Menanti Kiprah Riil Pesantren
Oleh Nurul Huda Maarif
Akhir-akhir ini, relasi pesantren dengan masyarakat, banyak disorot berbagai kalangan. Pesantren dianggap tidak lagi merakyat, jauh dari dan menjaga jarak dengan masyarakat. Malah ada yang sedikit lebih radic; pesantren diklaim tidak memiliki kiprah apa-apa dalam pengembangan masyarakat. Sorotan serupa ini, tentu saja tidak bisa diabaikan begitu saja dan harus dijawab oleh pesantren. Sebab, tidak ada asap kalau tidak ada api. Pertanyaannya: benarkah relasi pesantren dengan masyarakat mulai renggang? Sahihkah klaim bahwa pesantren tidak memiliki andil apapun dalam pengembangan masyarakat?
Dakwah dengan Kiprah Nyata
Sebuah qaul hikmah berbunyi; “al-da’wah laisat mujarrada tablighin wa lakin akhlaqun wa sulukun/dakwah tidak semata penyampaian lisan, melainkan akhlak dan teladan [baca: kiprah nyata].” Qaul hikmah ini, sudah semestinya dihayati secara matang oleh pesantren untuk kemudian diimplementasikan dalam tataran yang riil. Bahwa dakwah tidak cukup hanya melulu orasi, melainkan kiprah nyata, memang harus mendapat porsi pemikiran tersendiri. Karenanya, sedikit mengutip ucapan Hassan Hanafi – filosof Mesir kontemporer – dalam Islam in Modern World: teori tanpa kiprah nyata, tidak ada artinya apa-apa. Mending teori salah, tapi kiprah nyata ada, ketimbang ada teori tapi miskin kiprah nyata. Itu artinya, kiprah nyata menjadi tolok ukur kemanfaatan kita (baca: pesantren) bagi masyarakat luas.
Kenapa kiprah nyata begitu penting dikedepankan? Sebab pada tingkat kiprah nyata itulah, sumbangsih dan dedikasi yang benar-benar bermanfaat dapat dirasakan masyarakat. Pada gilirannya, pesantren akan mendapat tempat yang layak dan nyaman di hati masyarakat. Dan sejatinya, kesalehan sosial seperti itulah yang harus ditunjukkan pesantren. Atau dengan kata lain – mengutip Faqihuddin Abdul Kodir – tunjukkan kesalehan individual melalui kesalehan sosial, dalam hal ini melalui kiprah nyata pesantren dalam pengembangan masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya; kiprah nyata seperti apa yang harus dimainkan pesantren, sehingga pesantren bisa benar-benar menunjukkan kesalehan individualnya melalui kesalehan sosial? Jawabannya, tentu saja tidak melalui kiprah nyata dalam bidang pendidikan agama. Keilmuan-agama yang selama ini diajarkan dan menjadi ciri khas pesantren, kendati telah berhasil menciptakan “revolusi keberagamaan” pada masyarakat, untuk saat ini dianggap telah “usai.” Peran yang sudah menjadi dagangan pesantren secara umum dan luas itu sudah cukup! Sehingga, pesantren perlu memberikan tawaran dagangan lain dalam bentuk kiprah nyata pada masyarakat, sebagai senjata menghadapi gempuran globalisasi. Kiprah nyata itu akan mencerminkan kaidah fiqhiyyah “al-mutaaddy afdhal min al-qashir/kiprah yang manfaatnya dirasakan orang lain (baca: masyarakat) lebih utama, ketimbang yang efeknya dinikmati diri sendiri.”
