Tuesday, June 12, 2007

Prof. Dr. Udin Saripudin Winataputra: Civic Education Baru Knowing, Belum Doing

Puluhan tahun menggeluti civic education (CE), menjadikan Prof. Dr. Udin S. Winataputra sangat berkompeten berbicara soal ini. Menurutnya, CE di Indonesia baru sebatas knowing belum doing. Indikatornya jelas! Mahasiswa yang telah dibekali prinsip-prinsip CE, ketika demo tetap saja tidak tertib. Malah tak jarang anarkis. Berikut tuturannya pada Gamal Ferdhi dan Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Bisa Anda jelaskan tentang CE?
CE itu nomenklatur yang dikenal di AS dan negara-negara yang berkiblat padanya.

Apa tujuan awal diciptakannya CE?
Di AS, CE itu program kulikuler yang dirancang untuk sekolahan. Tujuannya membangun warga negara AS yang cerdas, demokratis dan bertanggungjawab. Atau smart dan good citizens. Warga itu hypothetical citizen kata Aristoteles. Semua orang baru bisa menjadi warga negara kalau ada upaya khusus mendidiknya. Tidak bisa dengan berharap, lalu akan tumbuh warga negara yang baik. Jadi harus ada upaya sistemik yang dilakukan pemerintah untuk membangun masa depan bangsanya. Salah satunya dengan melakukan pendidikan kewarganegaraan (CE).

Apa beda CE di Indonesia dengan negara lain?
Negara lain mengembangkan CE dengan menempelkannya pada mata pelajaran tertentu. Dan mereka kesulitan jika CE hanya ditempelkan saja. Di Indonesia, CE itu menjadi mata pelajaran tersendiri dan independent. Ini plusnya. Minusnya ketika sudah menjadi mata pelajaran sendiri, maka ada tendensi lantas itu menjadi pengetahuan saja, karena diajarkan.

Adakah akar CE untuk konteks Indonesia?
Kita memang punya tradisi sendiri. Upaya membangun bangsa itu tidak lahir sejak reformasi. Awal abad 20 kita mencatat ada semangat berbangsa Indonesia yang oleh orang Barat ditengarai sebagai indikator bangkitnya kesadaran orang-orang Timur. Puncaknya pada 28 Oktober 1928. Ini historis yang paling menonjol terkait pembangunan bangsa. Saat itu sejumlah anak muda berikrar �berbangsa satu bangsa Indonesia, bertumpah darah satu tumpah darah Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia.� Ini semangat untuk menjadi banga yang satu, hidup di tanah tumpah yang satu dan berbahasa yang satu bahasa Indonesia. Ini kian mengkristal ketika Indonesia merdeka pada 1945.

Jadi kesadaran bernegara itu telah ada sejak dini?
Betul! Persoalannya bagaimana mewujudkan itu? Salah satu alatnya pendidikan sebagai sarana membangun bangsa ini lewat generasi mudanya. Student today leader tomorrow. Inilah latar belakang historis dan filosofis mengapa kita harus punya program pendidikan yang dirancang khusus untuk membangkitkan kesadaran berbangsa. Maka pada 61-an dikembangkanlah mata pelajaran Civic.

Pelopornya siapa?
Buku yang berpengaruh waktu itu ditulis Sopardo SH, berjudul Civic; Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia. Tapi waktu itu civic diisi bahan-bahan yang sangat indoktrinasi. Lewat mata pelajaran ini kita dicekoki bagaimana seharusnya menjadi warga negara dengan memahami doktrin politik kenegaraan waktu itu. Bahkan civic bukan lagi menjadi alat bagi bangsa dan negara, tapi menjadi alat pemerintah untuk mengindoktrinasi rakyat. Padahal sesungguhnya civic itu untuk membangun warga yang pro negara bukan pro pemerintah. Kalau perlu kritis terhadap pemerintah.

Itu berlangsung hingga tahun berapa?
Tahun 68 civic berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Itu mirip dengan CE juga. Doktrin pemerintahnya mulai dikurangi dan muncul doktrin negara. Yang dominan masuk ke situ UUD �45 dan Pancasila. Ini doktrin negara. Ini berlangsung sampai tahun 74. Tahun 75, nama PKN berubah PMP. Tahun 94 menjadi Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan (PPKn). Barulah beberapa tahun silam, muncul wacana baru tentang pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi dalam arti generic. Pendidikan kewarganegaraan harus menjadi wahana pendidikan demokrasi.

Apa kelemahan CE yang ada?
CE yang ada di Asia baru teaching about democracy (pelajaran tentang demokrasi) yang lebih ke wacana. Dengan kata lain baru how to know democracy dan belum how to build democracy seperti di AS, Inggris dan New Zeland. Di Indonesia kita harus bergerak ke tengah dulu. Jangan dulu melompat ke building.

Bukankah CE sudah cukup lama diajarkan di Indonesia?
We cannot build democracy without culture. Demokrasi itu selalu ada kulturnya. Apakah kita tidak punya akar demokrasi? Hampir sebagian besar orang mengatakan, iya, kita tidak punya akar demokrasi. Karena sejarah kita itu sejarah kerajaan atau monarki lokal. Budaya kita bukan budaya mengindonesiakan Indonesia, tapi budaya komuniter. Saya sering dialog dengan orang DPR. Dalam benak mereka bukan Indonesia nomor satu, tapi partai. Apalagi kalau sudah menjelang Pemilu. Sekarang hanya sedikit orang yang masuk partai karena ideology. Saya setuju orang mengatakan, politikus itu lebih mencerminkan pekerja-pekerja politik. Ini beda dengan Syahrir yang sekali sosialis, sampai mati tetap sosialis. Moh. Rum yang sekali Masyumi tetap Masyumi. Meraka berpartai dengan keyakinan.

