Tuesday, April 18, 2006

Beragama tanpa Agama

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulKetika simbol-simbol agama formal acapkali diduga menjadi ‘penyebab’ pertumpahan darah antar manusia, maka tesis Guru Besar Filsafat Universitas Villanova, AS, John D Caputo dalam bukunya, On Religion (2001), patut direnungkan secara seksama. John menawarkan konsep ‘agama tanpa agama,’ yaitu pengamalan lelaku spiritual tanpa terjebak atau terkungkung dalam lingkaran agama formal. Mengapa? Karena inilah intisari agama apapun. Dan inilah yang akan memunculkan ‘tali kasih’ antar manusia.

Lebih jauh Caputo membagi periode keberagamaan manusia menjadi tiga, yaitu periode sakral, sekularisasi dan post-sekuler. Periode sakral adalah periode kala agama diyakini sebagai sesuatu yang suci, tinggi, dan tak tersentuh. Tak seorang pun punya nyali untuk menanyakan, apalagi memprotes agama. Keberagamaan pada periode ini didominasi model keberagamaan bisu dan tak kritis, karena semua penganut agama hanya sam'an wa tha'atan. Periode ini, terutama di Eropa, terjadi pada era kegelapan (dark ages), sebelum abad XV dan ditandai oleh terkungkungnya akal oleh Bible.

Pada periode sekularisasi, nalar-nalar kritis yang mencoba mempertanyakan dan (pada tingkat tertentu malah) menggugat agama, mulai bertebaran. Periode ini dimulai sejak masa renaissance antara abad XV-XVI dan ditandai kebebasan akal dari ‘penjajahan’ Bible. Saat itu, agama Kristen menjadi ‘bulan-bulanan’ nalar-nalar kritis itu. Doktrin Kristen banyak dianggap tak sealur dengan temuan-ternuan ilmiah. Ujungnya, gereja mulai ditinggalkan dan pengaruhnya ditanggalkan. Terbukti, seperti ucapan Muhammad Abduh, umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya doktrin gereja yang ditanggalkan. Doktrin agama-agama lain pun turut menjadi korban. “Semua agama bernasib serupa dalam hal sekularisasi,” ujar Sayyid Hossen Nasr. Baru pada abad XVII-XIX, Eropa mengalami european enlightenment (pencerahan Eropa). Dan semboyan ‘agama adalah candu masyarakat’ yang diteriakkan Karl Marx (1818-1883), terrnasuk yang mewarnai periode ini.

Sedang periode post-sekuler merupakan anti-tesis dari periode sekularisasi. Bila pada periode sekularisasi agama dijadikan bulan-bulanan, pada periode ini agama (tepatnya spiritualitas) menjadi sesuatu yang amat dirindukan. Pada periode ini, abad 20 hingga sekarang, agama tampil kembali sebagai kebutuhan mendasar. Fenomena gerakan New Age yang melanda negara maju, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari karakter, sekaligus penanda periode ini. Inilah babak baru keberagamaan manusia.

Fenomena kerinduan terhadap kehadiran ‘agama’ ini tentu menarik dicermati. Sebab, seperti ditulis Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest, AS, Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2002), agama acapkali justru menjadi bencana kemanusiaan. Kekerasan, perang, pertikaian, saling bunuh, dan aneka teror merajalela, acapkali dilatari agama. Saat itu, agama menjadi busuk dan rusak.

Menurut Kimball, pangkal kebusukan dan kerusakan agama itu ada lima. Pertama, kala pemeluk agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya dan yang mutlak. Kedua, munculnya fanatisme buta para pemeluk agama pada pemimpin keagamaan mereka. “Agama itu laksana kekuasaan. Siapa menggenggam agama, dialah penguasa yang dapat melakukan apa saja,” kata Karl Marx. Ketiga, pemeluk agama mulai gandrung merindukan zaman ideal atau the golden age. Tak cukup hanya merindukan, mereka pun bertekad mengusung zaman itu ke masa kini. Keempat, kala pemeluk agama menyetujui dan mentolerir terjadinya tujuan membenarkan segala cara. Dan kelima, bila crusade (perang suci) diteriakkan. Dalam bahasa Rudolf Otto, barangkali kelima hal inilah yang disebut mysterium tremendum (misteri yang rnenggentarkan), dalam kaitan hubungan antara manusia dengan Tuhan (agama).

