Friday, September 21, 2007

Fatwa untuk Kemaslahatan Publik

Oleh Nurul H. Maarif

Dingin malam yang menusuk tulang, tak mampu memadamkan semangat seratusan kiai NU dari beberapa wilayah Jawa Tengah yang tengah serius membolak-balik lembaran kitab kuning.

Mereka berkumpul dalam Bahtsul Masail (BM) yang digelar PCNU Jepara bersama Pengurus Wilayah Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (PW LBM NU) Jawa Tengah, di Gedung Nahdlatul Ulama Cabang Jepara Jawa Tengah, 1 September silam.

Satu hal yang mereka cari: hukum fikih mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria. Perdebatan sengit kerap muncul dalam forum itu. Mubahatsah (pembahasan) hukum PLTN Muria, yang dijadwalkan selesai pukul 22.30 WIB, akhirnya molor hingga dini hari.

Berkat kegigihan dan kesabaran para kiai itu, keputusan final dicapai: PLTN Muria hukumnya haram. Dalam sejarah NU, ini fatwa pertama tentang PLTN. "Awalnya semua peserta disodori beberapa persoalan. Lalu mereka menggali maraji' atau referensi dari berbagai ayat, hadis dan kitab-kitab klasik," ungkap Ketua PCNU Jepara KH. Nuruddin Amin, yang akrab dipanggil Gus Nung. "Maraji' yang paling kuat dijadikan landasan untuk mengambil keputusan bersama," imbuhnya.

Bahtsul masail adalah forum resmi yang berwenang memfatwa dan menjawab permasalahan yang dihadapi warga nahdliyin. Termasuk rencana pembangunan PLTN Muria yang meresahkan ribuan warga nahdliyin di kawasan itu.

Fatwa ulama NU memang selalu bersinggungan dengan kepentingan warganya. Seperti fatwa hukuman bagi koruptor. "Hukuman yang layak bagi koruptor adalah potong tangan sampai hukuman mati," tegas keputusan yang diambil dalam Munas Alim Ulama NU di Jakarta pada 2002 itu.

Menurut para ulama NU, dalam pandangan syariat, korupsi adalah pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. "Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb)."

Selain korupsi, NU yang sebagian besar warganya berdiam di pelosok-pelosok daerah merasa perlu menjaga lingkungan. Untuk itulah muncul fatwa haram mencemarkan lingkungan pada Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya. "Mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dharar (kebahayaan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat)," tegas fatwa itu.

Bahkan waktu itu muncul usulan, perusak hutan dihukum seberat-beratnya. "Sampai hukuman mati," kata KH. Imam Ghazali Said mengisahkan muktamar itu (baca: Majalah Sudah Menggantikan Kitab).

Selain lingkungan, kasus tanah kerap menjadi masalah bagi warga NU. Maka wajar jika forum bahtsul masail Muktamar NU ke-30 di Kediri Jawa Timur, menelurkan fatwa pembebasan tanah rakyat.

"Pembebasan tanah rakyat dengan harga tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim dan hukumnya haram serta tidak sah."

Di luar fatwa yang dibuat dalam forum resmi, kiai-kiai NU juga banyak membuat fatwa swasta. Maksudnya, fatwa tidak dibuat oleh NU secara organisatoris, tapi oleh kiai-kiai NU yang peduli terhadap suatu masalah. Fatwa swasta biasanya akan dituruti para santri dan alumni pesantren kiai-kiai tersebut.

Misalnya, KH. Thantowi Jauhari Musaddad beserta kiai-kiai di Garut Jawa Barat, pernah mengadakan bahtsul masail untuk menghasilkan fatwa lingkungan. Mereka memutuskan, memelihara dan melestarikan lingkungan hukumnya wajib. Sebaliknya, perusakan alam dan lingkungan hukumnya haram.

Penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir, adalah sedekah jariyah yang akan mendapat limpahan pahala dari Allah SWT.

Bahsul masail swasta lainnya adalah Forum Pesantren-Petani di Ponpes Sunan Pandanaran, Yogyakarta pada 2005. Forum yang membahas Perpres 36/2005 ini, diikuti 150 perwakilan pesantren dan kelompok tani di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Lampung, Ampenan NTB, dan Sulawesi Selatan.

