Shahabat Ali dan Kebijakan Transportasi
Oleh Nurul Huda Maarif*
Di masa kepemimpinannya, yang tak lebih dua tahun, khalifah keempat Ali bin Abi Thalib dikenal sangat memperhatikan kualitas sarana transportasi di wilayahnya, terutama jalan umum. Perhatian ini tak lepas dari fungsinya sebagai penghubung berbagai gerak kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya.
Lebih dari itu -- ini yang paling ditakutkan Ali --, baik-buruknya kualitas sarana transportasi terkait erat dengan nyawa rakyatnya. Jika sarana transportasinya baik, masyarakat akan nyaman dan tenang melaju di atasnya. Sebaliknya, jika kualitasnya buruk, tak mustahil nyawa mereka justru terancam dan atau menjadi taruhan.
Karena hal inilah, ayah Hasan dan Husein ini begitu ketakutan seandainya saja ada keledai yang terperosok di jalan berlobang yang ada di wilayahnya. Beliau begitu memuliakan makhluk Allah SWT, hatta keledai sekalipun. Apalagi, jika yang terperosok itu manusia, tentu ketakutan menantu Rasulullah SAW ini akan kian menjadi-jadi.
Kenapa ia ketakutan sedemikian hebatnya? "Inni lakhasyitu an yas'alani Allah/sungguh aku takut, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawabanku," ujar suami Fatimah al-Zahra ini. Bagi Ali, kepemimpinannya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melainkan (terutama) kepada Allah SWT di hari kemudian.
Inilah karakteristik kepemimpinan Ali. Ia meyakini, segala kebijakannya senantiasa dalam pantauan dan pengawasan Allah SWT, yang karenanya tak seorangpun dapat berkelit dari pengadilan-Nya. Untuk itu, hendaknya segala kebijakan penguasa pertama-tama diorientasikan untuk kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ala al-rai'yyah manuthun bi al-mashlahah, bukan untuk popularitas, keuntungan pribadi, kelompok dan seterusnya. Apalagi dengan mengorbankan rakyat banyak.
Bagaimana Transportasi Kita?
Apa yang diteladankan Ali dalam kepemimpinannya -- termasuk juga Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin al-Khattab, 'Usman bin 'Affan, dan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz -- sudah seharusnya menjadi cambuk bagi para pemimpin di negeri ini untuk lebih mementingkan kemaslahatan rakyat. Karena sesungguhnya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya (sayyid al-qaum khadimuhum). Termasuk, tentunya, melayani kemaslahatan mereka di bidang transportasi.
Tapi, bagaimana perhatian para pemimpin kita di bidang ini? Sudahkah kebijakan mereka mencerminkan orientasi kemaslahatan bagi rakyatnya? Jawabnya menyesakkan dada dan belum melegakan; baik pemimpin di tingkat nasional maupun lokal, belum banyak yang memiliki orientasi memadai soal ini.
Memang harus diakui, ada beberapa pemimpin lokal yang serius memperhatikan soal ini. Namun jumlahnya sangat terbatas. Selebihnya cenderung sepele dan menyepelekan hal yang sangat penting bagi rakyat ini. Lihat saja misalnya, kecelakan kereta api, mobil, pesawat, dan seterusnya, masih terus beruntun terjadi. Tak sedikit nyawa yang melayang sia-sia. Ini tentu bukan murni kesalahan para pemimpin, namun dengan kebijakan mereka, seharusnya ada kontrol yang baik dalam hal ini.
Pada musim penghujan ini, sarana transportasi banyak yang rusak, bahkan kadang sangat parah. Jika kita lihat jalan-jalan di ibu kota Jakarta saja umpamanya, lubang menganga yang mengancam nyawa bertebaran di mana-mana. Tidak hanya sekali-dua kali penulis melihat pengendara motor terjerembab, tanpa ada kesempatan menghindar sama sekali. Herannya, pemerintah setempat "tampak acuh" dengan tak lekas membenahinya. Padahal pajak motor tak pernah alfa ditarik setiap tahunnya. Tapi balasan apa yang mereka dapatkan?
Selain jalan, sarana angkutan umum juga banyak yang tidak memadai. Misalnya, yang sering disoal banyak orang; kualitas perkeretaapian di negeri ini. Masih terngiang di telinga dan terbayang di mata, KA Rangkas-Jakarta yang atapnya runtuh (dengan mudahnya), karena usianya yang telah lanjut. Ini cerminan fasilitas yang ada cenderung apa adanya.
Tak selesai di situ, berjubelnya penumpang di kereta ini juga menjadi tambahan masalah. Terjadinya penyanderaan KA Rangkas-Jakarta di Parung Panjang beberapa waktu lalu oleh penumpangnya sendiri, mencerminkan hal ini; tidak ada keseimbangan antara jumlah angkutan dengan jumlah penumpang. Membludaknya penumpangpun mustahil terhindarkan.
Bahkan, dalam sebuah kesempatan naik kereta ini, penulis melihat langsung seorang ibu muda yang tengah hamil, pingsan lantaran kekurangan asupan oksigen. Anak-anak kecil pun banyak yang menangis tak kuat menahan panasnya suasana gerbong. Belum lagi banyaknya copet (di setiap gerbong), yang leluasa mencomot dompet para penumpang. Semua ini terjadi karena begitu berjubelnya penumpang. Rasa amanpun lantas hilang sama sekali. Siapa yang mesti bertanggungjawab?
Jika melihat kondisi riil ini, semestinya para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, prihatin dan mulai serius memikirkan solusinya. Pun, para calon pemimpin yang hendak bergelut memperebutkan kursi kekuasaan melalui Pemilu atau Pilkada, harus ikut serius memikirkannya. Tak etis rasanya, jadi pemimpin tanpa peduli masalah sekrusial ini.
Akhirnya, seperti diyakini Ali bin Abi Thalib, yakinlah bahwa kepemimpinan itu tidak selesai di dunia belaka, melainkan ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sanggupkah kita menghadapinya? Wa Allah a'lam.[]
Kp. Sarian, Sabtu, 19 Januari 2008
(Radar Banten, Selasa, 22 Januari 2008)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home