Friday, May 05, 2006

Tirani Fikih Dan Bahaya Taqlid

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSepanjang sejarah awal Islam masa Nabi dan Sahabat, tidak dikenal istilah mazhab dalam pengertian formal, laiknya mazhab fikih yang kita kenal sekarang. Memang ada Mazhab Shahabi, namun term itu muncul belakangan, tidak pada masa Sahabat. Ini berarti, sebelum kemunculan imam empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal), tradisi bermazhab pada imam belum ada. Karena, ‘kewajiban’ taqlid – sebagai cikal-bakal tradisi bermazhab – baru muncul belakangan.

Timbul pertanyaan, sebelum kemunculan imam empat, kepada siapa umat Islam bermazhab? Tak lain, mereka mengikuti al-Quran dan al-Sunnah. Ini sesuai dengan titah Allah SWT, ''Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. al-Nisa ayat 59).

Hal itu berlaku dalam praktek, misalnya ketika Nabi SAW mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman sebagai qadhi. Bila Mu'az menghadapi persoalan, pertamakali ia akan merujuk pada al-Quran, bila solusinya tidak terdapat di dalam al-Quran, ia merujuk pada Sunnah (Hadis), dan bila tidak terdapat di dalam Sunnah, barulah ia menggunakan nalar (akal) sendiri.

‘Bermazhab’ model ini dibenarkan Nabi SAW, bahkan beliau bangga. Sebab itu pula, Imam al-Syafi'i berujar, ‘idza shahha al-hadfts fawuha madzhabi.’ Bila suatu hadis itu sahih, maka itulah mazhabku. Dan memang, al-Quran dan al-Sunnah, seperti ditulis Prof Ali Hasbullah dalam pengantar buku al-Sunnah Qabl al-Tadwin, itu laksana saudara kembar yang tidak boleh diceraikan satu sama lain. Itulah sumber primer dalam Islam.

Kini, timbul persoalan baru, mengapa pada perkernbangannya muncul ‘pembenaran’ bahwa sumber ajaran Islam itu ada empat, yaitu : al-Quran, al-Sunnah, Ijma' dan Qiyas? Ini, tentu saja karena persoalan hidup manusia kian hari kian kompleks dan ruwet. Sehingga, bila orang hanya merujuk pada al-Quran dan al-Sunnah belaka, maka ada kemungkinan tidak menemukan solusi. Untuk mengantisipasi kemungkinan itu, perlu ada sumber rujukan lain yaitu Ijma dan Qiyas sebagai model penggalian baru terhadap dua sumber primer itu. Dua rujukan ini kemudian disebut sumber sekunder.

Yang menjadi persoalan, dua sumber sekunder ini seringkali lebih ditonjolkan ketimbang dua sumber primer. Yang primer seakan terlupakan. Apalagi dengan munculnya fatwa kewajiban ber-taqlid bagi orang awam. Mereka akhirnya hanya mengekor pendapat-pendapat sekunder yang sudah matang dari para imam. Ini yang kemudian disebut bermazhab secara qauli. Padahal, yang lebih penting sejatinya bermazhab secara manhaji (metodologis), yang langsung merujuk pada kedua sumber primer itu. Dan itu yang dilakukan para imam.

Tapi kenyataannya, bermazhab secara qauli itulah yang berkembang, yang pada gilirannya menjadi fikih mayoritas. Akhirnya, mazhab qauli itu pun menjadi fikih yang tiranik, yang menafikan pendapat-pendapat di luar itu, Seakan, pandangan fikih yang ada hanya yang bersumber dari imam empat itu saja (atau plus Ja'fari menjadi lima). Padahal, Imam Abu Hanifah mengatakan, ‘Mereka (para ulama terdahulu) adalah manusia biasa, dan kita pun manusia. Hum rijal wa nahnu rijal. Kita mesti berterima kasih atas (karya dan pemikiran) mereka, tetapi kita tidak akan mengikuti seluruh pendapat mereka.” Tentu, persoalan ini bukan kesalahan sang imam, melainkan pengikut fanatiknya.