"Para kiai sepakat meminta presiden untuk membatalkan Perpres tersebut karena tidak sah dan haram hukumnya," kata Ketua Panitia BM, KH. Abdullah Hasan.

Menurut Kiai Hasan, putusan tidak sah dan haram itu karena Perpres tidak mengakomodasi kepentingan pemilik tanah dan kepentingan rakyat secara keseluruhan. "Sedang ganti rugi oleh pemerintah yang dititipkan lewat pengadilan, itu disertai pemaksaan," tuturnya.

"Disamping itu, Perpres tidak mengatur penyelesaian yang adil antara pihak-pihak yang bersengketa," imbuhnya.

Forum juga memutuskan, pembelian tanah secara paksa, hukumnya haram. Bahkan saat itu, banyak kiai yang menilai hal ini sebagai ghashab (memanfaatkan barang milik orang lain tanpa izin).

Adanya legitimasi spiritual yang kuat, membuat bahsul masail banyak dijalankan agamawan dan cendekiawan non NU. Misalnya, bahsul masail lintas iman yang membahas Lumpur Lapindo. Forum yang diikuti agamawan Muslim, Kristen, dan Katolik, ini dihelat di Pasar Baru Porong Sidoarjo Jawa Timur, akhir Agustus lalu.

Dalam fatwanya, forum tidak membenarkan pemberian uang oleh Lapindo terhadap masyarakat korban sebagai akad jual beli. "Tidak benar! Dalam kasus ini, Lapindo wajib akad ganti rugi, bukan jual beli. Lapindo wajib mengganti untung seluruh kerusakan akibat dampak luapan lumpur berdasarkan kesepakatan dengan korban," tulis keputusan itu.

Uniknya, untuk menguatkan keputusannya, forum tidak hanya merujuk kitab fikih klasik, tapi juga referensi dari agama non Muslim. Selain al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juga dikutip referensi Katholik dalam Gaudium et Spes part. 27.

Banyak fatwa NU lainnya yang bertujuan membebaskan warganya berekspresi. Umpamanya, fatwa Muktamar NU ke-10 di Surakarta Jawa Tengah. Di sana, antara lain, diputuskan perempuan boleh berpidato keagamaan di depan laki-laki, karena suaranya bukanlah aurat.

Ada juga fatwa wanita menjadi anggota DPR/DPRD. Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya Jawa Timur, 19 Maret 1957 memutuskan, menurut hukum Islam wanita diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD, jika telah memenuhi syarat yang ditentukan.

Ada juga fatwa hasil Munas Alim Ulama NU, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, pada Juli 2006, yang memutuskan keharaman trafficking dan kewajiban mencegah terjadinya trafficking.

Forum serupa bahsul masail juga dimiliki Muhammadiyah. Lembaga yang berwenang membuat putusan hukum atau fatwa bagi warga organisasi ini bernama Majlis Tarjih.

Majlis Tarjih pernah memfatwakan wanita boleh memberi pengajaran agama di hadapan laki-laki. Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah disebutkan, wanita mengajar pria dibolehkan, karena tidak ada larangan yang mencegahnya. Tentu saja, lanjutnya, disyaratkan adanya keamanan, seperti memejamkan mata hati dan tidak ber-khalwat (menyendiri atau berdua-duaan).

Mukmatar Tarjih Muhammadiyah ke XX di Garut Jawa Barat, 18-23 April 1976, membuat putusan tentang Tuntutan Adabul Mar'ah fi al-Islam. Diantara pointnya, itu perihal Wanita Islam dalam Bidang Politik. "Peranan yang langsung berupa praktik politik dalam badan-badan legislative atau DPR dari pusat sampai ke daerah-daerah, dalam hal ini kaum wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan memadai," tegas putusan itu.

Ada juga putusan yang membolehkan wanita menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat, lurah, menteri, walikota, dan sebagainya. "Agama tidak memberi alasan bagi yang menolak dan menghalang-halanginya," hasil putusan itu menegaskan.

