Menghapus Citra Ibadah Berdarah
Oleh Nurul Huda Maarif
Musim haji 1426 H, kembali ’menumbal’ nyawa. Sedikitnya 358 jamaah haji tewas di Mina, saat ritual lempar jamrah, akibat berdesakan dan terinjak, 12 Januari 2006 lalu. Sepekan sebelumnya, 5 Januari, tak kurang 76 jamaah tewas tertimpa runtuhan Hotel al-Rayahin dekat Masjid al-Haram. Pada musim haji kali ini, total 434 nyawa melayang sia-sia. Ini di luar yang meninggal lantaran sakit atau kelelahan.
Tregedi haji, seakan ’ditakdirkan’ untuk terus terjadi tiap musim haji. Di mana ada musim haji, di situ ada tragedi kematian, terutama saat ritual lempar jamarah. Yang terparah misalnya, terjadi pada 2 Juli 1990. Sedikitnya 1426 jemaah haji tewas, akibat terperangkap dalam terowongan Mina.
Kenyataan-kenyataan di atas membuktikan secara sharih (gamblang), bahwa hingga detik ini, penyelenggaraan ritual haji tak steril dari tragedi maupun kecelakaan yang berakibat meregangnya ribuan nyawa. Kondisi mengkhawatirkan ini meniscayakan adanya reformasi secara radikal perihal penyelenggaraan haji yang ‘bebas musibah’, sehingga jamaah haji yang niatan awalnya untuk menjalankan ritual keagamaan secara aman dan tenteram, bukan malah disibukkan bertempur untuk menyelamatkan nyawanya. Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu kekhusyu’an prosesi ritual para jamaah itu sendiri.
Untuk itu, banyak persoalan yang perlu ditinjau dan ditata ulang terkait penyelenggaraan ritual haji ’bebas musibah’ ini, sebelum ’tumbal-tumbal’ lain menyusul. Pertama, tinjauan ulang soal waktu pelaksanaan ritual haji. Gagasan Direktur P3M Masdar F. Mas’udi yang sangat kontroversial pada awal tahun 1990-an, barangkali bisa diajukan. Kala itu Masdar ’berspekulasi’ atau ’berandai-andai’, umpama waktu penyelenggaraan haji tidak disempitkan hanya pada bulan Haji atau Dzulhijjah yang terbatas hanya lima hari (9-13 Dzulhijjah), maka tragedi jamarat tak akan pernah terjadi.
Dengan merujuk Qs. al-Baqarah 2: 197, Masdar menafsir, haji sah dilaksanakan sepanjang tiga bulan yang disebut sebagai asyhurun maklumat (bulan-bulan yang diketahui), yaitu Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Menurut Masdar, sebelumnya gagasan ini pernah juga digulirkan seorang Jenderal di Mesir, waktu pelaksanaan haji tak ubahnya waktu pelaksanaan shalat yaang bersifat muwassa’ (waktunya luas). Mengerjakan shalat paling lama kira-kira sepuluh menit, tapi waktu yang disediakan untuknya bisa berjam-jam. Pelakunya tinggal memilih waktu mana yang disukai, karena di sana ada waktu jawaz (waktu boleh) dan afdhal (waktu utama). Ibadah hajipun demikian, ada waktu jawaz dan ada waktu afdhal.
Hanya saja memang, opsi yang dinilai ekstrim, misalnya oleh Ahmad Tohari dalam tulisannya Matematika Haji ini, tak akan mudah terlaksana. Cost-nya akan sangat tinggi dan mahal, karena hal ini menyangkut persoalan keyakinan yang sudah mengakar sekian abad lamanya dan telah tertancap kuat di dada jutaan kaum muslim dunia. Karenanya, tawaran ini dirasa mustahil untuk diejawentahkan. Tapi tidak menutup kemungkinan, pada saatnya nanti, gagasan ini bisa diterima masyarakat muslim dan diterapkan secara luas, tentunya jika mereka secara mayoritas telah menerima gagasan ini. Masdar dan pengikut mazhabnya harus berjuang keras untuk itu.
Kedua, pembatasan quota haji. Pembatasan ini perlu ditempuh secara tegas, baik oleh pemerintah penyelenggara haji maupun pemerintah ’pengirim’ jamaah haji, karena hingga kini ketegasan itu tidak nampak sama sekali. Dengan pembatasan tegas ini, diharapkan antara jumlah jamaah haji dengan sarana haji yang ada, seperti di Jamarat Mina, akan terjadi keseimbangan. Sehingga kemungkinan menumpuknya jamaah haji yang berakibat desak-desakan dan berujung kematian akan terkurangi. Karenanya, target kian banyak jamaah haji, kian banyak ’pendapatan’ yang dapat diraih, harus dienyahkan. Ini untuk kemaslahatan bersama.
Kendati demikian, pembatasan quota ini bukan berarti tanpa cost. Tetap saja akan banyak kaum muslim kecewa, karena pembatasan itu. Perebutan kursi pun pasti akan terjadi sangat alot. Tapi apa boleh buat, kebijakan ini harus diterapkan, hatta secara ’paksa’ sekalipun. Sebab dengan jalan inilah, ke-mudharat-an yang lebih besar seperti tragedi Mina baru lalu itu akan terhindarkan. Kaidah ushul fiqih menegaskan, idza ta’aradhat al-mafsadatani ru’iya a’dhamuhuma dhararan bi artikabi akhaffihima. Jika dua ’kerusakan’ saling berhadapan, maka kerusakan yang paling serius harus menjadi pertimbangan utama, dengan mengerjakan kerusakan yang terkecil. Dalam kontek ini, ada dua pilihan yang sama-sama pahit. Quota dibatasi atau membiarkan tragedi Mina terulang? Cost terendah, yaitu membatasi quota haji dengan konsekuensi banyak masyarakat kecewa, itu yang harus ditempuh ketimbang membiarkan tragedi hilangnya nyawa itu terulang.
Ketiga, pengetatan kreteria calon jamaah haji. Umpamanya, haji baru boleh dilaksanakan oleh calon jamaah yang telah berusia di atas 17 tahun. Sebab selama ini banyak jamaah haji yang sebenarnya belum terkena kewajiban secara syar’i. Ketegasan pemerintah juga diperlukan terkait fenomena ’kemaruk’ ibadah haji. Terbukti, banyak calon jamaah haji yang telah haji berkali-kali, tetap diloloskan untuk yang kesekian kalinya. Perilaku ini, selain zalim karena menghilangkan kesempatan calon jamaah yang belum pernah berhaji, juga akan berdampak kian kentalnya kesenjangan sosial di masyarakat.
Padahal uang itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar, seumpama membantu korban bencana alam, banjir, busung lapar, DBD, dan sebagainya. Itu jelas akan lebih berguna karena berdampak sosial. Ajaran Islam menegaskan, al-muta’addy afdhal min al-qashir. Ibadah yang manfaatnya dirasakan oleh pelaku dan orang lain, itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunnya belaka. Dengan demikian, membantu orang lain yang membutuhkan lebih utama ketimbang haji berkali-kali.
Dengan mempertimbangkan point-point di atas, diharapkan – pinjam bahasa Ahmad Tohari – ibadah haji tidak tercitra sebagai ibadah yang berdarah-darah.Wa Allah a'lam.[]
1 Comments:
Ya perlu di laksanakan kempen Keselamatan Para Hujjaj...supaya semua selamat dan sejahtera menunaikan ibadah haji. Mungkin OIC kena fikirkan.
Post a Comment
<< Home