Monday, March 27, 2006

Membunuh Ideologi Terorisme

Oleh Nurul Huda Maarif

Mursyid Terorisme Asia, Dr. Azahari Husin, telah tewas diterjang peluru Datasemen 88, di Batu Malang. Imam Samudra telah bertahun-tahun hidup dalam kerangkeng. Amrozi juga tak bisa lagi menebar bom, karena jasadnya terpenjara. Apakah otomatis pikiran-pikiran teroristik Azahari, Imam Samudra, dan Amrozi turut tewas atau terpenjara? Tidak!

Kematian, keterkerangkengan, atau keterpenjaraan fisik mereka, tidak serta merta diiringi lenyapnya ideologi terorisme. Ia tak akan mati karena kematian jasad Azahari. Tak akan terkerangkeng karena keterkerangkengan jasad Imam Samudera. Pun tak akan terpenjara karena keterpenjaraan jasad Amrozi. Ia akan terus liar mencari ’korban-korban’ baru. Karenanya, tugas yang jauh lebih berat, tak lain menghentikan keliaran ideologi terorisme ini. Inilah kekuatan besar yang menjadi sumber penggerak aksi-aksi teroristik itu.

Buktinya, kematian Azahari diiringi kemunculan ’ahli waris’nya, antara lain, Tedi. Tedi ditengarai mendapat ’tirkah’ (harta waris) berupa ilmu-ilmu membuat bom. Ini dinyatakan Kapolri Jenderal Sutanto saat bertemu Komisi I DPR RI di Mabes Polri, di Jakarta, Senin (14/11). Dan itu baru yang terendus polisi. Sangat mungkin, fenomena itu laksana gunung es. Hanya tampak puncak dan menggelembung di dasar laut. Ini yang berbahaya! Karena itu, membunuh aktor terorisme tanpa dibarengi ’membantai’ ideologinya, itu laksana mengukir di atas air. Nggak ada ujungnya. Mati satu tumbuh seribu.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang mampu ’membantai’ ideologi terorisme itu? Jika kerja membunuh aktor teroris bisa di-handle pihak keamanan, seperti di Batu Malang itu, maka yang bisa ’membanti’ ideologinya tak lain adalah intelektual, agamawan, cendekiawan, atau tokoh masyarakat. Itu artinya, pemberantasa terorisme, tidak cukup hanya mengandalkan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme), karena tidak menyentuh ideologinya.

Kenapa pihak keamanan saja tidak cukup? Banyak asumsi, ideologi terorisme itu terbangun, antara lain, karena interaksi yang salah dengan doktrin agama, al-Qur’an dan Hadis misalnya. Konon di Malaysia ada ‘gurauan serius.’ Jika terjadi aksi teroristik, acapkali muncul pernyataan: ”Dia seperti itu setelah membaca al-Qur’an dan Hadis.” Imam Samudra jadi demikian, juga setelah membaca buku Ayatur Rahman fii Jihad al-Afghan, karya Abdullah Azzam, yang di dalamnya banyak mengutip al-Qur’an dan Hadis. Semua berawal dari wacana dan akan berakhir, juga oleh wacana. Karenanya, semata orang yang mampu memahani al-Qur’an dan Hadis dengan baik saja yang bisa menghambat laju gelombang ideologi terorisme itu.

Caranya? Masyarakat, baik yang masih suci dari maupun yang telah terkontaminasi oleh ideologi terorisme, harus diberi pemahaman lebih baik tentang point pokok doktrin rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi alam) yang selalu digembar-gemborkan al-Qur’an dan Hadis. Misalnya dengan bendera seeding plural and peaceful Islam.

Upaya itu, sebenarnya telah dilakukan jauh-jauh hari oleh tokoh-tokoh muslim semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafii Maarif, Djohan Effendi, dan banyak lagi. Hanya saja, melawan penyebaran ideologi terorisme yang tampaknya kian hari kian menggelombang, kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan tenaga dan pikiran mereka, yang juga terbatas. Kini, giliran kita yang harus maju.

Yang jelas, seperti kata Gus Dur, “Aksi terorisme dilakukan orang-orang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.” Karena itu, hanya orang yang memiliki rasa kemanusiaan sajalah yang bisa membunuh ideologi terorisme itu. Adakah kita termasuk kelompok yang masih punya, walau sedikit, rasa kemanusiaan?[]

*Pernah dipublikasikan Koran Tempo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home