Thursday, July 20, 2006

Berebut Massa Lewat Media

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulLaki-laki yang gemar mengenakan jubah itu terlihat hadir lebih awal di Masjid Pertamina Cirebon, Jawa Barat. Ia, Prof. Dr. KH. Salim Bajri, Jum’at itu bertugas sebagai khatib. Di sela waktu sebelum naik mimbar, tanpa disengaja, Guru Besar Tafsir al-Qur’an Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Sunan Gunung Jati Cirebon itu mendapati buletin Warkah al-Basyar.

Sejurus kemudian, Sekretaris Umum Forum Ulama Indonesia (FUI) Jawa Barat yang juga penasihat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu mendatangi Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Pertamina untuk menegurnya. Intinya, ia tidak setuju jika Warkah al-Basyar ‘menyusup’ ke masjid-majid di wilayah Cirebon, termasuk masjid Pertamina.

“Melihat ada Warkah al-Basyar di Masjid Pertamina itu, Salim Bajri langsung minta ke DKM agar tidak membagikannya ke jamaah,” tutur Pemimpin Redaksi Warkah al-Basyar, Rosidin.

Rosidin menceritakan, ketidaksetujuan Salim Bajri itu lantaran Warkah al-Basyar yang diterbitkan oleh Fahmina Institute, dinilainya telah meracuni umat melalui pikiran-pikiran yang ‘bertentangan’ dengan Islam, melecehkan ayat-ayat al-Qur’an, dan bahkan didanai Yahudi. “Ketika berkhutbah di atas mimbar, Salim Bajri menyampaikan semua ini ke jamaah,” ujarnya.

“Dia juga mengutip Fatwa MUI soal keharaman pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Intinya, jamaah diminta untuk berhati-hati pada keberadaan Warkah al-Basyar. Bahkan Salim Bajri menganjurkan, jika menemukan buletin ini supaya dibuang saja ke tempat sampah atau dibakar,” imbuhnya.

Dikatakan Rosidin, apa yang terjadi di Masjid Pertamina itu hanya satu dari banyak kasus serupa. “Di beberapa masjid Cirebon, juga terjadi hal yang sama. DKM-DKM sebetulnya tidak mempermasalahkan. Hanya saja, ada kelompok Islam tertentu yang secara serius mengampanyekan pelarangan membaca Warkah al-Basyar,” keluhnya. “Syukurnya distribusi kita masih terus jalan,” imbuhnya.

Penerbitan buletin yang kini beroplah 14.000 ini, imbuhnya, berangkat dari kajian keislalaman yang dilakukan Fahmina Institute akhhir 2001. “Kita berfikir supaya kajian itu tidak hilang dan dapat dibaca orang. Karenanya, kita bikin buletin yang disebarkan ke masjid-masjid, pesantren-pesantren, majelis taklim, forum lintas agama, dan sebagainya. Pada 2003 kita sebar ke Kuningan, Indramayu, Majalengka, dan Cirebon sendiri,” katanya.

Melalui buletin yang terbit dwimingguan ini, pihaknya berambisi mentransformasikan sisi ajaran kemanusiaan Islam yang tidak hanya ada di ruang-ruang diskusi. “Kita ingin menyampaikannya langsung pada masyarakat. Dan respon masyarakat bagus. Mereka bilang buletin ini sebagai bacaan alternative,” imbuhnya.

Selain Warkah al-Basyar, buletin Ikhtilaf (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), al-Tasamuh (Lingkar Studi dan Aksi), al-Tanwir (Center for Moderate Muslim), Islam Damai (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama), juga menawarkan keislaman yang kurang lebih sama.

Buletin Jum’at al-Nadhar juga demikian halnya. Buletin yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (PM3) ini bertujuan mensosialisasikan gagasan Islam Emansipatoris di pesantren, masjid, perguruan tinggi dan majelis taklim, sehingga dapat memberikan pemahaman alternatif bagi masyarakat.

“Buletin ini menyajikan tema-tema yang berkaitan dengan penguatan demokrasi, pluralisme, egalitarianisme, HAM dan toleransi. Setiap dua minggu dicetak sebanyak 30.000 eksemplar,” jelas divisi buletin Ali Sobirin seperti tertuang di situs P3M.