Sebab itu pula, pesantren sebagai agent of change atau social engineering dan kyai – seperti tesis Clifford Geertz – sebagai cultural broker atau makelar kebudayaan – dalam bahasa Gus Dur – tidak seharusnya berdiam diri atau tidak merasa bertanggung jawab atas berbagai persoalan yang melilit masyarakat. Pesantren harus merespon dan sigap atas semua itu. Itu artinya, pesantren niscaya memposisikan diri sebagai jembatan penyambung antara kebutuhan masyarakat dengan tuntutan zaman yang mereka hadapi. Peran itu sangat mungkin dimainkan pesantren, mengingat keberadaannya yang diantara dua dunia; dunia pedesaan dan dunia luar. Keberadaannya yang di pedesaan, membuat pesantren bisa mengerti apa-apa yang dibutuhkan masyarakat. Dan keberadaannya yang bersentuhan dengan dunia luar, pesantren dimungkinkan bisa mengerti senjata apa saja yang harus dipunyai masyarakat dalam menghadapi pertarungan di era global ini.
Kiranya perlu disadarai bersama, bahwa di era global ini, masyarakat tidak hanya dituntut piawai dalam bidang ilmu agama. Agama toh hanya difungsikan – tak lebih – sebagai benteng moral. Agama bukan alat untuk merebut kemenangan dalam dunia yang kian kompetitif ini. Masa kejayaan agama, kini telah “lewat.” Karenanya, untuk menghadapi zaman yang tingkat kompetitifnya kian menggila itu, bukan benteng moral saja yang kudu dipentingkan, melainkan penanaman skill dan upaya-upaya pengembangan dalam sektor modern; seperti koperasi, jasa, tehnologi tepat guna, dan sebagainya. Hal-hal inilah yang akan turut membantu masyarakat dalam menjawab tuntutan zaman modern ini. Itulah dakwah dengan kiprah nyata (da’wah bi al-hal) yang harus dimainkan pesantren.
Meneropong Kiprah Pesantren; Dulu dan Kini
Selama ini, ada pandangan yang cukup membanggakan hati pesantren, bahwa pesantren yang memamang memiliki tradisi mandiri kuat dan keberadaannya yang sudah lama di pedesaan, acapkali dianggap dan bahkan diyakini sebagai pintu masuk yang strategis untuk melakukan pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan (Dawam Raharjo: 1996). Karenanya, pesantren acapkali disebut sebagai agent of change atau social engineering. Sebutan itu tidak mengada-ada dan bahkan cukup tepat.
Namun demikian, kita juga perlu jujur dalam melihat keberadaan pesantren, dulu dan kini. Sebab, ada nuansa yang berbeda antara kiprah pesantren dulu dan pesantren kini. Malah, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, tesis bahwa pesantren sangat dekat dengan masyarakat, kini perlu dikaji ulang. Dulu, pesantren memang betul-betul dekat dengan masyarakat, karena kemunculannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Namun kini? Banyak cibiran sinis yang dialamatkan pada pesantren. Dengan demikian, paling tidak, cibiran itu mengindikasikan, bahwa hubungan pesantren dengan masyarakat, bukan tanpa masalah sama sekali, terutama terkait kedekatan dan kiprah nyatanya dalam pengembangan masyarakat.
Selain itu, kehidupan pesantren, terutama saat ini, malah sering dianggap membuat sekat dan tidak lagi membaur dengan masyarakat. Ini misalnya ditandai dengan keberadaan pesantren yang dibentengi gedung (tembok) tinggi, yang pada gilirannya malah “menodai” keintiman hubungan dengan mereka. Bila kenyataan ini benar, tentu saja perlu ada pemikiran baru bagi pesantren, supaya kiprah nyatanya benar-benar terasakan masyarakat. Sehingga, ucapan radikal Ivan Illich “lembaga pendidikan yang membuat sekat dengan masyarakat, hancurkan saja!” tidak seharusnya menimpa pesantren. Sebab, bila pesantren kian jauh dan kian tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat, tak mustahil badai ucapan Illich benar-benar akan menerpa pesantren.