Bahkan pada Munas XXIII di Banda Aceh 1995, Majlis Tarjih Muhammadiyah membuat keputusan tentang Hubungan Kerja dan Ketenagakerjaan dalam Perspektif Islam. Dalam Bab Kesimpulan/Rekomendasi dan Keputusan point 5, diputuskan bahwa "Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang, baik pria maupun wanita, untuk memilih jenis pekerjaan/profesi yang disukainya".

Para ulama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tentu berfikir, bahwa fatwa apapun harus memihak pada kemaslahatan umatnya. Bukan untuk kepentingan golongan atau pribadi. Apalagi untuk mendiskreditkan kelompok tertentu.[]

*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin 24 September 2007.
**Pencarian data dibantu oleh Nurun Nisa.

Labels:

KH. Imam Ghazali Said, MA: Majalah Sudah Menggantikan Kitab

Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU), adalah lembaga resmi di bawah PBNU yang berwenang mengkaji keputusan-keputusan hukum atas berbagai persoalan kemasyarakatan. Menurut KH. Imam Ghazali Said, tema dominan yang diangkat LBM adalah sosial. Ada juga tema lingkungan. Editor buku Ahkam al-Fuqaha' fi Muqarrarat Mu'tamar Nahdlatil Ulama': Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999 M), ini mengusulkan LBM harus mempertimbangkan metode istiqra'i - penelitian lapangan, supaya kontekstual dengan zaman.

Berikut pernyataan Pengasuh Ponpes An Nur Wonocolo Surabaya Jawa Timur itu kepada Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Tema apa yang paling banyak di-Bahtsul Masail (BM)-kan?
Saya melihat, tema-tema sosial yang banyak dibahas dalam Bahtsul Masail NU. Misalnya masalah perkawinan dan banyak lagi.

Selain masalah sosial?
Ada juga masalah sosial-politik. Misalnya tentang presiden perempuan atau peran perempuan, baik sebagai kepala desa, anggota parlemen, pengisi pengajian, dan sebagainya. Itu yang terbanyak.

Mengapa trennya tema sosial?
Itu sejak Bahtsul Masail awal. Tentang perempuan mengisi pengajian di depan umum, apakah suaranya aurat atau tidak, karena pendengarnya laki-laki semua, itu sudah dibahas tahun 1928. Berdasarkan hasil keputusan, itu boleh saja karena suara perempuan bukan aurat. Di dalam kitab acuan NU, ada dua pendapat; yang menyatakan suara perempuan aurat dan yang menyatakan bukan aurat. Tapi keputusan saat itu memilih yang tidak aurat.

Adakah perubahan dalam tradisi Bahtsul Masail?
Sebetulnya, pada 1926 sudah dirumuskan secara metodologis bagaimana mengambil keputusan dalam Bahtsul Masail. Misalnya, bagaimana kita bermazhab dan pendapat siapa yang diunggulkan. Hirarkinya itu sudah ada mulai Muktamar NU pertama. Hanya dalam perjalanannya, menurut saya kok 'menyimpang' dari metodologi yang ditetapkan sebelumnya.

Misalnya, ketika ada masalah asuransi. Ini kan persoalan baru. Pada zaman kitab klasik itu ditulis, kan nggak ada soal arusansi. Rupanya para kiai tidak menemukan kitabnya. Akhirnya mereka menukil Majalah Hidayah Islamiyyah, al-Manar, dan fatwa beberapa mufti Timur Tengah. Yang dirujuk, itu bukan kitab lagi, tapi majalah.

Berarti Bahtsul Masail sekarang lebih terbuka pada kitab di luar NU?
Ya. Tapi itu banyak menuai kritik. Contohnya ketika Muktamar ke-27 di Situbondo muncul wacana memasukkan Tafsir al-Maraghi karya Muhammad Mustafa al-Maraghi. Pada 1960-an ketika NU menjadi partai politik, PKI mengampanyekan pembagian tanah atau land reform. Waktu itu NU banyak merujuk buku-buku baru karya Abdul Qadir Audah dan Yusuf Musa dari al-Ikhwan al-Muslimun. Itu kan kitab-kitab modern.

