Monday, July 17, 2006

Konsep Iman, Islam, Kufr, dan Ahli Kitab dalam Qur�n, Liberation & Pluralism

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSalah satu manifestasi (dan konsekuensi) meningkatnya kekakuan teologi Islam adalah pembakuan istilah-istilah seperti iman, Islam dan kufr. Istilah-istilah ini tidak lagi dipandang sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu; kualitas yang dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap hidup individu itu. Bahkan, istilah-istilah itu kini dipandang sebagai kualitas yang tertanam dalam kelompok, sebagai pagar karakteristik etnis. Cara istilah ini dipergunakan di dalam al-Qur’an dan beberapa literatur tafsir menunjukkan bahwa hubungan antara pemaknaan awal dengan penggunaannya saat ini telah agak berselisih. Meski beberapa aspek pemaknaan kontemporer berakar dari yang awalnya, ada aspek lain yang telah diabaikan sepenuhnya. = Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), hal. 156 =

A. Muqaddimah

Farid Esack, dalam Qur’an, Liberation and Pluralism yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, mencoba memberikan tawaran pada umat Islam dewasa ini, untuk melakukan reinterpretasi secara radikal terhadap istilah-istilah agama yang telah mengalami pembakuan dan pembekuan. Pembakuan dan pembekuan ini pada gilirannya akan kian mempersulit upaya mewujudkan keadilan. Karena itu, yang terjadi, istilah itu justeru akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Imân, Islâm dan kufr, menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis.

Untuk itulah, upaya membedah pikiran-pikiran – meminjam bahasa Farid Esack – progresif yang ditawarkannya perlu dilakukan secara kritis dan mendalam. Sehingga, hubungan keberagamaan yang saling menghargai dan menguntungkan satu sama lain bisa dikedepankan. Sebab, hanya dan hanya dengan model keberagamaan seperti inilah, harmonisasi antar berbagai pemeluk agama akan terajut dengan sangat indah memukau.

B. Sketsa Biografi Farid Esack

Farid Esack lahir pada 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, Afrika Selatan. Ia lahir dari seorang ibu yang ditinggalkan suaminya bersama lima orang anak yang lain. Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack lantas mau tidak mau harus memainkan peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu bagi enam anaknya yang masih kecil-kecil.

Karena keterbatasan perekonomian, tak jarang mereka mengemis meminta belas kasihan orang lain. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan.

Kenyataan-kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain. Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus , adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.

Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas. Esack juga seorang pengagum dan pengidola Abû Dzarr al-Ghifârî, bapak sosialisme Islam. Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja.

B. Pendidikan dan Aktivisme

Di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen. Terkait aktivitasnya, sejak usia 9 tahun Esack telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood). Esack juga berkesempatan menuntut ilmu di Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah al-‘Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang Hukum Islam.

Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan “tukang kredit” berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.

Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.
Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di mana ia sering menemui penindasan terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977, Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah.

Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.
Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.

Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nashrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi antara lain:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة: 120).

Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu” (QS al-Baqarah: 120).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة: 51).

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (QS al-Ma’idah: 51).

Hal inilah yang mendorong Esack mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci yang seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University Nortridge).

C. Gagasan tentang Imân, Islâm, Kufr, dan Ahli Kitab

1. Imân

Ketika berbicara tentang îmân, Farid Esack acapkali mengutip QS al-Anfâl: 2-4.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4). (الأنفال: 2-4).

Artinya: “Sungguh, mu’minûn adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka; dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya, semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan diri (2), yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah mu’minûn yang sebenar-benarnya. (3) Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (4). (QS al-Anfal: 2-4).

Menurut Esack, ayat diatas adalah yang paling eksplisit mendefinisikan kata mu’min. Meski mu’min di sini secara luas dimaknai sebagai “mu’min yang utuh”, ide tentang keutuhan atau ketidakutuhan îmân itu sendiri menunjukkan dinamisme konsep, dinamisme yang lebih jauh menggarisbawahi adanya îmân yang diperkuat dan dipertinggi. Teks ini juga merefleksikan hubungan antara îmân dengan amal saleh.

