Wednesday, April 09, 2008

Dakwah Islam di Dunia Digital

Oleh Nurul H. Maarif

Urul"Tiga puluh tahun lagi, tidak akan ada koran dan buku," demikian kata seorang kawan, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang mengagetkan, sekaligus mengkhawatirkan ini, ujarnya didasarkan pada analisis para pakar media. Koran dan buku, katanya, akan tergantikan oleh teknologi digital. Para penerbit pun ditaksir akan gulung tikar.

Saudara sepupu penulis, yang kini tengah menekuni Program Studi Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. "Ini mungkin agak bodoh. Saya ingin mendirikan pesantren tahfidh, dengan basis skill ilmu komputer. Islam harus lebih digital," kata Santri Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, yang tengah menghafal al-Qur'an ini.

Keinginan yang disebutnya "agak bodoh" ini, juga didasarkan pada prediksi jauh ke depan. Dunia kelak akan kian mengglobal. Semua serba berteknologi canggih. Tak menguasai teknologi, berarti ketinggalan kereta. Pertarungan dakwahpun akan lebih hebat terjadi di dunia maya (digital), bukannya di media cetak.

Untuk menghadapi era seperti ini, Islam -- terutama Islam pesantren -- harus bersiap diri. Inilah "masa depan" Islam. Al-hamdulillah, kini muncul kesadaran baru di kalangan santri. Banyak di antara mereka yang serius menekuni bidang eksakta di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri.

Program Studi Ilmu Komputer, Teknik Informatika, Sistem Informasi, dan seterusnya, yang biasanya dinilai tabu bagi kaum sarungan, kini menjadi santapan mereka. Santapan yang sama lezatnya dan sama bergizinya dengan kitab kuning. Dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat yang dilontarkan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tengah mereka "terobos".

Baiknya lagi, Depag RI lekas menyadari kebutuhan ini. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi, Depag menggelontorkan miliaran rupiah untuk menguliahkan para santri di bidang eksakta � kendati penerimanya kebanyakan dari pesantren besar dan pesantren kecil di kampung-kampung, seakan tak berkesempatan dan terlupakan.

Islam Digital
Pertanyaannya, benarkah semua akan berubah menjadi digital? Melihat perkembangan yang ada, tidak mustahil ini jadi kenyataan. Jika kita mau meluangkan waktu sebentar untuk berselancar (browsing) di dunia digital, betapa informasi keislaman dari berbagai bidang tersedia di sana. Ibarat menu makanan, apapun yang ingin kita santap telah tersaji. Situs-situs keislaman -- dari yang bervisi keras, lunak, bahkan liberal -- semua ada.

Keserbatersediaan ini, pada gilirannya bisa menggulung eksistensi perpustakaan reguler yang ada. Juga mengancam eksistensi kitab kuning yang sehari-hari ditelaah para santri. Kitab kuning, yang khas dengan bau kertasnya, akan menjadi kenangan (semoga tidak pernah terjadi). Apalagi, kini telah muncul program canggih "literatur digital" semisal al-Maktabah al-Syamilah (berisi ribuan e-book kitab tafsir-ilmu tafsir, hadis-ilmu hadis, fikih-ushul fikih, teologi, akhlak, spiritual, bahkan aneka kamus Arab dan sebagainya).

Ada juga Maktabah al-Fiqh wa Ushulihi (berisi ribuan kitab fikih dan ushul fikih dari berbagai mazhab) dan al-Maktabah al-Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah (berisi ribuan kitab hadis), dan masih banyak lagi. Menggunakan "literatur digital" ini, dengan sangat mudah dan cepat, kita akan menemukan tema keislaman apapun yang kita inginkan. Inilah yang disebut era Islam digital.

Respon Santri
Bagaimana pesantren, yang kebanyakan ada di kampung-kampung, merespon hal-hal yang barangkali belum disadari, apalagi dibayangkannya ini?

Pertama, suka tidak suka, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun, termasuk pesantren, tidak bisa berkelit. Inilah konsekuensi zaman serba global dan modern. Di satu sisi, hal ini perlu dikhawatirkan karena alasan-alasan di atas. Di sisi lain, ia akan memudahkan kerja dakwah Islam. Pesantren mesti mengambil sisi positifnya, dengan membuang sisi negatifnya. Ini sesuai kredo pesantren: al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).

