Wednesday, December 26, 2007

Irfan Amalee: Ngomong Terus, Pendengar Ngantuk

Santri bikin film dinilai tabu. Padahal film bisa dipakai sebagai media dakwah. Bahkan menurut film maker Biru Darahku, Irfan Amalee, kini seorang dai harus bisa bikin film. "Kalau ngomong terus nanti mustami'-nya ngantuk. Kalau diajak nonton film kan seger," ujar pria kelahiran Bandung, 28 Februari 1977, yang kini menjabat General Manager Pelangi Mizan ini.

Alumni Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Jurusan Tafsir-Hadis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menyatakan, pesantren kaya nilai yang bisa disampaikan melalui film. Di tengah gencarnya film komersil yang tanpa nilai dan tuntutan, film karya santri bak emas di tengah timbunan lumpur.

Demikian petikan wawancara Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (2000-2002) dan Pemimpin Redaksi Majalah Pesantren PESAN TReND (1993-1995), itu kepada Nurul Huda Maarif dari the WAHID Institute:

Apa intisari film Biru Darahku karya Anda?
Film ini bercerita tentang Fahri, santri Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut, yang gila bola, fans berat Persib Bandung. Karena di Garut, setiap Persib bertanding di Bandung, ia kesulitan nonton. Ia pun berniat keluar dari pesantren dan sekolah di Bandung. Tapi orang tuanya ingin ia tetap mesantren. Ayahnya membujuk agar ia tetap nyantri, dengan memberi garansi: setiap Persib bertanding, ayahnya akan mengirim sopir untuk menjemput dan mengantarnya ke stadion. Maka selama bertahun-tahun, ayah dan anak ini bersekongkol menjalankan misi rahasia ini tanpa diketahui pihak pesantren.

Film ini pernah dilombakan?
Film ini diikutsertakan dalam festival KONFIDEN, festival tahunan film independen di Indonesia. Festival ini jadi barometer perkembangan film independen Indonesia. Saya sangat puas film ini terseleksi. Meski tidak juara, setidaknya film ini menjadi satu diantara sedikit film yang layak diputar di festival itu. Film ini juga diputar di Sling Short Film Festival yang skalanya Asia Tenggara.

Pesan apa yang ingin Anda sampaikan melalui film ini?
Pesantren dan bola adalah tema yang seksi; global versus lokal. Saya mau memperlihatkan potret masyarakat muslim, diwakili komunitas pesantren, yang banyak disalahfahami sebagai komunitas yang tidak konek pada isu global. Padahal di sana kita akan melihat pertemuan arus budaya global dengan tradisi lokal. Ini sisi lain pesantren.

Bagaimana respon masyarakat?
Nggak nyangka, dalam waktu singkat vcdnya menyebar dari tangan ke tangan. Saya kaget mendengar kabar anak-anak SMU di Garut banyak yang telah menonton film ini. Bahkan saya diundang oleh sebuah komunitas video Kudeta di Bandung untuk pemutaran film ini. Film ini juga diputar di acara launching Tim Persib di Pendopo Kota Bandung, disaksikan semua pemain Persib dan official. Tapi ada juga respon yang kurang mengenakkan. Fahri bercerita, ada seorang ustadz yang keki padanya, karena Fahri telah melakukan "kebohongan" secara kontinyu. Setiap ke Bandung, ia selalu beralasan ada acara keluarga. Setelah film ini diputar di hadapan 700 santri dan dewan ustadz, mereka baru tahu jika selama ini Fahri izin untuk nonton Persib. Ha..ha..

Bisa diceritakan proses kreatif di balik pembuatan film ini?
Awalnya saya mengajar Sosiologi di pesantren. Di akhir semester saya meminta mereka membuat diary yang menceritakan diri mereka. Saya menemukan diary Fahri yang unik. Isinya bercerita tentang Persib. Dia bercita-cita jadi dokter, tapi dokter Persib. Atau jadi jurnalis, agar bisa meliput Persib. Pokoknya serba Persib. Sepertinya Persib menjadi agenda terpenting dalam hidupnya. Menurut saya, ini sangat layak untuk diangkat jadi film. Dari sana saya menulis skenario, mengambil gambar dan edit hingga jadi. Bersama Fahri dan teman-teman, kami juga memproduksi cd, pin, dan t-shirt Biru Darahku. Semua laris manis. Oh ya, Fahri kebetulan punya grup band, Zink, alirannya British punk. Mereka membuat soundtrack lagu khusus untuk film ini. Pokoknya digarap seperti film beneran!

