Wednesday, March 22, 2006

Kejahatan, Pertaubatan dan Kesadaran Hukum

Oleh Nurul Huda Maarif

Seorang Shahabat, Maiz bin Malik, suatu saat sowan kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” pintanya tiba-tiba.

“Celakalah engkau! Pulang! Mohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah,” tegas Rasulullah Saw.

Tanpa berani membantah perintah Rasullullah Saw, Maiz pun ngeloyor pulang. Tak lama berselang, Maiz nongol lagi di hadapan Rasulullah.

“Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” rengeknya lagi.

“Celakalah engkau! Pulang! Mohon ampun dan bertaubatlah kepada Allah,” jawab Rasulullah Saw lagi.

Tak mau menyakiti Rasulullah Saw dengan melanggar titahnya, Maiz pun ngacir pulang lagi. Tak lama kemudian, Maiz pun nongol lagi di hadapan Rasulullah, dengan rengekan yang sama.

“Wahai Rasul, bersihkanlah aku (dari dosa)!,” rengeknya tak mau menyerah.
Lagi-lagi, Maiz hanya menerima jawaban yang sama. Maiz pun pulang juga. Tapi, karena tekadnya yang sudah bulat dan tulus untuk membersihkan diri dari dosa, Maiz pun lagi-lagi nongol di hadapan Rasulullah Saw. Pada sowan yang keempat dan demi melihat keseriusan dan kegigihan Maiz untuk melakukan “penebusan dosa,” hati Rasulullah Saw mulai melunak.

“Karena kejahatan apa, aku harus membersihkanmu (dari dosa) ?,” tanya Rasulullah Saw penasaran juga.

“Dari (dosa) perbuatan zina,” jawabnya tanpa ragu.

Mendengar jawaban yang lugas, jujur, tegas, lagi ganjil itu, Rasulullah Saw tidak percaya begitu saja. Sebab itu, Rasulullah perlu mencari tahu tentang kondisi kejiwaan Maiz. Jangan-jangan, pengakuan Maiz itu karena dilatari kondisi kejiwaan yang sedang tertekan, stress, labil, atau malah sableng. Sebab pada galibnya, orang yang berkejiwaan waras, hampir dapat dipastikan tidak akan mengakui perbuatan dosanya – apalagi perbuatan bejat itu setingkat zina yang sangat dikecam agama dan masyarakat – dengan terus-terang. Malah, biasanya mereka cenderung membungkus perbuatan jahatnya serapi mungkin. Tujuannya? Tentu saja untuk berkelit dari jerat hukum. Tapi, Maiz bukan sosok pengecut seperti orang pada umumnya. Maiz mengutarakan kejahatannya langsung di hadapan Rasulullah Saw. Sontak saja, pengakuan (tanpa dakwaan) ini memaksa Rasulullah Saw “gedek-gedek.” Dan Rasulullah Saw tetap menyisakan sebersit keraguan dalam relung hatinya, terhadap kebenaran pengakuan itu.

“Apakah Maiz itu stress atau sableng?,” tanya Rasulullah Saw berkonsultasi pada para Shahabat yang lain.

“Maiz tidak stress atau sableng sama sekali. Dia benar-benar waras, wahai Rasul,” jawab Shahabat meyakinkan kondisi kejiwaan Maiz yang memang waras 100 persen.

Penegasan para Shahabat itu, tampaknya juga tidak serta-merta membuat Rasulullah Saw percaya terhadap pengakuan dosa Maiz. Dalam relung hati Rasulullah Saw, rupanya masih tersisa sebersit keraguan yang lain. Barangkali saja, ada yang salah pada diri Maiz.

“Apa Maiz minum arak, sehingga mabuk?,” selidik Rasulullah Saw penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, tanpa dikomando, seorang Shahabat dengan sigap langsung mendekati Maiz, guna memeriksanya. Shahabat itu membaui mulut Maiz. Tak ada bau arak yang menyembur dari mulutnya. Maiz tidak minum arak dan berarti tidak mabuk. Setelah keraguan-keraguan itu sirna, Rasulullah Saw percaya. Proses interogasi pun dilanjutkan.

“Apakah kamu (benar-benar) telah berzina?,” selidik Rasulullah Saw selanjutnya.

“Benar, wahai Rasul. Saya telah berzina,” jawab Maiz tetap dengan kepolosan.
Setelah mendapatkan bukti-bukti kuat yang membenarkan pengakuan Maiz, Rasulullah Saw memerintahkan para Shahabat untuk menghukumnya. Karena telah beristri (muhshan), Maiz dihukum lempar batu (rajam) hingga meninggal, sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Di bawah naungan pertaubatan nashuhah, jiwa Maiz pun melayang menghadap Sang Khalik dengan tenang dan damai. Inna lillah wa inna ilaihi rajiun.

