Monday, March 27, 2006

Membunuh Ideologi Terorisme

Oleh Nurul Huda Maarif

Mursyid Terorisme Asia, Dr. Azahari Husin, telah tewas diterjang peluru Datasemen 88, di Batu Malang. Imam Samudra telah bertahun-tahun hidup dalam kerangkeng. Amrozi juga tak bisa lagi menebar bom, karena jasadnya terpenjara. Apakah otomatis pikiran-pikiran teroristik Azahari, Imam Samudra, dan Amrozi turut tewas atau terpenjara? Tidak!

Kematian, keterkerangkengan, atau keterpenjaraan fisik mereka, tidak serta merta diiringi lenyapnya ideologi terorisme. Ia tak akan mati karena kematian jasad Azahari. Tak akan terkerangkeng karena keterkerangkengan jasad Imam Samudera. Pun tak akan terpenjara karena keterpenjaraan jasad Amrozi. Ia akan terus liar mencari ’korban-korban’ baru. Karenanya, tugas yang jauh lebih berat, tak lain menghentikan keliaran ideologi terorisme ini. Inilah kekuatan besar yang menjadi sumber penggerak aksi-aksi teroristik itu.

Buktinya, kematian Azahari diiringi kemunculan ’ahli waris’nya, antara lain, Tedi. Tedi ditengarai mendapat ’tirkah’ (harta waris) berupa ilmu-ilmu membuat bom. Ini dinyatakan Kapolri Jenderal Sutanto saat bertemu Komisi I DPR RI di Mabes Polri, di Jakarta, Senin (14/11). Dan itu baru yang terendus polisi. Sangat mungkin, fenomena itu laksana gunung es. Hanya tampak puncak dan menggelembung di dasar laut. Ini yang berbahaya! Karena itu, membunuh aktor terorisme tanpa dibarengi ’membantai’ ideologinya, itu laksana mengukir di atas air. Nggak ada ujungnya. Mati satu tumbuh seribu.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mampu ’membantai’ ideologi terorisme itu? Jika kerja membunuh aktor teroris bisa di-handle pihak keamanan, seperti di Batu Malang itu, maka yang bisa ’membanti’ ideologinya tak lain adalah intelektual, agamawan, cendekiawan, atau tokoh masyarakat. Itu artinya, pemberantasa terorisme, tidak cukup hanya mengandalkan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme), karena tidak menyentuh ideologinya.

Kenapa pihak keamanan saja tidak cukup? Banyak asumsi, ideologi terorisme itu terbangun, antara lain, karena interaksi yang salah dengan doktrin agama, al-Qur’an dan Hadis misalnya. Konon di Malaysia ada ‘gurauan serius.’ Jika terjadi aksi teroristik, acapkali muncul pernyataan: ”Dia seperti itu setelah membaca al-Qur’an dan Hadis.” Imam Samudra jadi demikian, juga setelah membaca buku Ayatur Rahman fii Jihad al-Afghan, karya Abdullah Azzam, yang di dalamnya banyak mengutip al-Qur’an dan Hadis. Semua berawal dari wacana dan akan berakhir, juga oleh wacana. Karenanya, semata orang yang mampu memahani al-Qur’an dan Hadis dengan baik saja yang bisa menghambat laju gelombang ideologi terorisme itu.

Caranya? Masyarakat, baik yang masih suci dari maupun yang telah terkontaminasi oleh ideologi terorisme, harus diberi pemahaman lebih baik tentang point pokok doktrin rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi alam) yang selalu digembar-gemborkan al-Qur’an dan Hadis. Misalnya dengan bendera seeding plural and peaceful Islam.

Upaya itu, sebenarnya telah dilakukan jauh-jauh hari oleh tokoh-tokoh muslim semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafii Maarif, Djohan Effendi, dan banyak lagi. Hanya saja, melawan penyebaran ideologi terorisme yang tampaknya kian hari kian menggelombang, kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan tenaga dan pikiran mereka, yang juga terbatas. Kini, giliran kita yang harus maju.

Yang jelas, seperti kata Gus Dur, “Aksi terorisme dilakukan orang-orang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.” Karena itu, hanya orang yang memiliki rasa kemanusiaan sajalah yang bisa membunuh ideologi terorisme itu. Adakah kita termasuk kelompok yang masih punya, walau sedikit, rasa kemanusiaan?[]

*Pernah dipublikasikan Koran Tempo

Friday, March 24, 2006

Sisi Paradok Si Whistle Blower

Oleh Nurul Huda Maarif

Menarik mencermati sisi paradok Khairiansyah Salman. Keberanian atau bahkan kenekadannya membongkar skandal korupsi yang melilit Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadikan Mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kini bekerja di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias ini sebagai pahlawan. Tapi keterlibatannya sebagai penerima aliran dana korupsi Dana Abadi Umat (DAU) Depag, sebaliknya, justru menobatkannya sebagai ’penjahat’.

Sebagai sosok pahlawan misalnya, Ketua Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis menjulukinya whistle blower (peniup peluit), yang tiupannya menyebabkan kasus-kasus korupsi berhamburan ke mana-mana. Trancparency International (TI) yang berpusat di Berlin Jerman, setelah berembug selama enam bulan, lantas mendaulatnya sebagai penerima Integrity Award 2005.

Penghargaan prestisius ini tidak main-main, karena melalui seleksi ketat dewan juri dari berbagai belahan dunia. Misalnya, Claudio Weber Abramo (TI Brazil), Susan Cote Freeman (TI Inggris), Eva Joli (pemenang Integrity Award 2001), John Makumbe (Zimbabwe), Sion Asidon (Maroko), dan Hugette Labelle (Kanada). Di mata TI dan sebagian masyarakat Indonesia, Khairiansyah betul-betul pahlawan.

Tapi bersama Tohari, Heriyanto, dan Mukron, pada 21 November lalu, Khairiansyah ditetapkan sebagai tersangka penerima korupsi DAU sebesar Rp 10 juta. Bahkan, seperti dituturkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Salman Maryadi, surat perintah penyidikan untuknya telah dikeluarkan. Karenanya yang terjadi, sosok Khairiansyah seakan memancarkan dua sinar sekaligus, sinar putih sebagai whistle blower dan sinar hitam sebagai penerima aliran DAU.

Apa yang terjadi kemudian? Opini publik terbelah dua, antara Khairansyah Salman yang pahlawan dan Khairansyah Salman yang penjahat. Pro-kontra pun berhembus di mana-mana. Masing-masing melihat sesuai sudut kepentingannya. Melihat gelagat tidak sehat itu, Khairiansyah malah menunjukkan sikap dewasa. Ia legowo menyerahkan kembali penghargaan Integrity Award yang menobatkannya sebagai ‘orang suci’ itu kepada TI. Itu dilakukan, menurutnya, untuk memudahkan penyelesaian kasusnya. Ini menjadi sejarah baru bagi TI. Karena sejak tahun 2000 kiprah TI memberi Integrity Award, baru Khairiansyah yang mengembalikannya.

Menurut penulis, apa yang sedang bergolak pada sosok ’bermuka dua’ Khairiansyah Salman itu, tidak boleh hanya dilihat dari satu sisi secara buta. Misalnya, ia hanya dilihat sebagai pahlawan yang harus dipuji-puji atau sebaliknya sebagai penjahat yang harus dicaci. Profesionalisme dan objektivisme tetap harus dipegang dalam membaca keparadokan dirinya itu.

Untuk itu, ada beberapa catatan penting yang perlu diajukan. Pertama, sesuai konsep Yin-Yang, setiap lembaran putih pasti ada titik hitam dan setiap lembaran hitam niscaya ada titik putihnya. Ini mengisyaratkan, tidak ada manusia yang 100 % bersih dan tidak ada pula yang 100 % kotor. Karenanya, kita tidak boleh terjebak hanya ’memelototi’ titik itu belaka. Keseluruhan lembar itu tetap wajib dibaca.

Dalam membaca paradok ini, tidak seharusnya kita hanya mem-blow up titik kecil dugaan dirinya sebagai penerima DAU itu belaka, kendati apa yang dilakukannya tidak dapat dibenarkan melalui kaca mata apapun. Kita juga harus melihat upaya dan keberaniannya meniup peluit di tengah masyarakat yang tidak (pernah) berani meniupnya. Apalagi peluit itu dihadapkan pada pejabat-pejabat pemerintah sekelas KPU. Karena tekad, keberanian, dan tindakan nyata individunya inilah Integrity Award (masih) layak disematkan di pundaknya. Peran ini tidak boleh dicampakkan begitu saja, mengingat suara Khairiansyah itu berdesir di tengah ketakutan masyarakat untuk berbicara jujur.

