Friday, March 09, 2007

Standarisasi Akidah Islam?

Oleh Nurul H Maarif*

Nurul HudaBeberapa waktu lalu, di Pati Jawa Tengah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH MA Sahal Mahfudh mengeluarkan pernyataan yang sungguh mengejutkan. Dalam sambutannya untuk Musda VII MUI, 4 Maret 2007, Rais Aam PBNU ini menyatakan, �Kurikulum yang berbeda-beda di masing-masing daerah perlu disatukan kembali.� (www.nu.or.id, Senin, 5 Maret 2007).

Dikatakannya juga, bebasnya arus informasi merupakan pendorong utama bergesernya nilai-nilai syariah Islam di Indonesia, sehingga perlu dilakukan standarisasi melalui jalur pendidikan. Inilah, katanya, cara efektif menyelamatkan akidah Islam, sehingga perlu juga diusulkan ke forum MUI pusat.

Jika KH MA Sahal Mahfudh benar menyatakan demikian, dan jika yang dimaksud �standarisasi� adalah penyeragaman, maka niatan ini sungguh patut dipertanyakan. Mengapa? Karena niatan ini telah melampaui beberapa kesunahan (sunnah Allah) yang tidak seharusnya diutak-atik. Misalnya, pertama, niatan ini nyata-nyata tidak sejalan dengan Qs. Yunus ayat 99. Allah Swt berfirman, �Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?�

Dalam ayat di atas, tergambar jelas bahwa Allah Swt Sang Maha dari segala maha saja �tidak berniat� menjadikan keseragaman sebagai tujuan. Padahal Ia sangat mampu melakukannya. Allah Swt tentu sangat tahu, kecenderungan dan tabiat manusia yang suka berbeda-beda. Perbedaan menjadi sesuatu yang dibiarkan-Nya dan karenanya �keseragaman� harus ditinggalkan jauh-jauh dalam kamus kehidupan kita.

Kedua, niatan ini juga tidak sejalan dengan fitrah manusia yang sedari awal tidak bisa diseragamkan. Allah Swt dalam Qs. al-Hujurat ayat 13 dengan tegas menyatakan, �Wahai manusia, Aku telah menciptakan kamu terdiri dari laki-laki dan perempuan dan Kami telah menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling unggul (mulia) di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.�

Ayat di atas dengan jelas menunjukkan, justru Allah Swt-lah yang menciptakan manusia itu berbeda-beda, dalam segala hal. Pertanyaannya kemudian: kenapa kita yang makhluk Allah Swt ini justru hendak menciptakan keseragaman? Apakah ini tidak berarti menyalahi ketentuan Allah Swt itu?

Ketiga, niatan ini juga �menyalahi� realitas sejarah. Dalam sejarah Islam atau sejarah yang lain, tidak pernah ada keseragaman akidah dalam pengertian sesungguhnya. Pasti ada saja kelompok atau umat lain yang berbeda. Makanya, yang kemudian muncul adalah klaim �ini akidah mayoritas� dan �ini akidah minoritas�. Yang mayoritas mendaku dirinya benar dan yang minoritas disalahkan. Namun, ini tetap saja menunjukkan bahwa keseragaman atau ketunggalan itu tak pernah ada dan tidak pernah menjadi kenyataan.

Karena itu, penyeragaman yang tidak semestinya terjadi itu, alih-alih mendatangkan mashalat, ternyata justru menghadirkan mafsadat. Misalnya, kelompok yang mayoritas � yang pandangannya kerap dijadikan sebagai mazhab negara � lantas memusuhi atau pada tahap tertentu memberangus yang minoritas. Akhirnya yang terjadi adalah menang kalah; mayoritas akan menang dan minoritas jadi pesakitan. Pemaksaan dan bahkan pembuhan juga tidak mustahil terjadi. Apakah ini tujuan kita dijadikan khalifah Allah Swt di muka bumi ini?

Lantas, apa makna semua ini? Ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa upaya penyeragaman (dalam konteks tulisan ini penyeragaman akidah) tidak akan pernah terjadi sampai ujung dunia ini, karena itu telah menjadi �suratan takdir�. Bahkan Qs. al-Kahf: 29 menegaskan, �Katakanlah, kebenaran itu dari Tuhanmu. Siapa hendak beriman, berimanlah. Dan barangsiapa hendak kafir, kafirlah.� Ini berarti, yang tidak berakidah sekalipun tidak seharusnya dipaksa untuk berakidah. Memaksa orang untuk berakidah (baca: beragama) sama halnya memaksa orang untuk menanggalkan agama. Biarkanlah masing-masing berjalan sesuai kehendaknya dengan resiko ditanggung sendiri-sendiri tentunya.

Untuk itu, yang terpenting dikedepankan sebetulnya bukan standarisasi atau penyeragaman, melainkan sikap saling menghargai dan saling mengerti satu sama lain. Yang berbeda pandangan namun masih dalam satu wadah agama, harus menghargai dan mengerti pilihan �tetangganya� yang berbeda. Begitu pula yang beragama harus menghargai dan mengerti pilihan tidak beragma yang dipegang �tatangganya�. Pun yang tidak beragama harus menghargai dan mengerti yang beragama, dan seterusnya. Dengan cara inilah, niscaya kedamaian akan terjadi.

Ringkasnya, kedamaian tidak akan terjadi karena keseragaman, melainkan karena kesalingmengertian satu sama lain. Wa Allah a�lam.[]

*Aktivis the WAHID Institute Jakarta