Dalam menyikapi pertaubatan Maiz, para Shahabat terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama hanya mengecam perbuatan dosa Maiz, tanpa melirik (apalagi melihat) pertaubatan Maiz yang tulus. Perzinaan, dalam penilaian mereka, tetap saja keji dan aib bagi masyarakat, kendati pelakunya telah bertaubat. Sebab itu, hanya kecaman dan hujatan yang pantas diperoleh Maiz.

Sebaliknya, kelompok kedua lebih melihat pada proses pertaubatan Maiz yang menakjubkan itu. Mereka menilai; “tidak ada pertaubatan seindah dan seutama pertaubatan Maiz.” Maiz datang pada Rasulullah Saw, mengaku telah berbuat dosa, lalu minta dikenai hukuman yang setimpal. Selain gentleman, apa yang dilakukan Maiz juga mecerminkan perilaku yang indah dan utama. Rasulullah Saw sendiri hanya berujar lirih; “Mintalah ampunan untuk Maiz bin Malik.” Ini artinya, karena pertaubatannya, Maiz layak mendapatkan ampunan dari Sang Khalik.

Dari fenomena yang fenomenal, seperti dituturkan Imam Muslim dalam kitab “keramat”nya, Shahih Muslim di atas, kita dapat menarik berbagai pelajaran berharga. Pertama, bila kita telah melakukan kejahatan atau dosa, kita harus melakukan pertaubatan secepat mungkin. Tentunya pertaubatan yang serius, bukan pertaubatan a la makan sambal. Kita harus gentle mengakui perbuatan dosa yang telah kita lakukan. Bila perlu, seperti yang diteladankan Maiz, kita mengakuinya di muka umum, kendati tidak ada aduan atau tuntutan dari orang lain yang merasa dirugikan oleh ulah kita. Seperti Maiz, sebelum menjadi terdakwa, ia mengaku duluan dengan penuh kesadaran.

Kedua, dengan pengakuan yang jujur dan tulus telah melanggar batas-batas agama dengan berbuat zina, Maiz kemudian menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw untuk diganjar sesuai ketentuan yang berlaku dalam Islam. Maiz sangat paham, hukuman bagi pelaku zina tak lain adalah cambuk (bagi yang ghair muhshan) atau rajam (bagi yang muhshan). Maiz pun sadar, konsekuensi logis dari pengakuannya itu, ia akan menerima hukum rajam sampai mati, karena kemuhshanannya. Tapi, demi menggapai ampunan Sang Khalik, ia rela mendapatkan hukuman itu. Ini menunjukkan, Maiz adalah sosok berjiwa besar dan sadar hukum yang seharusnya kita teladani.

Bagaimana dengan perilaku kita? Lumrahnya, kita malah melakukan hal yang sebaliknya. Tatkala melakukan kesalahan, kita sadar telah melakukannya. Kesadaran itu tentu sudah bagus (walau dalam tataran yang paling minimal). Namun lebih bagus dan sempurna lagi, manakala setelah menyadari kesalahan itu, kita langsung melakukan pertaubatan. Kita berupaya menghapus kesalahan itu dengan pertaubatan. Tapi, ini ironisnya, tak jarang diantara kita yang telah dinyatakan positif mengidap kesalahan oleh pengadilan misalnya, tetap saja tidak mau mengakuinya, apalagi melakukan pertaubatan.

Ketiga, kendati telah bertaubat dengan mengakui perbuatannya, bukan berarti secara otomatis Maiz lolos dari hukum di dunia. Ketentuan agama, dalam hal ini rajam, tetap berlaku baginya. Adapun hukum di akhirat, itu sepenuhnya menjadi urusan Gusti Allah.

Dan keempat, keputusan hukum harus ditopang oleh bukti-bukti yang kuat dan akurat. Kita tidak boleh menjatuhkan hukuman, tanpa dilandasi kekuatan bukti. Selain itu, keputusan hukum juga harus mempertimbangkan kondisi kejiwaan si pelanggar hukum, seperti yang diteladankan Rasulullah Saw. Sebab, pelanggar hukum yang kondisi kejiwaannya tidak normal atau sableng, tidak termasuk kategori mukallaf yang terkena taklif (beban/ketentuan hukum). Hukum tidak akan “memangsa” orang sableng. Artinya, hukum dapat ditetapkan dan diterapkan pada orang yang betul-betul waras secara mental. Dan untuk mengetahui hal itu, perlu dilakukan pembuktian baik secara medis maupun psikologis. Wa Allah a’lam.[]

*Pernah dimuat Majalah Halqah P3M

0 Comments:

Post a Comment

<< Home