Kedua, jika Khairiansyah hanya dibaca dari sisi titik hitamnya, maka kita tidak akan lagi menemukan orang yang berani berbicara blak-blakan seperti itu. Orang tidak akan berani berkata jujur, karena takut giliran boroknya diobral orang lain. Dan jujur saja, pejabat mana yang bersih di negeri ini? Kalaupun ada, yang bersih itu juga tidak pernah berani bersuara apapun. Untuk itu, khairiansyah-khairiansyah lain seharusnya lebih banyak lagi bermunculan untuk kian memuluskan jalan pemberantasan korupsi di ’negeri beriman’ ini. Itu artinya, dalam konteks seperti ini, kepahlawanan Khairiansyah tidak lantas luntur begitu saja. Dia tetap pahlawan (dengan setitik noda) di tengah senyapnya pahlawan sejati yang bersih 100 %.

Ketiga, dugaan penerimaan aliran DAU terjadi sebelum Khairiansyah melakukan pembongkaran di kamar 609 Hotel Ibis itu. Apa yang dilakukannya, menurut hemat penulis, merupakan bentuk bertaubatan atau keinsyafannya. Ini berbeda ketika misalnya, Khairiansyah menerima DAU itu setelah dirinya meraih Integrity Award. Sikap sinislah yang harus dialamatkan padanya.

Keempat, apa yang dilakukan Khairiansyah dengan mengembalikan Integrity Award, itu patut menjadi teladan dan renungan. Bayangkan, dirinya rela melepas anugerah bergengsi itu, untuk memudahkan proses penyidikan kasusnya. Itu menunjukkan, betapa Khairiansyah telah mempertontonkan sikap patuh terhadap aturan yang berlaku. Ia ingin proses hukum berjalan fair.

Karena itu, sekali lagi, tidak seharusnya kita melihat sebelah mata terhadap apa yang yang telah dilakukannya. Apalagi muncul dugaan, ada oknum tertentu yang karena unsur balas dendam, sengaja beriktikad menjatuhkan wibawanya di muka umum sebagai pahlawan pemberangusan korupsi. Akhirnya memang, nestapa tetap saja masih menyelimuti Si Peniup Peluit itu. Kitapun hanya bisa berharap, semoga muncul ’ahli waris’nya sebagai peniup peluit. Kendati, ”Wistles blower pasti akan mengalami fenomena seperti yang saya alami,” tutur Khairiansyah beberapa waktu lalu di sebuah stasiun televisi swasta. Wa Allah a’lam.[]

*Pernah dipublikasikan Koran Kompas

Thursday, March 23, 2006

Pesan di Balik Rencana Suaka Ahmadiyah

Oleh Nurul Huda Maarif

“Kami sudah tidak merasa aman lagi hidup di negara sendiri. Maka dari itu kemungkinan kami akan meminta suaka politik ke negara lain.”

Kalimat bernada ‘ancaman’ itu dilontarkan penasihat organisasi Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB), Shamsir Ali, pasca penyerangan oleh ratusan massa pada penganut Jemaah Ahmadiyah di perumahan Bumi Asri, Dusun Ketapang Orong, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat (Lobar), 4 Februari 2006 silam. Peristiwa kekerasan yang kesekian kalinya menimpa warga Jemaah Ahmadiyah ini memantik keinginan mereka untuk mengajukan suaka politik ke luar negeri, seperti Australia, Kanada, Perancis dan sejumlah negara Eropa lainnya.

Rencana suaka itu bisa dimaklumi, jika melihat grafik kekerasan atas warga Jemaah Ahmadiyah dari tahun ke tahun yang tak kunjung redam. Pada September 2002 lalu misalnya, sebanyak 300 warga Jemaah Ahmadiyah harus meninggalkan Pancor Lombok Timur (Lotim) karena diusir warga setempat. Juni 2003, sebanyak 35 KK warga Jemaah Ahmadiyah di Sambi Elen juga diusir warga. Kasus pengusiran ini bahkan berujung pada meninggalnya seorang warga Jemaah Ahmadiyah.

Dan terakhir, 4 Februari 2006, sedikitnya 147 warga Jemaah Ahmadiyah menjadi korban pengusiran serta aksi pembakaran dan perusakan di Dusun Ketapang Orong, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat (Lobar). Belum lagi kekerasan atas mereka yang terjadi di Kampus al-Mubarak Parung 2005, Bulukumba, dan sebagainya. Akumulasi kekerasan yang bermula dari ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi seluruh warganya itu, akhirnya memuncak menjadi keinginan mengajukan suaka.

Tak pelak lagi, pro-kontrapun bermunculan menyikapi rencana pengajuan suaka oleh warga Jemaah Ahmadiyah NTB itu. Departemen Luar Negeri (Deplu) misalnya, menegaskan bahwa tidak ada landasan hukum apapun yang membenarkan para pengikut Jemaah Ahmadiyah di NTB itu meminta suaka politik ke negara lain. Menurut juru bicara Deplu, Desra Percaya, Konvensi Jenewa Tahun 1951 menyatakan, seseorang bisa mendapatkan suaka politik jika terdapat ancaman atas agama, kelompok etnis, kelompok tertentu, dan asosiasi politik. Dan ancaman itu harus dilakukan oleh negara. Karenanya, mengacu konvensi ini, warga Jemaah Ahmadiyah tidak dibenarkan mengajukan suaka karena yang terjadi lebih merupakan konflik hubungan antarmasyarakat, bukan dengan negara.

Sebaliknya, Koordinator Kontras Usman Hamid. Menurutnya, rencana pengajuan suaka oleh warga Jemaah Ahmadiyah itu sah-sah saja. Karena hak mencari suaka adalah hak yang juga dilindungi hukum nasional. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bisa menjadi acuan pembenaran ini dengan alasan mereka dalam rangka mencari rasa aman. Selain itu, imbuh Usman, UUD 1945 dan UU No. 30 Tahun 1999 juga melindungi hak-hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri. Karenanya, tidak ada alasan melarang mereka meminta suaka, jika rasa aman sudah tidak mereka dapati di negeri ini.

Sedang Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Azyumardi Azra menegaskan, bangsa Indonesia yang menekankan keindonesiaan dan keislaman tidak akan menginginkan terjadinya permintaan suaka yang dilakukan warga Jemaah itu. Jika hal itu terjadi, yang rugi bukan hanya umat Islam, tapi juga bangsa Indonesia.

Terlepas pro-kontra ‘sah-tidak sah’ suaka itu, yang penting diangkat adalah apa pesan di balik rencana pengajuan suaka yang menjadi ‘tamparan hebat’ bagi pemerintah itu?

Pertama, rencana suaka itu, secara kasat mata dan gamblang menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi mampu melindungi warganya, sehingga kekerasan atas nama agama terus-terusan terjadi tahun demi tahun. Dan ironisnya, setiap kali terjadi kekerasan, setiap itu pula pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Pelaku kekerasan yang ‘nampak di depan hidung’, juga dibiarkan begitu saja laksana orang tak berdosa. Karena itu, rencana suaka itu bisa dimaknai sebagai ‘kekesalan’ dan bahkan ‘keputusasaan’ warga Jemaah Ahmadiyah untuk mendapat perlindungan di negeri tercinta ini. Kenyataan ini menjadi ‘tamparan’ bagi pemerintah di era reformasi ini.

Kedua, rencana suaka itu, jelas akan mencoreng muka pemerintah Indonsia di mata internasional sebagai negara yang tidak melindungi ‘hak privat’ warganya. Dan inilah peristiwa pertama dalam sejarah Indonesia, bahwa pemeluk keyakinan tertentu tak lagi merasa aman sehingga harus mengajukan suaka politik ke negeri lain. Kesan selama ini Indonesia sebagai negara berpenduduk ramah penuh toleranpun akan segera terkubur dalam-dalam. Lengkap sudah bukti bahwa Indonesia adalah negara yang tak mampu mengelola perbedaan dan heterogenitas warganya secara positif.

Ketiga, rencana suaka itu, juga kian membuktikan sekaligus mengukuhkan hasil penelitian Religious Freedom Reports 2005 yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat (AS), bahwa negeri ini mengidap aneka kekerasan dan diskriminasi akut atas nama agama. Bahkan, kekerasan atas nama agama itu seakan telah menjadi kegiatan rutin yang ‘terjadwal’, karena nyaris terjadi setiap tahunnya.

Keempat, rencana suaka itu, juga memberikan pesan penting berupa ‘kritikan’ bahwa pemerintah tak mampu lagi menjalankan amanat UUD 1945, utamanya Pasal 29, dengan benar. Dalam pasal itu dikatakan, ‘berkeyakinan’, apapun keyakinan itu, dijamin keberadaannya di negeri ini. Karenanya, jika pemerintah tak mampu lagi menjamin kelanggengan kebebasan privat yang krusial itu, saat itu juga pemerintah telah gagal menjalankan amanat UUD 1945.