Diakui Rosidin, Warkah al-Basyar terus ‘berebut’ massa dengan buletin yang diterbitkan kelompok-kelompok Islam yang berseberangan, seperti HTI dengan buletin al-Islam-nya, juga buletin lain yang serupa semisal Khilafah atau al-Mukhlisin. “Karenanya, melalui Warkah al-Basyar kita berusaha mengimbanginya,” akunya. “Selain itu, positifnya, melalui ‘perang’ media seperti ini, angka kekerasan atas nama agama bisa dikurangi,” imbuhnya.

Menurut amatan Rosidin, buletin al-Islam terbitan HTI yang gencar mengampanyekan penegakan Syariah Islam ini, termasuk yang peredarannya cukup luas di masyarakat. “Diakui, al-Islam milik HTI banyak berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan masyarakat,” akunya.

Hal serupa dinyatakan mantan aktivis HTI yang juga mahasiswa Universitas Islam Negeri (UINI) Syarif Hidayatullah Jakarta, Syamsul Fuad. “Buletin al-Islam ini sifatnya nasional dan disebarkan ke seluruh pelosok Indonesia,” ujarnya.

Terkait pengaruh buletin terhadap keberagamaan masyarakat ini, Pakar Komunikasi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak begitu saja meyakininya. Menurutnya, buletin tidak cukup efektif membentuk sikap keberagamaan mereka. “Saya kira tidak terlalu efektif. Tapi kalau satu masjid hanya buletin itu-itu saja yang diterima, dari kelompok tertentu saja, mungkin ada dampaknya. Kalau yang mereka terima hanya buletin-buletin radikal misalnya, mereka bisa jadi radikal. Tapi itu khusus untuk jamaah masjid itu,” katanya. “Karena jamaah masjid itu sebagian datang karena masalah geografis saja, bukan karena ideologis,” katanya kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.

Namun katanya, justru buletin radikallah yang kini banyak direspon masyarakat muslim. “Buletin Jum’at yang sektarian saya kira lebih banyak memperoleh pasar. Buletin Jum’at dari DDII (Dakwah, red) itu bertahan cukup lama,” katanya. “Karakteristik buletin ini simplifikasi. Mereka memandang agama itu secara sederhana, hitam putih, benar salah, dapat petunjuk dan sesat, kafir dan mukmin. Dan untuk masyarakat Indonesia yang sedang kelelahan menghadapi persoalan hidup, mereka ingin mengambil agama secara lebih sederhana,” tegasnya.

Jalal berharap, supaya buletin atau media apapun tidak menampilkan sisi sektarianisme, karena karakter media adalah universalisme. Dengan berjalan seiring karakternya, media bisa dinikmati dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. “Media harus ditujukan kepada massa secara luas. Media Islam harus nonsektarian. Kalau temanya universal seperti menolong orang dan sebagainya, buletin itu bukan saja bisa dibaca oleh orang muslim, orang muslim yang Islamnya tidak seberapa mendalam, tapi juga orang nonmuslim akan menerimanya,” sarannya.

Universalisme ini penting ditekankan, imbuhnya, karena buletin sektarian tak jarang justru menyebabkan kekerasan. “Keberadaan buletin ini bagus juga! Tapi bagaimana kalau buletin itu juga memprovokasi kekerasan fisik? Itu bisa menjadi pengantar untuk tindakan kekerasan. Apalagi kalau dibina terus-menerus,” himbaunya.

Hal sama diakui pengamat komunikasi dan media dari Institut Studi Arus Informasi, Agus Sudibyo. Menurutnya, selain etika jurnalistiknya lemah sekali, media sekctarian tak jarang justru menampilkan provokasi yang bisa memicu terjadinya kekerasan fisik. “Kita bisa mulai dari sisi judul. Biasanya, judulnya sangat provokatif, tidak etis, dan tak jarang langsung menghakimi,” katanya kepada www.islamlib.com.

“Media seperti ini sangat sering tidak memperhatikan fakta masyarakat kita yang plural dan mudah terprovokasi konflik. Mestinya, setiap media sensitif akan fakta itu dan punya tanggung jawab sosial dan moral untuk menghindarkan terjadinya konflik,” imbuhnya.

Untuk itulah, perlu diupayakan media “ramah lingkungan”, bukan media yang justru turut memicu terjadinya aksi anarkisme, apalagi atas nama agama.Wa Allah a'lam.[]

1 Comments:

At 11:08 AM, September 06, 2006, Anonymous Anonymous said...

hahahahahahaha!!!!
ndagel!!!

 

Post a Comment

<< Home