Tapi, yang tak kalah penting untuk direnungi, pada periode post-sekuler ini, ‘agama’ yang dirindukan bukan agama formal, melainkan spritualitas yang mengedepankan cinta kasih. Agama formal tak terlalu diperlukan. Spiritualitas cinta kasih itulah yang jauh lebih penting. Karenanya, Caputo yang banyak tertular pemikiran Jacques Derrida - menawarkan gagasan ganjil di atas: agama tanpa agama. Agama pertama dimaknai cinta kasih atau religiusitas dan agama kedua dimaknai agama formal. Maksudnya, cinta kasih atau religiusitas dapat diperoleh tanpa melalui agama formal. Dan menurutnya; “Sebagian kalangan dapat secara mendalam bersifat ‘religius’ dengan atau tanpa teologi, dengan atau tanpa agama-agama. Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama.” Sebab itu pula, dia acap berujar; “Kebalikan manusia religius adalah manusia tanpa cinta. Agama adalah cinta kasih. Manusia religius adalah yang punya cinta.”

Kendati demikian, bukan berarti Caputo menafikan urgensi agama formal. Ia sendiri tetap memegang teguh tradisi Kristen. Karenanya, setelah menawarkan gagasan ‘agama tanpa agama,’ dia buru-buru mengklarifikasi: “Saya harus segera menambahkan bahwa agama-agama besar dunia sangat penting.” Ini menunjukkan, Caputo tetap hormat pada agama formal dan itu dibuktikannya.

Lalu apa maknanya? Caputo sedang menyindir atau bahkan mengolok-olok keberagamaan kita yang justru tidak mendatangkan kedamaian di muka bumi ini. padahal kita mengaku orang yang berpegang teguh pada agama, bukan? Itu juga menunjukkan, betapa Caputo memaknai agama sebagai cinta kasih, makna otentik dari agama. Itulah ruh agama. Dan agama harus diartikan sebagai being religious, kereligiusan manusia.

Karena itu, apa yang dinyatakan Caputo, untuk kontek kekinian, di mana agama menjadi alat untuk membunuh umat lain, itu sangat relevan. Cinta kasih lah yang seharusnya kita kedepankan guna mewujudkan rasa damai, aman, dan saling menghormati antar keragaman. Tidak saatnya lagi kita berlindung secara buta di balik benteng agama formal, dengan mengklaim diri sebagai yang terbenar. Namun efeknya malah menganggap yang lain salah dan harus dienyahkan dari muka bumi ini. Akhirnya, menghilangkan sekat-sekat keformalan agama, dengan mengedepankan cinta-kasih atau nilai spiritualitas agama, menjadi keniscayaan. Itulah syarat utama pembentuk kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Dan itulah agama kaum sufi, sejatinya. Wa Allah a'lam.[]


*Pernah dipublikasikan Majalah Amanah

Friday, April 07, 2006

Kritik Kaum Muda NU

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSikap adiluhung ditunjukkan sekelompok anak muda Nahdhatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Forum Anak Muda NU. Ketika ‘senior’ mereka di Pengurus Besar NU (PBNU) mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tanpa reserve, Minggu (2/04/2006) di kantor The WAHID Institute Jakarta, mereka menggelar konferensi pers untuk mengingatkan (baca: mengkritik) kebijakan PBNU yang tak populer itu. Mereka sedang mengamalkan ayat wa tawashau bil haqq.