Bila itu terjadi, tentu saja kaum muslim Indonesia akan kehilangan kekayaan peradaban yang selama ini dibanggakan. Pesantren benar-benar hanya akan menjadi artefak peradaban yang tak punya efek kemasyarakatan apapun. Selain itu, bila pesantren hanya getol mengembangkan pendidikan keagamaan, pesantren malah akan menjadi semacam museum. (Suyata; 1985). Dengan demikian, pesantren diharapkan turut memberi investasi sosial bagi masyarakat. Dan salah satu cara membuat pesantren menjadi hidup, adalah dengan membawa persoalan-persoalan nyata di masyarakat ke dalam dunia pesantren.
Kita pun lalu bertanya; di luar dunia pendidikan agama, peran nyata apa yang selama ini telah ditorehkan pesantren untuk pengembangan masyarakat? Berdasarkan sisi historis, secara umum, pada awalnya hampir semua pesantren menempati dan memiliki lahan cukup luas. Keluasan lahan itu, biasanya dimanfaatkan pihak pesantren untuk memberikan pendidikan skill pertanian pada para santri dan masyarakat sekitar. Misalnya, pesantren mengajarkan bagaimana cara menanam padi, jagung, palawija, terong, dan sebagainya. Di luar kegiatan formal pesantren, para santri dan masyarakat sekitar, secara langsung terjun ke lahan untuk mempraktikkan skill pertanian itu.
Malah pasca 70-an, tepatnya setelah Menteri Agama ketika itu, Dr Mukti Ali, melontarkan gagasan pendidikan keterampilan dan pengembangan masyarakat di pesantren, kiprah kemasyarakatan pesantren kian menampak. Hanya saja, gagasan brilian itu, belum mendapatkan formulasinya secara jelas untuk dilaksanakan. Baru pada tahun 1977, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Masyarakat (LP3ES) mengadakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat (LTPM) I di Pesantren Pabelan, Muntilan, diikuti berbagai kalangan pesantren. Lalu disusul dengan LTPM II pada tahun 1979/1980 khusus pesantren yang ada di Jawa Timur.
Pada dua pelatihan itu, tercatat tak kurang dari 15 pesantren yang mengikuti kegiatan itu. Jenis keterampilan kemasyarakatan yang diajarkan saat itu antara lain: pembuatan tungku lorena, pompa tali, penjilidan buku, bumbu semen, ferro semen, serat semen, pembudidayaan jamur merang, mesin tetas telur, perontok padi, ternak kelinci, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang kemudian dikembangkan oleh 15 pesantren di lingkungannya masing-masing itu, menyedot tak kurang 2.072 tenaga (pekerja) masyarakat. Dengan demikian, pesantren turut membantu memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Tentu saja, untuk tuntutan zaman saat itu yang belum terlampau neko-neko seperti sekarang, skill-skill di atas cukup membantu pengembangan pesantren dan masyarakat. Dengan keahlian bercocok tanam, karena memiliki lahan luas dan sekidit keahlian dalam tehnologi tepat guna, pesantren dan masyarakat dapat mempertahankan kehidupannya secara cukup layak.
Lalu, bagaimana dengan kiprah pesantren saat ini? Banyak hal yang perlu dibenahi pesantren. Lahan-lahan luas pesantren sudah banyak berkurang, karena diwariskan pada keturunan dinasti kyai (bila tanah itu milik pribadi/non-wakaf) atau karena pengaruh globalisasi yang meniscayakan pembanhungan di mana-mana. Kenyataan ini, pada gilirannya memudarkan skill pertanian pesantren dan masyarakat sekitar. Bahkan dalam taraf tertentu, cukup membahayakan perekonomian masyarakat. Sebab, lahan yang dulunya dijadikan gantungan penghidupan, kini telah tiada. Lebih dari itu, kini tuntutan-tuntutan yang dihadapi masyarakat kian beragam dan modern. Bila pesantren bisa membantu pengembangan masyarakat: so what?
