Menagih Tanggungjawab Sosial Negara
Oleh Nurul Huda Maarif
Bencana alam, dari banjir, banjir bandang, longsor, badai, dan sebagainya, silih berganti mengiringi hari-hari kelabu rakyat Indonesia. Ibaratnya tiada hari tanpa bencana. Puluhan nyawa melayang, ratusan rumah hancur, jalan-jalan remuk, hektaran sawah ludes, juga ratusan ribu ton beras musnah terserang banjir. Aneka penyakit dan kelaparan pun bergentayangan di mana-mana mengancam rakyat, yang berarti kematian tinggal menunggu waktu.
Siapa yang bertanggungjawab atas semua itu?
Dalam konteks ini, jawaban dari sisi teologis masih memungkinkan untuk diajukan, utamanya bagi penganut setia agama. Misalnya, banyak orang ber-husn al-dhann (berprasangka baik), bahwa rentetan bencana yang terus-menerus terjadi tiada henti, itu tak lain karena kehendak Allah Swt. Apa yang Allah Swt kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya mustahil terjadi. Ini sesuai syair Arab: wa ma syi’ta kana in lam asya’#wa ma syi’tu in lam tasya’ lam yakun. Karenanya, mereka lantas memaknai bencana itu sebagai ujian bagi orang yang beriman dan azab bagi orang yang ingkar.
Tapi benarkah rentetan bencana itu hanya terjadi karena kehendak Allah Swt belaka ‘secara cuma-cuma’, tanpa ada kaitan secuilpun dengan ulah kita? Jawabannya tegas! Rentetan bencana itu terjadi karena kehendak Allah Swt tersebab ulah kita sendiri, utamanya terkait hubungan kita dengan alam. (Qs. Ar Rum ayat 41).
Allah Swt menurunkan banjir, karena ulah kita yang gemar nyampah. Allah Swt menurunkan longsor dan banjir bandang, karena ulah kita yang gemar menggunduli hutan. Allah Swt ‘merusak’ jalan tol, karena ulah kita mengkorup bahan mentah jalan itu. Allah Swt menurunkan aneka penyakit berbahaya, karena kita ‘bahagia’ membuat lingkungan menjadi kotor; dan seterusnya. Karenanya, yang harus bertanggungjawab atas semua itu bukan siapa-siapa, tapi kita semua, baik kita sebagai pemimpin, kita sebagai pemerintah, kita sebagai wakil rakyat, maupun kita sebagai rakyat.
Hanya saja, diantara kita yang bertanggungjawab itu, ada yang paling bertanggungjawab: yaitu pemerintah atau negara. Mengapa? Tugas pemerintah atau negara adalah melindungi dan menciptakan kemaslahatan bagi rakyat, melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada mereka. Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi mashlahah. Untuk itu, jika pemerintah atau negara tak mampu lagi melindungi dan menciptakan mashlalah bagi rakyatnya, pada saat itulah fungsi utama pemerintah atau negara sebagai pelindung rakyat telah hilang. Kemafsadatanlah yang kemudian akan muncul.
Jika pemerintah atau negara diyakini sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas rentetan bencana itu, maka bisa dimengrti jika ada pihak-pihak tertentu yang dengan tegas menuding pemerintah atau negaralah pihak pertama yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Masdar F. Mas’udi misalnya, enggan menyebut rentetan musibah itu sebagai bencana alam, melainkan bencana sosial yang terjadi karena ulah manusia dan pemerintah atau negara wajib bertanggungjawab atas semua itu. Karena itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) termasuk pihak yang ‘ngotot’ menyuarakan, bahwa tindakan preventif pemerintah atau negara menjelang terjadinya bencana paling penting untuk disorot. Karena ternyata pemerintah atau negara tak melakukan tindakan antisipatif apa-apa.
Terkait banjir bandang atau longsor misalnya. Idealnya, sedari awal pemerintah atau negara secara tegas setegas-tegasnya menindak para pelaku penggundulan hutan atau tindak illegal logging, dengan hukuman setimpal. Tujuannya tak lain supaya hutan tak menjadi gundul dan tanah tak menjadi jenuh, sehingga banjir bandang atau longsor tak akan terjadi. Korban nyawa dan meteri yang sia-sia pun bisa terhindarkan.
Tapi lantaran ketiadaan ketegasan itu, musibah yang menelan banyak korban itu mau tak mau harus menjadi kenyataan. Lalu di mana sikap preventif pemerintah atau negara? Malah ironisnya, acapkali oknum-oknum dalam pemerintahan sendiri turut ambil bagian dalam proses illegal logging itu. Ini sangat naïf, karena hanya untuk kepentingan pribadi, nyawa rakyat banyak menjadi taruhan.
Untuk itu, para pemimpin hendaknya merenungkan kembali secara dalam-dalam sikap kerakyatan yang diteladankan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Suatu ketika, beliau berujar yang intinya, jika ada seekor keledai saja terpeleset di jalan Baghdad sebab kerusakan jalan, maka beliau akan sangat ketakutan karena Allah Swt pasti akan menuntut tanggungjawab kepemimpinannya.
Di mata Ali, keterpelesatan seekor keledai saja menyebabkannya begitu kuatir, apalagi keterpelesetan banyak manusia, lebih-lebih yang mengakibatkan banyak nyawa melayang. Tanggungjawab sosial di hadapan manusia dan tanggung jawab teologis di hadapan Allah Swt itulah yang akan selalu dipertimbangkannya dalam membuat setiap kebijakan. Itulah yang seharusnya dilakukan para pemimpin.
Apa yang terjadi di negeri ini? Tanggungjawab sosial, apalagi tanggungjawab teologis, menjadi barang langka dan mewah. Kebijakan-kebijakan para pemimpin, seperti kritik Mantan Presiden RI ke-4 beberapa waktu lalu, tidak lagi mengindahkan dan berpihak pada nasib rakyat banyak. Akibatnya, rakyat yang seharusnya dilindungi malah menjadi korban. Itulah tanggungjawab sosial pemerintah atau negara yang harus ditagih.[]
*Pernah dipublikasikan www.gusdur.net
0 Comments:
Post a Comment
<< Home