Sunday, December 24, 2006

Nabi dan Gus Dur

Oleh Nurul Huda Maarif

Nurul HudaDiceritakan, pada masa Nabi Muhammad Saw, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah yang bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini sontak membuat jajaran Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya.

Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Upaya lobi-lobi politis pun digalakkan dengan tujuan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas pun �dihamburkan� untuk upaya itu.

Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai �pelobi� oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi Muhammad Saw. Melalui orang kesayangan Nabi Muhammad Saw ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?

Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang �dampratan� keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun hatta oleh orang dekatnya sekalipun. Untuk itu, Nabi Muhammad Saw lantas berkata lantang: �Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.� Itulah ketegasan Nabi Muhammad Saw dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.

Namun seiring berjalannya waktu, semangat dan ketegasan penegakan hukum a la Nabi Muhammad Saw itu kian hari kian memudar bahkan hilang dari kehidupan kita. Para penegak hukum sebaliknya lebih gemar menjalankan praktik kroniisme. Penjahat yang dekat dengan hakim misalnya, akan diloloskan dari jerat hukum, kendati kejahatannya nyata-nayat merugikan jutaan jiwa orang. Tapi pencuri sandal jepit yang tidak dekat dengan hakim, tetap akan merasakan �nikmat�nya jeratan hukum, padahal kejahatannya hanya merugikan satu orang. Penjahat yang bisa menyuap dalam jumlah besar juga akan diloloskan, sedang penjahat kere akan dihukum seberat-beratnya. Itulah ironisme penegakan hukum di negeri ini, karena ketidakadilan hukum masih menjadi momok mengerikan di negeri ini.

Di tengah kegersangan keadilan hukum itu, Mantan Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur termasuk segelintir pemimpin yang memiliki ketegasan dan komitmen tinggi pada upaya penegakan hukum, sebagaimana Nabi Muhammad Saw. Gus Dur yang merupakan �nabi�nya warga NU dan PKB, tidak pernah pandang bulu dalam hal ini, kendati penjahat itu anak buahnya sendiri.

Ketegasan dan komitmen itu ditunjukkan misalnya, ketika pada pembukaan Kaderisasi Nasional PKB, 15 Februari lalu di Kantor DPP PKB Kalibata, Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB ini dengan mengagetkan menyatakan, sedikitnya lima oknum punggawa DPP PKB terlibat korupsi di partai yang dipimpinnya. Gus Dur lantas meminta apa yang diucapkannya ditindaklanjuti dalam rapat gabungan antara dewan tanfidz dan dewan syura DPP PKB.
�Saya tahu persis. Mau diperpanjang atau diperdalam, kesimpulan saya tetap itu (ada korupsi di DPP PKB, red),� kata Gus Dur pada kesempatan lain saat jumpa pers tentang Diskriminasi dalam Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Gedung PBNU, Sabtu (18/2/06).
Kenapa Gus Dur sangat tegas dalam penegakan hukum? Ini bisa dibaca dari komitmennya yang sangat tinggi untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi di negeri ini. Menurut Bapak Demokrasi Indonesia ini, demokrasi hanya bisa ditegakkan jika hukum juga ditegakkan secara adil. �Penegakan hukum adalah pilar demokrasi,� katanya juga. Dengan ujaran lain, jika hukum tidak dapat ditegakkan, konsekuensinya demokrasi juga tak akan mungkin ditegakkan. Untuk itu, menegakkan demokrasi tanpa menegakkan hukum terlebih dahulu, ibaratnya laksana menegakkan benang basah. Mustahil! Itulah alasan pokok mengapa Gus Dur �sangat bernafsu� mewujudkan masyarakat yang tegas dalam penegakan hukum.

Dan dalam pandangan Gus Dur, ketegasan itu harus dimulai justru bukan dari orang lain melainkan dari diri kita sendiri, termasuk dimulai dari DPP PKB yang dipimpinnya. �Bagaimana membersihkan orang lain yang tidak jujur kalau kita sendiri tidak jujur? Bagaimana nyapu dengan sapu yang kotor?� wejang Gus Dur dalam berbagai kesempatan.