Jadi seakan politikus itu musuh CE?
Karena orang politik itu keberpihakannya terlalu pragmatis. Sebenarnya politisi harus diajarin slogan mereka sendiri. Mereka hafal, loyalitas pada partai itu selesai ketika loyalitas pada bangsa itu mulai. Begitu anggota DPR dilantik dan disumpah sebagai wakil rakyat, maka selesailah loyaliti pada partai.

Selain politikus, apa lagi tantangan yang dihadapi CE?
Tantangannya banyak dan sangat berat, termasuk system multipartai dan otonomi daerah. Misalnya sejarah lahirnya UUD 45 pasal 33 tentang bumi, air, dan kekayaan laut dipelihara oleh negara, itu yang merumuskan Hatta dan Syahrir. Mereka pemuda Sumatra yang tahu di bawah alam ada kekayaan. Tapi dengan Otda, ada kabupaten bertengkar soal laut. Nelayan bisa berkelahi rebutan lahan. Ini menyebabkan Indonesia terkapling-kapling. Akibatnya, yang terbentuk bukan orang yang punya jiwa keindonesiaan, tapi orang yang lokalis, primordial dan sangat egosentris.

Itu memang ironis. Lalu capaian apa yang telah diraih CE?
Yang paling kelihatan hanya knowing saja. Orang banyak tahu demokrasi. Itupun pada tingkat akademisnya. Jadi banyak pekerjaan yang harus kita lakukan. Karena itu seluruh komponen yang konsen dalam soal ini harus menyatukan pikiran. Dan yang konsisnten menyebarkan hal ini justru media massa. Kita juga harus membangun kesadaran bersama. Misalnya apa kesadaran orang Aceh, Jawa, Sunda, Manado dan sebagainya. Sama lahir di Indonesia, sama punya kepentingan. Bangunlah kesamaan itu. Jangan tonjolkan perbedaannya. Simbol-simbol Indonesia harus dikedepankan, seperti simbol budaya atau yang lain. Kalau simbol politik itu terlalu dipaksakan.

Perhatian pemerintah sendiri soal ini bagaimana?
Pemerintah harus mencermati dan mendorong soal ini.

Terkait standar isi, bagaimana Anda menilainya?
Saya prihatin dengan standar isi pendidikan kewarganegaraan untuk SD, SMP, dan SMA karena sangat dominan kontennya. Ini berarti anak sekolah hanya akan diperkuat knowing-nya. Untuk SMP misalnya, ada bunyi kompetensi, siswa mampu menganalisis suasana kebatinan perundangan-undangan yang berlaku. Celaka! Kalau anak SMP harus dicekoki untuk menganalisis apa sih suasana kebatinan itu? Ini untuk mahasiswa fakultas hukum jurusan hukum tata negara.

Perkembangan CE saat ini bagaimana?
CE sekarang sedang diperbaiki lewat BSNP. Ini tim nasional yang menyiapkan standar isi, standar pembelajaran, dan standar guru yang nantinya akan diajarkan dari SD sampai PT.

Evaluasinya seperti apa?
Itulah! Karena knowing, evaluasinya hanya testing. Itu resikonya! Kalau sudah doing, evaluasinya bukan lagi testing, tapi juga doing. Jadi upaya merubah atau menyempurnakan program pendidikan kewarganegaraan, itu juga harus disertai menata lingkungan belajar, metode pembelajaran dan kualifikasi guru-gurunya. Saya banyak bergaul dengan guru-guru PPKn. Yang ada dalam pikiran mereka hanya menuang buku pelajaran. Ini kan problem. Jadi masih sangat berat.

Jadi Anda mengakui CE baru sebatas knowing?
Di kita masih dominan itu. Doing-nya ada, tapi kalau dipresentasi mungkin knowing-nya 75 %. Buktinya anak-anak sekolahpun kalau demo nggak bisa tertib. Indikatornya itu saja lah. Mereka tahu demokrasi, tapi belum bisa mempraktikkannya.

Bukankah banyak orang beranggapan CE telah berhasil?
Itu sering bikin saya malu hati. Saya katakan, itu hanya lips service. Saya sendiri merasa, kita belum banyak beranjak secara signifikan. Dalam pemikiran memang banyak berubah.[]

2 Comments:

At 11:06 PM, April 26, 2008, Anonymous Anonymous said...

Salam.Nama gw Fajri.Gw tertarik dengn artikel ini.Kebetulan saya mo bkin skripsi ttg civic education di sekolah swasta dan negeri..boleh minta contactnya Prof Udin? Gw sendiri punya blog ttg pendidikan : bebaskanpengetahuan.wordpress.com

email gw di morellosiregar@yahoo.com
Thx atas responnya..

 
At 10:56 AM, December 16, 2008, Blogger ZIKRI,S.Pd said...

Prof.Udin SW adalah dosenku yang cerdas di tahun 80 han, beliau sangat respek dengan mahasiswa

 

Post a Comment

<< Home