Pesan di Balik Rencana Suaka Ahmadiyah
Oleh Nurul Huda Maarif
“Kami sudah tidak merasa aman lagi hidup di negara sendiri. Maka dari itu kemungkinan kami akan meminta suaka politik ke negara lain.”
Kalimat bernada ‘ancaman’ itu dilontarkan penasihat organisasi Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB), Shamsir Ali, pasca penyerangan oleh ratusan massa pada penganut Jemaah Ahmadiyah di perumahan Bumi Asri, Dusun Ketapang Orong, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat (Lobar), 4 Februari 2006 silam. Peristiwa kekerasan yang kesekian kalinya menimpa warga Jemaah Ahmadiyah ini memantik keinginan mereka untuk mengajukan suaka politik ke luar negeri, seperti Australia, Kanada, Perancis dan sejumlah negara Eropa lainnya.
Rencana suaka itu bisa dimaklumi, jika melihat grafik kekerasan atas warga Jemaah Ahmadiyah dari tahun ke tahun yang tak kunjung redam. Pada September 2002 lalu misalnya, sebanyak 300 warga Jemaah Ahmadiyah harus meninggalkan Pancor Lombok Timur (Lotim) karena diusir warga setempat. Juni 2003, sebanyak 35 KK warga Jemaah Ahmadiyah di Sambi Elen juga diusir warga. Kasus pengusiran ini bahkan berujung pada meninggalnya seorang warga Jemaah Ahmadiyah.
Dan terakhir, 4 Februari 2006, sedikitnya 147 warga Jemaah Ahmadiyah menjadi korban pengusiran serta aksi pembakaran dan perusakan di Dusun Ketapang Orong, Desa Gegerung, Lingsar, Lombok Barat (Lobar). Belum lagi kekerasan atas mereka yang terjadi di Kampus al-Mubarak Parung 2005, Bulukumba, dan sebagainya. Akumulasi kekerasan yang bermula dari ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi seluruh warganya itu, akhirnya memuncak menjadi keinginan mengajukan suaka.
Tak pelak lagi, pro-kontrapun bermunculan menyikapi rencana pengajuan suaka oleh warga Jemaah Ahmadiyah NTB itu. Departemen Luar Negeri (Deplu) misalnya, menegaskan bahwa tidak ada landasan hukum apapun yang membenarkan para pengikut Jemaah Ahmadiyah di NTB itu meminta suaka politik ke negara lain. Menurut juru bicara Deplu, Desra Percaya, Konvensi Jenewa Tahun 1951 menyatakan, seseorang bisa mendapatkan suaka politik jika terdapat ancaman atas agama, kelompok etnis, kelompok tertentu, dan asosiasi politik. Dan ancaman itu harus dilakukan oleh negara. Karenanya, mengacu konvensi ini, warga Jemaah Ahmadiyah tidak dibenarkan mengajukan suaka karena yang terjadi lebih merupakan konflik hubungan antarmasyarakat, bukan dengan negara.
Sebaliknya, Koordinator Kontras Usman Hamid. Menurutnya, rencana pengajuan suaka oleh warga Jemaah Ahmadiyah itu sah-sah saja. Karena hak mencari suaka adalah hak yang juga dilindungi hukum nasional. Pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bisa menjadi acuan pembenaran ini dengan alasan mereka dalam rangka mencari rasa aman. Selain itu, imbuh Usman, UUD 1945 dan UU No. 30 Tahun 1999 juga melindungi hak-hak setiap orang untuk beragama menurut keyakinannya sendiri. Karenanya, tidak ada alasan melarang mereka meminta suaka, jika rasa aman sudah tidak mereka dapati di negeri ini.
Sedang Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Azyumardi Azra menegaskan, bangsa Indonesia yang menekankan keindonesiaan dan keislaman tidak akan menginginkan terjadinya permintaan suaka yang dilakukan warga Jemaah itu. Jika hal itu terjadi, yang rugi bukan hanya umat Islam, tapi juga bangsa Indonesia.
Terlepas pro-kontra ‘sah-tidak sah’ suaka itu, yang penting diangkat adalah apa pesan di balik rencana pengajuan suaka yang menjadi ‘tamparan hebat’ bagi pemerintah itu?
Pertama, rencana suaka itu, secara kasat mata dan gamblang menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi mampu melindungi warganya, sehingga kekerasan atas nama agama terus-terusan terjadi tahun demi tahun. Dan ironisnya, setiap kali terjadi kekerasan, setiap itu pula pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Pelaku kekerasan yang ‘nampak di depan hidung’, juga dibiarkan begitu saja laksana orang tak berdosa. Karena itu, rencana suaka itu bisa dimaknai sebagai ‘kekesalan’ dan bahkan ‘keputusasaan’ warga Jemaah Ahmadiyah untuk mendapat perlindungan di negeri tercinta ini. Kenyataan ini menjadi ‘tamparan’ bagi pemerintah di era reformasi ini.
Kedua, rencana suaka itu, jelas akan mencoreng muka pemerintah Indonsia di mata internasional sebagai negara yang tidak melindungi ‘hak privat’ warganya. Dan inilah peristiwa pertama dalam sejarah Indonesia, bahwa pemeluk keyakinan tertentu tak lagi merasa aman sehingga harus mengajukan suaka politik ke negeri lain. Kesan selama ini Indonesia sebagai negara berpenduduk ramah penuh toleranpun akan segera terkubur dalam-dalam. Lengkap sudah bukti bahwa Indonesia adalah negara yang tak mampu mengelola perbedaan dan heterogenitas warganya secara positif.
Ketiga, rencana suaka itu, juga kian membuktikan sekaligus mengukuhkan hasil penelitian Religious Freedom Reports 2005 yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat (AS), bahwa negeri ini mengidap aneka kekerasan dan diskriminasi akut atas nama agama. Bahkan, kekerasan atas nama agama itu seakan telah menjadi kegiatan rutin yang ‘terjadwal’, karena nyaris terjadi setiap tahunnya.
Keempat, rencana suaka itu, juga memberikan pesan penting berupa ‘kritikan’ bahwa pemerintah tak mampu lagi menjalankan amanat UUD 1945, utamanya Pasal 29, dengan benar. Dalam pasal itu dikatakan, ‘berkeyakinan’, apapun keyakinan itu, dijamin keberadaannya di negeri ini. Karenanya, jika pemerintah tak mampu lagi menjamin kelanggengan kebebasan privat yang krusial itu, saat itu juga pemerintah telah gagal menjalankan amanat UUD 1945.
Itulah pesan-pesan utama di balik rencana suaka Jemaah Ahmadiyah yang harus ditangkap oleh pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus berani menindak tegas pelaku kekerasan atas nama agama (dan atas nama apapun), sehingga kepercayaan masyarakat pada perlindungan dan jaminan keamanan pemerintah kembali pulih. Sebaliknya, jika pemerintah tak mampu menangkap pesan-pesan itu, maka suaka demi suaka akan mewarnai perjalanan sejarah negeri ini ke depan. Dan itu berarti kerugian hebat bagi bangsa ini.[]
*Pernah dipbulikasikan www.gusdur.net
0 Comments:
Post a Comment
<< Home