Ada beberapa alasan yang mendasari kritikan mereka itu. Pertama, dukungan PBNU pada RUU APP itu menunjukkan bahwa lembaga ini tidak lagi sensitif terhadap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat, mengingat eksistensi RUU itu masih menyisakan aneka pro-kontra dan perdebatan panjang. Kedua, kebijakan itu tidak berdasar pada argumen dan fakta keragaman budaya, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Padahal UUD ini menjadi pendasaran utama dan bahkan ‘harga mati’ bagi segenap rakyat Indonesia untuk hidup bernegara.

Ketiga, kebijakan itu menunjukkan, klaim lembaga ini sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) patut dipertanyakan. Keempat, dukungan itu tak lain sebagai bentuk pengebirian terhadap keragaman aspirasi masyarakat. Dan kelima, kebijakan itu mencerminkan PBNU tidak mengedepankan kemaslahatan bersama (al-mashlahah al-‘ammah) demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diamanatkan Khitah 1926 dan nasehat para pendiri NU soal al-ukhuwwah al-wathaniyyah wa al-ukhuwwah al-basyariyyah.

Dari kritikan-kritikan tajam itu, kita menyaksikan betapa kaum muda, dalam banyak hal, ternyata lebih arif ketimbang kaum tuanya. Kendati kaum tua acap diyakini telah banyak makan garam, dalam hal ini, toh rasa asinnya tak mereka kecap. Sebaliknya, rasa asin garam itu justru dikecap kaum mudanya. Karenanya, mereka lebih arif menyikapi persoalan ini dan tidak grusah-grusuh.

Kritikan-kritikan itu juga mencerminkan beberapa karakter unggul yang dimiliki kaum muda NU itu. Pertama, perhatian mereka atas keutuhan NKRI sangat tinggi. Sehingga kemungkinan sekecil apapun yang bisa mencerai-beraikan keutuhan NKRI, sebisa mungkin mereka cegah, termasuk dengan menolak RUU APP, pun termasuk dengan menentang kebijakan ‘senior’ mereka di PBNU. Ini juga menjadi ciri khas orang tua intelektualitas mereka, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dengan mengendarai Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu (GNBB) selalu gembar-gembor soal pentingnya menjaga keutuhan NKRI. Sikap kaum muda NU ini sekaligus menunjukkan secara fulgar, bahwa mereka lebih sadar atas pesan Khittah NU 1926 ketimbang kaum tuanya. Inilah bukti kesadaran atas sabda Nabi hubb al-wathan min al-iman.

Kedua, mereka juga menunjukkan diri sebagai warga bangsa yang baik dengan berpegang teguh pada UUD 1945, yang mengamatkan adanya keragaman budaya, bukan budaya tunggal. Karena, jika RUU APP dipaksa terapkan di negeri ini, keragaman atau kebhinekaan itu akan hilang yang berarti pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945. Ketiga, penghargaan mereka atas keragaman pandangan dalam menyikapi pro-kontra soal RUU APP ini menunjukkan, betapa toleransi mereka jauh melampaui kaum tua yang ‘banyak makan garam’ itu. Kaum muda itu mungkin lebih dewasa ketimbang kaum tua yang selama ini dianggap dewasa.

Ala kulli hal, kritik – dari siapapun dengan latar belakang apapun, apalagi dari kaum muda yang memiliki progresifitas tinggi dan gelora perubahan dahsyat – akan selalu berguna bagi kebaikan bangsa. Kata-kata bijak menyatakan, khudz al-hikmah min ayyi wi’ain kharajat. Ambillah hikmah (kebijakan) dari manapun ia muncul. Kendati hikmah itu muncul dari kaum muda yang acap dianggap sebagai ‘anak kemarin sore’ dan ‘tak banyak makan garam’, toh tak ada salahnya sama sekali kaum tua mempertimbangkannya.

