Wednesday, March 22, 2006

Korupsi dan Problem Kesadaran Beragama

Oleh Nurul Huda Maarif

"Pada Era Orla, korupsi dilakukan di bawah meja. Pada Era Orba, korupsi dilakukan di atas meja. Dan pada Era Reformasi, korupsi tidak hanya dilakukan di atas meja, malah mejanya turut diembat."

Itulah olok-olok yang acapkali kita dengar, berkaitan dengan fenomena korupsi di negara kita yang kian hari kian menunjukkan grafik menggila. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pasca Pemilu 2004, praktik korupsi akan dilakukan dengan cara yang jauh lebih terang dan edan lagi; yakni tidak hanya dengan mengembat meja, gedungnya pun turut diboyong.

Realitas di atas menunjukkan, moral bangsa kita (baca; pejabat) kian hari kian mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu, kini terang-terangan dilakukan. Yang dulu dipraktikkan minoritas orang, kini dilakukan mayoritas orang. Yang dulu menjadi rahasia privat, kini menjadi rahasia umum. Ini berarti, (tak terbantahkan lagi) kehidupan berbangsa kian bobrok. Kenyataan ini seirama dengan isyarat Nabi SAW 15 abad silam; "Tidak akan datang satu hari pun, kecuali ia lebih buruk dari hari sebelumnya." (HR al-Bukhari). Karena itu, Rizal Ramli, Menko Ekuin pada rezim Gus Dur, beberapa waktu lalu berkomentar; "Meski pemerintahan Megawati hanya seusia jagung, tingkat korupsi saat ini lebih parah, lebih gila."

Kenyataan ini juga sealur dengan hasil penelitian Transparancy International Indonesia (TII) pada 2001. TII menyimpulkan, Indonesia berada pada peringkat keempat negara terkorup di dunia. Malah, survei yang dilakukan PERC, sebuah lembaga ekonomi di Singapura, akan membuat kita kian takjub. PERC menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia. Ini berarti, hasil-hasil penelitian itu dengan sahih menunjukkan bahwa Indonesia dihuni para maling. Sehingga, wajar saja bila Wasingatu Zakiyah pernah menjuluki Indonesia sebagai Negara Kleptokrasi (negara para maling). Atau-pinjam bahasa Dr B Herry Priyono-negara ini bukan democracy,tapi chremocracy(pemerintahan para penyuap) yang berujung pada kleptocracy. Problem kesadaran beragama

Mercie Elide, seorang teolog Rumania, pernah berujar; "Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang suci dan mana yang tidak. Dan dia cenderung melakukan yang suci." Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung menjalankan ajaran agamanya (yang memang mencerminkan kesucian) dan meninggalkan yang tidak suci. Konsekuensinya, orang yang mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat "orang beragama." Sebab, apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat ajaran agama yang didewakannya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama. Tapi, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat yang begitu membanggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Sungguh ironis! Beragama jalan terus, korupsipun jalan terus. Ini artinya, kita punya dualisme karakter; karakter orang beragama sekaligus penjahat agama. Itulah paradoks keberagamaan kita. Kenyataan ini mengisyaratkan, tingkat kesadaran beragama kita masih dilematis. Dan ini kenyataan yang sangat menyedihkan.

Yang lebih telak lagi, bila kita --umat Islam khususnya-- mau merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan korupsi itu, kita akan ternganga. Kita sadar, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatisf, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat, menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah. Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas, ini tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena, Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara apapun (kendati sekecil atom). Dan korupsi merupakan sebentuk penzaliman luar biasa dan berdampak dahsyat. Lagi-lagi, kenyataan ini menyiratkan, banyak kaum muslim telah melakukan "pengkhianatan" terhadap ajaran suci agamanya.

Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (al-Ankabut; 45). Dengan mamahami satu ayat ini dan mengamalkannya secara konsisten, seharusnya kita tidak terperosok dalam perilaku al-fahsya' (salah satunya korupsi). Tapi, toh kita tetap terperosok dalam lembah al-fahsya' itu. Ini menunjukkan, kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat-ayat lain yang jumlahnya banyak. Kita akan semakin prihatin saja; betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur'an (dan Hadis). Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya.

Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana mempertahankan hidup. Apapun caranya, kelanggengan hidup harus kita pertahankan, kendati dengan melabrak batas agama. Inilah sebabnya Nabi SAW mewanti-wanti umatnya; "Akan datang suatu masa, di mana manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan sesuatu, baik dari jalan halal maupun haram." Dan memang, cara "tidak peduli jalan" itulah yang ditempuh kita yang koruptor ini dalam mengais rezeki. Sebab itu, ungkapan "koruptor bermata kuda" sangat sahih. Koruptor hanya melihat kepentingan di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat) kemaslahatan yang ada di samping.

