Monday, July 17, 2006

al-Ibriz Li Ma'rifah Tafsir al-Qur'�n al-Aziz Tafsir Berbahasa Jawa Karya KH Bisri Musthofa

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSatu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal , adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas.

Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren di Jawa.

Hanya saja, karya tafsir ini tidak disebut sama sekali dalam karya Howard M Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, yang mengulas sejarah perkembangan tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia. Padahal buku ini merupakan salah satu rujukan lengkap dan penting, kendati tidak detail dan kurang tajam, terkait perjalanan kajian al-Qur’an di Indonesia. Buku ini membicarakan karya tafsir dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab.

Mengapa karya tafsir Kiai Bisri yang lengkap 30 juz ini tidak disebut dalam analisis Howard? Ada asumsi, Howard hanya mengkaji karya tafsir yang berbahasa Indonesia belaka. Mau tidak mau, tafsir berbahasa Arab seperti Marah Labid karya Syeikh Nawawi al-Bantani dan berbahasa Jawa seperti al-Ibriz karya KH Bisri Musthofa ini tereleminasi dari analisisnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa dua karya tafsir yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kajian al-Qur’an di Indonesia ini tidak turut dianalisis Howard?

Lebih Dekat dengan KH Bisri Musthofa

KH Bisri Musthofa, nama kecilnya Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah.
Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi.

Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam.

Tokoh Tiga Zaman

KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU.

Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto.

Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye.

Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya.

Dari Kasingan ke Kasingan

Semula, Mashadi (nama kecil Kiai Bisri) tidak berminat sama sekali belajar di pesantren, tapi toh akhirnya nyantri juga di sana. Mashadi pertama kali mengenal pesantren usai tamat sekolah Ongko Loro, karena kakaknya, H Zuhdi, pernah mengirimnya ke pesantren asuhan Kiai Chasbullah di Kajen untuk mengaji pasanan. Di sana Mashadi tidak kerasan dan baru tiga hari pulang kembali ke rumah. Begitu juga ketika disuruh mengaji di pesantren Kiai Kholil di Kasingan (kelak menjadi mertuanya), tetangga desanya di Rembang, Mashadi kembali ogah-ogahan.
Apa yang menyebabkan Mashadi selalu berusaha menghindari dunia pesantren? Dalam pandangan Mashadi, pelajaran di pesantren sangatlah sulit dan rumit, terutama pelajaran nahw dan sharaf. Karenanya, Mashadi malas belajar di pesantren. Selain itu, Kiai Kholil, Pengasuh Pesantren Kasingan, dalam pikiran Mashadi waktu itu, terkesan angker, galak dan menakutkan. Bagi Mashadi, lebih baik tidak usah mengaji di pesantren dari pada nanti terkena pukulan kiai.

Keinginan Mashadi sendiri saat itu bukanlah mengaji di pesantren, malainkan bekerja mencari uang. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat di daerahnya mayoritas pedagang. Kakaknya, H Zuhdi, membuka toko cukup besar. Kakak iparnya, H Mukhtar adalah pedagang batik terkenal di pasar Rembang, pasar Sulang, dan pasar Kaliori. Namun demikian, setelah beberapa waktu berhenti dalam kebimbangan, Mashadi akhirnya kembali lagi ke pesantren Kasingan. Kali ini dengan jurus baru. Untuk penyesuaian diri, Mashadi sementara waktu tidak ikut mengaji langsung pada Kiai Kholil. Bukan takut pukulannya, tapi untuk belajar terlebih dahulu secara diam-diam pada santri senior bernama Suja’i, yang tak lain ipar Kiai Kholil sendiri. Tak tanggung-tanggung, Mashadi langsung mengaji kitab Alfiyyah Ibn Malik, kitab nahw berbentuk seribu(an) nadham.

