita cari kayu Waru. Karena selain Waru, itu kalau di-bengkung-kan (dibengkokkan, red) semuanya patah. Kita pernah mencoba kayu Nangka, Laban, dan sebagainya, itu lempeng saja dan tidak bisa dibikin pinggul. Kayu Jati juga tidak bagus. Hanya saja, pakai Waru ini kita tidak bisa pakai satu batang. Namun hasilnya anggun karena ada pinggulnya.

Rencananya mau bikin berapa bedug?
Saya merencanakan bikin sembilan buah. Itu yang besar-besar. Yang kecil-kecil kita bikin banyak.

Kalau nama-nama bedug itu diambil dari mana?
Nama Bedug Wulung Mangunsari, itu dari Banyumas. Ini khas Banyumas. Nama yang agak angker. Kalau Mangunsari itu dari bahasa Arab ma'unatu al-sari, yang artinya pemberian Allah SWT kepada orang yang suka berjalan malam. Bukan jalan kaki, melainkan banyak memohon di waktu malam. Orang Jawa kan kangelan (kesulitan, red). Yo wis, dadine Mangunsari saja.

Bedug ini dipakai untuk acara apa saja?
Hari raya, Jum'at, muktamar, juga MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an). Dan sudah dibawa ke banyak tempat, ke Langitan, Kediri, dan sebagainya.

Selain bedug, adakah kerajinan yang lain?
Sekarang belum ada.

Pak Kiai adalah pelestari tradisi NU. Ada pesan untuk generasi NU?
Waktu Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri, red) ke sini, saya bilang; kalau di Katolik itu kan ada Katolik Ortodok di Roma. NU itu juga punya jutaan orang ortodok. Sampai sekarang, mereka ini belum tersentuh. Di sini juga ada banyak thariqah (lembaga spiritual Islam, red). Ini kekayaan NU yang belum tersentuh. Yang diemong cuma bocah-bocah (anak-anak, red) saja dengan seminar-seminar. Saya berharap, kita tidak meninggalkan tradisi yang sudah digarap sejak zaman Rasulullah SAW.[]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home