Kedua, kitab kuning harus tetap dilihat sebagai aset keislaman yang penting, terutama bagi pesantren, yang karenanya harus dipertahankan hingga "titik darah penghabisan". Tanpanya, kekhasan pesantren akan pudar. Ia tidak seharusnya tergantikan oleh apapun juga.

Ketiga, pesantren harus mengupayakan penanaman skill teknologi pada santri. Mungkin serba perlahan, karena ini membutuhkan ongkos tidak murah; baik materiil maupun moril (apalagi mungkin masih ada pesantren yang mengharamkan teknologi). Tapi tidak ada yang mustahil bagi pesantren. Dan tentu saja, negara harus mendukungnya. Melalui Depag misalnya, negara bisa memberi fasilitas teknologinya.

Keempat, pesantren harus mulai memikirkan dakwah Islam damai di dunia digital; dunia tanpa batas ruang dan waktu. Jangkauan aksesnya tak bisa dibatasi apapun. Jika pesantren bisa berdakwah melalui jalur ini, masa depan Islam dan pesantren tak lagi suram. Pesantren niscaya bisa bersaing dengan siapapun, untuk tujuan li i'lai kalimah Allah (untuk mengunggullkan kalimat Allah).

Dan al-hamdulillah, kini banyak pesantren besar, baik yang modern maupun tradisional, memiliki perhatian serius soal dakwah digital ini. Bahkan mereka punya situs sendiri. Sebut saja Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Modern Gontor, Ponpes Buntet dan Ponpes Dar al-Tauhid Cirebon, Ponpes Darul Ulum Jombang, Ponpes Nurul Jadid Paiton, Ponpes Sunan Pandan Aran Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

Mereka telah mulai menapaki kerja dakwah di dunia digital. Siapa menyusul? Wa Allah a'lam.[]

4 Comments:

At 7:36 PM, October 20, 2008, Blogger Tentang saya said...

Assalamu'alaikum.

Mas NHM, Gimana kabarnya, semoga selalu baik-baik aja dan selalu berkarya untuk mewujudkan Islam yang Rahmatan Lil 'alamin.

Nyesal juga dulu waktu muda nggak pernah jadi santri, jadi nggak pernah bisa baca kitab kuning, apalagi maktabah syamilah.

Emang ada baik dan buruknya juga dengan adanya kemajuan Iptek ini,
sisi baiknya kita mudah mendapatkan informasi secara instan dan Insya Allah akurat, apalagi kita mau kenal dengan yang namanya "Google", pencari yang serba bisa ini,
sisi buruknya dengan kenal google tersebut bagi orang yang suka iseng akan mendapatkan sesuatu yang kurang baik bila tidak boleh dikatakan menyesatkan.

Salam
Widayat (yang dulu kenal di SDC).

 
At 1:53 AM, October 21, 2008, Blogger Nurul Huda Maarif said...

Salam

Alhamdulillah baik-baik saja Kang Widayat. Semoga Njenengan juga demikian adanya. Makin sukses aja nih Kang Widayat.

Saya masih inget lah. Cuma saya jarang lagi di forum itu. Sudah semakin tua. Rupanya kita diingetkan kembali oleh Syeikh Google ya Kang. He...

Semoga Kang Widayat sukses selalu dan cita-citanya tergapai dengan lancar aman dan sentosa. Amim.

Wasalam
NHM

 
At 2:25 AM, October 21, 2008, Blogger Tentang saya said...

Assalamu'alaikum,

Alhamdulillah kang, saya dan keluarga sehat,

Situs itu udah sekian hari meninggalkan kita, sayang sekali padahal saya seneng banget dengan tulisan-tulisan mas NHM, yang kadang-kadang muncul, begitu juga dengan kang Abu Yahya, Kang Asem Gedhe, dan lain-lain.

Ngomong-ngomong MA-nya Kang NHM dimana dan pada jurusan apa?

Doain saya lulus S1 ya............

 
At 3:10 AM, October 21, 2008, Blogger Nurul Huda Maarif said...

Ah, sampean itu nanya apa, to Kang. Iya semoga sampean lekas selesai S1 lalu bisa nerusin S2, selesai dan lalu nerusin S3. Semoga terlaksana. Doakan saya juga bisa jadi orang berguna, karena ilmu dan perbuatan saya. Amin.

NHM

 

Post a Comment

<< Home