Selain itu, kritik dan hanya kritiklah hakikat hubungan intelektualitas sejati. Kritik itulah kontrol yang bisa dilakukan kaum muda NU pada ‘senior’nya di PBNU. Jangan karena kritikan itu, lantas mereka yang secara kultur sangat NU itu lantas dituduh sebagai romli (rombongan liar) yang hanya mengaku-aku sebagai NU. Itu jelas tuduhan emosional dan tidak arif! Untuk itu, kritik apapun yang memang konstruktif, apalagi menyangkut keutuhan NKRI, hendaknya tak dianggap sebagai ‘badai’ yang berbahaya. Lihatlah substansi kritik, jangan melihat siapa yang mengkritik.

Dan itulah pentingnya keberadaan kaum muda. Kaum yang penuh gelora. Kaum yang penuh semangat. Kaum yang menyulut api, bukan menebar debu. Kaum yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling dalam menyikapi segala persoalan. Negara ini juga dimerdekakan kaum muda, bukan? Karenanya, inna fi yadd al-syubban amr al-ummah. Sejatinya di tangan pemudalah segala urusan, urusan masyarakat atau bangsa, berada! Wa Allah a’lam.

*Dipublikasikan www.gusdur.net, 7 April 2006

Monday, April 03, 2006

Pesantren Teraniaya

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulAksi terorisme yang dilakukan segelintir santri seperti Amrozi maupun Imam Samudra, akhirnya berimbas secara besar-besaran pada pesantren-pesantren lain di Nusantara. Beberapa waktu lalu diberitakan, sejumlah ulama yang tergabung dalam Forum Silaturahim Pondok Pesantren Banten mengalami kepanikan, karena intel kepolisian ’nekat’ melakukan penggeledahan beberapa pesantren di sana, untuk mencari buku-buku yang terkait terorisme.

Aksi intel masuk pesantren ini dibenarkan Ikhwan pemimpin salah satu pesantren di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Bahkan, Aan Iskandar, pengasuh Pondok Pesantren Albantani melayangkan protes. Aan meminta polisi atau pihak manapun untuk tidak tergesa-gesa dan semena-mena mencap pesantren sebagai kampus para teroris.

Kejadian ini mengingatkan kita pada pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Secara kontroversial, Kalla menyatakan, pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas pesantren di negeri ini. Karenanya, apa yang terjadi di Banten dan di beberapa wilayah Jawa, itu seakan menjadi follow up pernyataan Kalla.

Lebih mengejutkan lagi, pernyataan yang tak jauh berbeda dilontarkan Kepala BIN Syamsir Siregar dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR (Bidang Pertahanan), Senin (28/11/05), di Gedung DPR/MPR Senayan. Syamsir berdalih, BIN perlu melakukan penetrasi ke dalam kelompok Islam radikal untuk menceraiberaikan kekuatan pada kelompok itu. Caranya? Dengan melakukan perpecahan internal. Ini salah satu strategi BIN untuk memberantas terorisme, katanya. Kendati BIN tak menyebut pesantren, semua orang paham, bahwa pesantren pasti tak luput dari sasaran penyusupan itu. Apalagi intel-intel polisi terbukti keluyuran di pesnatren, akhir-akhir ini. Dan terakhir, yang lebih mengejutkan lagi munculnya wacana pengambilan sidik jari para santri.

Membaca fenomena ini, terlepas ada tidaknya skenario global, yang jelas pesantrenlah yang menelan getahnya, karena menjadi pihak tertuduh sekaligus teraniaya. Untuk itu, ada beberapa catatan yang perlu diajukan. Pertama, sebagai pihak yang terstigma gerakan terorisme, praktis cap buruk segera melekat pada pesantren di negeri ini. Cap ini, pada gilirannya, menjadikan pesantren tidak lagi bisa bergerak bebas mengembangkan pendidikannya. Ujungnya, akan terjadi ‘pembunuhan’ secara tidak langsung pada pesantren yang selama ini dianggap sebagai ‘cagar budaya’ yang patut dilestarikan.