Dengan ketegasan dan sikapnya yang tidak pandang bulu itu, bisa diyakini Gus Dur juga akan mengatakan seperti yang pernah Nabi Muhammad Saw katakan jika dihadapkan pada persoalan yang sama: �Saksikan! Hatta jika anak saya melanggar hukum, maka hukum tetap harus ditegakkan.� Itulah secercah harapan bagi kita demi terwujudnya iklim demokrasi yang sehat. Semoga lekas muncul Gus Dur-Gus Dur lain yang komit terhadap persoalan ini. Bravo Gus! Wa Allah a'lam.[]

Sunday, December 17, 2006

Tarekat al-Ahadiyyah, Tauhid untuk Perdamaian Dunia

Oleh
Nurul H Maarif

NurulSalah satu tarekat yang berkembang di Indonesia adalah Tarekat al-Ahadiyyah. Tarekat yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah Saw melalui jalur Syeikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Araby ini, terbuka bagi murid non muslim.

�Kita mengajak mereka pada tauhid, pengesaan Tuhan. Dan dari awal, tarekat ini tidak bermaksud menjadikan orang lain pindah agama, tapi bagaimana mereka mengenal Tuhan dan mempersilahkan mereka menjalankan agamanya masing-masing,� jelas Mursyid Tarekat al-Ahadiyyah, KH Shohibul Faroji.

Dikatakannya, Allah Swt menyuruh kita untuk toleran pada agama lain. �Kafir dalam paradigma Ibn Araby, itu ketika hati seseorang menutup diri dari kebenaran Tuhan,� terang mahasiswa program master di ICAS Paramadina ini.

Di dalam tarekat ini, ujar KH Faroji, para murid memang diajari pemikiran Ibn Araby, melalui karya-karyanya; al-Futuhat al-Makkiyyah, Fushush al-Hikam, juga Tarjuman al-Asywaq.

Kegiatan tarekat ini berpusat di bilangan Kebayoran Jakarta dan Pesantren Mabdaul Ma�arif Jember Jawa Timur, hingga merambah ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selain di Indonesia, tarekat ini berkembang di Libya, Mesir, Turki, Spanyol dan Australia.

Semua aspek tasawuf, yaitu keilmuan, ritual, dan akhlak dipadukan sang mursyid. Tarekat yang namanya diambil oleh Shadr al-Din al-Qunawi dari muqaddimah kitab Fushush al-Hikam, ini juga mengkaji semua kitab suci. �Kami melihatnya dalam perspektif tauhid, bukan untuk mencari kelemahannya,� kata pria yang mendapat ijazah kemursyidan dari kakeknya, Syeikh Bahruddin al-Robbani ini.

Para muridnya dibebaskan untuk belajar di manapun dan beraktifitas sesuai profesi masing-masing. �Masalah duniawi, kita boleh memilikinya, tapi jangan sampai ada kemelekatan,� pesannya.

Yang juga menarik, pengangkatan mursyid tarekat ini melalui perpaduan metode imamah (penunjukan, red.) dan khilafah (musyawarah, red.), dengan prinsip utama calon mursyid harus shiddiq (jujur dan membenarkan Allah), amanah (dapat dipercaya), tabligh (bisa menyampaikan kebenaran) dan fathonah (cerdas ruhani).

�Saat ini kita mengalami krisis tauhid dan akhlak. Maka, peran al-Ahadiyyah adalah memperbaiki umat ini agar memiliki tauhid yang benar dan akhlak yang mulia,� ujar KH Faroji.

Tarekat ini memiliki kurikulum sangat rapi. Bahkan ada target yang harus dicapai. Misalnya, untuk 2007-2010, tarekat ini mengusung visi Menebarkan Pencerahan Ruhani Menuju Tauhid dan Ridha Allah, Menebarkan Kasih Sayang dan Perdamaian Dunia.

�Tauhid itu universal. Dengan visi tauhid ini, kita ingin mencari benang merah berbagai macam agama dan aliran. Karenanya, kita tidak dibenarkan membicarakan masalah khilafiyyah (perbedaan, red.), kecuali sebatas sebagai wacana,� katanya beralasan.