Itulah pesan-pesan utama di balik rencana suaka Jemaah Ahmadiyah yang harus ditangkap oleh pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus berani menindak tegas pelaku kekerasan atas nama agama (dan atas nama apapun), sehingga kepercayaan masyarakat pada perlindungan dan jaminan keamanan pemerintah kembali pulih. Sebaliknya, jika pemerintah tak mampu menangkap pesan-pesan itu, maka suaka demi suaka akan mewarnai perjalanan sejarah negeri ini ke depan. Dan itu berarti kerugian hebat bagi bangsa ini.[]

*Pernah dipbulikasikan www.gusdur.net

Menagih Tanggungjawab Sosial Negara

Oleh Nurul Huda Maarif

Bencana alam, dari banjir, banjir bandang, longsor, badai, dan sebagainya, silih berganti mengiringi hari-hari kelabu rakyat Indonesia. Ibaratnya tiada hari tanpa bencana. Puluhan nyawa melayang, ratusan rumah hancur, jalan-jalan remuk, hektaran sawah ludes, juga ratusan ribu ton beras musnah terserang banjir. Aneka penyakit dan kelaparan pun bergentayangan di mana-mana mengancam rakyat, yang berarti kematian tinggal menunggu waktu.

Siapa yang bertanggungjawab atas semua itu?

Dalam konteks ini, jawaban dari sisi teologis masih memungkinkan untuk diajukan, utamanya bagi penganut setia agama. Misalnya, banyak orang ber-husn al-dhann (berprasangka baik), bahwa rentetan bencana yang terus-menerus terjadi tiada henti, itu tak lain karena kehendak Allah Swt. Apa yang Allah Swt kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya mustahil terjadi. Ini sesuai syair Arab: wa ma syi’ta kana in lam asya’#wa ma syi’tu in lam tasya’ lam yakun. Karenanya, mereka lantas memaknai bencana itu sebagai ujian bagi orang yang beriman dan azab bagi orang yang ingkar.

Tapi benarkah rentetan bencana itu hanya terjadi karena kehendak Allah Swt belaka ‘secara cuma-cuma’, tanpa ada kaitan secuilpun dengan ulah kita? Jawabannya tegas! Rentetan bencana itu terjadi karena kehendak Allah Swt tersebab ulah kita sendiri, utamanya terkait hubungan kita dengan alam. (Qs. Ar Rum ayat 41).

Allah Swt menurunkan banjir, karena ulah kita yang gemar nyampah. Allah Swt menurunkan longsor dan banjir bandang, karena ulah kita yang gemar menggunduli hutan. Allah Swt ‘merusak’ jalan tol, karena ulah kita mengkorup bahan mentah jalan itu. Allah Swt menurunkan aneka penyakit berbahaya, karena kita ‘bahagia’ membuat lingkungan menjadi kotor; dan seterusnya. Karenanya, yang harus bertanggungjawab atas semua itu bukan siapa-siapa, tapi kita semua, baik kita sebagai pemimpin, kita sebagai pemerintah, kita sebagai wakil rakyat, maupun kita sebagai rakyat.

Hanya saja, diantara kita yang bertanggungjawab itu, ada yang paling bertanggungjawab: yaitu pemerintah atau negara. Mengapa? Tugas pemerintah atau negara adalah melindungi dan menciptakan kemaslahatan bagi rakyat, melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada mereka. Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi mashlahah. Untuk itu, jika pemerintah atau negara tak mampu lagi melindungi dan menciptakan mashlalah bagi rakyatnya, pada saat itulah fungsi utama pemerintah atau negara sebagai pelindung rakyat telah hilang. Kemafsadatanlah yang kemudian akan muncul.

Jika pemerintah atau negara diyakini sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas rentetan bencana itu, maka bisa dimengrti jika ada pihak-pihak tertentu yang dengan tegas menuding pemerintah atau negaralah pihak pertama yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Masdar F. Mas’udi misalnya, enggan menyebut rentetan musibah itu sebagai bencana alam, melainkan bencana sosial yang terjadi karena ulah manusia dan pemerintah atau negara wajib bertanggungjawab atas semua itu. Karena itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) termasuk pihak yang ‘ngotot’ menyuarakan, bahwa tindakan preventif pemerintah atau negara menjelang terjadinya bencana paling penting untuk disorot. Karena ternyata pemerintah atau negara tak melakukan tindakan antisipatif apa-apa.

Terkait banjir bandang atau longsor misalnya. Idealnya, sedari awal pemerintah atau negara secara tegas setegas-tegasnya menindak para pelaku penggundulan hutan atau tindak illegal logging, dengan hukuman setimpal. Tujuannya tak lain supaya hutan tak menjadi gundul dan tanah tak menjadi jenuh, sehingga banjir bandang atau longsor tak akan terjadi. Korban nyawa dan meteri yang sia-sia pun bisa terhindarkan.

Tapi lantaran ketiadaan ketegasan itu, musibah yang menelan banyak korban itu mau tak mau harus menjadi kenyataan. Lalu di mana sikap preventif pemerintah atau negara? Malah ironisnya, acapkali oknum-oknum dalam pemerintahan sendiri turut ambil bagian dalam proses illegal logging itu. Ini sangat naïf, karena hanya untuk kepentingan pribadi, nyawa rakyat banyak menjadi taruhan.

Untuk itu, para pemimpin hendaknya merenungkan kembali secara dalam-dalam sikap kerakyatan yang diteladankan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Suatu ketika, beliau berujar yang intinya, jika ada seekor keledai saja terpeleset di jalan Baghdad sebab kerusakan jalan, maka beliau akan sangat ketakutan karena Allah Swt pasti akan menuntut tanggungjawab kepemimpinannya.

Di mata Ali, keterpelesatan seekor keledai saja menyebabkannya begitu kuatir, apalagi keterpelesetan banyak manusia, lebih-lebih yang mengakibatkan banyak nyawa melayang. Tanggungjawab sosial di hadapan manusia dan tanggung jawab teologis di hadapan Allah Swt itulah yang akan selalu dipertimbangkannya dalam membuat setiap kebijakan. Itulah yang seharusnya dilakukan para pemimpin.

Apa yang terjadi di negeri ini? Tanggungjawab sosial, apalagi tanggungjawab teologis, menjadi barang langka dan mewah. Kebijakan-kebijakan para pemimpin, seperti kritik Mantan Presiden RI ke-4 beberapa waktu lalu, tidak lagi mengindahkan dan berpihak pada nasib rakyat banyak. Akibatnya, rakyat yang seharusnya dilindungi malah menjadi korban. Itulah tanggungjawab sosial pemerintah atau negara yang harus ditagih.[]

*Pernah dipublikasikan www.gusdur.net

Menanti Kiprah Riil Pesantren

Oleh Nurul Huda Maarif

Akhir-akhir ini, relasi pesantren dengan masyarakat, banyak disorot berbagai kalangan. Pesantren dianggap tidak lagi merakyat, jauh dari dan menjaga jarak dengan masyarakat. Malah ada yang sedikit lebih radic; pesantren diklaim tidak memiliki kiprah apa-apa dalam pengembangan masyarakat. Sorotan serupa ini, tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dijawab oleh pesantren. Sebab, tidak ada asap kalau tidak ada api. Pertanyaannya: benarkah relasi pesantren dengan masyarakat mulai renggang? Sahihkah klaim bahwa pesantren tidak memiliki andil apapun dalam pengembangan masyarakat?

Dakwah dengan Kiprah Nyata

Sebuah qaul hikmah berbunyi; “al-da’wah laisat mujarrada tablighin wa lakin akhlaqun wa sulukun/dakwah tidak semata penyampaian lisan, melainkan akhlak dan teladan [baca: kiprah nyata].” Qaul hikmah ini, sudah semestinya dihayati secara matang oleh pesantren untuk kemudian diimplementasikan dalam tataran yang riil. Bahwa dakwah tidak cukup hanya melulu orasi, melainkan kiprah nyata, memang harus mendapat porsi pemikiran tersendiri. Karenanya, sedikit mengutip ucapan Hassan Hanafi – filosof Mesir kontemporer – dalam Islam in Modern World: teori tanpa kiprah nyata, tidak ada artinya apa-apa. Mending teori salah, tapi kiprah nyata ada, ketimbang ada teori tapi miskin kiprah nyata. Itu artinya, kiprah nyata menjadi tolok ukur kemanfaatan kita (baca: pesantren) bagi masyarakat luas.