Bahaya Taqlid

Fatwa kewajiban bertaqlid bagi orang awam, tidak seharusnya muncul. Mereka dapat diberi toleransi bertaqlid hanya dengan syarat mereka telah betul-betul berusaha keras mengkaji dan mendalami sumber primer itu, namun tidak mampu. Toleransi ini pun karena kondisi darurat berupa ketidakmampuan itu. Tapi, mereka tetap harus berupaya menggali hukum dari sumber aslinya. Karena, bertaqlid sccara buta seperti didefinisikan oleh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds dalam Lathaif al-lsyarat, ‘taqliduna qabul qaul al-qaili min ghair dzikr hujjah li al-saili’, cukup berbahaya bagi perkembangan pemikiran dan masa depan Islam. Bahaya taqlid itu antara lain:

Pertama, bisa memunculkan kejumudan bagi pemikiran keislaman. Sebab, taqlid meniadakan kreativitas atau pembaruan pikiran. Bahkan, sikap kritis terhadap pikiran-pikiran mazhab pun seakan terkebiri. Pada gilirannya, kreativitas berpikir pun menjadi tumpul atau terhenti sama sekali. Ini dapat dibuktikan, misalnya karena fatwa kewajiban taqlid itu, kini pemikiran keislaman mengalami stagnasi. Yang ada hanya pelestarian warisan pemikiran para imam mazhab saja. Padahal, bila pun terpaksa harus bermazhab, umat Islam tetap harus kritis menerima pemikiran-pemikiran mereka. Dr Said Aqil Siradj pernah berujar; ‘Saya Syafi'iyyah, saya Asy'ariyyah, tapi bukan berarti saya tidak boleh kritis terhadap pemikiran mereka.’ (Kiai Menggugat; Mengadili Pemikiran Kang Said, 1999, hal. 280).

Kedua, masyarakat muslim akan terninabobokkan dalam kebodohan. Hal ini karena orang awam tidak akan berani menabrak fatwa wajib taqlid itu. Menabrak berarti kualat. Itu pamali. Padahal, syarat utama untuk mewujudkan perubahan dan kemajuan, seperti dalam teori revolusi, harus berani melawan arus bila terjadi kejumudan.
Karenanya, berijtihad (semampunya) menjadi penting dikedapankan. Malah Ibnu Hazm mengatakan; ‘Seorang mujtahid yang salah jauh lebih baik dari seorang muqallid (yang hanya meniru), walaupun kesimpulan hukumnya benar.’

Ketiga, menyebabkan sumber primer (al-Quran dan al-Sunnah) menjadi barang mati, sakral tapi tidak bertuah, Jelas, karena ketatnya syarat berijtihad, orang awam yang diwajibkan bertaqlid, merasa kehilangan nyali untuk berinteraksi dengan al-Quran dan al-Sunnah. Ini tentu lucu. Sebagai rujukan pokok, al-Quran dan al-Sunnah malah acapkali ditakuti. Sebagai pelarian dari ketakutannya, pendapat-pendapat (qaul-qaul) para imam itulah yang dipegangi kuat-kuat dan dijadikan tempat berlindung. Seakan pendapat merekalah yang paling benar. Padahal, Imam al-Syafi’i mengatakan; ‘Ra’yuna shawab yahtamil al-khata’ wa ra’y ghairina khata’ yahtamil al-shawab. Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.’

Muhammad Iqbal juga pernah dipesani oleh ayahnya, ‘al-Quran itu diturunkan untukmu. Baca dan pahamilah isinya!’ Ini artinya, al-Quran (dan al-Sunnah) harus kita baca dan pahami sendiri. Kalaupun terpaksa meminjam kacamata para imam, kacamata di sini adalah metodologi (manhaj) nya, bukan natijah atau resultnya yang berbentuk qaul itu.

Dengan demikian, tradisi bermazhab atau ber-taqlid qauli itu sebenarnya tidak lebih dari tradisi keterjajahan, Orang yang bermazhab atau bertaqlid buta, terjajah oleh pemikiran orang lain. Dan orang yang terjajah, apalagi bangga dalam keterjajahannya, selamanya tidak akan maju.

Selain itu, keterjajahan ini akan menyebabkan pendapat para imam sebagai ‘tirani fikih’. Padahal, bukan pentaqlidan seperti itu yang diinginkan oleh para imam tersebut. Mereka hanya menawarkari pemikiran dan kitalah yang menilai secara kritis. Karena, sejatinya ‘tirani fikih’ itu bukan watak fikih itu sendiri. Watak fikih adalah dinamis, toleran, dan progressif.

