Monday, January 14, 2008

Ijtihad Kang Husein tentang Presiden Perempuan

Oleh Nurul H. Maarif

NurulKH Husein Muhammad, yang akrab disapa Kang Husein, lahir di Arjawinangun Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1973, ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, tamat tahun 1980. Ia kemudian melanjutkan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Kembali ke Tanah Air pada tahun 1983 dan memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat.

Kang Husein aktif dalam berbagai kegiatan, diskusi dan seminar keislaman, terutama seminar-seminar yang membincangkan seputar persoalan agama dan jender, serta isu-isu perempuan lainnya. Ia juga aktif menulis di sejumlah media massa dan menerjemahkan sejumlah buku. Bukunya yang paling sakral adalah Fikih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.

Ia juga aktif di pengembangan wacana LSM Rahima, Puan Amal Hayati, dan sekarang menjabat direktur Fahmina Instutute Cirebon. Bersama teman-temannya, ia juga mendirikan Klub Kajian Bildung. Dan barangkali, karena aktivitasnya yang akrab dengan persoalan keperempuanan, julukan Kiai Yang Pembela Kaum Perempuan memang layak disematkan padanya.

Soal Fikih Presiden Perempuan
Menurut Kang Husein, sampai hari ini belum diketahui pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat kepala negara (setingkat presiden). Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan, syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati seluruh umat manusia di mana dan kapanpun.

Sementara itu, menurut Kang Husein, Wahbah al-Zuhaili mengatakan, laki-laki sebagai syarat seorang imam (kepala negara) sudah menjadi kesepakatan (ijma') para ulama ahli fikih. Wahbah acap menyatakan; "Tidak sah perempuan menduduki jabatan al-imamah al-uzhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah al-balad)."

Menurut Kang Husein, argumen untuk seluruh persoalan peran perempuan di atas, pertama-tama mengacu pada QS al-Nisa' ayat 34. Laki-laki adalah qawwamun atas perempuan, karena Allah Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka.

Para ahli tafsir menyatakan, qawwamun berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Selanjutnya, mereka mengatakan, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.

Sebagai misal, ar-Razi mengatakan, kelebihan itu meliputi dua hal: ilmu pengetahuan (al-'ilm) dan kemampuan fisik (al-qudrah). Akal dan pengatahuan laki-laki, menurut ar-Razi, melebihi akal dan pengetahuan perempuan dan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan keras, laki-laki lebih sempurna. al-Zamakhsyari, pemikir Mu'tazilah terkemuka mengatakan, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-'aql), ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-'azm), kekuatan fisik (al-qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitabah) dan keberanian (al-furusiyyah wa ar-ramyu).

al-Thabataba'i berpendapat, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir (quwwat al-ta'aqqul) yang, karena itu, melahirkan keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional.

Para penafsir lain, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Muhammad 'Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, al-Hijazi, dan lain-lain mempunyai pendapat yang sama. Mereka juga sepakat, kelebihan-kelebihan laki-laki tersebut merupakan pemberian Tuhan, sesuatu yang fitri, yang alami, yang kodrati. Atas dasar semua ini, mereka berpendapat perempuan tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara.

Menurut Kang Husein, dewasa ini pandangan tentang kelebihan-kelebihan tersebut di atas telah terbantahkan dengan sendirinya melalui fakta-fakta riil. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan, telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap sebagai hanya menjadi monopoli kaum laki-laki. Kita juga telah menyaksikan sejumlah perempuan yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik, dan sebagainya. Demikian juga dengan pekerjaan dan profesi.

Realitas ini tentu saja memperlihatkan, bahwa pandangan yang meyakini kealamiahan dan kekodratiahan sifat-sifat di atas tidaklah benar. Yang benar adalah bahwa ia merupakan produk bangunan sosial yang sengaja diciptakan. Pada sisi lain, kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian maju. Kehidupan tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak terus-menerus, dari kehidupan nomaden ke berperadaban, dari kerangka berpikir tradisionalis ke berpikir rasionalis, dari pandangan tekstualitas ke pandangan substansialis, dari ketertutupan ke keterbukaan, dan seterusnya.

"Dengan demikian, bagaimana kita menyikapi ayat di atas?" tanyanya. Menurutnya, ayat di atas kudu dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara popular dikenal dengan peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan.

Menurutnya pula, ayat al-Qur'an yang menempatkan perempuan pada posisi itu dalam masyarakat demikian adalah tepat dan maslahat. Bahkan penyebutan perempuan oleh Tuhan dalam ayat suci merupakan kemajuan luar biasa, jika dibandingkan dengan bagaimana orang-orang Arab pra-Islam memperlakukan kaum perempuan. Perempuan dalam pandangan masyarakat jahili sama sekali tidak mempunyai hak untuk disebut-sebut. Mereka sama sekali dianggap tidak berharga. Ini dengan jelas dinyatakan Umar bin al-Khattab: "Kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru tahu bahwa mereka memiliki hak atas kami."