Soal Tafsir al-Maraghi, waktu itu KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan tidak apa-apa. Bahkan kitab apa saja bisa dimasukkan. Kiai Sahal sangat maju. Karena, yang namanya karya ilmiah, bisa saja satu sisi tidak cocok dengan NU, tapi sisi yang lain cocok. Yang cocok ya ambil, sedang yang tidak cocok ya nggak usah. Tapi ternyata, alasan Tafsir al-Maraghi ditolak sebagai rujukan NU, itu karena penulisnya tidak mengakui tawasul dalam menafsirkan Qs al-Maidah ayat 35. Penafsirannya bertentangan dengan amaliah NU. Makanya ditolak! Tapi umumnya, isi kitab ini justru bermazhab Syafii. Hanya tawasul yang tidak cocok. Karena itu, Kiai Sahal menyatakan, kitab itu diterima saja, tapi soal tawasul nggak usah diambil. Ketika terjadi voting, Kiai Sahal kalah. Akhirnya tafsir ini ditolak sebagai rujukan.

Hal itu mencederai kekhasan NU?
Nggak juga. Karena kalau mencari ke kitab-kitab yang lama, kita kesulitan. Problemnya kan waktu itu belum ada. Makanya, saya kira itu positif saja.

Bagaimana tren fatwa tentang lingkungan?
Itu baru muncul pada Muktamar NU di Cipasung tahun 1994. Waktu itu isunya tentang hutan.

Hasilnya?
Perusak hutan harus dihukum seberat-beratnya. Bahkan ada usulan sampai hukuman mati. Ini fenomena baru dalam Bahtsul Masail. Karena pada masa awal nggak sampai ke sana. Mungkin isunya belum mengemuka.

Bagaimana soal Fatwa Haram PLTN Muria dari PCNU Jepara?
Saya sudah ketemu dengan mereka dan saya diberi makalah hasil keputusannya. Saya melihat, isinya ada ketidakpercayaan pada pemerintah. Ada beberapa kasus yang tidak bisa diatasi pemerintah, seperti soal lumpur Lapindo di Sidoarjo. Lapindo memang ada mashalih (kemanfaatan)-nya. Tapi ketika terjadi mafasid (kerusakan), pemerintah tidak bisa mengatasi hingga berlarut-larut. Lha kalau ini terjadi pada PLTN, terus bagaimana?

Tapi yang menarik, bagaimana mereka mengambil kitab lama sebagai acuan membahas masalah PLTN. Saya kira itu menggunakan ilhaq al-masail (membuat hukum baru dengan membandingkannya pada persoalan lama yang sudah diputuskan hukumnya, red.)

Seharusnya?
Kitab lama itu kan tidak berbicara tentang PLTN. Memang ada yang berbicara tentang orang berobat ke dokter. Pengobatan itu ada efek negatifnya. Kalau efek negatifnya tidak bisa diatasi, ya jadinya haram. Demikian juga dengan PLTN. Namun saya kira, lebih baik tidak mengutip dari situ. Tapi mengutip dari metodologinya. Di NU kan ada dua cara pengambilan hukum. Ada manhaji atau mengambil metodenya. Ada juga qauli atau mengambil pendapatnya. Merujuk ke pendapat, itu menurut saya tidak sesuai. Lebih baik manhaj-nya. Memang keduanya perlu dikemukakan. Tapi mengutip pendapat saja tidak relevan.

Ada Bahtsul Masail tentang Lumpur Lapindo yang melibatkan banyak tokoh agama. Pandangan Kiai?
Saya tahu itu. Yang mengadakan bukan NU, tapi LSM. Karena Bahtsul Masail kiai-kiai NU, itu mendapat legitimasi di masyarakat. Dan NU sudah punya rambu-rambu atau pakemnya. Jadi saran saya jangan pakai istilah Bahtsul Masail. Pakai saja istilah yang lain. Tapi, karena namanya lintas agama, saya kira Bahtsul Masail seperti itu tidak apa-apa. Asal jangan mengatasnamakan NU.

Bisa dijelaskan kelebihan dan kelemahan Bahtsul Masail yang ada selama ini?
Menurut saya, kelebihannya, pertama, tidak bisa menganggap orang yang duduk di PBNU, itu lebih hebat. Pengetahuan kiai-kiai di daerah itu sebetulnya berimbang. Makanya, dalam hirarki keputusan Bahtsul Masail NU, itu tidak boleh saling membatalkan antara tingkat cabang, wilayah atau pusat. Bahtsul Masail itu bukan berfungsi seperti pengadilan. Itu hanya kekuatan moral saja.