Kenapa kiprah nyata begitu penting dikedepankan? Sebab pada tingkat kiprah nyata itulah, sumbangsih dan dedikasi yang benar-benar bermanfaat dapat dirasakan masyarakat. Pada gilirannya, pesantren akan mendapat tempat yang layak dan nyaman di hati masyarakat. Dan sejatinya, kesalehan sosial seperti itulah yang harus ditunjukkan pesantren. Atau dengan kata lain – mengutip Faqihuddin Abdul Kodir – tunjukkan kesalehan individual melalui kesalehan sosial, dalam hal ini melalui kiprah nyata pesantren dalam pengembangan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya; kiprah nyata seperti apa yang harus dimainkan pesantren, sehingga pesantren bisa benar-benar menunjukkan kesalehan individualnya melalui kesalehan sosial? Jawabannya, tentu saja tidak melalui kiprah nyata dalam bidang pendidikan agama. Keilmuan-agama yang selama ini diajarkan dan menjadi ciri khas pesantren, kendati telah berhasil menciptakan “revolusi keberagamaan” pada masyarakat, untuk saat ini dianggap telah “usai.” Peran yang sudah menjadi dagangan pesantren secara umum dan luas itu sudah cukup! Sehingga, pesantren perlu memberikan tawaran dagangan lain dalam bentuk kiprah nyata pada masyarakat, sebagai senjata menghadapi gempuran globalisasi. Kiprah nyata itu akan mencerminkan kaidah fiqhiyyah “al-mutaaddy afdhal min al-qashir/kiprah yang manfaatnya dirasakan orang lain (baca: masyarakat) lebih utama, ketimbang yang efeknya dinikmati diri sendiri.”

Sebab itu pula, pesantren sebagai agent of change atau social engineering dan kyai – seperti tesis Clifford Geertz – sebagai cultural broker atau makelar kebudayaan – dalam bahasa Gus Dur – tidak seharusnya berdiam diri atau tidak merasa bertanggung jawab atas berbagai persoalan yang melilit masyarakat. Pesantren harus merespon dan sigap atas semua itu. Itu artinya, pesantren niscaya memposisikan diri sebagai jembatan penyambung antara kebutuhan masyarakat dengan tuntutan zaman yang mereka hadapi. Peran itu sangat mungkin dimainkan pesantren, mengingat keberadaannya yang diantara dua dunia; dunia pedesaan dan dunia luar. Keberadaannya yang di pedesaan, membuat pesantren bisa mengerti apa-apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan keberadaannya yang bersentuhan dengan dunia luar, pesantren dimungkinkan bisa mengerti senjata apa saja yang harus dipunyai masyarakat dalam menghadapi pertarungan di era global ini.

Kiranya perlu disadarai bersama, bahwa di era global ini, masyarakat tidak hanya dituntut piawai dalam bidang ilmu agama. Agama toh hanya difungsikan – tak lebih – sebagai benteng moral. Agama bukan alat untuk merebut kemenangan dalam dunia yang kian kompetitif ini. Masa kejayaan agama, kini telah “lewat.” Karenanya, untuk menghadapi zaman yang tingkat kompetitifnya kian menggila itu, bukan benteng moral saja yang kudu dipentingkan, melainkan penanaman skill dan upaya-upaya pengembangan dalam sektor modern; seperti koperasi, jasa, tehnologi tepat guna, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang akan turut membantu masyarakat dalam menjawab tuntutan zaman modern ini. Itulah dakwah dengan kiprah nyata (da’wah bi al-hal) yang harus dimainkan pesantren.

Meneropong Kiprah Pesantren; Dulu dan Kini

Selama ini, ada pandangan yang cukup membanggakan hati pesantren, bahwa pesantren yang memamang memiliki tradisi mandiri kuat dan keberadaannya yang sudah lama di pedesaan, acapkali dianggap dan bahkan diyakini sebagai pintu masuk yang strategis untuk melakukan pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan (Dawam Raharjo: 1996). Karenanya, pesantren acapkali disebut sebagai agent of change atau social engineering. Sebutan itu tidak mengada-ada dan bahkan cukup tepat.

Namun demikian, kita juga perlu jujur dalam melihat keberadaan pesantren, dulu dan kini. Sebab, ada nuansa yang berbeda antara kiprah pesantren dulu dan pesantren kini. Malah, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, tesis bahwa pesantren sangat dekat dengan masyarakat, kini perlu dikaji ulang. Dulu, pesantren memang betul-betul dekat dengan masyarakat, karena kemunculannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun kini? Banyak cibiran sinis yang dialamatkan pada pesantren. Dengan demikian, paling tidak, cibiran itu mengindikasikan, bahwa hubungan pesantren dengan masyarakat, bukan tanpa masalah sama sekali, terutama terkait kedekatan dan kiprah nyatanya dalam pengembangan masyarakat.

Selain itu, kehidupan pesantren, terutama saat ini, malah sering dianggap membuat sekat dan tidak lagi membaur dengan masyarakat. Ini misalnya ditandai dengan keberadaan pesantren yang dibentengi gedung (tembok) tinggi, yang pada gilirannya malah “menodai” keintiman hubungan dengan mereka. Bila kenyataan ini benar, tentu saja perlu ada pemikiran baru bagi pesantren, supaya kiprah nyatanya benar-benar terasakan masyarakat. Sehingga, ucapan radikal Ivan Illich “lembaga pendidikan yang membuat sekat dengan masyarakat, hancurkan saja!” tidak seharusnya menimpa pesantren. Sebab, bila pesantren kian jauh dan kian tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat, tak mustahil badai ucapan Illich benar-benar akan menerpa pesantren.

Bila itu terjadi, tentu saja kaum muslim Indonesia akan kehilangan kekayaan peradaban yang selama ini dibanggakan. Pesantren benar-benar hanya akan menjadi artefak peradaban yang tak punya efek kemasyarakatan apapun. Selain itu, bila pesantren hanya getol mengembangkan pendidikan keagamaan, pesantren malah akan menjadi semacam museum. (Suyata; 1985). Dengan demikian, pesantren diharapkan turut memberi investasi sosial bagi masyarakat. Dan salah satu cara membuat pesantren menjadi hidup, adalah dengan membawa persoalan-persoalan nyata di masyarakat ke dalam dunia pesantren.

Kita pun lalu bertanya; di luar dunia pendidikan agama, peran nyata apa yang selama ini telah ditorehkan pesantren untuk pengembangan masyarakat? Berdasarkan sisi historis, secara umum, pada awalnya hampir semua pesantren menempati dan memiliki lahan cukup luas. Keluasan lahan itu, biasanya dimanfaatkan pihak pesantren untuk memberikan pendidikan skill pertanian pada para santri dan masyarakat sekitar. Misalnya, pesantren mengajarkan bagaimana cara menanam padi, jagung, palawija, terong, dan sebagainya. Di luar kegiatan formal pesantren, para santri dan masyarakat sekitar, secara langsung terjun ke lahan untuk mempraktikkan skill pertanian itu.

Malah pasca 70-an, tepatnya setelah Menteri Agama ketika itu, Dr Mukti Ali, melontarkan gagasan pendidikan keterampilan dan pengembangan masyarakat di pesantren, kiprah kemasyarakatan pesantren kian menampak. Hanya saja, gagasan brilian itu, belum mendapatkan formulasinya secara jelas untuk dilaksanakan. Baru pada tahun 1977, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat (LP3ES) mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) I di Pesantren Pabelan, Muntilan, diikuti berbagai kalangan pesantren. Lalu disusul dengan LTPM II pada tahun 1979/1980 khusus pesantren yang ada di Jawa Timur.

Pada dua pelatihan itu, tercatat tak kurang dari 15 pesantren yang mengikuti kegiatan itu. Jenis keterampilan kemasyarakatan yang diajarkan saat itu antara lain: pembuatan tungku lorena, pompa tali, penjilidan buku, bumbu semen, ferro semen, serat semen, pembudidayaan jamur merang, mesin tetas telur, perontok padi, ternak kelinci, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang kemudian dikembangkan oleh 15 pesantren di lingkungannya masing-masing itu, menyedot tak kurang 2.072 tenaga (pekerja) masyarakat. Dengan demikian, pesantren turut membantu memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Tentu saja, untuk tuntutan zaman saat itu yang belum terlampau neko-neko seperti sekarang, skill-skill di atas cukup membantu pengembangan pesantren dan masyarakat. Dengan keahlian bercocok tanam, karena memiliki lahan luas dan sekidit keahlian dalam tehnologi tepat guna, pesantren dan masyarakat dapat mempertahankan kehidupannya secara cukup layak.