Peralatan apa saja yang Anda gunakan dalam pembuatan film ini?
Saya menggunakan kamera yang lumayan high end, pakai HDV. Waktu itu, kamera ini termasuk yang mahal dan masih jarang dipakai. Kamera ini milik organisasi. Saya diberi izin menggunakannya. Saya juga menggunakan komputer pribadi. Rekaman suara dilakukan di studio sewaan. Saya juga pakai handy cam pribadi untuk back up.

Selain Biru Darahku, apalagi film karya Anda?
Lebih lima film. Ada film animasi Anak Siaga Bencana dan Jambu Batu Merah. Juga Cepat Pulang Kucingku Sayang, yang diangkat dari kisah nyata putri saya yang kucingnya dibuang ayahnya, yaitu saya. Film ini pernah diputar di STV, tivi lokal, dan banyak yang memberi respon positif. Tapi yang menurut saya paling laku di pasaran adalah Danau Bandung, film dokumenter tentang Danau Purba yang sekarang jadi Kota Bandung. Film ini menjadi juara ke-3 Festival Film Dokumenter Bandung 2005. Dari film ini saya mulai banyak "difitnah" sebagai film maker.

Kenapa Anda menggunakan media film?
Saya lebih senang menyebut diri media maker; nulis buku, bikin desain, bikin film, ngomong di training atau seminar. Film cuma salah satu media yang saya pilih. Saya beruntung hidup di masa ketika kita mudah menggunakan teknologi. Kita bisa membuat apapun ASAL KITA MAU BELAJAR. Modal saya cuma suka nonton film, terus belajar adobe premiere editing film, dan beli handy cam. Dengan begitu saya sudah bisa menjadi film maker. Hidup ini terlalu sayang untuk tidak didokumentasikan.

Bagaimana sih awal mula ketertarikan dan keterlibatan Anda membikin film?
Setiap nonton film, saya suka berfikir: bagaimana yah cara bikin film? Saya pengagum Garin Nugroho, Riri Riza dan Majid Majidi. Setiap nonton film mereka, saya selalu pelajari gambar-gambar yang mereka ambil. Saya sendiri keturunan guru SD. Tapi kakek dari ibu seorang seniman. Mungkin dari beliau saya mewarisi darah seni.

Anda punya komunitas yang bergerak di bidang per-film-an?
Saya kerja personal sama teman-teman yang aktiv di organisasi. Tapi kemudian karya-karya itu memperkenalkan saya pada sejumlah komunitas. Banyak komunitas film yang mengundang, sehingga saya kenal mereka.

Saat ini film apa yang sedang Anda rancang?
Saya sedang menggarap film 2 Days without Wall, film dokumenter tentang anak-anak bule di sekolah international di Bandung, yang berkunjung ke pesantren di Garut untuk bertanding basket. Anak-anak bule itu punya stereotype tentang pesantren: teroris, kumuh, dan terbelakang. Sampai-sampai orang tua dan beberapa guru mereka tidak mengizinkan mereka ke pesentren. Terlalu berbahaya kata mereka. Demikian juga anak-anak pesantren punya stereotype tentang orang Barat: sombong, suka menjajah, bebas, dan sebagainya. Nah, film ini memperlihatkan bagaimana ketika mereka bertemu, sedikit demi sedikit prejudice mereka luntur. Saya sendiri tetap konsisten membuat film tentang pendidikan, multikultur, dan perdamaian.

Ada beberapa santri yang berhasil membuat film dengan fasilitas seadanya. Apa komentar Anda?
Saat ini membuat film bukan monopoli profesional. Semua orang bisa menjadi film maker. Dan bikin film bukan masalah profit atau popularitas, tapi masalah mendokumentasikan hidup yang sangat berharga. Jadi kita harus mendukung mereka.

Tidak tabu bagi mereka bergerak di bidang ini?
Kesan itu ada. Waktu saya mulai terlibat dalam dunia film, banyak yang aneh. Nggak biasa. Tapi setelah mereka melihat hasilnya, mereka tahu bahwa film itu nggak melulu seperti film di bioskop atau sinetron. Film bisa juga jadi media dakwah. Bahkan menurut saya, sekarang seorang dai harus bisa bikin film. Kalau ngomong terus nanti mustami' (pendengar, red.)-nya ngantuk. Kalau diajak nonton film kan seger. Orang pesantren punya nilai dan konten yang bisa disampaikan melalui film. Kalau kita nggak setuju dengan film-film yang nggak punya nilai, ya kita sebagai santri harus bikin dong yang bernilai. Jangan cuma kritik. Action dong!