Kedua, para kiai mampu mengekplorasi teks-teks kitab klasik untuk dikontekstualisasikan sesuai zaman sekarang. Walaupun, ini mungkin ada kelemahan juga, kadang tidak pas atau tidak relevan. Ketiga, ada pergeseran perujukan. Karena teks kitab klasik tidak seluruhnya bisa dipakai untuk mengatasi problem sosial, maka mengambil metodologinya saja bukan teksnya. Itu kelebihannya.

Sedang kelemahannya, pada masa Bahtsul Masail awal, kita tidak diperkenankan merujuk pada al-Quran dan Hadis secara langsung melainkan harus lewat al-kutub al-mu'tabarah di kalangan NU. Jadi, itu serupa kutipan dalam kutipan. Dan sekarang, kelemahan itu diatasi dengan mengambil metodologinya sesuai keputusan Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung 1992. Hanya saja yang Lampung tidak dilaksanakan, sampai keputusan Muktamar Boyolali. Di sana, hasil keputusannya, setiap jawaban, dalilnya harus ada al-Quran, Hadis, aqwal al-shahabah atau fatwa shahabah dan aqwal al-ulama' atau fatwa ulama.

Harapan untuk Bahtsul Masail ke depan?
Menurut saya, cobalah memadukan antara tekstual dan kontekstual. Selama ini kan ada hegemoni tekstual yaitu kitab klasik. Itu yang disebut dalam ushul fiqh sebagai sistem istidlali. Mestinya sekarang pakai sistem istiqra'i, berdasarkan penelitian lapangan. Dari penelitian lapangan itu lalu ditentukan hukumnya. Keduanya dipakai, tapi tidak dominan istidlali-nya. Tetap mendominankan istiqra'i-nya.[]

*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin 24 September 2007

Labels:

Sama Takutnya, Beda Fatwanya

Oleh Nurul H. Maarif dan Gamal Ferdhi

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bekerjasama dengan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng memfatwa haram pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Fatwa yang digodok kiai-kiai NU melalui forum Bahtsul Masail, 1 September 2007, itu sontak mendulang pro kontra.

Reaksi keras datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Bagi kami, itu berlebihan. Kami belum membahas. Tapi, keputusan PCNU Jepara kami nilai sebagai masukan atau rekomendasi," ujar Ketua PBNU Ahmad Bagja.

Hal senada dinyatakan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi. Ada pihak lain, katanya, yang menunggangi PCNU Jepara. "Itu mungkin disokong oleh kepentingan bisnis yang merasa dirinya dirugikan. Melihat kenyataan seperti itu, banyak yang tertarik untuk cari simpati baik politik, LSM, maupun Pilkada Jateng. Situasi seperti itu tambah meriah dengan adanya tokoh nasional dan internasional," ujar Hasyim dalam penggalan SMS-nya yang beredar luas.

"Biaya demo dan pertemuan itu sangat besar yang tidak mungkin ditanggung PCNU Jepara," tegas Hasyim dalam sambutan pembukaan Rapat Kerja Nasional Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (Rakernas LBMNU), di Gedung Dewantoro, Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (5/9/2007). "Problem nuklir di Jepara sudah masuk angin," imbuhnya.

Tak berhenti di situ. Rakernas LBMNU menjadikan fatwa PCNU Jepara sebagai agenda pembahasan. Hanya saja, keputusan final belum dihasilkan. Isu ini pun akan dibahas pada kesempatan lain. "Hal terpenting, bahtsul masail harus berbasis riset yang mendalam," kata Ketua Panitia Rakernas LBM HM Kholil Nafis seolah 'menuding' fatwa haram PLTN NU Jepara tak berbasis riset mendalam.

Bantahan datang dari Ketua PCNU Jepara KH. Nuruddin Amin. Dia mengatakan, kemunculan fatwa itu melalui berbagai informasi yang diserap para kiai. Ulama, katanya, mengedepankan kaidah fikih dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih (menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan).