Kehati-hatian atau tepatnya ketakutan, juga akan menerpa pesantren dalam memasarkan ajarannya kepada masyarakat. Karena, jika sedikit saja pesantren dianggap melakukan kesalahan, stigma mengerikan itu akan segera berhembus. Padahal, seperti dinyatakan KH A Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Raudhatul Thalibin, Rembang, karakter pesantren tidak bisa disederhanakan hanya dalam satu atau dua bentuk. Pesantren harus dilihat secara keseluruhan bukan kasus per kasus atau oknum per oknum.

Di samping itu, karakter dasar pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari figur kiainya. Tidak ada catatan sejarah pesantren di Nusantara ini yang akrab dengan aksi-aksi terorisme, karena kiainya tidak berkarakter teroris. Sebut saja Pesantren Tebuireng Jombang yang didirikan KH M Hasyim Asyari. Sebagai sosok moderat, pesantren yang didirikannya turut mengusung sikap moderat. Keturunannya seperti KH Wahid Hasyim maupun KH Abdurrahman Wahid, juga menjadi pewaris sikap moderat itu. Mereka malah tercatat sebagai penentang aksi-aksi terorisme. Begitu pula pesantren-pesantren besar lainnya, seperti Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Gontor Ponorogo, Ponpes API Magelang, dan yang lain. Tidak ada yang memberi peluang munculnya paham terorisme sedikitpun.

Bahkan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada acara Halal Bi Halal warga NU di Kantor PCNU Kabupaten Pekalongan, 30 November 2005, dengan tegas menyatakan, dalam kitab-kitab kuning yang digunakan NU (tentu saja pesantren di dalamnya) tidak dikenal istilah terorisme atau bom. Itu artinya, secara genetika pesantren tidak ada sangkut-paut apapun dengan ideologi terorisme.

Kedua, aksi intel polisi masuk pesantren itu niscaya membuat kenyamanan di pesantren hilang sedikit demi sedikit. Tidak mustahil, sistem pendidikan juga terganggu. Ujungnya proses pendidikan di pesantren terhambat. Ini tidak seharusnya terjadi. Karena itu, KH Abdurrahman Wahid termasuk tokoh muslim yang mengecam keras rencana penyusupan itu. Menurut Gus Dur, rencana penyusupan itu membuktikan bahwa intelijen selalu terlambat mengantisipasi aksi-aksi terorisme. Keterlambatan itu membuat mereka perlu menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam.

Ketiga, apa yang menimpa pesantren saat ini sebenarnya hanya pengulangan sejarah kelam Orde Baru belaka. Atas nama pemberantasan terorisme, campur tangan pemerintah pada organisasi sipil akan kian kuat, termasuk pada pesantren. Kebebasan sipil yang seharusnya dijunjung tinggi, kini malah diinjak-injak. Ini tidak seharusnya terjadi pada pesantren, mengingat kemerdekaan Indonesia pada 1945 tidak bisa dilepaskan dari peran fital pesantren.

Untuk itu, biarkanlah pesantren berkembang secara alamiah dan tidak perlu ada pemata-mataan apapun oleh pihak manapun. Kalaupun beberapa pelaku terorisme terbukti lulusan pesantren, itu tidak seharusnya menjadi simpul akhir bahwa pesantren identik dengan terorisme. Hanya dengan cara inilah, pesantren tidak akan lagi menjadi pihak yang teraniaya, tertindas, tertuduh, atau terstigma buruk. Wa Allah a’lam.[]

*Pernah dipublikasikan Harian Duta Masyarakat

Apa Maumu Wahabi?

