Kartun Nabi dan Ironi Kebebasan Pers
Oleh Nurul Huda Maarif
Atas nama kebebasan pers, koran Denmark Jyllands-Posten yang berdiri tahun 1871, pada edisi 30 September 2005 silam, dengan berani memajang 12 kartun Nabi Muhammad SAW. Junjungan umat Islam itu, antara lain, digambarkan bersorban dengan akseseri bom waktu dan sebagai orang Badui dengan mata terbeliak menghunus pedang, ditemani dua wanita berbusana hitam.
Reaksipun bergemuruh hebat dari seluruh penjuru negeri muslim, karena tragedi penodaan keyakinan ini tidak hanya menghantam keyakinan umat Islam di Denmark sebagai pemeluk agama terbesar kedua (3 % dari total 5,4 juta penduduk Denmark) setelah Kristen Lutheran, tapi juga milyaran muslim di seluruh dunia. Ujungnya, banyak tudingan diacungkan pada Ratu Denmark Margrethe II, sebagai biang keladi munculnya kebencian masyarakat Denmark pada Islam. Dalam biografinya yang ditulis wartawan Annelise Bistrup (April 2005), ia menyatakan, "Mari kita tunjukkan perlawanan kita pada Islam."
Puncaknya, babak baru ketegangan Islam-Barat, khususnya Denmark, harus terjadi. Bahkan dalam waktu singkat, intensitas ketegangan itu bergolak sangat hebat: demonstrasi, pembakaran kedubes, pemboikotan produk, penutupan majalah, intimidasi dan sebagainya, terhadap apapun yang berbau Denmark. Nyawa pun tak sedikit melayang. Tak berhenti di sini, pemerintah Denmark lantas menerbitkan daftar 14 negara yang
harus dihindari warganya; Afghanistan, Aljazair, Bahrain, Mesir, Iran, Jordania, Libya, Maroko, Oman, Pakistan, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Qatar. Ini jelas kian memperburuk hubungan Islam-Barat.
Pertanyaannya: haruskah hubungan Islam-Barat hancur berkeping-keping lantaran pemuatan kartun nabi secara semena-mena itu? Jika iya, ini akan menjadi babak baru sekaligus pembenar dan pengukuh tesis the clash of civilization (benturan peradaban) yang digulirkan Samuel Huntington. Jurang kebencian Islam-Barat pun akan kian menganga lebar.
Tapi ironisnya, terhadap persoalan amat krusial ini, awalnya Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, mengaku tidak dapat bertindak apapun, karena pemajangan kartun itu dijamin oleh undang-undang kebebasan pers. Pertanyaannya: begitu muliakah kebebasan pers bagi dunia Barat, hatta kebebasan yang menghantam keyakinan umat beragama lain pun dilindungi?
Ironi Kebebasan Pers
Sebagai imbas liberalisme, di Eropa, terutama Eropa Barat, kebebasan pers sangat dijamin, hatta negarapun tidak berhak mengintervensi penerbitan pers. Alasannya, jurnalisme merupakan bagian dari kebebasan berekspresi atau berpendapat yang 'dilindungi' Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal 19 DUHAM menyebutkan, "Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk hak untuk mempertahankan pendapat-pendapat tanpa intervensi dan
mencari, menerima, memberikan informasi dan ide-ide melalui media apapun tanpa batas."
Dalam Konvensi HAM Eropa juga disebutkan, kebebasan berpendapat adalah salah satu fondasi penting dalam masyarakat demokratis. Prinsip ini berlaku bagi media cetak maupun elektronik yang 'menyebarkan informasi dan ide atas masalah bagi kepentingan publik'. Mutlakkah kebebasan ini? Pasal 10 Konvensi HAM Eropa menjelaskan, kebebasan itu bisa diterima sejauh tidak mengganggu penguasa publik atau memperhatikan batas negara. Jadi ternyata, tidak ada kebebasan tanpa batas. Lebih tak bebas lagi, jika itu menyangkut keyakinan umat lain. Inilah ironi kebebasan pers.
Kebebasan yang ditaburkan pada wilayah sensitive, misalnya menyangkut keyakinan agama, dalam kontek ini pemuatan kartun nabi, pertama-tama harus memperhatikan etika hubungan antar umat beragama. Kebebasan bisa ditolerir sejauh tidak melecehkan keyakinan pihak lain. Sebaliknya, jika kebebasan itu berakibat ketersinggungan pada pihak lain, saat itu juga ia menjadi terbatas. Perlindungan negara atas kebebasan seperti ini juga tidak seharusnya diberikan dan pelindungnya patut dipertanyakan.
Karenanya, bisa dimengerti jika ada yang menilai, kesalahan pemuatan kartun nabi itu tidak terletak pada kebebasan berekpresinya, melainkan pada ketiadaan kearifan ketika hal itu menyangkut pondasi utama umat beragama tertentu. Dan dalam Islam, kartunisasi Nabi Muhammad SAW secara sadar jelas tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Apalagi kartunisasi itu nyata-nyata melecehkan, baik secara fisik maupun
teologis. Makanya, tidak bisa dinalar tatkala kebebasan tanpa kearifan itu justru muncul di negari penjunjung tinggi HAM.
Namun demikian, kendati umat Islam wajib membela keyakinannnya yang dihantam pihak lain, bukan berarti mereka dibenarkan bertindak anarkis, misalnya membakar property pemerintah Denmark dan atau mengintimidasi warganya. Kekerasan, di mana dan kapan, tidak pernah menjadi solusi masalah. Apalagi ada dugaan, pemajangan kartun itu
diniatkan hanya untuk memancing kemarahan umat Islam, sehingga 'fakta' yang muncul umat Islam memang identik dengan kekerasan. Jika umat Islam terpancing, hanguslah citra kerahmatan Islam. Karenanya, responlah penghinaan itu dengan kesantunan. Proteslah ia secara damai.
Yang tak kalah penting, umat Islam tidak dibenarkan melakukan generalisasi; semua warga Denmark terlibat dalam penghinaan ini, karena itu hanya ulah segelintir oknum. Jika generalisasi itu terjadi, banyak warga Denmark yang tidak tahu-menahu persoalan sesungguhnya akan terzalimi dan terugikan atas dosa yang tidak pernah mereka
lakukan.
Yang jelas, tidak ada asap tanpa api. Pemuatan kartun nabi atas nama kebebasan pers itulah apinya. Dan inilah cermin kebebasan berekspresi yang kehilangan makna, karena tanpa disertai kearifan.[]
*Pernah dipublikasikan www.gusdur.net
0 Comments:
Post a Comment
<< Home