Di salah satu tv swasta ada senetron Rubiah dan Santriwati Gaul. Apa komentar Anda?
Wah sori, saya bukan penonton tv yang baik. Belum pernah menonton sinetron ini. Menurut saya, acara tv itu kan perlu rating untuk dapat iklan. Untuk itu, acaranya harus mengikuti selera publik. Sialnya, selera publik kadang-kadang nggak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, konon sinetron Si Entong laku karena anak-anak suka banget sama Si Entong yang suka kentut. Banyak anak menganggap kentut di depan publik itu oke-oke saja karena Si Entong mengajarkan begitu. Menurut saya sinetron yang bagus cuma sedikit, diantaranya karya Dedi Mizwar (Lorong Waktu, PPT, dan KSD) dan Dedi Setiadi (Keluarga Cemara).

Apa harapan Anda ke depan?
Semoga semakin banyak film maker yang mengangkat isu lokal dan multikultur. Kita kaya akan hal itu. Biarkan sinetron dan film bioskop ngangkat tema komersil. Itu garapan mereka. Kita harus menggarap tema yang nggak mungkin tampil di bioskop, tapi penting untuk disampaikan pada masyarakat.[]

Biodata :
Nama :
Irfan Amalee

TTL :
Bandung, 28 Februari 1977

Alamat :
Komplek Margawangi bandung

Status :
Menikah, 2 orang anak

Pendidikan :
1. 1983-1989 SD Kresna II Bandung
2. 1990-1996 Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut
3. 1996-2000 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Fak. Ushuludin Jurusan Tafsir & Hadis

Pekerjaan :
General Manager Pelangi Mizan

Karya tulis :
1. Ensiklopedi Bocah Muslim DAR! Mizan, 2003 (Editor kepala)
2. Islam for Kids, DAR! Mizan, 2003 (Penulis)
3. Nabiku Idolaku DAR! Mizan, 2002 (Editor)
4. Tafsir Al-Quran untuk Anak DAR! Mizan, 2001 (Editor)
5. Fun Diary Olin (Penulis)
6. 12 Nilai Dasar Perdamaian untuk guru dan siswa (penulis)\
7. Boleh Dong Salah DAR! Mizan 2005 (penulis)

Karya Film :
1. Danau Bandung (film dokumenter terbaik festival film Bandung 2005)
2. Cepat Pulang Kucingku Sayang (STV 2006)
3. Film Animasi Anak Siaga Bencana
4. Biru Darahku (2006)
5. Jambu Batu Merah
6. dll

Pengalaman Organisasi
1. Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah. (2000-2002)
2. Dewan Redaksi Majalah RETAS (2000-2002)
3. Pemimpin Redaksi koran kampus SUAKA IAIN Bandung (1998-1999)
4. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Pesantren PESAN TReND (1993-1995)
5. 1998 Reporter of FOKUS tabloid Bandung
6. 1999 Chairman of publishing departement at SOPHIA Foundation, Bandung.
7. 1998-1999 Executive member of Alternative Literary Forum Bandung.
8. 2003-pres Director PEACEntre, Bandung.

*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, 31 Desember 2007

Tuesday, December 18, 2007

KH Maman Imanul Haq Faqih: Ibadah Ritual Tak Cukup Membangkitkan Kemanusiaan

Oleh Nurul H. Maarif

Pengasuh Ponpes al-Mizan, Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, KH Maman Imanul Haq Faqih tak canggung untuk mendakwahkan gagasan keberagamaan melalui kesenian.

�Padahal ada pesantren yang memusuhi kesenian. Katanya seniman itu setan, sedangkan pesantren itu surga,� tutur Kang Maman, panggilan akrab kiai berusia 34 tahun ini.

Sebab itu, di pesantren yang didirikannya pada 1998 itu, selain mengajarkan kitab kuning dan tradisi khas pesantren lainnya, ia juga mengembangkan berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun modern. Kepada 700-an santrinya, misalnya, ia mengajarkan tari kontemporer, musik, gamelan shalawat bahkan debus.