Esack juga memberikan definisi îmân, kendati banyak mengadopsi gagasan pemikir-pemikir sebelumnya, seperti al-Baidhawi, Lane, atau Fazlur Rahman. Menurut Esack, îmân merupakan bentuk verbal dari akar kata a-m-n yang merujuk pada pengertian “aman”, “mempercayakan”, “berpaling kepada”, yang dari sana diperoleh makna “keyakinan yang baik,” “ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan”. Bentuk amânah memiliki makna ganda “percaya” dan “menyerahkan keyakinan.” Dengan demikian, makna primernya adalah “menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati; bukan hanya di lidah.”

Pengertian îmân seperti ini, sebelumnya telah diberikan oleh E.W. Lane melalui kamusnya, Lane’s Arabic-English Lexicon. Dengan demikian, pemaknaan îmân model Esack tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan pemaknaan menurut Lane. Sebab, Esack dengan terang-terangan merujuk karya Lane itu. Selain itu, Esack juga mengutip pandangan-pandangan al-Baidhâwî. Esack menulis, dengan mengutip al-Baidhâwî, ketika a-m-n diikuti partikel bi, kata itu berarti “mengakui” atau “mengenali”. Kata ini juga dipakai dalam makna “percaya”, yaitu ketika orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang.

Esack kemudian menulis dengan mengutip Fazlur Rahman; menurut al-Qur’an, “îmân adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng terhadap cobaan.” Karena itu, lanjut Esack, melalui pemahaman atas QS al-Anfâl: 2-4 itu, setidaknya ada tiga tema pokok yang dapat diambil terkait persoalan îmân ini. Pertama, watak dinamis îmân. Kedua, kesalingterkaitan antara îmân dengan amal saleh. Dan ketiga, îmân sebagai respon personal kepada Tuhan.

Dalam karya agungnya, al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Esack mengulas cukup panjang tentang kontroversi fluktuasi îmân: apakah îmân dinamis atau justrru statis? Sebagai bentuk pembandingan, supaya mendapatkan gambaran yang utuh dan jernih tentang persoalan ini, disamping menuliskan argumen kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân, Esack juga menampilkan kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Setelah itu Esack baru memberikan pandangannya, kendati tetap jatuh pada salah satu kelompok yang “berseteru” itu. Ini merupakan keputusan wajar seorang penafsir.
Dalam bukunya ini, pertama-tama Esack menuliskan pandangan kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân. Esac menulis, kebanyakan penafsir berpendapat bahwa dalam kalimat “semakin kuatlah îmân mereka” yang semakin menguat adalah aspek penegasan dan kepuasan hati, bukan îmân itu sendiri. Al-Thabari mengatakan: “Ditambahkanlah pengakuan lebih banyak lagi pada pengakuan mereka saat itu.” Al-Zamakhsyarî mengatakan, “yang bertambah adalah keyakinan dan kepuasan di hati.” Al-Râzî menegaskan, yang bertambah itu kepastian, ketegasan, dan kesadaran (bukan îmân itu sendiri).