Mashadi berhasil dan mendapat perhatian istimewa dari kiai dan teman-teman santrinya. Mashadi selalu duduk di depan dan paling pintar dalam setiap majlis pengajian nahw. Sejak itulah, kehadiran Mashadi mulai diperhitungkan. Bahkan teman-temannya, mempercayai Mashadi sebagai pengulang pelajaran kiai dan lurah pondok. Pada Juni 1935, Kiai Kholil mengawinkan Mashadi yang masih berusia 20 tahun, dengan puterinya, Ma’rufah bint Kholil, yang baru berumur 10 tahun. Sebagai menantu kiai, Mashadi dituntut untuk menjadi pengajar. Kenyataan ini membuat Mashadi bingung, karena banyak santri yang minta dibacakan kitab ini atau kitab anu. Padahal Mashadi sendiri belum pernah tahu wujudnya, apalagi mengajinya.

Prinsip belajar candhak kulak (belajar sambil mengajar) pun dilakoninya. Mashadi belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab di Karanggeneng pada Kiai Kamil. Hasil musyawarah itu dibacakan besok paginya di depan para santri di Kasingan. Karenanya, jadwal mengaji di Kasingan sangat tergantung pada jadwal di Karanggeneng. Kalau Karanggeneng libur misalnya, pengajian di Kasingan pun otomatis turut libur. Itu berarti Mashadi kehabisan bahan.

Lama kelamaan, Mashadi tidak betah dengan model candhak kulak ini. Mashadi pun berkeinginan meninggalkan Rembang. Yang penting bagi Mashadi adalah pergi dari ‘bumi panas’ Ponpes Kasingan. Karenanya, saat musim haji tiba, Mashadi nekat pergi ke Makkah dengan uang tabungan dari hasil jual kitab Bijuraimi Iqna’. Menjelang rombongan pulang ke Tanah Air, Mashadi teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan pengetahuan pas-pasan. Mashadipun memutuskan tidak turut pulang dan tiketnya dijual.

Bersama dua temannya, Suyuti Kholil dan Zuhdi dari Tuban, Mashadi bermukim di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Selama setahun di sana, Mashadi berguru kepada Kiai Bakir, Syeikh Umah Hamdan al-Maghribi, Syeikh al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath, Sayid ‘Alawi, dan Kiai Abdul Muhaimin. Dan pada musim haji berikutnya, Mashadi baru kembali ke Tanah Air.

Kiai-Penulis yang Produktif

Sejarah hidup Mashadi, selanjutnya disebut Kiai Bisri, memang menarik. Bukan saja karena Kiai Bisri seorang ulama, politisi, pengarang, dan sastrawan, tapi juga kehidupannya yang tidak seperti kebanyakan kiai di Jawa. Kiai Bisri dinilai agak ‘aneh’ dalam beberapa hal. Misal pandangannya tentang keikhlasan. Menurutnya, keikhlasan tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir bersamaan dengan kondisi ketika seseorang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan dalam menuntut keikhlasan. Misalnya, seseorang dipaksa ikhlas seusai bekerja, tanpa imbalan jelas. Ini, menurutnya, tidak lebih dari pemerkosaan terhadap muatan ikhlas.

Mengapa seseorang lamban dalam berprestasi? Sebabnya antara lain, karena ia merasa malu menghitung ikhtiarnya dalam ukuran ekonomi. Dalam hal ini, Kiai Bisri tidak segan-segan memberi muatan ikhlas dengan perhitungan yang jelas secara ekonomis. Kiai Bisri ingin berkarya secara professional dan dari sinilah lahir dorongan untuk terus berkarya. “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, sangat wajar,” katanya pada suatu kesempatan kepada KH. Ali Ma’sum dari Krapyak.