Adalah watak al-Qur'an bahwa ia memutuskan segala sesuatunya berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis dan ini hanya bisa dilakukan secara gradual. Karena itu, akan menjadi kesalahan besar apabila kita selalu ingin memposisikan perempuan dalam setting budaya seperti itu ke dalam setting sosial dan budaya modern seperti sekarang ini. Hal ini juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Artinya, perempuan dalam masyarakat modern tidak selalu dapat diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat masa lalu itu. Yang menjadi tuntutan al-Qur'an adalah kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Jadi, menurut kang Husein, QS al-Nisa ayat 34 itu tidak lain merupakan bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil yang terjadi saat ayat itu diturunkan.

Kenyataan sosial dewasa ini, sekali lagi, memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektualitas dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, meskipun tangan-tangan hegemonik laki-laki masih berusaha -- melalui kesadaran atau tidak -- untuk mempertahankan superioritas dirinya. Kehebatan intelektual dan profesi adalah dua hal yang menjadi syarat sebuah kepemimpinan dalam berbagai wilayahnya, domestik maupun publik. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik, termasuk menjadi presiden.

Kang Husein juga berpendapat, argumen yang kedua bagi mereka yang tidak menghendaki jabatan publik dipegang perempuan adalah Hadis Rasulullah Saw: "Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan." (HR al-Bukhari). Menurutnya, Ibn Hajar mengatakan, Hadis ini melengkapi kisah Kisra yang telah merobek-robek surat Nabi Saw. Suatu saat ia dibunuh oleh anak laki-lakinya. Anak ini kemudian juga membunuh saudara-saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran bint Syiruyah bin Kisra. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana doa Nabi Saw.

Hadis ini, tegasnya, jelas diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, sebuah informasi yang disampaikan Nabi Saw semata dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Tegasnya, Hadis dari Abu Bakrah ini tidak memiliki relevansi hukum. Menurutnya juga, makna Hadis ini sama sekali tidak dapat dipertahankan jika dihadapkan pada fakta-fakta sejarah yang ada. Sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, kita mengenal Ratu Bilqis, penguasa negeri Saba', seperti diceritakan al-Qur'an. Kepemimpinannya dikenal sukses gemilang dan negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Bilqis mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangannya yang demokratis.

Indira Gandi, Margaret Tatcher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, menurut Kang Husein, adalah beberapa contoh saja dari pemimpin bangsa di masa modern yang relatif sukses. Sebaliknya, terdapat sejumlah besar kepala negara/pemerintahan berjenis kelamin laki-laki yang gagal memimpin bangsanya. Kesuksesan atau kegagalan dalam memimpin suatu bangsa, dengan demikian, tidak ada kaitan sama sekali dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang diterapkan dan kemampuannya memimpin.

Jika demikian, maka Hadis itu harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu yang kepemimpinannya boleh jadi bersifat sentralistik, tiranik, dan otokratik. Hal paling esensial dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas; dua hal yang pada saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan.

Jadi sekali lagi, tegasnya, tidak ada persoalan apakah seorang presiden harus laki-laki atau perempuan. Perempuan dapat menjadi presiden jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, seorang laki-laki tidak layak menjadi presiden, apabila ia dapat membawa kesengsaraan dan penderitaan rakyatnya. Wa Allah a'lam.[]

1 Comments:

At 11:06 PM, February 13, 2008, Blogger Dody said...

Assalamu'alaikum..

Shubhanallah...

ada wacana pemikiran yang tertuang di balik penulisan saudara, harapan untuk memposisikan wanita yang sejajar dengan pria dalam segala bidang masalah, tanpa melihat sisi2 perbedaan antara kedua makhluq itu....apakah demikian ya akhi...he..he...

marilah kita selalu belajar dan belajar...belajar tentang kaidah pokok agama yang harus kita pahami terlebih dahulu...melihat realitas
yang ada sebagai penentu suatu hukum syara, adalah suatu pemikiran yang sangat perlu dikaji lagi...'
hati-hatilah menuliskan sesuatu masalah ya akhi..jangan sampai syetan menjerumuskan kita kepada suatu masalah dari hal yang sudah jelas menuju kesamaran alias syubhat...
kita memang boleh menggali hikmah di balik maksud suatu perintah yang sudah tegas dalam qur'an sunnah dan ijma' dengan keterbatasan akal kita, tetapi jangan sampai finishing yang diwujudkan adalah berubahnya hukum dari nash yang telah qath'i kepada makna yang justru kebalikannnya....
janganlah sampai kita merasa lebih pandai daripada Allah, rasulullah dan para imam agama....
wassalam

 

Post a Comment

<< Home