Esack kemudian membandingkan gagasan kelompok ini dengan kelompok yang berseberangan, yakni kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Sebagai wakil dari kelompok ini, Esack menampilkan Ibn ‘Araby (dari kalangan sufi), al-Thabathabai (dari kalangan Syiah), dan Râsyid Ridha (dari kalangan Sunni). Menurut Esack, ketiga tokoh terkemuka dari wakil kelompok yang berbeda-beda ini dengan cara yang berbeda-beda pula menerima ide bahwa îmân itu sendirilah yang bertambah. Ibn Araby menyebutnya sebagai “kemajuan dari tingkat pengetahuan menuju tingkat keyakinan.” Al-Thabathabai sepakat bahwa “cahaya îmân itu memancar secara berangsur-angsur ke dalam hati, dan intensitasnya meningkat sampai terang sempurna... îmân kemudian semakin bertambah dan tumbuh sampai pada tingkat keyakinan.” Sedang Ridha menafsirkan bertambahnya îmân sebagai “keyakinan (yang makin besar) untuk patuh, kuatnya kepuasan hati, dan kekayaan dalam pengenalan.” Ridha juga mengatakan, “sebenarnya îmân dalam hati itu sendirilah yang bertambah atau berkurang.”
Pertanyaannya kemudian, di mana posisi Farid Esack? Esack berdiri kokoh di tengah pandangan kelompok kedua yang mengakui dinamisasi dan fluktuasi îmân. Esack menulis, persoalan paling signifikan adalah bahwa îmân merupakan pengakuan pribadi dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi îmân ini mengimplikasikan bahwa îmân berfluktuasi dan dinamis. Esack kemudian merujuk setidaknya pada dua hadis: “îmân akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti” dan “îmân itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tiada tuhan selain Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. (Bahkan) kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.” Esack melanjutkan, meski sumber asli îmân adalah karunia dan kemurahan Tuhan, îmân tatap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh berbagai pengalaman sosial dan personalnya. Kemudian secara lebih tagas lagi Esack menyatakan, “semua ini membuktikan bahwa realitas tingkatan îmân lebih bisa diterima dibandingkan ide tentang îmân yang stabil dan tidak berubah.” Bagaimana kita menjelaskan posisi pemikiran Esack yang justeru berdiri di tengah kelompok kedua? Untuk menjawab pertanyaan ini, diskusi yang baik perlu kita lakukan.

Tentang îmân yang selalu terkait dengan amal saleh, seperti tergambar dalam QS al-Anfâl: 2-4 di atas, Esack menyatakan, îmân secara instrinsik terkait dengan amal saleh, entah sebagai bagian atau konsekuensi dari îmân. Esack kemudian mengutip ucapan Rahman, bahwa memisahkan îmân dari tindakan adalah absurd dan tak dapat diterima menurut pandangan al-Qur’an.

Lagi-lagi, Esack juga setuju dengan gagasan pemikir sebelumnya, Izutsu. Bahkan Esack mengatakan, penjelasan paling baik tentang hubungan ini adalah seperti yang dikatakan Izutsu: “Kaitan terkuat dari hubungan semantiknya mengikat shâlih (kesalehan) dan iman sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihah (amal saleh)...sehingga kita dapat dibenarkan jika mendefinisikan yang pertama dalam terma yang kedua, atau mengekspresikan yang kedua dalam terma yang pertama.”

Dalam kesempatan lain, terkait hubungan antara îmân dan amal saleh ini, Esack juga menulis sekaligus menyentil tradisi kaum muslim secara umum yang keimanannya tidak menjadikan dirinya peka terhadap realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Esack menyindir, îmân (keyakinan) kita seperti jubah dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid, sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan sipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak diantara kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam masjid atau daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli. Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya.

Dengan pernyataan ini, jelas bahwa Esack sangat menekankan teori keimanan yang diiringi praksis tindakan. Keimanan tak ada maknanya, tanpa diiringi tindakan nyata bagi kehidupan masyarakat. Keduanya harus dipadukan, laksana – meminjam bahasa Izutsu – benda dan bayangannya. Dan inilah sebenarnya, yang melatari Esack menulis buku al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme.

2. Islâm

Ketika mengulas terma Islam, mula-mula Farid Esack mengutip QS Ali Imrân: 19:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (ال عمران: 19).

Artinya: “Sungguh, dîn di sisi Allah hanya Islâm. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena dengki diantara mereka. Barang siapa menolak (yakfur) ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imrân: 19).

Menurut Esack, sebagai bentuk invinitif dari aslama, Islâm bararti “tunduk”, “menyerah”, “memenuhi atau melakukaan”. Dalam konteks kalimat “ia masuk ke dalam al-silm”, Islâm diartikan sebagai nama suatu agama. Istilah ini juga bermakna “rekonsiliasi”, “damai” atau “keseluruhan”. Dalam hal ini, secara tidak langsung memang, sebenarnya Esack “mengakui” dirinya banyak terpengaruh oleh pemaknaan yang tawarkan pemikir sebelumnya, seperti Rasyid Ridha, Amir Ali, dan Muhammad Ali. Kedua nama terakhir ini, oleh Esack diidentifikasi sebagai kaum liberal Muslim.

