Wajah Islam Moderat di Dinding Kanvas
Oleh Nurul H Maarif
Menampilkan wajah Islam moderat tak mesti lewat orasi atau karya ilmiah. Kanvaspun bisa dijadikan media. Itulah yang dilakukan kaligrafer Jauhari Abdul Rosyad (34 tahun).
"Saya hanya bisa menulis kaligrafi. Ngajar atau pidato nggak bisa. Yang penting saya memberikan sesuatu untuk perdamaian dunia ini," ujar alumni 1996 Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur kelahiran Jakarta 1973 ini.
Peraih juara pertama lomba kaligrafi se-Jawa Timur pada 1992 ini sengaja memilih isu pluralisme agama, keadilan sosial, juga multikulturalisme, sebagai tema karyanya. "Saya prihatin! Sekarang banyak muncul kelompok Islam radikal yang mengusung isu syariatisasi dan menafikan toleransi atau pluralisme," ujar ayah dua putera ini beralasan.
Dikatakannya, apa yang dilakukannya, itu ibarat "pembangkangan" seorang santri terhadap teks sakral leluhurnya. "Saya Islam, Nahdhatul Ulama, dan Syafi'iyyah. Dalam Syafi'iyyah misalnya, membunuh orang murtad (keluar dari Islam, red) itu kok menjadi ijma' (konsensus ulama, red)," kritiknya. "Tapi saya pikir lagi, apa iya? Dari sisi tahrim (kemuliaan, red) manusia, masak sih ketentuan ini masih relevan? Ini menimbulkan pergolakan dalam diri saya," sambungnya.
Diakuinya, menulis kaligrafi dengan tema seperti ini memakan banyak tenaga dan pikiran. "Saya capek, karena bergulat dengan pikiran, bukan hanya kreasi. Bahkan kadang menabrak teks lama," akunya. "Makanya saya telah dicap macam-macam. Keislaman saya diragukan, dibilang murtad, bahkan teman baik jadi menjauh. Ini resiko dari kebebasan pikiran saya," imbuhnya.
Melalui lukisan-lukisannya, lulusan Madrasah Aliyah (MA) ini mengingatkan pentingnya saling menghargai keragaman. "Kita harus saling menghargai. Wong kita masih sama-sama sembahyang madep ngulon kok," katanya. "Dan ini, terus terang, saya banyak terpengaruh Gus Dur. Saya baca karya-karya Gus Dur dan ngaji bulan puasa pada beliau di Pesantren Ciganjur," akunya lagi.
Akhir Mei 2007, pria yang pernah berkeliling ke masjid-masjid besar se-Jawa untuk menulis kaligrafi di dindingnya, ini menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia Jl. Medan Merdeka Timur No.14 Jakarta. Pameran bertema Kaligrafi Multikultural ini menampilkan 41 buah karyanya, yang ditulis tiga tahun terakhir.
"Pameran ini untuk memberikan pengertian pluralisme, multikulturalisme dan toleransi," katanya. "Dan untuk mencapai tujuan itu, pembaca harus membacanya secara runtun. Kita nggak bisa mengambil satu ayat lalu kita paksanan. Makanya, itu saya susun sedemikian rupa; kita tahu Allah dulu, di mana posisi kita, baru masuk wilayah itu," imbuhnya.
Pada pameran perdananya ini, ia menampilkan kaligrafi dengan latar tulisan dari beragam etnis. "Secara visual, jenis tulisannya memang dari beragam kultur. Ada kaligrafi Arab, Mandarin/China, Jawa, Jepang, bahkan Hirogliph," ujarnya sembari mengaku sedang menyiapkan pameran keduanya.
Bukankah kaligrafi Islam itu identik dengan tulisan Arab? "Itulah masalahnya. Islam diidentikkan dengan Arab. Islam ya Islam! Arab ya Arab! Keduanaya beda. Karena itu, kultur non-Arab saya jadikan media memahami al-Qur'an, agama dan kebenaran," tandasnya beralasan. Wa Allah a'lam.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home