"Para kiai tak hanya melakukan refleksi kaidah-kaidah fikih, tapi juga sejarah panjang PLTN di dunia dan wacana di Indonesia, hingga sikap-sikap pemerintah yang kurang responsif terhadap persoalan ini, utamanya pada masyarakat lapisan bawah," ujar pria yang akrab dipanggil Gus Nung ini.

Gus Nung mengakui, dalam sebuah perkara seringkali ada mafsadah (keburukan) dan maslahah (manfaat). al-Quran mencontohkan khamr (minuman keras) dan maisir (judi), yang diakui ada manfaatnya, tapi dampak negatifnya lebih hebat atau dalam bahasa al-Quran disebut sebagai itsmuhuma akbaru min naf'ihima (dosanya lebih besar daripada manfaatnya), sehingga hukumnya haram.

"Ketentuan al-Quran ini menjadi rujukan utama kami dan dirumuskan dalam berbagai kaidah fikih," kata Gus Nung.

Selama merumuskan fatwa itu, kata Sekretaris Tim Perumus KH. Ahmad Roziqin, pihaknya memegang prinsip ahlussunnah wal jamaah; tawassuth, i'tidal, tasamuh, dan tawazun. "Hukum haram ini melalui kajian panjang dari masing-masing kiai. Jadi mereka telah memiliki bekal informasi seputar PLTN, termasuk pandangan dari sisi fikih," katanya.

PCNU Jepara menilai, secara nyata rencana pembangunan PLTN telah menimbulkan tarwi' al-muslimin (keresahan umat). "Jadi, pembangunan PLTN Muria lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Karena itu, kami memutuskan haram!" imbuh Kiai Roziqin.

Mantan Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung pengharaman PLTN Muria. Menurutnya, keputusan PCNU Jepara telah sesuai metodologi berfatwa, karena melandaskan dalilnya pada al-Quran. "Yang dipakai para ulama di Jepara untuk menyatakan bahwa reaktor nuklir itu membahayakan, itu al-Quran al-Karim," katanya.

Kalangan muda NU Jepara justru mengkhawatirkan perdebatan di internal kaum nahdliyin ini. "Jangan-jangan nanti Fatwa Haram PLTN Muria oleh PCNU Jepara dibatalkan PBNU," kata Koordinator Garda Muria Zakariyya el-Anshori.

Kekhawatiran Zakariyya mungkin tak akan terjadi. Sejatinya Hasyim Muzadi pun menolak pembangunan PLTN. "Wong gardu listrik saja njeblug (meledak, red.), lalu bagaimana nantinya kalau ada kebocoran nuklir? Ini yang dikhawatirkan oleh masyarakat Jepara," tuturnya di PBNU, Senin (3/9).

Benar saja. Seminggu kemudian, laboratorium milik Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) di Serpong pun njeblug. Walau para pejabat garda depan pembangunan PLTN itu mengatakan tidak ada reaktor yang bocor, namun semangat penolakan seperti kembali menemukan momentumnya. Dan roman-romannya PBNU akan segera menyusul PCNU Jepara.[]

*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin 24 September 2007

Thursday, September 13, 2007

Koordinator Garda Muria Zakariyya el-Anshori: "Ini Gerakan Warga NU"

Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serius menolak rencana pembangunan PLTN Muria. Sabtu, 1 September 2007, di halaman Gedung DPRD Jepara, Gus Dur mendeklarasikan berdirinya Garda Muria. Di hadapan ribuan warga Jepara dan sekitarnya, aktivis muda NU Jepara, Zakariyya el-Anshori, dibaiat sebagai Koorditaor Garda Muria.

Berikut petikan wawancara dengan Zakariyya el-Anshori, yang juga penggubah Shalawat anti-PLTN itu, dengan Nurul H Maarif dari www.gusdur.net:

Bisa Anda ceritakan awal mula munculnya gagasan pembentukan Garda Muria (GM)?
Saya sebetulnya nggak tahu. Tiba-tiba saja muncul gagasan Garda Muria. Yang saya tahu, ketika terjadi perbincangan dengan Mbak Yenny, dia bilang sebaiknya ini (gerakan penolakan PLTN, red.) diorganisir.