Esack menulis (dan menyetujuinya), Rasyid Ridha adalah satu-satunya yang membedakan secara eksplisit antara Islâm yang dilembagakan dengan yang tidak. Ridha berpendapat, penggunaaan al-Islâm dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut Muslim, masih relatif baru, dan didasarkan pada prinsip fenomenologi “agama sebagai apa yang dianut oleh para pemeluknya.” Islam sosial dan Islam adat, “yang beragam dan tergantung pada perbedaan yang terjadi pada penganutnya melalui penerimaan yang tidak kritis, tak ada hubungannya dengan Islâm yang sebenarnya, tapi sebaliknya menyimpang dari iman yang sejati.

Tentang pemaknaan Islam yang tidak sektarian, Farid Esack juga setuju dengan pandangan Cristian Troll. Troll misalnya, mengatakan: “Islâm primordial dan universal, yaitu penyerahan diri kepada Yang Absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan, di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang...Setiap respons tulus terhadap panggilan dari sang Misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan Islâm eksistensial dan personal.”

Dan jika ditelusuri lebih jauh, gagasan Esack tentang Islam ini sebenarnya banyak diwarnai oleh gagasan Jane Smith dalam karyanya, A Historical and Semantic Study of the Term ‘Islam’ as seen in Sequence of Qur’an Commentaries. Bahkan, jika kita menelaah secara seksama karya Esack al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, kita akan melihat betapa Jane Smith paling banyak dijadikan referensi gagasan Esack tentang term ini. Misalnya, Esack setuju dengan Smith yang memperlihatkan, bahwa arti yang asli dari Islâm terdapat dalam gabungan pemahaman individu dan kelompok. Dalam tafsir tradisional, Islâm adalah ketundukan individual sekaligus nama suatu kelompok. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan Jane Smith yang diadopasi (secara kritis?) oleh Esack dalam karyanya ini.

Yang menjadi persoalan dalam wacana dominan Muslim kontemporer, menurut Esack, adalah wacana itu didasarkan pada ide bahwa Islâm hanyalah Islam yang sudah dilembagakan. Di dalam teks yang menggunakan kata itu jelas terkandung makna personalis sekaligus kelompok. Esack lantas menganjurkan, supaya kedua pengertian itu ditampung dalam setiap upaya untuk membuat ruang bagi keduanya: pentingnya ketundukan pribadi dalam kerangka identifikasi kelompok, sekaligus kemungkinan ketundukan pribadi di luar parameter historis komunitas Muslim.

Esack juga menulis, meski QS Ali Imrân: 19 acap digunakan untuk menegaskan keutamaan Islam atas agama-agama lain, muatan universal dalam istilah Islâm memberi pemahaman bahwa teks itu ditujukan bagi siapa saja yang tunduk pada kehendak Tuhan. Dengan demikian, cakupan ini memasukkan agama-agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya, dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka. Karena itu, Esack setuju dengan ucapan Ridha yang menyatakan, Muslim yang sejati adalah yang tak ternoda oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apapun, dalam periode kapanpun, dan di tempat asal manapun.” Dari sinilah, gagasan Esack tentang pemaknaan asal Islam menjadi terurai dengan sangat nyata. Dan gagasan Esack – kendati banyak setuju dan mengadopsi gagasan pemikir muslim modernis sebelumnya – inilah yang mentahbiskan dirinya sebagai pemikir muslim progresif yang layak mendapat apresiasi tinggi.

3. Kufr

Dalam merefleksikan makna kufr, Esack berpijak pada QS Ali Imrân: 21-22.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِحَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (21) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ. (22). (ال عمران: 22).

Artinya: “Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfurûn) ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuh orang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkanlah bahwa mereka akan memperolah siksa yang pedih. (21). Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya, dan mereka sekali-kali tidak akan memperoleh penolong.” (22). (QS Ali Imrân: 21-22).