�Kekerasan hanya cukup kita jadikan tontonan menghibur dan sebagai ibrah (teladan, red.) moral, seperti pertunjukan debus itu. Tidak ada korban. Tidak ada yang disakiti,� ujarnya mengomentari kesenian debus.

�Ini membuat kita berfikir supaya tidak melakukan kekerasan yang sebenarnya pada orang lain,� imbuhnya.

Melalui pertunjukan seni, kata Kang Maman, dirinya dan para santri ingin melakukan kritik terhadap ibadah ritual banyak kaum muslim di negeri ini. Menurutnya, ibadah ritual seolah tidak cukup untuk membangkitkan rasa kemanusiaan.

�Kalau tadi dipertontonkan pecahan beling atau kaca yang dibasuhkan ke muka, itu sebagai peringatan. Bangsa kita kalau wudhu sudah tidak cukup dengan air, tapi harus dengan beling atau kaca, karena hari ini air sudah tidak bisa masuk ke pori-pori ruhani kita. Banyak orang yang ber wudhu , tapi tidak punya rasa malu. Banyak orang yang ber wudhu , tapi wajahnya masih terlihat kelam dan karatan. Mari kita ber wudhu untuk membersihkan muka-muka kemanusiaan kita, menguatkan tangan-tangan kemanusiaan kita, dan itu semua demi kita,� ajaknya.

Bahkan kiai muda kelahiran Sumedang, 8 Desember 1972 ini menyatakan, pesantren harus mampu mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya. Kalau bisa, imbuhnya, pesantren harus menyusun strategi kebudayaan.

�Ini sebagai ikhtiar menerobos ide-ide untuk mempertemukan sejumlah pemikiran yang emansipatif, eskploratif, dan membumikan nilai keberagamaan dalam konteks kemanusiaan,� katanya suatu ketika dalam acara Halaqoh Budaya Pesantren dan Seni Tradisi: antara Relasi dan Hegemoni , di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat.

Tentang group gamelan shalawatnya yang dinamai Qi Buyut misalnya, alumni Ponpes Bantar Gedang, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Raudlotul Mubtadi�in Pekalongan Jawa Tengah, dan Ponpes Ar-Raudloh Tambak Beras Jombang Jawa Timur ini mengungkapkan, nama itu diambilnya dari kosa kata Arab.

�Qi Buyut itu dari bahasa Arab. Qi terambil dari kata waqa yaqi yang artinya jaga. Dan buyut artinya rumah. Jadi maksudnya, jagalah rumah hati, rumah kemanusiaan, rumah agama dan sebagainya,� katanya. �Qi Buyut ini personilnya adalah santri seniman,� tambahnya.

Yang menarik, melalui seni ini, ia mampu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Penghayat Kepercayaan, Jemaah Ahmadiyah dan sebagainya, tanpa ada sekat apapun. Ini tak lain karena seni atau budaya mampu melembutkan kekakuan sikap dan menampilkan penghargaan terhadap perbedaan.[]

*Suplemen WI di Majalah Gatra

Monday, December 03, 2007

Mariana Amiruddin: Tobat dari Ideologi Negara Islam

Oleh Nurul H. Maarif


Nurul"Saya pernah 9 tahun di bawah Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX), yang meliputi Bekasi dan Banten."

Sepenggal kalimat di atas meluncur dari bibir Mariana Amiruddin, perempuan mantan aktivis Darul Islam (DI)/Negara Islam Indonesia (NII), yang bertobat dan telah kembali ke jalur kebenaran. Bahkan kini ia menjadi aktivis Jurnal Perempuan, dengan segala kebebasannya.

Awalnya, militansi keislaman Mariana muncul lantaran ketidaksukaannya pada pergaulan anak-anak muda di lingkungannya. "Waktu masih SMA, saya betul-betul tidak mengerti kenapa banyak anak muda yang lebih memilih kegiatan duniawi, gank, dan sebagainya," katanya. "Salahnya di mana? Sistem pendidikannya?" imbuhnya bertanya.

Tanpa pikir panjang, Mariana lantas memutuskan bergabung dengan organisasi intra sekolah Rohis (Rohani Islam). "Saya berfikir, kayaknya di sana ada jalur radikal untuk merubah anak-anak muda itu, sehingga saya perlu bergabung di sana," ujarnya yang waktu itu sangat fanatik mengenakan jilbab lebar a la akhwat.