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulBeberapa hari lalu, Reuters (15/7/05) melaporkan, saat ini pemerintah Arab Saudi sedang berencana megembangkan kota suci Makkah dan Madinah dengan membangum hotel, apartmen, pertokoan, restoran, tempat parkir dan lain sebagainya. Hanya saja, rencana pembangunan di atas tanas seluas 210.220 meter persegi yang berdekatan dengan lokasi Masjid al-Haram ini sama sekali tidak mengindahkan situs-situs sejarah Islam. Rumah Rasulullah Saw termasuk yang terancam dimusnahkan. Padahal, petilasan Rasulullah Saw itu memiliki nilai sangat istimewa di mata kaum muslim pada umumnya. Tapi itulah yang akan ditempuh pemerintah Arab Saudi yang selama ini berkolaborasi dengan kelompok Wahabi.

Menurut Sami Angawi, pakar arsitektur Islam, sejarah mencatat setidaknya 300 situs bersejarah di Makkah dan Madinah telah dimusnahkan selama kurun 50 tahun terakhir. Itu terjadi karena pengaruh pemikiran Wahabi yang sangat hegemonik di sana. Situs-situs sejarah yang telah dimusnahkan itu misalnya, Dar al-Arqam (sekolah Islam pertama tempat Rasulullah Saw mengajar para shahabatnya), rumah ‘Aisyah isteri Rasulullah Saw, Masjid Bilal di Jabal Qubais, Dar al-Nadwah, dan sebagainya. Tindakan tidak menghargai warisan sejarah Islam inilah yang sedang terjadi.

Kitapun patut bertanya, apa yang menyebabkan tindakan radikal pemusnahan situs sejarah itu terjadi? Akarnya, tindakan itu terjadi karena tafsir sempit kelompok Wahabi yang telah menjadi ruh keagamaan pemerintah Arab Saudi. Kelompok Wahabi memandang, situs-situs sejarah itu berbahaya secara teologis, karena akan menggiring umat Islam pemujaan atau pemberhalaan benda (al-syirk). Dalam pandangan kaku kelompok Wahabi ini, melestarikan situs-situs sejarah sama saja dengan melestarikan kemusyrikan (politeisme). Makanya tidak tanggung-tanggung, kekhawatiran berlebih ini tertuang dalam Maklumat Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada 1994, bahwa pelestarian bangunan-bangunan bersejarah berpotensi menggiring kaum muslim pada penyembahan berhala.

Terkait rencana kontroversial itu, ada beberapa catatan penting yang dapat diajukan. Pertama, rencana itu membuktikan secara absah, bahwa penafsiran keagamaan kelompok Wahabi tentang doktrin Islam sangat sempit dan kaku. Dengan sangat garang, kelompok Wahabi memandang apapun yang (dalam anggapan mereka) bisa menggiring pada kemusyrikan harus dimusnahkan. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan, kelompok Wahabi termasuk yang menentang keras realitas keragaman mazhab fiqh dalam Islam. Tidak boleh ada pemahaman lain atas doktrin Islam di luar pemahaman kelompok Wahabi. Persoalan inilah yang menyulut munculnya Komite Hijaz (cikal bakal berdirinya NU) dengan KH Wahab Hasbullah sebagai tokoh sentralnya, guna menentang pandangan-pandangan sempit seperti itu.

Kedua, rencana ini juga menunjukkan, baik pemerintah Arab Saudi maupun (terutama) kelompok Wahabi sama sekali tidak memiliki care yang baik terhadap situs-situs sejarah Islam. Padahal, salah satu motivasi kuat umat Islam untuk berkunjung ke Makkah dan Madinah, selain untuk menunaikan rukun Islam kelima (haji), juga untuk melakukan romantisisme dan perenungan sejarah Islam dengan mengunjungi situs-situs itu. Bila situs-situs sejarah itu dimusnahkan, dapat dipastikan banyak kaum muslim yang merasa tersakiti hatinya. Mereka pasti akan sangat kecewa dan ini sama sekali tidak pernah diperhitungkan.