Menurut Esack, teks ini menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan yang sosiopolitis (keadilan). Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang pedih” dan hilangnya dukungan. Dan kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” adalah salah satu cara untuk menggambarkan kaum lain dalam al-Qur’ân, dengan memakai bentuk-bentuk dari kufr. Bentuk lain adalah kâfir, dan jamaknya kuffâr atau kâfirûn.

Dalam pemaknaan etimologisnya, Esack setuju dengan pemaknaan yang diberikan Ibn Mandzur dan Lane. Keduanya memaknai kufr dengan “menutup”. Kemudian kufr digunakan untuk penutupan sesuatu dengan niat untuk menghancurkannya. Namun – dalam hal ini Esack setuju dengan al-Baidhawi – pemaikaian awalnya yang paling lazim adalah “penutupan perbuatan baik” yaitu “tidak bersyukur.” Esack juga sepakat dengan Izutsu yang mengatakan, ketika Islâm diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim dengan penolakan terhadapnya. Seorang kâfir, dengan demikian, berarti “orang yang menerima kebaikan dari Tuhan, namun tidak bersyukur atau malah mengingkarinya.”

Izutsu juga menunjukkan, inti struktur (makna primer) term kufr bukan “tak percaya”, melainkan “tak bersyukur” atau “tak tahu berterima kasih”. Di dalam al-Qur’ân, kufr mendapat makna sekunder “orang yang tak meyakini Tuhan”, karena ia sering muncul sebagai lawan dari mu’min. Karenanya, Esack menuliskan, obyek kekufuran di dalam al-Qur’an seringkali berupa keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan, dan para nabi. Terkadang Esack juga mengaitkan kufr dengan penolakan untuk bermurah hati kepada orang lain.

Dalam tulisannya yang lain, Tauhid dan Pembebasan, Esack juga menulis: kufr bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan, tetapi juga sebuah pola perilaku. Kita tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid. Kita tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang lain). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko.

Karenanya, Esack berpesan, agar tidak terjadi perlakuan tidak adil terhadap mereka yang tidak berlabel “Muslim”, maka ada beberapa hal penting yang mesti diindahkan, antara lain, pertama, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islâm dan Mulim, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasi keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan ini. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kâfir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, namun memilih menolak mengakuinya. Ketiga, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kufr untuk menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, karena pertimbangan material (QS al-Anbiyâ’: 53; QS al-Syu’arâ’: 74; QS Luqmân: 21); ikatan kesukuan (QS al-Zukhruf: 22); dan karena Islâm akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak adil (QS Ali Imrân: 21).

4. Ahli Kitab

Salah satu masalah pokok yang diungkap al-Qur’ân ialah Ahli Kitab. Secara umum, kaum Yahudi dan Nashrani, adalah komunitas yang ditunjuk al-Qur’ân sebagai Ahli Kitab. Dua komunitas itu secara jelas diketahui memiliki persambungan akidah dengan kaum Muslim. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan Injil (kitab suci agama Nashrani) serta mengopreksi sebagian lainnya. (Lihat QS Ali Imrân: 3; QS al-Mâ’idah: 48; dan QS al-An’âm: 92).

Kendati demikian, sebenarnya al-Qur’ân sendiri memiliki konsep yang tidak selalu sama mengenai Ahli Kitab. QS Ali Imrân: 64 mengajak Ahli Kitab untuk mencari titik temu (kalimah sawâ’) dengan umat Islam. Mereka juga kelompok yang harus diperlakukan dengan baik (QS al-Ankabût: 46); sebagian dari mereka ada yang beriman kepada al-Qur’ân dan kitab-kitab lain (QS Ali Imrân: 113-115 dan 199); sebagian dari mereka juga ada yang mendapat kecaman dalam al-Qur’ân (QS al-Mâ’idah: 59, QS Ali Imrân: 69, QS al-Baqarah: 109); dan sembelihan dan wanita-wanita yang baik dari mereka halal bagi kaum Muslim (QS al-Mâ’idah: 5).