Lalu, bagaimana dengan kiprah pesantren saat ini? Banyak hal yang perlu dibenahi pesantren. Lahan-lahan luas pesantren sudah banyak berkurang, karena diwariskan pada keturunan dinasti kyai (bila tanah itu milik pribadi/non-wakaf) atau karena pengaruh globalisasi yang meniscayakan pembanhungan di mana-mana. Kenyataan ini, pada gilirannya memudarkan skill pertanian pesantren dan masyarakat sekitar. Bahkan dalam taraf tertentu, cukup membahayakan perekonomian masyarakat. Sebab, lahan yang dulunya dijadikan gantungan penghidupan, kini telah tiada. Lebih dari itu, kini tuntutan-tuntutan yang dihadapi masyarakat kian beragam dan modern. Bila pesantren bisa membantu pengembangan masyarakat: so what?

Menjadikan Pesantren sebagai Lembaga Sosial

Suyata, dalam tulisannya, Pesantren sebagai Lembaga Sosial yang Hidup, mengusulkan, supaya pesantren tidak semata menjadi lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, ia mengusulkan beberapa langkah: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir desa. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga rate of return-nya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran.

Beberapa Tawaran Awal dan Penjajakan Kerja Sama

Terkait proyek pengembangan masyarakat, kiranya sangat tepat bila pesantren terlebih dahulu membentuk biro pengembangan masyarakat. Biro ini secara tekun dan intensif bertugas untuk menghandle persoalan-persoalan pengembangan masyarakat. Dengan demikian, pesantren (yang utamanya menangani soal pendidikan) diharapkan tidak lagi “direcoki” persoalan pengembangan masyarakat.

Adapun sektor-sektor modern yang patut dikembangkan pesantren antara lain: Pertama, koperasi. Setiap pesantren seharusnya memiliki lembaga khusus yang mengelola sumber “duniawi” pesantren, semisal koperasi pondok pesantren (Kopontren). Idealnya, Kopontren dapat menjadi soko guru perekonomian intern dan ekstern pesantren, dengan tugas meningkatkan kesejahteraan share holder pesantren (pemilik beserta keluarga besar pesantren), kesejahteraan stake holder pesantren (terutama ustadz, ustadzah, karyawan, dan masyarakat sekitar) dan meningkatkan kualitas sarana prasarana pesantren itu sendiri. Kedua, tehnologi tepat guna. Misalnya pesantren mengajarkan pembuatan kompor, pupuk tanpa zat kimia, budidaya ikan berbagai jenis, budidaya tanaman segala jenis, budidaya jamur merang, filterisasi dan penjernihan air, pompa hiydram, mesin penetas telur, tungku lorena, dan aneka tehnologi tepat guna lain.

Dan ketiga, jasa. Pesantren juga bisa mengembangkan usaha dalam bidang jasa, misalnya jasa pengetikan dan rental komputer, photo copy, penyewaan peralatan pernikahan atau khitanan (semisal diesel, kursi, meja, dll), tenaga penyuluh kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kiprah pesantren betul-betul dapat dirasakan masyarakat secara nyata. Sebab selama ini, lumrahnya pesantren hanya mampu memberikan jasa tidak riil atau abstrak, semisal “rental tahlil,” “rental baca al-Qur’an,” “rental baca Ya Siin”, dan “rental shalawat.”

Selain itu, pesantren juga perlu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar pesantren, baik lembaga pemerintah – seperti Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Transmigrasi dan Perambah Hutan, Dinas Kesehatan, Bank Negara/Swasta – maupun Lembaga Non-Pemerintah (NGO)

Hal-hal di ataslah yang saat ini perlu dipikirkan pesantren secara serius. Akhirnya, semua tergantung iktikad pesantren: mau menjadi artefak kebudayaan, museum, atau menjadi lembaga sosial yang hidup? Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]

*Pernah dipublikasikan Majalah Bina Pesantren.

Wednesday, March 22, 2006

Kejahatan, Pertaubatan dan Kesadaran Hukum

Oleh Nurul Huda Maarif

Seorang Shahabat, Maiz bin Malik, suatu saat sowan kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” pintanya tiba-tiba.

“Celakalah engkau! Pulang! Mohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah,” tegas Rasulullah Saw.

Tanpa berani membantah perintah Rasullullah Saw, Maiz pun ngeloyor pulang. Tak lama berselang, Maiz nongol lagi di hadapan Rasulullah.

“Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” rengeknya lagi.

“Celakalah engkau! Pulang! Mohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah,” jawab Rasulullah Saw lagi.

Tak mau menyakiti Rasulullah Saw dengan melanggar titahnya, Maiz pun ngacir pulang lagi. Tak lama kemudian, Maiz pun nongol lagi di hadapan Rasulullah, dengan rengekan yang sama.

“Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” rengeknya tak mau menyerah.
Lagi-lagi, Maiz hanya menerima jawaban yang sama. Maiz pun pulang juga. Tapi, karena tekadnya yang sudah bulat dan tulus untuk membersihkan diri dari dosa, Maiz pun lagi-lagi nongol di hadapan Rasulullah Saw. Pada sowan yang keempat dan demi melihat keseriusan dan kegigihan Maiz untuk melakukan “penebusan dosa,” hati Rasulullah Saw mulai melunak.

“Karena kejahatan apa, aku harus membersihkanmu (dari dosa) ?,” tanya Rasulullah Saw penasaran juga.

“Dari (dosa) perbuatan zina,” jawabnya tanpa ragu.

Mendengar jawaban yang lugas, jujur, tegas, lagi ganjil itu, Rasulullah Saw tidak percaya begitu saja. Sebab itu, Rasulullah perlu mencari tahu tentang kondisi kejiwaan Maiz. Jangan-jangan, pengakuan Maiz itu karena dilatari kondisi kejiwaan yang sedang tertekan, stress, labil, atau malah sableng. Sebab pada galibnya, orang yang berkejiwaan waras, hampir dapat dipastikan tidak akan mengakui perbuatan dosanya – apalagi perbuatan bejat itu setingkat zina yang sangat dikecam agama dan masyarakat – dengan terus-terang. Malah, biasanya mereka cenderung membungkus perbuatan jahatnya serapi mungkin. Tujuannya? Tentu saja untuk berkelit dari jerat hukum. Tapi, Maiz bukan sosok pengecut seperti orang pada umumnya. Maiz mengutarakan kejahatannya langsung di hadapan Rasulullah Saw. Sontak saja, pengakuan (tanpa dakwaan) ini memaksa Rasulullah Saw “gedek-gedek.” Dan Rasulullah Saw tetap menyisakan sebersit keraguan dalam relung hatinya, terhadap kebenaran pengakuan itu.

“Apakah Maiz itu stress atau sableng?,” tanya Rasulullah Saw berkonsultasi pada para Shahabat yang lain.

“Maiz tidak stress atau sableng sama sekali. Dia benar-benar waras, wahai Rasul,” jawab Shahabat meyakinkan kondisi kejiwaan Maiz yang memang waras 100 persen.

Penegasan para Shahabat itu, tampaknya juga tidak serta-merta membuat Rasulullah Saw percaya terhadap pengakuan dosa Maiz. Dalam relung hati Rasulullah Saw, rupanya masih tersisa sebersit keraguan yang lain. Barangkali saja, ada yang salah pada diri Maiz.

“Apa Maiz minum arak, sehingga mabuk?,” selidik Rasulullah Saw penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, tanpa dikomando, seorang Shahabat dengan sigap langsung mendekati Maiz, guna memeriksanya. Shahabat itu membaui mulut Maiz. Tak ada bau arak yang menyembur dari mulutnya. Maiz tidak minum arak dan berarti tidak mabuk. Setelah keraguan-keraguan itu sirna, Rasulullah Saw percaya. Proses interogasi pun dilanjutkan.

“Apakah kamu (benar-benar) telah berzina?,” selidik Rasulullah Saw selanjutnya.

“Benar, wahai Rasul. Saya telah berzina,” jawab Maiz tetap dengan kepolosan.
Setelah mendapatkan bukti-bukti kuat yang membenarkan pengakuan Maiz, Rasulullah Saw memerintahkan para Shahabat untuk menghukumnya. Karena telah beristri (muhshan), Maiz dihukum lempar batu (rajam) hingga meninggal, sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Di bawah naungan pertaubatan nashuhah, jiwa Maiz pun melayang menghadap Sang Khalik dengan tenang dan damai. Inna lillah wa inna ilaihi rajiun.

Dalam menyikapi pertaubatan Maiz, para Shahabat terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama hanya mengecam perbuatan dosa Maiz, tanpa melirik (apalagi melihat) pertaubatan Maiz yang tulus. Perzinaan, dalam penilaian mereka, tetap saja keji dan aib bagi masyarakat, kendati pelakunya telah bertaubat. Sebab itu, hanya kecaman dan hujatan yang pantas diperoleh Maiz.