Ketiga, rencana pembangunan yang konon akan menelan dana sedikitnya Rp 130,4 triliun itu, sebenarnya sama saja dengan mengomersilkan rumah tuhan, Ka'bah (bait al-‘atiq), untuk mendapatkan keuntungan materi secara melimpah. Dengan dalih untuk kenyamanan jamaah haji dan sebagainya, pihak pemerintah akan dapat menyedot pemasukan yang sangat banyak. Karena itu, dalih situs-situs sejarah dapat menggiring umat Islam pada kemusyrikan atau pemberhalaan benda, tak lain hanyalah kamuflase belaka yang perlu ditinjau ulang.

Keempat, dalam kontek ini, pemerintah Arab Saudi sebagai negara terlalu turut campur dalam menghakimi keyakinan keagamaan seseorang. Seharusnya, pemerintah Arab Saudi menghargai secara arif keyakinan orang-orang yang sangat menghormati situs-situs sejarah itu sebagai bagian dari sejarah agama mereka. Karena itu, kendati secara geografis situs-situs sejarah itu terletak di Makkah dan Madinah, tapi secara psikologis situs-situs itu telah tertambat dalam hati mayoritas kaum muslim di berbagai belahan dunia. Untuk itu, apapun yang akan diperbuat atas situs-situs itu, seharusnya pemerintah Arab Saudi meminta izin terlebih dahulu kepada seluruh kaum muslim. Sebab sekali lagi, situs-situs itu merupakan aset bersama kaum muslim yang tiada ternilai harganya.

Kelima, umat Islam, terutama umat Islam di Indonesia, sangat baik untuk mempertimbangkan tawaran ide Mun’im DZ dalam tulisannya berjudul Komite Hijaz II yang di-publish www.nu.or.id. Mun’im mengusulkan umat Islam membentuk Komite Hijaz II untuk membendung arogansi pemerintah Arab Saudi dan kelompok Wahabi yang dengan “semena-mena” dan merasa benar sendiri hendak menghancurkan bagian penting sejarah Islam itu.

Kakhawatiran Lain
Ada kekhawatiran lain terkait pemahaman sempit kelompok Wahabi ini. Alasan situs-situs sejarah itu akan menggiring pada kemusyrikan, disamping terlampau berlebihan, juga akan berimplikasi sangat jauh. Misalnya, diakui atau tidak, Ka'bah merupakan salah satu “sumber” kemusyrikan terpenting dalam sejarah Islam. Banyak kaum muslim dari berbagai penjuru dunia memuja-muja Ka'bah, bahkan terkadang sampai pada level yang kelewatan. Dengan menggunakan perspektif kemusyrikan kelompok Wahabi, tentu Ka'bah juga akan menggiring pada kemusyrikan.

Jika kelompok Wahabi konsisten, tentunya Ka'bah harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum yang lain. Bila ini terjadi, tamatlah sejarah Islam. Untuk itu, kelompok Wahabi sangat perlu meninjau ulang definisi kemusyrikan yang terlalu sempit dan ketat itu. Toh, banyak ulama terkemuka menilai, situs-situs sejarah itu tidak akan menggiring pada kemusyrikan. Ini menunjukkan, klaim kemusyrikan itu masih kontroversial. Kelompok Wahabi dan pemerintah Arab Saudi perlu mendengar pandangan ulama-ulama ini secara arif.

Selain Ka'bah, lagi-lagi jika konsisten, al-Qur'an sendiri sebenarnya sangat rentan menggiring umat Islam pada kemusyrikan. Dibanding Ka'bah, al-Qur'an justeru lebih diagung-agungkan oleh kaum muslim. Bahkan terkadang ada yang sangat radikal “memusakakan” al-Qur'an sebagai barang keramat. Bukankah ini – menurut kaca mata kelompok Wahabi tentunya – juga akan menyebabkan penduaan atas Allah? Apakah mushhaf al-Qur'an yang berujud “benda” itu juga harus diberangus? Karena itu, kita patut bertanya: apa maumu Wahabi? Wa Allah a'lam.[]

*Pernah dipublikasian Harian Duta Masyarakat