Terkait persoalan Ahli Kitab, Esack mengatakan, posisi al-Qur’an terhadap Ahli Kitab dan bahkan pengertian tentang siapa yang disebut Ahli Kitab itu berkembang dalam beberapa fase. Memang ada kesepakatan bahwa istilah ini selalu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang ditemui Nabi Muhammad selama misi kenabiannya. Al-Qur’an pada dasarnya hanya menyinggung perilaku dan keyakinan kaum Ahli Kitab yang benar-benar mengalami kontak sosial dengan masyarakat Muslim awal. Karenanya, menyamakan begitu saja kategori al-Qur’an tentang Ahli Kitab dengan kaum Yahudi dan Nashrani dalam masyarakat kontemporer, lanjut Esack, berarti mengabaikan realitas historis masyarakat Madinah, serta perbedaan teologis antara kaum Yahudi dan Nashrani yang dulu dan yang sekarang.

Melalui pernyataan ini, tergambar jelas dalam benak kita bahwa Esack mencoba melakukan pembedaan secara tegas antara Yahudi dan Nashrani secara historis yang ditemui Nabi Muhammad di Madinah – ini yang banyak disebut al-Qur’an sebagai Ahli Kitab – dengan Yahudi dan Nashrani yang hidup saat ini. Karena itu, pada kesempatan lain, Esack menyatakan: “ada beberapa masalah dalam membahas Ahli Kitab sebagai kelompok agama kontemporer yang dianggap sama dengan yang dimaksud al-Qur’an.” Esack sendiri tampaknya tidak terlalu mementingkan klaim-klaim Ahli Kitab atau bukan Ahli Kitab itu. Bagi Esack, yang jauh lebih penting adalah bagaimana hubungan antara pemeluk agama yang berbeda bisa terajut dengan harmonis, apakah itu dengan Ahli Kitab atau dengan pemeluk agama yang lain.

Sebab itu pula, pada kesempatan lain Esack menyatakan, untuk menghindari penyamarataan (gagasan Ahli Kitab—red) ini, dibutuhkan gagasan yang jelas dari sumber-sumber keyakinan mereka, dengan berbagai nuansanya, yang mencirikan berbagai komunitas yang bertemu dengan kaum Muslim awal. Dalam disiplin tafsir, sejarah, maupun pemikiran hukum Islam, sambung Esack, tak ada satupun yang mendekati konsensus tentang identitas Ahli Kitab. Yang ada justeru perselisihan soal kelompok spesifik mana dari Yahudi dan Nashrani yang digolongkan Ahli Kitab. Terkadang, kaum Hindu, Buddha, Zoroaster, Magian, dan Sabiin dimasukkan atau dikeluarkan dari golongan Ahli Kitab, tergantung kecenderungan teologis penafsir.

Gagasan Esack yang mencoba “membatasi” terma Ahli Kitab hanya pada kaum Yahudi dan Nashrani yang melakukan kontak sosial langsung dengan Nabi Muhammad, tampaknya bukan gagasan genuine dari Esack. Ternyata gagasan ini dapat kita runut persambungannya (selain pada ulama klasik tentunya, juga) pada gagasan Mohammed Arkoun. Menurut Arkoun, Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang harus dihadapi Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah. Mereka disebut sebagai pemilik wahyu yang lebih awal, orang-orang yang dikasihi Allah sama dengan orang-orang Muslim, yang telah menerima wahyu yang baru. Karena itu pula, untuk menjembatani terma Ahli Kitab yang sudah tidak memadai untuk konteks saat ini, Arkoun lantas menawarkan terma baru Masyarakat Kitab. Sedang Esack sendiri tampaknya tidak menawarkan terma baru sebagaimana Arkoun.

Yang jelas, seperti dikatakan Esack, al-Qur’an secara khusus mengakui Ahli Kitab sebagai komunitas sosioreligius yang sah. Ada sejumlah petunjuk di dalam al-Qur’an tentang legitimasi esensial ini. Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan:

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ. (المؤمنون: 52).

