Tuesday, March 21, 2006

Laknat bagi Penimbun

Oleh Nurul Huda Maarif


Sungguh ganjil, di negeri gemah ripah loh jinawi ini,
kelangkaan beras terjadi di mana-mana. Kalaupun ada,
harganya tak kurang dari Rp. 4000/kg. Harga yang
sangat ideal untuk mencekik wong cilik dan menambah
kesengsaraan mereka. Ujungnya, alih-alih rencana
pemerintah mengimpor beras dengan total 110.000 ton di
tahun 2006 itu menjadi solusi, dugaan adanya permainan
justru berhembus kencang.

Aneka pertanyaanpun lantas berhamburan: benarkah beras
telah langka di negeri kaya ini? Benarkah tak ada
permainan di balik kelangkaan beras yang misterius
ini? Tak mungkinkah rencana impor beras itu justru
bagian dari permainan itu sendiri? Yang jelas, tulisan
sederhana ini hadir bukan untuk berspekulasi menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas.

Laknat
Menimbun adalah menumpuk atau menyembunyikan barang
yang dibeli pada waktu paceklik dengan harga tertentu
(biasanya dengan harga murah), untuk kemudian dijual
dengan harga yang lebih mahal, tatkala banyak orang
justru sangat membutuhkannya. Para penimbun, seperti
digambarkan Nabi Muhammad Saw, adalah orang yang
merasa sedih dengan harga rendah dan merasa senang
dengan harga tinggi.

Karenanya, tak ada toleransi apapun atas perbuatan
menimbun (utamanya menimbun bahan pokok) yang dapat
berakibat menyengsarakan banyak orang ini, karena
perbuatan ini tidak hanya bertabrakan dengan
nilai-nilai kamanusiaan yang agung, melainkan juga
bertabrakan dengan ajaran agama manapun. Apalagi, tak
ada motivasi apapun di baliknya kecuali karena
keserakahan dan kepentingan pribadi.

Untuk itu, Islam dan agama apapun sangat mengecam
tindakan menimbun ini. Sebagai tawarannya, Islam
umpamanya, menawarkan dan memperhatikan harmonisasi
hubungan antar manusia, termasuk dalam transaksi
perdagangan. Jual-beli harus dilakukan atas dasar
kesalingrelaan (‘an taradhin minkun) dan tidak saling
merugikan satu sama lain. Karenanya, jual-beli yang
berakibat ‘merugikan pihak lain’ dan ‘menguntungkan
diri sendiri’ tak mendapat tempat sedikitpun dalam
ajaran Islam. Tapi fenomena inilah yang kini hadir
secara fulgar di hadapan kita.

Banyak dugaan, kelangkaan dan/atau mahalnya harga
beras itu terjadi karena permainan orang-orang
tertentu yang melakukan penimbunan beras, untuk
mengeruk untung besar dengan menjadikan orang-orang
kecil sebagai sapi perahan. Mereka memang sedang
memancing di air keruh. Padahal, apa yang mereka
lakukan sejatinya tidak hanya berakibat kesengsaraan,
bahkan bisa berujung pada kematian karena kelaparan.
Jika ini terjadi, mereka tak ubahnya pembunuh berdarah
dingin; dan inilah cermin tindakan destruktif yang
akan mengangakan jurang ketimpangan sosial

Karena itu, perilaku jahat ini sangat dikecam baik
secara sosial mapun agama. Nabi Muhammad Saw misalnya,
menegaskan, “Tidak menimbun barang kecuali orang-orang
yang berdosa”. (HR. Muslim). Sabdanya juga, “Siapapun
yang menimbun makanan atas orang lain, niscaya Allah
akan menimpakan kepadanya penyakit kusta dan
kebangkrutan.” (HR. Ahmad daan Ibnu Majah). Kecamannya
lagi, “Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang
orang yang menimbun itu diberi laknat.” (HR. Ibnu
Majah). Bahkan dikatakannya, “Siapa saja yang
menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan
lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan
harganya) maka dia termasuk orang- orang yang zalim”.
Sabda-sabda suci itu membuktikan, para penimbun itu
sangat dekat dengan laknat atau kutukan, dan dengan
kezaliman.

Mengapa? Karena setidaknya mereka telah melakukan dua
kejahatan sekaligus. Pertama, ulah mereka menimbun
menyebabkan stok barang pokok itu kian menipis sebelum
waktunya. Kesengsaraan masyarakat menjadi akibat
paling telanjang dari ulah jahat ini. Karena
masyarakat akan kesulitan dan bahkan akan cenderung
berebut atau melakukan hal-hal lain yang tidak
rasional hanya untuk mendapat barang yang mereka
butuhkan. Tak tanggung-tanggung, nyawa menjadi taruhan
bagi mereka.

Kedua, para penimbun juga telah mencekik masyarakat
dengan memelambungkan harga barang, hanya demi
kepentingan pribadi. Bayangkan, bagaimana mungkin
beras yang menjadi makanan pokok masyarakat
berpenghasilan rendah, mau tak mau harus didapat
dengan harga di atas Rp 4000? Apa yang terjadi? Mereka
terperangkap pada dua dilema yang sama-sama pahit: tak
beli beras berarti kelaparan/mati atau terpaksa beli
dengan harga mahal kendati tak terjangkau kemampuan
ekonomi mereka. Serba salah!

Jual Paksa
Bagaimana menyikapi aksi para penimbun beras itu? Umar
bin al-Khattab, kala menjabat khalifah, pernah
mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun
barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut
riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa
hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan
yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan
dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen
atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk
Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat
menjual hasil panennya dengan paksa.”

Jika mengacu pada kebijakan Umar di atas, maka
pemerintah tidak seharusnya secara gegabah dan
semena-mena mengambil kebijakan impor beras. Untuk
itu, ada dua kewajiban pokok yang harus dilakukan
pemerintah sebelum impor beras itu jadi dilaksanakan.
Pertama, pemerintah berkewajiban dan harus berani
membongkar dugaan kuat adanya penimbunan beras yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Itu tugas
pemerintah untuk melindungi kemaslahatan rakyatnya,
apalagi apa yang menimpa mereka menyangkut hajat hidup
paling fundemantal. Dan pelakunya harus dihukum sesuai
aturan yang berlaku.

Kedua, setelah tindak penimbunan itu terbongkar,
kewajiban pemerintah selanjutnya adalah menjual barang
timbunan itu kepada rakyat dengan harga yang dapat
mereka jangkau. Dengan ’kebijakan paksa’ ini,
dimungkinkan stabilitas beras atau bahan pokok lainnya
akan kembali normal dan kehidupan masyarakat juga akan
kembali berjalan stabil.

Dan pemerintah tidak boleh terlambat menjalankan dua
kewajiban itu. Karena jika terlambat sedikit saja,
ribuan rakyat tak berdosa akan menjadi ’tumbal.’[]

*Pernah dimuat www.gusdur.net

0 Comments:

Post a Comment

<< Home