Ia berharap, tarekat yang dipimpinnya bisa menjadi solusi konflik antar agama dan aliran. �Saya ingin al-Ahadiyyah menjadi salah satu rumah ruhani, tempat semua umat beragama berteduh dan butuh kenyamanan. Dan untuk jangka panjang, kita ingin mempersiapkan para pemimpin yang bertakwa, punya wawasan luas, dan menghargai perbedaan,� ujar penghafal al-Qur�an ini.[]

Mengedepankan Esoterisme, Mendamaikan Dunia

Oleh
Nurul H. Maarif

NurulDi bawah temaram sinar lampu hotel, tampak tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang tengah asyik bercengkerama. Ada tokoh Islam, Kristen, Katolik, juga Konghucu. Ada tokoh TNI, politikus, budayawan, juga seniman.

Itulah suasana launching buku karya Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, di Ballroom Hotel Borobudur Jakarta, Jum�at (8/12/2006) malam. Buku berjudul Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, itu memang berhasil menyedot perhatian banyak kalangan.

�Tasawuf itu bisa diterima oleh orang Islam maupun orang lain. Tamu di sini ada dari Kristen, Katolik, Konghucu, dan sebagainya. Dengan tasawuf, Tuhan selalu hadir bersama kita. Inilah tasawuf,� kata Kang Said, sapaan KH Said Aqil Siradj, saat memberi sambutan.

Kang Said benar. Tasawuf memang laksana tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai background. Karenanya, pengamal tasawuf bisa berdampingan mesra dengan siapapun.

�Orang beragama Islam bersaudara dengan orang beragama Islam lainnya. Dan orang beriman bersaudara dengan orang beriman lainnya,� kata pendiri Kanzus Shalawat Pekalongan dan Mursyid Tarekat Syadziliyyah Habib Luthfi bin Ali Yahya, dalam bukunya Nasihat Spiritual, Mengenal Tarekat Ala Habib Luthfi.

Melalui tasawuf ini, ajaran Islam sebagai rahmatan lil �alamin tampak nyata. �Islam itu mengajarkan keterbukaan,� kata Mursyid Tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyyah dari Pesantren Giri Kusumo Semarang Jawa Tengah, KH, Munif Muhammad Zuhri, saat dihubungi the WAHID Institute.

Pada perkembangannya, ajaran tasawuf ini terlembagakan dalam bentuk tarekat. Sehingga, tidak aneh jika banyak tarekat bisa menerima keanggotaan dari non muslim. Sebut saja, misalnya, Tarekat al-Ahadiyyah, yang mengajarkan pemikiran-pemikiran Syeikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Araby.

�Kita mengajak mereka pada tauhid, pengesaan Tuhan. Dan dari awal, tarekat ini tidak bermaksud menjadikan orang lain pindah agama, tapi bagaimana mereka mengenal Tuhan dan mempersilahkan mereka menjalankan agamanya masing-masing,� jelas Mursyid Tarekat al-Ahadiyyah, KH Shohibul Faroji.
(lihat; Tauhid untuk Perdamaian Dunia).

KH Faroji berharap, tarekat yang dipimpinnya bisa menjadi solusi konflik antar agama dan aliran. �Saya ingin al-Ahadiyyah menjadi salah satu rumah ruhani, tempat semua umat beragama berteduh dan butuh kenyamanan,� ujar penghafal al-Qur�an ini.

Hal sama diceritakan murid Tarekat Naqsabandiyyah yang bermarkas di bilangan Jakarta Timur, AS Damanhuri. Mursyidnya, ujarnyanya, juga menerima murid non muslim. �Yang saya tahu, ada murid Kristen dan Konghucu. Itu no problem. Mereka yang datang sendiri kok,� katanya.

Di lain waktu, tambahnya, sang mursyid diminta berdoa di rumah non muslim. �Setelah minta petunjuk Allah Swt, beliau mau berdoa di rumahnya,� imbuhnya.

Sikap terbuka juga ditunjukkan Tarekat Kadisiyyah yang berpusat di Cilegon Banten. Tarekat pimpinan Syeikh Suprapto Kadis yang juga berkembang di Jakarta dan Bandung, ini juga menerima keanggotaan non muslim. �Siapa saja, termasuk non muslim, bisa ikut proses yang diberi nama Serambi Suluk, berupa kuliah pengenalan tentang tarekat ini,� kata anggota tarekat ini, Endang, kepada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Dikatakan Endang, yang menjadi anggota sejak 2002, setelah mengikuti program ini, para angggota dibebaskan apakah akan menjadi salik di tarekat ini atau di tarekat lainnya. �Tarekat Kadisiyyah hanya mengarahkan,� sambungnya.