Menjadikan Pesantren sebagai Lembaga Sosial
Suyata, dalam tulisannya, Pesantren sebagai Lembaga Sosial yang Hidup, mengusulkan, supaya pesantren tidak semata menjadi lembaga pendidikan agama, melainkan lembaga sosial yang hidup. Supaya pesantren betul-betul bisa menapaki tangga menuju cita-cita mulia itu, ia mengusulkan beberapa langkah: 1) Penyelenggaraan program pendidikan pesantren yang lebih bercorak sosial, tanpa meninggalkan corak keagamaan. 2) Memberikan kesempatan pada para santri untuk memperoleh pengalaman-pengalaman kemasyarakatan dan sekaligus memanfaatkan mereka bagi pekerjaan-pekerjaan kemasyarakatan. 3) Pesantren hendaknya menjadi pusat penerang pemikiran baru keagamaan dan memperkenalkan pengetahuan dan pikiran-pikiran baru bagi usaha membangun dan memodernisir desa. 4) Memanfaatkan semaksimal mungkin sumbangan pihak luar, pemerintah atau instansi, sehingga rate of return-nya dapat dirasakan masyarakat luas. 5) Proyek bersama antar pesantren dan madrasah agar dapat maju bersama dengan pekerjaan dan identitas masing-masing. 6) Mencari kemungkinan-kemungkinan bekerjasama dengan unit produksi atau tempat dan usaha lain untuk latihan kerja dan pendidikan kejujuran.
Beberapa Tawaran Awal dan Penjajakan Kerja Sama
Terkait proyek pengembangan masyarakat, kiranya sangat tepat bila pesantren terlebih dahulu membentuk biro pengembangan masyarakat. Biro ini secara tekun dan intensif bertugas untuk menghandle persoalan-persoalan pengembangan masyarakat. Dengan demikian, pesantren (yang utamanya menangani soal pendidikan) diharapkan tidak lagi “direcoki” persoalan pengembangan masyarakat.
Adapun sektor-sektor modern yang patut dikembangkan pesantren antara lain: Pertama, koperasi. Setiap pesantren seharusnya memiliki lembaga khusus yang mengelola sumber “duniawi” pesantren, semisal koperasi pondok pesantren (Kopontren). Idealnya, Kopontren dapat menjadi soko guru perekonomian intern dan ekstern pesantren, dengan tugas meningkatkan kesejahteraan share holder pesantren (pemilik beserta keluarga besar pesantren), kesejahteraan stake holder pesantren (terutama ustadz, ustadzah, karyawan, dan masyarakat sekitar) dan meningkatkan kualitas sarana prasarana pesantren itu sendiri. Kedua, tehnologi tepat guna. Misalnya pesantren mengajarkan pembuatan kompor, pupuk tanpa zat kimia, budidaya ikan berbagai jenis, budidaya tanaman segala jenis, budidaya jamur merang, filterisasi dan penjernihan air, pompa hiydram, mesin penetas telur, tungku lorena, dan aneka tehnologi tepat guna lain.
Dan ketiga, jasa. Pesantren juga bisa mengembangkan usaha dalam bidang jasa, misalnya jasa pengetikan dan rental komputer, photo copy, penyewaan peralatan pernikahan atau khitanan (semisal diesel, kursi, meja, dll), tenaga penyuluh kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kiprah pesantren betul-betul dapat dirasakan masyarakat secara nyata. Sebab selama ini, lumrahnya pesantren hanya mampu memberikan jasa tidak riil atau abstrak, semisal “rental tahlil,” “rental baca al-Qur’an,” “rental baca Ya Siin”, dan “rental shalawat.”
Selain itu, pesantren juga perlu menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar pesantren, baik lembaga pemerintah – seperti Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Transmigrasi dan Perambah Hutan, Dinas Kesehatan, Bank Negara/Swasta – maupun Lembaga Non-Pemerintah (NGO)
Hal-hal di ataslah yang saat ini perlu dipikirkan pesantren secara serius. Akhirnya, semua tergantung iktikad pesantren: mau menjadi artefak kebudayaan, museum, atau menjadi lembaga sosial yang hidup? Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]
*Pernah dipublikasikan Majalah Bina Pesantren.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home