Dan untuk mencapai kemajuan yang diinginkan, ‘tirani fikih’ itu harus disingkap. Siapa pun yang mentiranikan fikih, berarti telah memutlakkan pendapat para imam. Itu, secara teologis sangat berbahaya. Yang layak dimutlakkan sebagai kebenaran hanyalah al-Haqq. Karenanya, untuk menyingkap tirani itu, umat Islam tidak bisa ber-leha-leha lebih lama lagi. Wallahua'lam.[]

*Pernah dipublikasikan Majalah Amanah.

Berpolitik Tanpa Partai

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulHingga kini, posisi agamawan dalam kancah politik praktis, masih menyisakan perdebatan sengit. Setidaknya, ada dua kelompok besar yang berseberangan pikiran dalam hal ini. Kelompok pertama menilai, agamawan harus terjun langsung ke dalamnya dengan mengendarai partai tertentu. Itu bukan dosa dan malah jihad mulia. Karena, kerusakan yang ada di dalam kekuasaan politik, dapat mereka benahi secara langsung. Mereka bisa yughayyir biyadih (merubah langsung dengan kekuasaan). Dan itu amar ma'ruf nahy munkar yang paling efektif bagi mereka, Dengan demikian, kelompok ini cukup optimis bahwa hanya dengan masuk ke sana, agamawan dapat berkiprah lebih banyak bagi kemaslahatan masyarakat. Ini biasanya digaungkan oleh kelompok agamin-non-sekuler.

Tentu, ada kelompok lain yang tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Kelompok ini, memandang tidak seharusnya agamawan masuk dalam gelanggang politik praktis, Ada persoalan lebih penting dan lebih besar yang harus ditangani mereka. Selain itu, tak dapat dibantah lagi, gelanggang politik hanya sarat dengan kepentingari sesaat. Padahal, agamawan tidak seharusnya memikirkan kepentingan sesaat itu. Mereka harus menomor wahidkan kepentingan abadi; kemaslahatan umat. Amar ma'ruf nahy munkar terbesar justru jihad mereka di luar sistem, bukan larut dalam politik praktis. Ini biasanya disuarakan kelompok sekuler yang memiliki doktrin pemisahan ngara dan agama atau ruang privat dan ruang sosial

KH Idris Marzuki, Pengasuh Ponpes Lirboyo, pernah menyatakan; “Biarlah umat yang menilai semua dinamika yang berkembang. Ulama hanya berkewajiban menjaga agar umat tidak terperosok ke dalam situasi yang salah.” (Koran Tempo, 9 Maret 2004). Pernyataan ini bisa dimaknai bahwa agamawan tidak seharusnya turun langsung dalam gelanggang politik praktis. Sebab, tatkala terjadi gonjang-ganjing impeachment Gus Dur, sekelompok ulama - yang dimotori antara lain oleh KH Idris Marzuki yang kini justeru menjadi ‘seteru’ Gus Dur -, “ngotot” membelanya. Pledoi ulama ini mengindikasikan, mereka telah terjerat dalam gelanggang politik praktis, kendati secara formal (barangkali) tidak. Sebab itu, penarikan diri para ulama dari gelanggang politik ini, diduga karena faktor traumatis atas krisis Gus Dur waktu itu.

Akhirnya, pesan yang tersirat dari kejadian ini, agamawan mesti netral dari virus politik praktis. Memang, sikap netral seperti inilah yang seharusnya diambil para agamawan. Ini didasarkan pada beberapa alasan.

Pertama, tanpa masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tentu mereka masih bisa berpolitik kelas tinggi atau high politics. Berpolitik tidak harus masuk ke sana. Sebab, menurut pemikir dari kalangan Mazhab Maliki Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, politik (al-siyasah) itu berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' atau wahyu (al-siyasah ma kana fi’lan aqraba ila al-shalah wa ab’ada ‘an al-fasad wain lam yadha’hu al-rasul wa la nazala bihi wahyun). Dengan demikian, berpolitik dalam pengertian “mewujudkan kemaslahatan” dan “menghilangkan kemafsadatan” adalah wajib, yagn bisa ditempuh melalui jalur luar. Ini yang disebut politik amar ma'ruf nahy munkar yang semestinya diperjuangkan para agamawan.