Keterbukaan di atas diakui Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Abdul Munir Mulkhan. Menurutnya, tarekat yang merupakan tehnologisasi atau positifisasi ajaran tasawuf, itu memang bersumber pada pandangan yang haqiqiyyah substantive. �Isi seluruh ajaran tasawuf itu toleran,� ujarnya. �Dan tarekat yang dikembangkan melalui perspektif substantive, itu toleran,� imbuhnya.

Penulis buku-buku tasawuf yang mempunyai motto �bersufi tanpa tarekat,� ini lantas mencontohkan para pengamal tarekat yang toleran. �Gus Dur, walaupun saya tidak tahu tarekatnya apa, dia itu seorang sufi dan dia toleran. Juga AR Fakhruddin. Saya tidak tahu tarekatnya apa, tapi dia sufi dan toleran,� katanya. �Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, itu sufi. Itu tolerannya luar biasa. Beliau bekerja di lingkungan pusat kejawen dan bergaul dengan orang Kristen,� imbuh cendekiawan Muhammadiyah ini.

Pengakuan sama dinyatakan Guru Besar Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kautsar Azhari Noer. Menurutnya, pada umumnya tarekat itu toleran pada agama lain. �Tapi kita tidak bisa menggeneralisir, karena aliran tarekat itu bermacam-macam. Itupun sangat tergantung gurunya. Ada guru yang sangat toleran dan ada yang kurang,� katanya. (Lihat: Umumnya Tarekat Itu Toleran).

Menurut penulis buku Ibn Araby; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, tarekat yang toleran biasanya karena menganut doktrin wahdat al-wujud Ibn Araby, yang sangat menekankan aspek esoteric. �Naqsabandiyyah, Syatariyyah, atau yang lain, yang menganut paham ini, mereka toleran, sehingga non muslimpun bisa masuk ke sana,� tegasnya.

�Tarekat Maulawiyyah anggotanya juga banyak dari non muslim. Malah saya punya kawan dari Jerman. Dia mengaku ikut Tarekat Naqsabandiyyah di Eropa. Menariknya, dia agamanya Katolik dan dia tidak masuk Islam,� imbuhnya.

Karenanya benar apa yang dikatakan sufi dari Sri Lanka MR Bawa Muhayyaddin dalam bukunya Islam & World Peace; Explanation of A Sufi. Menurutnya, semua orang yang beriman pada Tuhan harus bersatu. Dan, mereka yang mempunyai kesadaran, keadilan, kebijakan dan kasih sayang di dalam hati, harus membawa perdamaian dan persamaan untuk masyarakat dunia.

�Jika kita benar-benar orang yang beriman, maka kita tidak akan memandang perbedaan orang lain dari diri kita sendiri. Kita akan memandangnya sebagai satu kesatuan. Kita akan memandang Allah, satu ras manusia, dan satu keadilan untuk semua orang,� tegasnya.

Kearifan seperti ini, ujar sufi India Hazrat Inayat Khan, tidak hanya dimiliki oleh agama atau ras tertentu, melainkan oleh semua agama dan ras. �Siapapun yang memperoleh kearifan adalah seorang sufi, karena tasawuf itu berarti kearifan,� ujarnya.

Atas dasar ini, Abdul Munir Mulkhan yakin, paradigma sufistik bisa menjadi solusi konflik, minimal, di negeri ini. �Orang Islam bisa lebih cair atau lebih toleran, ketika mereka menaruh perhatian terhadap pandangan sufistik,� yakinnya. �Bisa! Bisa! Cuma tidak semua orang bisa belajar tasawuf. Dan umumnya, orang berantem itu karena simbol,� kata Kautsar Azhari Noer.

Sisi esoteric inilah titik temu atau benang merah agama-agama, yang akan menjadi solusi bagi terciptanya perdamaian dunia.[]