Artinya: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu.” (QS al-Mu’minûn: 52).

Kedua, dalam dua bidang sosial yang penting, makanan dan perkawinan , sikap murah hati al-Qur’ân terlihat jelas: makanan “orang-orang yang diberi kitab” dinyatakan sebagai sah (halâl) bagi kaum Muslim dan makanan kaum Muslim sah bagi mereka (QS al-Mâ’idah: 5). Demikian pula pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Mâ’idah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara sangat eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.

Menariknya, menurut Esack, teks QS al-Mâ’idah: 5, menyebut wanita Ahli Kitab dengan cara yang sama dengan wanita beriman:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ. (المائدة: 5).

Artinya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu.” (QS al-Maidah: 5).

Ayat ini menunjukkan, aturan kebolehan ini berkaitan dengan dinamika sosial komunitas Muslim awal dan dengan kebutuhan akan kepaduan komunitas.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nashrani diakui (QS al-Mâ’idah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi Muhammad ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka (QS al-Mâ’idah: 42-43).

D. Khatimah

Maulana Farid Esack acap berpesan: “Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan panggilan kaum tertindas sama dengan mengabaikan penggilan Allah.” Jelas, ini ungkapan yang sakral bagi Esack dan mendasari seluruh bangunan pemikirannya. Dalam seluruh pernik-pernik gagasannya, Esack selalu menekankan keberiringan hubungan antara langit (baca: Tuhan) dengan bumi (baca: makhluk) atau dalam bahasa yang lain antara keimanan dengan amal saleh. Dan runutan gagasan ini, bisa disibak melalui sejarah hidupnya sebagai orang yang tertindas.

Sebab itu pula, semua gagasannya bisa dibaca secara utuh melalui perspektif seorang tertindas yang ingin melakukan pemberontakan atas ketertindasannya. Itu pulalah yang menyeret takdir dirinya sebagai pemikir muslim progresif. Kam min fiatin qalîlatin ghalabat fiatan katsîratan bi idznillâh. Pun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan dalam-dalam, ternyata kebesaran seseorang – dalam hal ini Esack – tidak bisa serta-merta dilepaskan dari “bayang-bayang” kebesaran orang-orang sebelumnya. Wa Allâh al’lam.[]

E. Referensi

1. Referensi Buku
al-Baidhawi, Majmu’ah min al-Tafasir, Beirut, Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Tth.
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’ân dan Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
Al-Syaukanî, Fath al-Qadîr, Beirut, Dâr al-Fikr, 1973.
Burhanuddin, Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid Esack dan Charles Kurzman Tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu Yang Diciptakan, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatulah.
Cristian Troll, The Qur’anic View of Other Religions: Grounds for Living Together, Ttp, 1987.
Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Bandung, Mizan, 2000.
Farid Esack, On Being a Muslim, Yogyakarta, Ircisod, 2003.
Farid Esack, Tauhid dan Pembebasan, dalam Jurnal al-Huda, Vol. II, No. 6, 2002.
Irwandi, Membaca Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah.
Marzuki Wahid, Nomenklatur Islam: Problem Hermeneutika al-Qur’an dan Fakta Historis dalam dimuat Jurnal al-Burhan, No. 6, tahun 2005.
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur’ân, terj. Machasin, Jakarta, INIS, 1997.
Mohammed Arkoun, Pemikiran tentang Wahyu: Dari Ahli Kitab Sampai Masyarakat Kitab, dalam Jurnal Ulûm al-Qur’ân No. 2, Vol. IV, 1993.
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Beirut, Dâr al-Fikr, Tth.
Nurcholish Madjid, Fikih Lintas Agama, Jakarta, Paramadina, 2004.
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Atas Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000.
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal, McGill University Press, 1966.

2. Referensi website

http://www.gusdur.net/
http://www.republika.co.id/
http://www.islamlib.com/
http://swaramuslim.net/.
http://www.qalam-online.com/

1 Comments:

At 3:02 AM, January 10, 2020, Blogger Amisha said...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

 

Post a Comment

<< Home