Kedua, para agamawan adalah pengawal moral masyarakat, hingga kapan pun, Konsekuensinya, mereka harus rnenjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar ma 'ruf nahy munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol perilaku para pelaku politik praktis. Kalau para agamawan berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Mereka itulah seharusnya simbol kontrol yang sejati. Dan yang lebih penting lagi, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat.

Ketiga, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mewariskan persoalan politik kepada agamawan (apalagi mewajibkan masuk gelanggang politik praktis), kendati beliau kepala negara. Karena, agamawan telah diplot untuk ngopeni persoalan masyarakat luas, tanpa mempedulikan latar belakangnya. Memang, Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin rnerupakan cermin agamawan yang terjun langsung dalam wilayah politik praktis. Kenapa agamawan tidak meniru mereka saja? Ini karena latar belakang panggung politik yang berbeda. Dulu, panggung politik begitu bersih, asri, indah, dan nyaman. Sehingga, mereka akan lebih mudah melakukan amar ma'ruf nahy munkar jika langsung terjun ke sana. Tapi kini, panggung politik begitu kotor dan busuk, tidak nyaman bagi mereka. Terlalu eman bila mereka memasukinya. Perbedaan latar politik ini, juga harus diikuti oleh perubahan keputusan politik agamawan.

Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Ruang geraknya kian rnemudar. Memang, mereka masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai, akan rnudah alergi. Setidak-tidaknya akan menjaga jarak. Ini dampak yang biasa muncul dalam dunia politik praktis.

Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, posisi yang paling strategis bagi agamawan adalah “berpolitik tanpa partai.” Artinya, melakukan politik amar ma'ruf nahy munkar di luar gelanggang politik praktis. Mereka harus menjaga moral masyarakat (termasuk para politisi) tanpa dicemari oleh embel-ernbel partai politik. Wallahu a’lam.[]

*Pernah dipublikasikan Koran Jawa Pos.

Tuesday, May 02, 2006

PBNU Yang Alergi Perbedaan

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulDiberitakan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengecam penolakan PP Fatayat Nahdlatul Ulama terhadap Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sebagai tindakan indisipliner. Hal ini ditegaskan Hasyim usai menerima Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, di Gedung PBNU, Rabu (26/4/06),

Dikatakannya juga, berdasar mandat Rais Amm PBNU KH Ahmad Sahal Mahfudz, PBNU akan mengirimkan surat peringatan kepada seluruh badan otonom (banom) maupun lembaga lain di bawah PBNU, supaya memiliki kesamaan sikap sesuai kebijakan resmi PBNU terkait pro-kontra RUU APP. Dan kebijakan resmi PBNU yang dikeluarkan pada Jum’at (17/3/06) dan ditandatangani oleh KH Ahmad Sahal Mahfudz (Rais Aam), Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Katib Aam), KH A. Hasyim Muzadi (Ketua Umum), dan Dr. Endang Turmudi (Sekretaris Jenderal), adalah mendukung segera pengesahan RUU APP.

Tak disangkal lagi, rencana pemberian ‘warning award’ PBNU itu merupakan buntut dari jumpa pers bertema Selamat Hari Kartini; Tolak RUU APP, yang digelar pada 20 April 2006 lalu di Gedung PBNU. Kala itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, Rieke Diah Pitaloka, Olga Lydia dan Gugun Gondrong, menyampaikan penolakannya atas RUU APP. Tak ketinggalan, Ketua Umum PP Fatayat NU Maria Ulfa Anshor, yang saat itu hadir, turut menyatakan penolakannya atas RUU APP ini. Inilah pemantik ‘kegeraman’ PBNU, barangkali.

‘Ala kulli hal, setidaknya ada tiga point penting yang patut dicatat dari ‘perseteruan’ PBNU dengan ‘puteri’nya, Fatayat NU ini. Pertama, rencana PBNU memberi peringatan pada Fatayat NU karena berbeda pandangan, menunjukkan secara vulgar betapa sikap moderatisme atau penghargaan atas keragaman pandangan, telah hilang dari lingkaran PBNU. Kenyataan ini bisa berdampak jauh. Misalnya klaim NU sebagai bandul moderatisme Islam Indonesia, akan luntur seiring adanya upaya penunggalan pandangan ini. Ujungnya, moderatisme hanya akan menjadi mitos bagi NU.