“Pak Bisri, Sampean pergi-pergi melulu. Kapan sampean sempat ngajar santri?” protes Kiai Ali Ma’sum suatu saat. “Meskipun saya tidak mengajar, sesungguhnya para santri mengaji pada saya, termasuk santri Sampean,” jawab Kiai Bisri enteng. Buku-buku karangan Kiai Bisri memang banyak dibaca para santri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kiai Bisri juga relative jarang di rumah untuk mengajar para santri di pesantrennya. Sebagai seorang muballigh terkemuka, Kiai Bisri sering berdakwah keluar daerah, karena tidak tega menolak permintaan masyarakat yang mengundangnya berdakwah. Untuk itulah Kiai Bisri punya target ideal dengan menulis karya-karyanya. Selain mendapat akhirat, ekonomi juga didapatkannya. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak, bukan hanya tanggung jawab, tapi keharusan yang berpahala.

Karya Kiai Bisri tidak kurang dari 25 buah judul, baik, terjemahan, nadm/syi’r, maupun esai. Dan karyanya, dalam banyak hal, ditujukan pada dua obyek. Pertama, kelompok santri di ponpes. Karya-karya ini berupa Ilmu Bahasa Arab, terutama nahw, sharaf, manthiq, dan balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan. Karya-karya untuk mereka lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis terkait ‘ubudiyyah.

Seputar al-Ibriz

Karya tafsir Kiai Bisri Musthofa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah.

Oleh penulisnya, seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya.

Kiai Bisri menuturkan, ‘Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya. Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu.

Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang.

Metodologi Penulisan al-Ibriz

Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa, pemakalah hanya mengikuti apa yang telah dinyatakannya. Kiai Bisri menegaskan, metode penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut:
a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa.
b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.
c. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain.

Apa yang ditegaskan Kiai Bisri ini, bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan dalam terhadap al-Ibriz ini, utamanya berkaitan dengan sistematika penulisannya. Untuk point a dan b, pemakalah tidak kerepotan mendeteksinya, karena keduanya tak terlalu jauh berbeda. Fungsinya mirip. Point b merupakan elaborasi bebas dari point a. Tapi untuk point c, hingga kini pemakalah masih belum memiliki kejelasan yang clear, apa yang Kiai Bisri maksudkan dengan kategori tanbih, faidah, qishshah atau muhimmah. Pun fungsi dari masing-masing kategori itu, belum tertemukan jawabannya. Ini karena Kiai Bisri tak pernah menjelaskannya. Kabut penasaran akhirnya terus menggelayuti benak pemakalah.
Selain itu, berdasarkan penelitian ‘prekok’ yang pemakalah lakukan, cukup banyak ‘kerancuan’ atau ketidakpastian perihal penggunaan ketiga kategori itu. Kategori faidah yang mulanya pemakalah asumsikan sebagai ruang penyebutan sabab nuzul al-ayat, ternyata tidak selamanya benar. Terbukti, terkadang sabab nuzul al-ayat juga disebutkan pada kategori muhimmah, tanbih, atau kategori yang lain. Misalnya, kategori faidah pada juz xv/847 memang digunakan untuk menuturkan sabab nuzul al-ayat Qs. al-Isra’ ayat 45.

Tapi di kesempatan lain, pada juz xv/874, kategori tanbih juga digunakan untuk menyebutkan sabab nuzul al-ayat, yakni Qs. al-Isra’ ayat 111. Sabab nuzul al-ayat terkadang juga disebutkan pada kategori muhimmah, seperti pada juz xv/894, terkait Qs. al-Kahf ayat 28. Pun sabab nuzul al-ayat tak jarang disebutkan pada kesempatan-kesempatan lain di luar ketiga kategori itu. Misalnya pada juz xv/891 terkait Qs. al-Kahf ayat 23. Ketidakpastian seperti inilah yang memunculkan kerancuan dalam diri pemakalah.

Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Karenanya, pemakalah berani menyimpulkan, bahasa Jawa yang digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus).

Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko digunakan tatkala Kiai Bisri menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada keterkaitan dengan cerita tertentu dan tidak terkait dengan dialog antar dua orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan untuk mendeskripsikan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak memiliki status sosial berbeda. Satu di bawah dan lainnya di atas. Satu hina dan lainnya mulia. Misalnya, deskripsi dialog yang mengalir antara Ashab al-Kahf dengan Raja Rumania yang lalim, Diqyanus, antara Qithmir (anjing yang selalu mengiringi langkah Ashab al-Kahf) dengan Ashab al-Kahf, antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy bernama Uyainah bin Hishn, antara Allah SWT dengan Iblis yang enggan menuruti perintah-Nya untuk bersujud pada Adam AS, juga antara Khidir AS dengan Musa AS.

Kiai Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya. Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi a la Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya.

Pertanyaan selanjutnya: metode apakah yang ditempuh Kiai Bisri dalam menyusun karya tafsirnya ini? Berdasarkan analisis yang pemakalah lakukan secara ‘ijmalistis’ alias global dan tidak mendetail ini, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah tahlili. Cocok juga disebut sebagai al-tahlili al-wajiz, seperti halnya Tafsir al-Jalalain. Dan tak salah juga disebut ijmali. Sedang manhaj-nya tak lain adalah al-ma’tsur.

Kasus Penafsiran dalam al-Ibriz

Perihal penafsiran Kiai Bisri dalam karya tafsirnya ini, pemakalah akan memberikan beberapa contoh penafsirannya secara acak. Misalnya terkait Qs. al-Isra’ ayat 23, KH Bisri menulis, ‘Allah Ta’ala wus perintah supoyo siro kabeh ora nyembah kejobo namung marang Panjenengan Dewe, lan supoyo ambeciki marang wong tuwo loro, ateges ngabekti marang bopo biyung. Lamun salah suwijine wong tuwo loro utowo karo pisan wus tuwo, tur dadi tanggungan iro, ojo pisan-pisan siro ngucap marang deweke: ‘opo’ utowo ‘hush’. Lan siro ojo nyentak marang wong tuwo loro. Ngucapo marang wong tuwo loro sarono pangucap kang bagus, alus’.

(Allah Swt telah memerintahkan, supaya kamu semua tidak menyembah selain-Nya dan supaya berbuat baik kepasa kedua orang tua, maksudnya berbakti kepada ibu-bapak. Jika salah satu dari atau keduanya sudah lanjut usia, dan menjadi tanggunganmu, maka jangan sekali-kali kamu berkata; ‘apa’ atau ‘hush’. Kamu jangan membentak keduanya. Berkatalah pada keduanya dengan perkataan yang baik, halus).

Terkait Qs. al-Isra ayat 29, Kiai Bisri menulis, ‘Tangan iro ojo siro belenggu oleh gulu iro, ateges medit ora infaq babar pisan, lan iyo ojo iro beber babar pisan, mundak-mundak siro dadi wong pinahidu [meryo ora aweh babar pisan] utowo dadi getun ora duwe opo-opo [mergo olehe infaq dikabehaken].’

(Tanganmu jangan kamu belenggukan pada leher, maksudnya pelit tidak berinfaq sama sekali, pun jangan kamu umbar sama sekali, nanti kamu menjadi orang yang dicela (karena tidak memberi sama sekali) atau menjadi menyesal tidak punya apa-apa [karena diinfakkan semua]).

Misalnya lagi, terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis: Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus.

Tanbih: wa la tajhar bi shalatika. (Tentang) firman bi shalatika ini ulama berbeda pendapat. Menurut shahabat Ibn Abbas, penafsiran shalatika itu membaca al-Qur’an. Saat itu Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga tidak bagus. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

Tentang penafsiran shalatika ini Kiai Bisri memang ‘mengekor’ kepada ulama sebelumnya, yaitu Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah. Namun ketika persoalan larangan mengeraskan bacaan al-Qur’an atau do’a itu dikontekkan pada saat ini, Kiai Bisri memberi ramuan penafsiran yang berbeda. Menurutnya, jika saat ini pembacaan al-Qur’an secara keras tidak menjadi sebab bagi orang-orang kafir menjelek-jelekkan al-Qur’an dan Allah Ta’ala, maka hukum pelarangan itu menjadi hilang. Dalam hal ini, Kiai Bisri paham betul kaidah fikih, al-hukm yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-amkan wa al-ahwal atau idza wujidat al-‘illah wujida al-hukm wa in intafat al-‘illah intafa al-hukm.

Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat

Ketika menafsirkan Qs. al-Rahman ayat 27 yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika dzu al-jalali wa al-ikram, Kiai Bisri menafsirkan, ‘Sekabehane kang ana ing bumi (hewan-hewan lan liya-liyane) kabeh rusak. Lan tetep ora rusak Dzate Pangeran ira kang kagungan sifat kahagungan lan mulyaakan marang wong-wong mukmin.’ (Semua yang ada di bumi [hewan-hewan dan yang lainnya], semua hancur. Dan Dzat Allah SWT yang memiliki sifat agung dan memuliakan kaum mukmin tidak hancur.)

Terkait Q.s al-Qashshash ayat 88 yang berbunyi wa la tad’u ma’a Allah ilahan akhara la ilaha illa huwa kullu syai’in halikun illa wajhahu lahu al-hukmu wa ilaihi turjaun, Kiai Bisri menuliskan, ‘Siro ojo nyembah bareng-bareng karo nyembah Allah. (Ojo nyembah) sesembahan liyo, ora ono Pangeran kang hak disembah kejobo namung Allah ta’ala dewe. Sekabehane opo bae iku mesti rusak kejobo Panjenengane Allah. Iku namung kagungane Allah ta’ala dewe sekabehane putusan kang lestari. Lan namung marang Panjenengane Allah dewe siro kabeh bakal dibalekake (sowan, tangi sangking kubur banjur podo ngerasaake walese Pangeran dewe-dewe)’.

(Kamu jangan menyembah Allah dengan disertai menyembah selain-Nya. Jangan menyembah sesembahan lain. Tidak ada Pangeran [Tuhan] yang hak disembah kecuali Allah saja. Apapun yang ada pasti hancur kecuali Dzat Allah. Keputusan yang abadi hanya kepunyaan Allah. Dan hanya pada Allah lah kalian semua akan dikembalikan [bangun dari kubur lantas masing-masing merasakan balasan Tuhan]). Wa Allah a’lam.
Sedang terkait Qs. al-Zumar ayat 67 yang berbunyi, wa al-samawatu mathwiyyatun bi yaminih, Kiai Bisri mengartikannya ‘utawi piro-piro langit iku dilempit kelawan asto tengene Allah.’ (Langit dilipat dengan tangan kanan Allah). Lantas Kiai Bisri menafsirkan, ‘Langit-lagit dilempit, dikumpulaken serana kakuasaane Allah Ta’ala.
Itulah beberapa kasus penafsiran dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz karya Kiai Bisri Musthofa, ayahanda al-marhum KH Cholil Bisri dan KH A Musthofa Bisri. Dan masih banyak kasus penafsiran lain yang tak kalah menarik dan patut dielaborasi lebih jauh pada kesempatan lain. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.[]

2 Comments:

At 7:01 AM, April 09, 2010, Blogger Ki Nikikulo said...

AsWW, salam taklim mugi katur ki Sanak Nurul Huda Maarif, nyuwun pirsa al-Ibriz anggitanipun Kiai Bisri Musthofa punika saged dipun tumbas ing pundi? Hangaturaken gung ing panuwun paringanipun alamat. Salam, Goenarjo

 
At 9:17 PM, April 11, 2010, Anonymous Anonymous said...

Salam Kang Goen

Kulo rumiyen nitip rencang saking Kudus. Kadosipun tumbas teng Menara Kudus. Mugio enggal angsal kitab engkang katah berkahipun puniko. Matur suwun.

Nurul H Maarif
www.pondokbacaqifalah.blogspot.com)

 

Post a Comment

<< Home