Sebaliknya, kelompok kedua lebih melihat pada proses pertaubatan Maiz yang menakjubkan itu. Mereka menilai; “tidak ada pertaubatan seindah dan seutama pertaubatan Maiz.” Maiz datang pada Rasulullah Saw, mengaku telah berbuat dosa, lalu minta dikenai hukuman yang setimpal. Selain gentleman, apa yang dilakukan Maiz juga mecerminkan perilaku yang indah dan utama. Rasulullah Saw sendiri hanya berujar lirih; “Mintalah ampunan untuk Maiz bin Malik.” Ini artinya, karena pertaubatannya, Maiz layak mendapatkan ampunan dari Sang Khalik.

Dari fenomena yang fenomenal, seperti dituturkan Imam Muslim dalam kitab “keramat”nya, Shahih Muslim di atas, kita dapat menarik berbagai pelajaran berharga. Pertama, bila kita telah melakukan kejahatan atau dosa, kita harus melakukan pertaubatan secepat mungkin. Tentunya pertaubatan yang serius, bukan pertaubatan a la makan sambal. Kita harus gentle mengakui perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Bila perlu, seperti yang diteladankan Maiz, kita mengakuinya di muka umum, kendati tidak ada aduan atau tuntutan dari orang lain yang merasa dirugikan oleh ulah kita. Seperti Maiz, sebelum menjadi terdakwa, ia mengaku duluan dengan penuh kesadaran.

Kedua, dengan pengakuan yang jujur dan tulus telah melanggar batas-batas agama dengan berbuat zina, Maiz kemudian menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw untuk diganjar sesuai ketentuan yang berlaku dalam Islam. Maiz sangat paham, hukuman bagi pelaku zina tak lain adalah cambuk (bagi yang ghair muhshan) atau rajam (bagi yang muhshan). Maiz pun sadar, konsekuensi logis dari pengakuannya itu, ia akan menerima hukum rajam sampai mati, karena kemuhshanannya. Tapi, demi menggapai ampunan Sang Khalik, ia rela mendapatkan hukuman itu. Ini menunjukkan, Maiz adalah sosok berjiwa besar dan sadar hukum yang seharusnya kita teladani.

Bagaimana dengan perilaku kita? Lumrahnya, kita malah melakukan hal yang sebaliknya. Tatkala melakukan kesalahan, kita sadar telah melakukannya. Kesadaran itu tentu sudah bagus (walau dalam tataran yang paling minimal). Namun lebih bagus dan sempurna lagi, manakala setelah menyadari kesalahan itu, kita langsung melakukan pertaubatan. Kita berupaya menghapus kesalahan itu dengan pertaubatan. Tapi, ini ironisnya, tak jarang diantara kita yang telah dinyatakan positif mengidap kesalahan oleh pengadilan misalnya, tetap saja tidak mau mengakuinya, apalagi melakukan pertaubatan.

Ketiga, kendati telah bertaubat dengan mengakui perbuatannya, bukan berarti secara otomatis Maiz lolos dari hukum di dunia. Ketentuan agama, dalam hal ini rajam, tetap berlaku baginya. Adapun hukum di akhirat, itu sepenuhnya menjadi urusan Gusti Allah.

Dan keempat, keputusan hukum harus ditopang oleh bukti-bukti yang kuat dan akurat. Kita tidak boleh menjatuhkan hukuman, tanpa dilandasi kekuatan bukti. Selain itu, keputusan hukum juga harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan si pelanggar hukum, seperti yang diteladankan Rasulullah Saw. Sebab, pelanggar hukum yang kondisi kejiwaannya tidak normal atau sableng, tidak termasuk kategori mukallaf yang terkena taklif (beban/ketentuan hukum). Hukum tidak akan “memangsa” orang sableng. Artinya, hukum dapat ditetapkan dan diterapkan pada orang yang betul-betul waras secara mental. Dan untuk mengetahui hal itu, perlu dilakukan pembuktian baik secara medis maupun psikologis. Wa Allah a’lam.[]

*Pernah dimuat Majalah Halqah P3M

Korupsi dan Problem Kesadaran Beragama

Oleh Nurul Huda Maarif

"Pada Era Orla, korupsi dilakukan di bawah meja. Pada Era Orba, korupsi dilakukan di atas meja. Dan pada Era Reformasi, korupsi tidak hanya dilakukan di atas meja, malah mejanya turut diembat."

Itulah olok-olok yang acapkali kita dengar, berkaitan dengan fenomena korupsi di negara kita yang kian hari kian menunjukkan grafik menggila. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pasca Pemilu 2004, praktik korupsi akan dilakukan dengan cara yang jauh lebih terang dan edan lagi; yakni tidak hanya dengan mengembat meja, gedungnya pun turut diboyong.

Realitas di atas menunjukkan, moral bangsa kita (baca; pejabat) kian hari kian mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu, kini terang-terangan dilakukan. Yang dulu dipraktikkan minoritas orang, kini dilakukan mayoritas orang. Yang dulu menjadi rahasia privat, kini menjadi rahasia umum. Ini berarti, (tak terbantahkan lagi) kehidupan berbangsa kian bobrok. Kenyataan ini seirama dengan isyarat Nabi SAW 15 abad silam; "Tidak akan datang satu hari pun, kecuali ia lebih buruk dari hari sebelumnya." (HR al-Bukhari). Karena itu, Rizal Ramli, Menko Ekuin pada rezim Gus Dur, beberapa waktu lalu berkomentar; "Meski pemerintahan Megawati hanya seusia jagung, tingkat korupsi saat ini lebih parah, lebih gila."

Kenyataan ini juga sealur dengan hasil penelitian Transparancy International Indonesia (TII) pada 2001. TII menyimpulkan, Indonesia berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia. Malah, survei yang dilakukan PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, akan membuat kita kian takjub. PERC menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia. Ini berarti, hasil-hasil penelitian itu dengan sahih menunjukkan bahwa Indonesia dihuni para maling. Sehingga, wajar saja bila Wasingatu Zakiyah pernah menjuluki Indonesia sebagai Negara Kleptokrasi (negara para maling). Atau-pinjam bahasa Dr B Herry Priyono-negara ini bukan democracy,tapi chremocracy(pemerintahan para penyuap) yang berujung pada kleptocracy. Problem kesadaran beragama

Mercie Elide, seorang teolog Rumania, pernah berujar; "Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang suci dan mana yang tidak. Dan dia cenderung melakukan yang suci." Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung menjalankan ajaran agamanya (yang memang mencerminkan kesucian) dan meninggalkan yang tidak suci. Konsekuensinya, orang yang mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat "orang beragama." Sebab, apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat ajaran agama yang didewakannya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama. Tapi, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat yang begitu membanggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sungguh ironis! Beragama jalan terus, korupsipun jalan terus. Ini artinya, kita punya dualisme karakter; karakter orang beragama sekaligus penjahat agama. Itulah paradoks keberagamaan kita. Kenyataan ini mengisyaratkan, tingkat kesadaran beragama kita masih dilematis. Dan ini kenyataan yang sangat menyedihkan.

Yang lebih telak lagi, bila kita --umat Islam khususnya-- mau merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan korupsi itu, kita akan ternganga. Kita sadar, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatisf, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat, menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah. Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas, ini tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena, Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara apapun (kendati sekecil atom). Dan korupsi merupakan sebentuk penzaliman luar biasa dan berdampak dahsyat. Lagi-lagi, kenyataan ini menyiratkan, banyak kaum muslim telah melakukan "pengkhianatan" terhadap ajaran suci agamanya.

Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (al-Ankabut; 45). Dengan mamahami satu ayat ini dan mengamalkannya secara konsisten, seharusnya kita tidak terperosok dalam perilaku al-fahsya' (salah satunya korupsi). Tapi, toh kita tetap terperosok dalam lembah al-fahsya' itu. Ini menunjukkan, kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat-ayat lain yang jumlahnya banyak. Kita akan semakin prihatin saja; betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur'an (dan Hadis). Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya.

Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana mempertahankan hidup. Apapun caranya, kelanggengan hidup harus kita pertahankan, kendati dengan melabrak batas agama. Inilah sebabnya Nabi SAW mewanti-wanti umatnya; "Akan datang suatu masa, di mana manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan sesuatu, baik dari jalan halal maupun haram." Dan memang, cara "tidak peduli jalan" itulah yang ditempuh kita yang koruptor ini dalam mengais rezeki. Sebab itu, ungkapan "koruptor bermata kuda" sangat sahih. Koruptor hanya melihat kepentingan di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat) kemaslahatan yang ada di samping.

Pada gilirannya, karena mental kita yang pejabat atau penguasa ini sudah dirasuki virus korupsi, budaya korupsi pun tak terelakkan lagi dan malah mengarat. Semua lapisan berlomba untuk korupsi dan korupsi seakan perlombaan saja. Dan di tengah-tengah tradisi korupsi akut ini, menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara.