Kedua, hilangnya sikap moderatisme ini akan berdampak serius pada munculnya otoritarianisme dalam bidang pemikiran keagamaan. Pandangan di luar keresmian PBNU akan dianggap salah dan menyimpang, sehingga layak ‘disesatkan’ atau minimal wajib diluruskan. Inilah sebentuk tirani intelektualitas sejatinya, yang sama sekali tidak memberi kesempatan pada pihak lain untuk berbeda.

Ketiga, sikap yang ditunjukkan Fatayat NU, yang berani berseberangan 180 derajat dengan PBNU itu membuktikan, bahwa wajah NU tidak tunggal. Wajah NU itu beragam. Dan menariknya, sikap yang berbeda ini muncul dari kelompok perempuan NU, kelompok yang menjadi obyek tunggal dalam RUU APP. Dengan ujaran lain, penolakan yang disuarakan Ketua Umum PP Fatayat NU itu tak lain adalah suara dari banyak (bukan semua) kaum perempuan NU itu sendiri. Karena itu, upaya penunggalan pandangan dalam lingkungan NU tidak akan pernah menuai hasil, karena sejak awal NU memang berdiri di atas keragaman. Itulah fitrah NU, yang tak dapat diubah, hatta oleh PBNU sekalipun.

Untuk itu, jika terbukti ada ‘intimidasi’ dari PBNU kepada Fatayat NU untuk menyamakan sikap, maka dugaan banyak kalangan seperti M. Mas’ud Adnan dalam artikelnya NU Mulai Miring ke Kanan? (Jawa Pos, 28/3/ 2006) dan Zuhairi Misrawi dalam artikelnya Nahdlatul Ulama Makin Radikal (Koran Tempo 22/4/2006), bahwa PBNU kian ke kanan dan kian mundur, itu telah menemukan titik terang jawaban. Titik terang yang juga berarti kegelapan bagi NU. Dan itulah kerugian maha dahsyat bagi masa depan NU yang sedang dihadapkan pada zaman penduniaan (globalization).

Dan untuk mengerem kecenderungan negative PBNU ini, ada baiknya kita mempertimbangkan pandangan intelektual Mesir Dr. Athif Iraqi. Menurutnya, paling tidak ada tiga point utama yang saat ini harus dikedepankan umat Islam guna menyongsong situasi penduniaaan yang tak mungkin terelakkan lagi, yaitu pertama, keterbukaan (al-infitah). Umat Islam, tentu saja termasuk NU di dalamnya, harus mendahulukan keterbukaan dalam menyikapi keragaman pandangan. Keharmonisan antar berbagai antar akan didapatkan dengan langkah ini.

Kedua, dialog (al-hiwar). Dialog dengan jalan musyawarah, kendati tidak mesti harus mencapai kemufakatan dalam arti ketunggalan pandangan, juga tak kalah penting untuk dikedepankan. Rayakanlah perbedaan dengan senyum mengembang. Apalagi di zaman kekinian, yang tingkat intelektualitas dan argumentasi kian beragam, dialog dengan cara yang baik dan saling menghargai (wa jadilhum bi allati hiya ahsan) lebih tak dapat dielakkan lagi, walau tidak setiap dialog rasanya manis dan menyenangkan.

Dan ketiga, kemajuan (al-taqaddum). Umat Islam harus berfikir jauh ke depan, tidak pragmatis, dan apalagi mundur ke belakang. Dan sebenarnya, upaya-upaya penunggalan pandangan itu tidak selaras sama sekali dengan semangat al-taqaddum ini. Alih-alih memajukan Islam, penunggalan ini malah akan memerosokkan Islam ke lembah kemunduran yang sangat dalam.

Akhirnya, sebagai kawula NU, penulis masih berharap, semoga PBNU bisa merayakan perbedaan dengan riang kendati ‘pahit’ rasanya dan semoga apa yang ditunjukkan PBNU itu bukanlah sikap antipati, melainkan hanya alergi pada perbedaan. Jika hanya alergi, masih ada harapan untuk disembuhkan dengan memberi obat penawar. Tapi jika sudah antipati, fantadhir al-sa’ah (tunggulah saat kehancurannya). Wa Allah a’lam.[]

Matraman, Kamis 27 April 2006