Sisi Paradok Si Whistle Blower
Oleh Nurul Huda Maarif
Menarik mencermati sisi paradok Khairiansyah Salman. Keberanian atau bahkan kenekadannya membongkar skandal korupsi yang melilit Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadikan Mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kini bekerja di Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias ini sebagai pahlawan. Tapi keterlibatannya sebagai penerima aliran dana korupsi Dana Abadi Umat (DAU) Depag, sebaliknya, justru menobatkannya sebagai ’penjahat’.
Sebagai sosok pahlawan misalnya, Ketua Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis menjulukinya whistle blower (peniup peluit), yang tiupannya menyebabkan kasus-kasus korupsi berhamburan ke mana-mana. Trancparency International (TI) yang berpusat di Berlin Jerman, setelah berembug selama enam bulan, lantas mendaulatnya sebagai penerima Integrity Award 2005.
Penghargaan prestisius ini tidak main-main, karena melalui seleksi ketat dewan juri dari berbagai belahan dunia. Misalnya, Claudio Weber Abramo (TI Brazil), Susan Cote Freeman (TI Inggris), Eva Joli (pemenang Integrity Award 2001), John Makumbe (Zimbabwe), Sion Asidon (Maroko), dan Hugette Labelle (Kanada). Di mata TI dan sebagian masyarakat Indonesia, Khairiansyah betul-betul pahlawan.
Tapi bersama Tohari, Heriyanto, dan Mukron, pada 21 November lalu, Khairiansyah ditetapkan sebagai tersangka penerima korupsi DAU sebesar Rp 10 juta. Bahkan, seperti dituturkan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Salman Maryadi, surat perintah penyidikan untuknya telah dikeluarkan. Karenanya yang terjadi, sosok Khairiansyah seakan memancarkan dua sinar sekaligus, sinar putih sebagai whistle blower dan sinar hitam sebagai penerima aliran DAU.
Apa yang terjadi kemudian? Opini publik terbelah dua, antara Khairansyah Salman yang pahlawan dan Khairansyah Salman yang penjahat. Pro-kontra pun berhembus di mana-mana. Masing-masing melihat sesuai sudut kepentingannya. Melihat gelagat tidak sehat itu, Khairiansyah malah menunjukkan sikap dewasa. Ia legowo menyerahkan kembali penghargaan Integrity Award yang menobatkannya sebagai ‘orang suci’ itu kepada TI. Itu dilakukan, menurutnya, untuk memudahkan penyelesaian kasusnya. Ini menjadi sejarah baru bagi TI. Karena sejak tahun 2000 kiprah TI memberi Integrity Award, baru Khairiansyah yang mengembalikannya.
Menurut penulis, apa yang sedang bergolak pada sosok ’bermuka dua’ Khairiansyah Salman itu, tidak boleh hanya dilihat dari satu sisi secara buta. Misalnya, ia hanya dilihat sebagai pahlawan yang harus dipuji-puji atau sebaliknya sebagai penjahat yang harus dicaci. Profesionalisme dan objektivisme tetap harus dipegang dalam membaca keparadokan dirinya itu.
Untuk itu, ada beberapa catatan penting yang perlu diajukan. Pertama, sesuai konsep Yin-Yang, setiap lembaran putih pasti ada titik hitam dan setiap lembaran hitam niscaya ada titik putihnya. Ini mengisyaratkan, tidak ada manusia yang 100 % bersih dan tidak ada pula yang 100 % kotor. Karenanya, kita tidak boleh terjebak hanya ’memelototi’ titik itu belaka. Keseluruhan lembar itu tetap wajib dibaca.
Dalam membaca paradok ini, tidak seharusnya kita hanya mem-blow up titik kecil dugaan dirinya sebagai penerima DAU itu belaka, kendati apa yang dilakukannya tidak dapat dibenarkan melalui kaca mata apapun. Kita juga harus melihat upaya dan keberaniannya meniup peluit di tengah masyarakat yang tidak (pernah) berani meniupnya. Apalagi peluit itu dihadapkan pada pejabat-pejabat pemerintah sekelas KPU. Karena tekad, keberanian, dan tindakan nyata individunya inilah Integrity Award (masih) layak disematkan di pundaknya. Peran ini tidak boleh dicampakkan begitu saja, mengingat suara Khairiansyah itu berdesir di tengah ketakutan masyarakat untuk berbicara jujur.
Kedua, jika Khairiansyah hanya dibaca dari sisi titik hitamnya, maka kita tidak akan lagi menemukan orang yang berani berbicara blak-blakan seperti itu. Orang tidak akan berani berkata jujur, karena takut giliran boroknya diobral orang lain. Dan jujur saja, pejabat mana yang bersih di negeri ini? Kalaupun ada, yang bersih itu juga tidak pernah berani bersuara apapun. Untuk itu, khairiansyah-khairiansyah lain seharusnya lebih banyak lagi bermunculan untuk kian memuluskan jalan pemberantasan korupsi di ’negeri beriman’ ini. Itu artinya, dalam konteks seperti ini, kepahlawanan Khairiansyah tidak lantas luntur begitu saja. Dia tetap pahlawan (dengan setitik noda) di tengah senyapnya pahlawan sejati yang bersih 100 %.
Ketiga, dugaan penerimaan aliran DAU terjadi sebelum Khairiansyah melakukan pembongkaran di kamar 609 Hotel Ibis itu. Apa yang dilakukannya, menurut hemat penulis, merupakan bentuk bertaubatan atau keinsyafannya. Ini berbeda ketika misalnya, Khairiansyah menerima DAU itu setelah dirinya meraih Integrity Award. Sikap sinislah yang harus dialamatkan padanya.
Keempat, apa yang dilakukan Khairiansyah dengan mengembalikan Integrity Award, itu patut menjadi teladan dan renungan. Bayangkan, dirinya rela melepas anugerah bergengsi itu, untuk memudahkan proses penyidikan kasusnya. Itu menunjukkan, betapa Khairiansyah telah mempertontonkan sikap patuh terhadap aturan yang berlaku. Ia ingin proses hukum berjalan fair.
Karena itu, sekali lagi, tidak seharusnya kita melihat sebelah mata terhadap apa yang yang telah dilakukannya. Apalagi muncul dugaan, ada oknum tertentu yang karena unsur balas dendam, sengaja beriktikad menjatuhkan wibawanya di muka umum sebagai pahlawan pemberangusan korupsi. Akhirnya memang, nestapa tetap saja masih menyelimuti Si Peniup Peluit itu. Kitapun hanya bisa berharap, semoga muncul ’ahli waris’nya sebagai peniup peluit. Kendati, ”Wistles blower pasti akan mengalami fenomena seperti yang saya alami,” tutur Khairiansyah beberapa waktu lalu di sebuah stasiun televisi swasta. Wa Allah a’lam.[]
*Pernah dipublikasikan Koran Kompas
1 Comments:
Dear Sir:
I see that you mention my name in this posting, but unfortunately I can't read this language. If at all possible, I would like to ask what is the subject commented.
Tnahk you.
Post a Comment
<< Home