Setidaknya kan ada kerangka pemikiran awalnya. Itu bagaimana?
Kerangkanya untuk menyelamatkan situs-situs bersejarah. Ada Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, sampai yang sangat lokal di Balong yaitu petilasan Syeikh Siti Jenar di Lemah Abang. Semua itu harus diselamatkan. Ide awalnya itu.

Mengapa idenya sangat kultural dan khas NU?
Ya, idenya sangat NU. Karena kalau kita bertengkar dengan BATAN soal teknis, saya kira kita pasti kalah. Bertengkar soal krisis energi misalnya, ya angka itu bisa dimain-mainkan. Tapi kalau kita masuk ke ranah kultur seperti ini, kita bisa melawan. Karena yang saya tahu, 90 % lebih masyarakat Balong itu NU. Bukti yang paling gampang, di masjid Balong yang digunakan untuk Jum�atan, jam dinding yang dipasang itu dari NU. Makanya, kita harus cari gerakan supaya masyarakat Balong ini percaya, bahwa gerakan mereka akan banyak yang mendukung.

Ide kulural itu kan kemasannya. Sejatinya, kemunculan GM ini dilatari faktor apa?
Sebenarnya, bahasa paling sederhananya, itu kita ingin mandiri energi. Karena selama ini, yang dijadikan alasan pendirian PLTN kan krisis energi. Atau karena harganya murah. Mungkin masyarakat bisa mempercayai itu, tapi orang yang sedikit belajar tidak akan percaya. Kalau memang krisis energi, kenapa kok migas kita diekspor ke luar negeri dan tiba-tiba kita import PLTN serta tehnologinya? Kita kan nggak bisa memurnikan uranium sebagai bahan bakar PLTN. Nanti kita beli. PLTN-nya beli. Bahan bakarnya beli. Tenaga ahlinya saya kira juga beli.

Konsep gerakan GM ke depan bagaimana?
Kita tidak punya konsep yang operasional. Namun ke depan, selesai Ramadhan, kita harus merekrut 99 orang. Akhir tahun menjadi 999 orang. Tujuannya, supaya masyarakat Jepara yang mayoritas NU, itu percaya betul bahwa gerakan ini tidak hanya oleh orang NU Jepara, tapi sekian banyak orang akan mendukung.

Langkah selanjutnya bagaimana?
Kita mengacu pada ring 1, 2 dan 3, milik BATAN. Ring 1, itu jarak 0 km s.d. 30 km dari lokasi PLTN. Di situ, kita akan bikin sebanyak mungkin relawan Garda Muria, dengan membentuk posko-posko. Di Balong saja akan ada beberapa posko. Kemudian ring 2 di sekitar Jepara, Kudus, Demak, dan Pati, juga akan kita koordinasikan.

Selain bikin posko?
Selain membuat posko, yang paling mungkin kita lakukan adalah sosialisasi tiga hal melalui stiker atau kaos. Tiga hal itu, pertama, tolak PLTN. Kedua, selamatkan situs sejarah. Ketiga, lindungi rakyat dari intimidasi. Diharapkan, ini menjadi ikon dan spirit bersama.

Tapi beratnya, kita tidak tahu konsepnya kayak apa untuk mengawal tiga hal ini. Kalau pendampingan rakyat, kita sudah biasa lah. Kalau menyelamatkan situs, apakah kuburane dibangun sing apik atau bagaimana? Yang jelas, sesuai amanat Gus Dur, semua itu kita lakukan dengan cara yang baik. Kita tidak melawan dengan kekerasan.

Apa reaksi BATAN ketika mengetahui pendeklarasian GM?
Saya kira BATAN tidak berkomentar tentang Garda Muria, tapi lebih berkomentar tentang Fatwa Haram PLTN. Fatwa ini sangat mereka khawatirkan akan meracuni banyak orang NU di Jepara khususnya dan Pantura Jawa Tengah umumnya, yang "agama"-nya NU. Masyarakat Jepara, Kudus, Demak, dan Pati, itu mayoritas NU. Bagaimanapun, fatwa itu mengikat warga NU Jawa Tengah.

