Thursday, January 17, 2008

Toleransi Berangkat dari Rumah

Oleh Nurul H. Maarif

UrulIni kisah persahabatan dua bocah cilik. Nilna (perempuan, 16 bulan) dengan tetangga ciliknya Christopher (lelaki, 2 tahun). Keduanya dari keluarga dengan latar belakang agama berbeda. Nilna dari keluarga muslim dan Christopher dari keluarga Kristen. Itu nyata tersirat dari pilihan nama bagi keduanya.

Namun, bukan soal pilihan nama ini yang menarik diperbincangkan. Menurut sebagian orang, apa sih arti sebuah nama? Di samping itu, toh keduanya juga belum tahu apa itu 'nama islami' dan apa itu 'nama kristiani'. Apalagi untuk memilih sebuah agama dengan kesadaran, tak pernah terpikirkan oleh anak sebelia itu. Orang tuanyalah yang nantinya memilihkan (tepatnya 'memaksakan') agama mana yang musti mereka anut.

Lebih dari itu, imanpun belum mereka miliki, kecuali iman primordial yang dibawa sejak dari rahim bundanya. Iman hasil perjanjian suci antara calon jabang bayi dengan Tuhannya. Itupun, untuk anak seumuran mereka, belum mewujud sebagai identitas. Namun justru lantaran ketidakmengertian mereka tentang agama dan iman itulah, persahabatan mereka menjadi alami dan unik -- setidaknya menurut saya sendiri.

Suatu ketika, bunda Si Nilna (saya menggunakan Si untuk menunjukkan kebeliaannya) memembelikan sepotong roti untuknya. Tak dinyana, roti itu dibelahnya menjadi dua bagian. Sebagian dimakan sendiri dan sebagian diulurkan buat Si Christopher, yang keluarganya Kristen dari Batak itu. Kendati tanpa perbincangan sedikitpun, karena keduanya belum bisa bercakap, toh keakraban diantara mereka tetap tampak nyata.

Kisah persahabatan dua bocah cilik ini memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, persahabatan memang tidak musti dinyatakan melalui ucapan. Yang jauh lebih penting adalah tindakan nyata. Berbagi, sebagai simbol persahabatan yang ditunjukkan Si Nilna misalnya, tak perlu dimediasi oleh ucapan apapun. Apalagi perlu sorotan dan publikasi berbagai media massa. Cukup dengan tindakan nyata. Tangan kanan memberi, tangan kiri pun tak perlu mengetahuinya. Itulah sejatinya inti dari ajaran agama; tindakan. Karenanya, agama tak bermakna apa-apa jika hanya dikhutbahkan melulu di bibir, tanpa ada tindakan nyata untuk kemanusiaan. Jika hanya di mulut, agama menjadi kecil dan kerdil.

Kedua, persahatan tidak seharusnya disekat oleh perbedaan, baik perbedaan suku, agama, ras, dan sejenisnya. Persahabatan itu universal. Karenanya, jika ada kelompok tertentu memilih-milih dan memilah-milah sahabat, seorang muslim hanya memilih dan memilah kawan dari muslim lainnya, yang Kristen pun demikian, maka substansi persahabatan menjadi hilang. Bahkan nyaris tak ada gunanya.

Ketiga, persahabatan dua bocah cilik itu mengisyaratkan bahwa konflik antar agama atau antar iman, itu tidak pernah (setidaknya jarang) terjadi di tingkat bawah. Bahkan, ketika Si Nilna dan banyak anak-anak muslim di lingkungannya sakit, (sebut saja) Bidan Manurung yang Kristen Batak menjadi rujukan penyembuhan. Ini soal kepercayaan, bukan keterpaksaan, karena masih banyak dokter muslim di sana. Tapi bahwa kerja medis bidan ini lebih cocok bagi pasien, itu tidak bisa dipungkiri. Sekat keimananpun menjadi lebur, karena kesalingpercayaan.

Yang tak kalah penting, yang membuat pasien muslim kerasan, adalah keramahan dan ketelatenan Nenek (ia menyebut dirinya) menjawab keluhan pasien yang tak direka-reka. Dan, tak ada satu pasien muslimpun yang menyoal latar belakang imannya. Mereka datang untuk mengobati fisik yang luka, bukan mengobati iman yang koyak. Mereka datang bertanya resep kesehatan, bukan bertanya akidah. Kesehatan adalah kesehatan dan akidah adalah akidah. Keduanya terpisah jelas. Soal akidah misalnya, lakum dinukum wa liya din. Ternyata orang di bawah 'lebih paham' pemisahan ini.

Jika nyatanya di bawah no problem, jangan-jangan benar belaka dugaan bahwa wacana konflik antar agama atau antar iman itu sejatinya melulu problem elit: 'masalah orang pinter' atau 'yang dipermasalahkan orang pinter'. Saking pinternya, termasuk yang bukan masalahpun dipermasalahkan. Kalaupun ada masyarakat bawah yang turut meributkannya, saya yakin sekali itu lantaran pengaruh atau bahkan hasil komporan 'orang pinter' itu.

Keempat, persahabatan dua bocah cilik itu -- secara tidak langsung -- juga bisa dimaknai sebagai kritik bagi para penggiat dialog antar agama. Jujur saja, tingkat keberhasilan dialog jenis ini -- termasuk melalui munculnya Trilogi Umat Beragama oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara -- masih perlu uji lebih jauh. Apalagi dialog ini lumrahnya hanya melibatkan orang dewasa yang telah memiliki 'prasangka laten' pada 'yang lain'.

Sebaiknya, dialog itu lebih dicurahkan untuk anak-anak kecil yang belum memiliki paradigma apapun tentang 'yang lain'. Anak-anak yang bersih ini perlu dibekali perjumpaan dan perkenalan dengan umat agama lain. Biarkan pengalaman lapangan yang berbicara dan menjadi guru mereka, bukan dialog wacana yang acap hanya ada di kepala. Dengan 'toleransi lapangan' sejak dini itu, 'prasangka laten' yang menjadi faktor utama konflik antar agama sangat mungkin dikikis. Tentu saja, setelah itu tetap penting diinjeksi wacana-wacana yang damai dan toleran.

Dengan ujaran lain, janganlah dialog antar agama digelar dengan mengabaikan keluarga dan anak-anak. Toleransi dan keterbukaan yang sesungguhnya, hanya akan terwujud jika sedari dini keluarga dan anak-anak telah merasakan arti sesungguhnya toleransi dan keterbukaan itu. Untuk itu, toleransi dan keterbukaan harus diberangkatkan dari rumah. Dan, tentu saja, ini butuh kerja keras dengan durasi waktu panjang. Tujuan mulia memang butuh kesungguhan! Wa Allah a'lam.[]

(Radar Banten, Kamis, 17 Januari 2008)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home