Di sela-sela kesibukannya sebagai aktifis Rohis, Mariana masih menyempatkan diri ikut lomba menulis yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). "Saya Juara I. Bisa ketemu Pak BJ Habibie, dikasih jam, dan hadiah lainnya," katanya bangga.

"Saat itulah seseorang mengintai saya. Dia bukan dari ICMI, tapi nongkrong di ICMI," katanya. "Dia ngajak ngobrol. Bilang saya pinter dan sebagainya. Akhirnya, orang inilah yang menarik saya menjadi bagian dari Darul Islam atau NII KW IX," sambungnya mengenang.

Diakuinya, dirinya tertarik bergabung lantaran di Rohis ia tidak menemukan apa yang selama ini dicarinya. "Oleh orang itu, saya diajari tentang sistem negara Islam dengan merujuk al-Qur'an. Hebatnya, dia mampu membuat nalar saya yang penuh mitos menjadi sangat realistis," ujarnya sambil menyebut orang yang dimaksudnya sebagai Abu Ridho.

Mariana-pun mulai aktif sebagai bagian dari gerakan bawah tanah itu. Hari-harinya diisi dengan melanglang buana ke seluruh pelosok Jakarta, untuk merekrut jemaah baru sebanyak-banyaknya. Uang dikumpulkannya dengan berbagai cara. Tujuannya satu: melakukan futuh atau revolusi dengan mendirikan Negara Islam Indonesia.

"Namun sebetulnya bukan revolusi Islam yang saya lakukan waktu itu, tapi menggali kuburan untuk Islam itu sendiri," ujarnya setelah menyadari kekeliruannya.

Di atas semuanya, Mariana menyatakan dengan jujur, dirinya bangga memiliki pengalaman sebagai bagian dari kelompok garis keras pimpinan AS Panji Gumilang alias Abu Toto itu.

"Saya tidak menyesal. Saya bisa memetik pelajaran dari militansi, strategi, cara berpolitik, dan sebagainya. Juga ada keberanian dan kemandirian," ujar alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya ini.

Dikisahkannya, dirinya dulu tanpa rasa takut sedikitpun berani pulang jam 4 pagi dengan jalan kaki 10 km, dari Pulo Gadung Jakarta Timur sampai Pramuka Matraman, di saat-saat ia masih getol mencari "korban". "Militansi ini luar biasa. Itulah perjalanan spiritual yang membuat saya bisa bercerita seperti ini," imbuhnya.

"Semoga ini tidak dialami kawan-kawan yang lain," katanya buru-buru berpesan.

Diceritakan Mariana, awal mula keinsafannya dilatari bukti-bukti banyaknya ajaran NII yang sulit diterima nalarnya. "Soal sedekah yang mencekik, tak perlu shalat, ngaji, janji-janji futuh (revolusi, red.) yang tak kunjung hadir, perempuan juga terdiskriminasi. Semua ini menjadi titik tolak pemberontakan saya," akunya lugas.

Menurut Mariana, kelompok NII juga memiliki cara pandang hitam putih; siapapun yang di luar kelompoknya adalah kafir dan darahnya halal alias harus diperangi. "Gerakan-gerakan semacam ini sangat inkonstitusional dan akan selalu tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai demokrasi," ujarnya.

Selain itu, imbuhnya, apa yang terjadi di lingkungan NII sangat militeristik. Dicontohkannya soal 9 point dalam bai'at kelompok itu. "Gerakan ini sangat fasis, seperti NAZI. Orang digerakkan seperti mesin, dibikin multy level marketting (MLM) atau sel, supaya antar individu tidak saling mengenal," katanya geram.

Karenanya, master Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia ini punya kekuatiran, suatu saat kelompok bawah tanah ini dapat menggulingkan pemerintah Indonesia yang sah. "Saya kuatir mereka berhasil. Karena sudah mulai masuk ke wilayah politik melalui beberapa partai. Mereka juga dekat dengan Malaysia, yang konon ada latihan militer di sana," kuatirnya.

Mariana, karenanya, sangat berharap pada dua organisasi massa terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, untuk terus mengawal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Itu tantangan berat bagi NU dan Muhammadiyah. Karena sekarang gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan sudah dianggap hal yang wajar. Sedangkan pemerintah takut menindak mereka," kata Fatimah Azzahra, nama bai'at Mariana sewaktu di NII.[]

*Warta the WAHID Institute, Edisi IV/Deseember 2007.