Memahami Korupsi dengan Bahasa Agama

Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu ajaran agamapun yang mentolerir, apalagi membenarkan tindak korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama.

Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah merampas kesejahteraan mereka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus secepatnya diberangus hingga ke akarnya, sebelum kejahatan dan tragedi kemanusiaan itu kian menjadi-jadi.

Memang, telah banyak sanksi yang dialamatkan pada para koruptor, baik sanksi formal (hukuman penjara) maupun non-formal (mayat koruptor tidak dishalati). Namun, grafik tindak korupsi bukannya mereda, melainkan kian menggila saja. Ini berarti, pemberian sanki saja belum cukup ampuh untuk meredam tindak korupsi. Barangkali saja, sanksinya terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan jera. Bila demikian, sanksi terberatpun harus ditawarkan, semisal hukuman mati.

Namun, yang terpenting sebenarnya bukan pemberian sanksi itu, melainkan mengembalikan basik kesadaran beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat memprihatinkan. Dengan demikian, bila kesadaran beragama itu berhasil dipulihkan, niscaya tindak korupsi dapat diminimalisir. Hanya masalahnya, mengembalikan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan mudah. Tapi, toh masih ada kesempatan untuk melakukan hal itu. Caranya dengan berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teologis dan penyadaran sosial.

Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya, secara teologis kita harus sadar, bahwa segala tindak-tanduk kita, senantiasa dipantau Allah SWT dan akan mendapat imbalan yang setimpal, baik di dunia maupun (terutama) di akhirat. Perilaku baik akan diganjar kebaikan dan perilaku buruk akan diganjar keburukan. Tidak ada perilaku, sekecil apapun, yang lepas dari pantauan Allah SWT. Lebih-lebih perilaku jahat yang nyata-nyata merugikan kemaslahatan rakyat banyak, seperti korupsi.

Nabi SAW juga bersabda; "Setiap daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram, maka api neraka lebih pantas untuk melahapnya." (HR Ibnu Hibban). Secara teologis, ujaran Nabi SAW ini selayaknya juga dijadikan pijakan dalam mengais rezeki. Karena, cara-cara yang digunakan untuk itu, kelak akan dipertanyakan. Dan korupsi termasuk cara "menumbuhkan daging dengan perbuatan haram" yang diancam siksa berat.

Secara teologis pula, siapapun kita tidak akan bisa berkelit dari sanski super dahsyat di akhirat, kendati kita bisa lepas dari sanksi dunia (inilah fungsi yaum al-hisab). Dengan demikian, bila kesadaran teologis ini telah terbangun, perilaku jahat yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau miniminal direduksi.

Kedua, penyadaran sosial. Banyak ditemukan, baik dalam al-Qur'an maupun Hadis, ajaran yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak boleh dibangun atas dasar saling menzalimi dan menjahati. Allah SWT berfirman; "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu dengan cara bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu (dengan jalan) dosa, padahal kalian mengetahui." (al-Baqarah; 188).

Karenanya, bila hubungan antar sesama (terutama hubungan penguasa dengan rakyat) dilandasi prinsip tidak saling merugikan, maka kehidupan yang bersahaja akan terbangun. Orang tidak akan berpikir untuk menzalimi orang lain, dengan berkorupsi misalnya. Sebab, korupsi berarti mengingkari prinsip hubungan saling menguntungkan itu. Dan terbukti, korupsi itulah penyebab runtuhnya tatanan kehidupan yang bersahaja. Ini sesuai firman Allah SWT dalam al-Rum; 41 yang menyatakan, ulah manusialah penyebab kehancuran dunia. Namun demikian, toh masih saja ada harapan untuk melakukan perbaikan. Harapan itu, seperti tertuang dalam al-Ra'd; 11, sepenuhnya berada dalam genggaman kita. Semoga! Wa Allah a'lam.

*Pernah dimuat Harian Pelita dan Buku Khutbah Antikorupsi, Menolak Korupsi, Membangun Kesalehan Sosial (P3M)

Tuesday, March 21, 2006

Laknat bagi Penimbun

Oleh Nurul Huda Maarif


Sungguh ganjil, di negeri gemah ripah loh jinawi ini,
kelangkaan beras terjadi di mana-mana. Kalaupun ada,
harganya tak kurang dari Rp. 4000/kg. Harga yang
sangat ideal untuk mencekik wong cilik dan menambah
kesengsaraan mereka. Ujungnya, alih-alih rencana
pemerintah mengimpor beras dengan total 110.000 ton di
tahun 2006 itu menjadi solusi, dugaan adanya permainan
justru berhembus kencang.

Aneka pertanyaanpun lantas berhamburan: benarkah beras
telah langka di negeri kaya ini? Benarkah tak ada
permainan di balik kelangkaan beras yang misterius
ini? Tak mungkinkah rencana impor beras itu justru
bagian dari permainan itu sendiri? Yang jelas, tulisan
sederhana ini hadir bukan untuk berspekulasi menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas.

Laknat
Menimbun adalah menumpuk atau menyembunyikan barang
yang dibeli pada waktu paceklik dengan harga tertentu
(biasanya dengan harga murah), untuk kemudian dijual
dengan harga yang lebih mahal, tatkala banyak orang
justru sangat membutuhkannya. Para penimbun, seperti
digambarkan Nabi Muhammad Saw, adalah orang yang
merasa sedih dengan harga rendah dan merasa senang
dengan harga tinggi.

Karenanya, tak ada toleransi apapun atas perbuatan
menimbun (utamanya menimbun bahan pokok) yang dapat
berakibat menyengsarakan banyak orang ini, karena
perbuatan ini tidak hanya bertabrakan dengan
nilai-nilai kamanusiaan yang agung, melainkan juga
bertabrakan dengan ajaran agama manapun. Apalagi, tak
ada motivasi apapun di baliknya kecuali karena
keserakahan dan kepentingan pribadi.

Untuk itu, Islam dan agama apapun sangat mengecam
tindakan menimbun ini. Sebagai tawarannya, Islam
umpamanya, menawarkan dan memperhatikan harmonisasi
hubungan antar manusia, termasuk dalam transaksi
perdagangan. Jual-beli harus dilakukan atas dasar
kesalingrelaan (‘an taradhin minkun) dan tidak saling
merugikan satu sama lain. Karenanya, jual-beli yang
berakibat ‘merugikan pihak lain’ dan ‘menguntungkan
diri sendiri’ tak mendapat tempat sedikitpun dalam
ajaran Islam. Tapi fenomena inilah yang kini hadir
secara fulgar di hadapan kita.

Banyak dugaan, kelangkaan dan/atau mahalnya harga
beras itu terjadi karena permainan orang-orang
tertentu yang melakukan penimbunan beras, untuk
mengeruk untung besar dengan menjadikan orang-orang
kecil sebagai sapi perahan. Mereka memang sedang
memancing di air keruh. Padahal, apa yang mereka
lakukan sejatinya tidak hanya berakibat kesengsaraan,
bahkan bisa berujung pada kematian karena kelaparan.
Jika ini terjadi, mereka tak ubahnya pembunuh berdarah
dingin; dan inilah cermin tindakan destruktif yang
akan mengangakan jurang ketimpangan sosial

Karena itu, perilaku jahat ini sangat dikecam baik
secara sosial mapun agama. Nabi Muhammad Saw misalnya,
menegaskan, “Tidak menimbun barang kecuali orang-orang
yang berdosa”. (HR. Muslim). Sabdanya juga, “Siapapun
yang menimbun makanan atas orang lain, niscaya Allah
akan menimpakan kepadanya penyakit kusta dan
kebangkrutan.” (HR. Ahmad daan Ibnu Majah). Kecamannya
lagi, “Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang
orang yang menimbun itu diberi laknat.” (HR. Ibnu
Majah). Bahkan dikatakannya, “Siapa saja yang
menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan
lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan
harganya) maka dia termasuk orang- orang yang zalim”.
Sabda-sabda suci itu membuktikan, para penimbun itu
sangat dekat dengan laknat atau kutukan, dan dengan
kezaliman.

Mengapa? Karena setidaknya mereka telah melakukan dua
kejahatan sekaligus. Pertama, ulah mereka menimbun
menyebabkan stok barang pokok itu kian menipis sebelum
waktunya. Kesengsaraan masyarakat menjadi akibat
paling telanjang dari ulah jahat ini. Karena
masyarakat akan kesulitan dan bahkan akan cenderung
berebut atau melakukan hal-hal lain yang tidak
rasional hanya untuk mendapat barang yang mereka
butuhkan. Tak tanggung-tanggung, nyawa menjadi taruhan
bagi mereka.