Pada gilirannya, karena mental kita yang pejabat atau penguasa ini sudah dirasuki virus korupsi, budaya korupsi pun tak terelakkan lagi dan malah mengarat. Semua lapisan berlomba untuk korupsi dan korupsi seakan perlombaan saja. Dan di tengah-tengah tradisi korupsi akut ini, menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara.


Memahami Korupsi dengan Bahasa Agama

Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu ajaran agamapun yang mentolerir, apalagi membenarkan tindak korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama.

Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah merampas kesejahteraan mereka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus secepatnya diberangus hingga ke akarnya, sebelum kejahatan dan tragedi kemanusiaan itu kian menjadi-jadi.

Memang, telah banyak sanksi yang dialamatkan pada para koruptor, baik sanksi formal (hukuman penjara) maupun non-formal (mayat koruptor tidak dishalati). Namun, grafik tindak korupsi bukannya mereda, melainkan kian menggila saja. Ini berarti, pemberian sanki saja belum cukup ampuh untuk meredam tindak korupsi. Barangkali saja, sanksinya terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan jera. Bila demikian, sanksi terberatpun harus ditawarkan, semisal hukuman mati.

Namun, yang terpenting sebenarnya bukan pemberian sanksi itu, melainkan mengembalikan basik kesadaran beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat memprihatinkan. Dengan demikian, bila kesadaran beragama itu berhasil dipulihkan, niscaya tindak korupsi dapat diminimalisir. Hanya masalahnya, mengembalikan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan mudah. Tapi, toh masih ada kesempatan untuk melakukan hal itu. Caranya dengan berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teologis dan penyadaran sosial.

Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya, secara teologis kita harus sadar, bahwa segala tindak-tanduk kita, senantiasa dipantau Allah SWT dan akan mendapat imbalan yang setimpal, baik di dunia maupun (terutama) di akhirat. Perilaku baik akan diganjar kebaikan dan perilaku buruk akan diganjar keburukan. Tidak ada perilaku, sekecil apapun, yang lepas dari pantauan Allah SWT. Lebih-lebih perilaku jahat yang nyata-nyata merugikan kemaslahatan rakyat banyak, seperti korupsi.

Nabi SAW juga bersabda; "Setiap daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram, maka api neraka lebih pantas untuk melahapnya." (HR Ibnu Hibban). Secara teologis, ujaran Nabi SAW ini selayaknya juga dijadikan pijakan dalam mengais rezeki. Karena, cara-cara yang digunakan untuk itu, kelak akan dipertanyakan. Dan korupsi termasuk cara "menumbuhkan daging dengan perbuatan haram" yang diancam siksa berat.

Secara teologis pula, siapapun kita tidak akan bisa berkelit dari sanski super dahsyat di akhirat, kendati kita bisa lepas dari sanksi dunia (inilah fungsi yaum al-hisab). Dengan demikian, bila kesadaran teologis ini telah terbangun, perilaku jahat yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau miniminal direduksi.

Kedua, penyadaran sosial. Banyak ditemukan, baik dalam al-Qur'an maupun Hadis, ajaran yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak boleh dibangun atas dasar saling menzalimi dan menjahati. Allah SWT berfirman; "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain diantaramu dengan cara bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu (dengan jalan) dosa, padahal kalian mengetahui." (al-Baqarah; 188).

Karenanya, bila hubungan antar sesama (terutama hubungan penguasa dengan rakyat) dilandasi prinsip tidak saling merugikan, maka kehidupan yang bersahaja akan terbangun. Orang tidak akan berpikir untuk menzalimi orang lain, dengan berkorupsi misalnya. Sebab, korupsi berarti mengingkari prinsip hubungan saling menguntungkan itu. Dan terbukti, korupsi itulah penyebab runtuhnya tatanan kehidupan yang bersahaja. Ini sesuai firman Allah SWT dalam al-Rum; 41 yang menyatakan, ulah manusialah penyebab kehancuran dunia. Namun demikian, toh masih saja ada harapan untuk melakukan perbaikan. Harapan itu, seperti tertuang dalam al-Ra'd; 11, sepenuhnya berada dalam genggaman kita. Semoga! Wa Allah a'lam.

*Pernah dimuat Harian Pelita dan Buku Khutbah Antikorupsi, Menolak Korupsi, Membangun Kesalehan Sosial (P3M)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home