Secara struktural, GM ada di bawah siapa?
Saya kira dengan dibaiat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), strukturnya langsung di bawah Sekjen DPP PKB. Saya kira begitu (tertawa, red.). Yang jelas, ini amanat dan tanggungjawab.

Berapa orang yang dibaiat?
Sarat idiom NU, yaitu 9 orang. Dibaiat dengan sederhana; bismillahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammadin nabiyya wa rasula. Sudah! Baiat yang hanya tiga kata, itu justru menyadarkan kita pada titik yang paling hakiki.

Strukturnya seperti apa?
Kalau ditanyakan strukturnya, saya juga bingung. Yang penting ada dulu. Nanti kita akan merekrut kawan-kawan Garda Bangsa, Banser, Anshor, CBP (Corp Brigade Pembangunan) IPNU, dan sebagainya.

PLTN kan dibekingi negara yang sangat kuat. Apa target GM?
Saya kira kalau di Jepara, untuk grass root, itu sudah sangat siap menghadapi hal-hal yang sifatnya represif. Kalau di tingkat kebijakan, bagaimana kita bisa main-main di DPR RI.

Ketua PBNU pernah menyatakan, gerakan penolakan PLTN Muria bukan khas NU, tapi lebih khas LSM. Komentar Anda?
Mereka menggunakan cara-cara nahdliyyin. Sebelum pertemuan misalnya, diadakan tahlil atau puji-pujian. Makanya saya terkaget-kaget dengan statemen Pak Hasyim, yang mengatakan itu gerakan LSM, bukan NU. Bagaimana tidak NU, ketika kita mengorganisir masyarakat selalu menggunakan tahlil? Yang kita takutkan misalnya, petilasan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Syeikh Siti Jenar, itu hilang. Ini khas LSM?

Kalau gerakan kita dikatakan khas LSM, saya sangat menyesalkan. Itu sangat menyakitkan kita. Lalu kita, warga NU, kepada siapa mengadu kalau PBNU-nya begitu? Bagi kami di Jepara, pernyataan itu provokasi PBNU pada masyarakat kita. Kalau cara-cara semacam itu tidak dianggap cara NU, maka nanti yang muncul justru lebih anarkis lagi. Itu kan mengkhawatirkan. Apalagi kita juga menduga, ke depan pasti ada upaya-upaya belah bambu. Ini juga harus disikapi NU secara lebih arif.

Harapan Anda pada PBNU?
Saya kira kalau Pak Hasyim Muzadi mau datang ke Balong dan berdialog langsung dengan masyarakat NU Balong, itu jauh lebih baik daripada berbicara di Jakarta. Karena kalau hanya di Jakarta, kita tidak akan melihat yang riilnya di sana. Dia juga tidak bisa melihat bagaimana orang-orang itu long march dari Balong ke Jepara yang jaraknya 35 km. Betapa mereka kecapean sehingga ketiduran di jalan-jalan.

Karenanya, saya kira, ke depan jangan sampai pernyataan-pernyataan orang NU sendiri bertabrakan dengan massanya. Kalau ini terjadi, maka saya akan katakan, jika PBNU sudah tidak bisa melindungi rakyatnya, toh bagi kami, ada atau tidak adanya PBNU, tradisi-tradisi NU tetap jalan. Tahlil, ziarah, barzanji, dan yang lain, tetap jalan. Pokoknya ini gerakan warga NU.

Bagaimana tanggapan Anda atas kritik KH. Ma'ruf Amin, bahwa fatwa harus didasarkan dalil yang kuat?
Saya kira, dalil-dalil yang dinukil oleh PCNU Jepara bobotnya tidak kalah seru dengan yang digunakan dalam Muktamar NU. Ini sepanjang yang saya ikuti di muktamar NU. Bahkan saya kira, Bahtsul Masail di Jepara itu sangat adil, karena ada nara sumber yang pro dan kontra. Yang pro dari BATAN dan BAPEDAL. Sedang yang kontra itu Iwan Kurniawan dan Lilo Sunaryo. Lalu ada tim perumus, ada mustasyar, dan sebagainya. Jadi, saya kira itu cukup representative dan maraji� kitabnya juga yang dipakai di muktamar NU. Itu sudah standar Bahtsul Masail.[]

(www.gusdur.net, 11/9/2007)