Kedua, para penimbun juga telah mencekik masyarakat
dengan memelambungkan harga barang, hanya demi
kepentingan pribadi. Bayangkan, bagaimana mungkin
beras yang menjadi makanan pokok masyarakat
berpenghasilan rendah, mau tak mau harus didapat
dengan harga di atas Rp 4000? Apa yang terjadi? Mereka
terperangkap pada dua dilema yang sama-sama pahit: tak
beli beras berarti kelaparan/mati atau terpaksa beli
dengan harga mahal kendati tak terjangkau kemampuan
ekonomi mereka. Serba salah!

Jual Paksa
Bagaimana menyikapi aksi para penimbun beras itu? Umar
bin al-Khattab, kala menjabat khalifah, pernah
mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun
barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut
riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa
hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan
yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan
dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen
atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk
Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat
menjual hasil panennya dengan paksa.”

Jika mengacu pada kebijakan Umar di atas, maka
pemerintah tidak seharusnya secara gegabah dan
semena-mena mengambil kebijakan impor beras. Untuk
itu, ada dua kewajiban pokok yang harus dilakukan
pemerintah sebelum impor beras itu jadi dilaksanakan.
Pertama, pemerintah berkewajiban dan harus berani
membongkar dugaan kuat adanya penimbunan beras yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Itu tugas
pemerintah untuk melindungi kemaslahatan rakyatnya,
apalagi apa yang menimpa mereka menyangkut hajat hidup
paling fundemantal. Dan pelakunya harus dihukum sesuai
aturan yang berlaku.

Kedua, setelah tindak penimbunan itu terbongkar,
kewajiban pemerintah selanjutnya adalah menjual barang
timbunan itu kepada rakyat dengan harga yang dapat
mereka jangkau. Dengan ’kebijakan paksa’ ini,
dimungkinkan stabilitas beras atau bahan pokok lainnya
akan kembali normal dan kehidupan masyarakat juga akan
kembali berjalan stabil.

Dan pemerintah tidak boleh terlambat menjalankan dua
kewajiban itu. Karena jika terlambat sedikit saja,
ribuan rakyat tak berdosa akan menjadi ’tumbal.’[]

*Pernah dimuat www.gusdur.net

Kartun Nabi dan Ironi Kebebasan Pers

Oleh Nurul Huda Maarif

Atas nama kebebasan pers, koran Denmark Jyllands-Posten yang berdiri tahun 1871, pada edisi 30 September 2005 silam, dengan berani memajang 12 kartun Nabi Muhammad SAW. Junjungan umat Islam itu, antara lain, digambarkan bersorban dengan akseseri bom waktu dan sebagai orang Badui dengan mata terbeliak menghunus pedang, ditemani dua wanita berbusana hitam.

Reaksipun bergemuruh hebat dari seluruh penjuru negeri muslim, karena tragedi penodaan keyakinan ini tidak hanya menghantam keyakinan umat Islam di Denmark sebagai pemeluk agama terbesar kedua (3 % dari total 5,4 juta penduduk Denmark) setelah Kristen Lutheran, tapi juga milyaran muslim di seluruh dunia. Ujungnya, banyak tudingan diacungkan pada Ratu Denmark Margrethe II, sebagai biang keladi munculnya kebencian masyarakat Denmark pada Islam. Dalam biografinya yang ditulis wartawan Annelise Bistrup (April 2005), ia menyatakan, "Mari kita tunjukkan perlawanan kita pada Islam."

Puncaknya, babak baru ketegangan Islam-Barat, khususnya Denmark, harus terjadi. Bahkan dalam waktu singkat, intensitas ketegangan itu bergolak sangat hebat: demonstrasi, pembakaran kedubes, pemboikotan produk, penutupan majalah, intimidasi dan sebagainya, terhadap apapun yang berbau Denmark. Nyawa pun tak sedikit melayang. Tak berhenti di sini, pemerintah Denmark lantas menerbitkan daftar 14 negara yang
harus dihindari warganya; Afghanistan, Aljazair, Bahrain, Mesir, Iran, Jordania, Libya, Maroko, Oman, Pakistan, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Qatar. Ini jelas kian memperburuk hubungan Islam-Barat.

Pertanyaannya: haruskah hubungan Islam-Barat hancur berkeping-keping lantaran pemuatan kartun nabi secara semena-mena itu? Jika iya, ini akan menjadi babak baru sekaligus pembenar dan pengukuh tesis the clash of civilization (benturan peradaban) yang digulirkan Samuel Huntington. Jurang kebencian Islam-Barat pun akan kian menganga lebar.

Tapi ironisnya, terhadap persoalan amat krusial ini, awalnya Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, mengaku tidak dapat bertindak apapun, karena pemajangan kartun itu dijamin oleh undang-undang kebebasan pers. Pertanyaannya: begitu muliakah kebebasan pers bagi dunia Barat, hatta kebebasan yang menghantam keyakinan umat beragama lain pun dilindungi?

Ironi Kebebasan Pers

Sebagai imbas liberalisme, di Eropa, terutama Eropa Barat, kebebasan pers sangat dijamin, hatta negarapun tidak berhak mengintervensi penerbitan pers. Alasannya, jurnalisme merupakan bagian dari kebebasan berekspresi atau berpendapat yang 'dilindungi' Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal 19 DUHAM menyebutkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk hak untuk mempertahankan pendapat-pendapat tanpa intervensi dan
mencari, menerima, memberikan informasi dan ide-ide melalui media apapun tanpa batas."

Dalam Konvensi HAM Eropa juga disebutkan, kebebasan berpendapat adalah salah satu fondasi penting dalam masyarakat demokratis. Prinsip ini berlaku bagi media cetak maupun elektronik yang 'menyebarkan informasi dan ide atas masalah bagi kepentingan publik'. Mutlakkah kebebasan ini? Pasal 10 Konvensi HAM Eropa menjelaskan, kebebasan itu bisa diterima sejauh tidak mengganggu penguasa publik atau memperhatikan batas negara. Jadi ternyata, tidak ada kebebasan tanpa batas. Lebih tak bebas lagi, jika itu menyangkut keyakinan umat lain. Inilah ironi kebebasan pers.

Kebebasan yang ditaburkan pada wilayah sensitive, misalnya menyangkut keyakinan agama, dalam kontek ini pemuatan kartun nabi, pertama-tama harus memperhatikan etika hubungan antar umat beragama. Kebebasan bisa ditolerir sejauh tidak melecehkan keyakinan pihak lain. Sebaliknya, jika kebebasan itu berakibat ketersinggungan pada pihak lain, saat itu juga ia menjadi terbatas. Perlindungan negara atas kebebasan seperti ini juga tidak seharusnya diberikan dan pelindungnya patut dipertanyakan.

Karenanya, bisa dimengerti jika ada yang menilai, kesalahan pemuatan kartun nabi itu tidak terletak pada kebebasan berekpresinya, melainkan pada ketiadaan kearifan ketika hal itu menyangkut pondasi utama umat beragama tertentu. Dan dalam Islam, kartunisasi Nabi Muhammad SAW secara sadar jelas tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Apalagi kartunisasi itu nyata-nyata melecehkan, baik secara fisik maupun
teologis. Makanya, tidak bisa dinalar tatkala kebebasan tanpa kearifan itu justru muncul di negari penjunjung tinggi HAM.

Namun demikian, kendati umat Islam wajib membela keyakinannnya yang dihantam pihak lain, bukan berarti mereka dibenarkan bertindak anarkis, misalnya membakar property pemerintah Denmark dan atau mengintimidasi warganya. Kekerasan, di mana dan kapan, tidak pernah menjadi solusi masalah. Apalagi ada dugaan, pemajangan kartun itu
diniatkan hanya untuk memancing kemarahan umat Islam, sehingga 'fakta' yang muncul umat Islam memang identik dengan kekerasan. Jika umat Islam terpancing, hanguslah citra kerahmatan Islam. Karenanya, responlah penghinaan itu dengan kesantunan. Proteslah ia secara damai.

Yang tak kalah penting, umat Islam tidak dibenarkan melakukan generalisasi; semua warga Denmark terlibat dalam penghinaan ini, karena itu hanya ulah segelintir oknum. Jika generalisasi itu terjadi, banyak warga Denmark yang tidak tahu-menahu persoalan sesungguhnya akan terzalimi dan terugikan atas dosa yang tidak pernah mereka
lakukan.

Yang jelas, tidak ada asap tanpa api. Pemuatan kartun nabi atas nama kebebasan pers itulah apinya. Dan inilah cermin kebebasan berekspresi yang kehilangan makna, karena tanpa disertai kearifan.[]

*Pernah dipublikasikan www.gusdur.net