Wednesday, January 30, 2008

Harlah NU ke-82
NU, Organisasi Papan Nama?

Oleh Nurul H. Maarif

cah-elikKamis, 31 Januari 2008 ini, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 82 tahun. Usia yang cukup matang dan mapan untuk sebuah organisasi muslim tradisional dengan jumlah pengikut puluhan juta ini. NU memang telah mengecap aneka pengalaman hidup: manis-getir, pasang-surut, dan seterusnya. Karenanya tak heran, di usianya ini, pujian dan kritikan terus hadir silih berganti. Baik dari internal NU (terutama anak mudanya) maupun dari eksternal NU (pengamat dan peneliti).

Kritikan itu, utamanya, lebih banyak disasarkan pada aspek hubungan NU dengan politik praktis. Polarisasi lantas terjadi; sebagian menyayangkan jalinan kemesraan NU-politik yang menyebabkan tak terurusnya persoalan riil keumatan, sebagian menilainya perlu karena politik itu bagian dari amar ma'ruf nahy munkar yang menjadi tugas NU, dan sebagian lagi cenderung netral.

Termasuk yang menyayangkan, adalah pengamat dan peneliti NU Laode Ida. Dalam Refleksi 82 Tahun NU, Membangun NU Berbasis Umat (Rabu, 16/01/2008) yang digelar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, ia menyatakan, sejak 1970-an NU telah kehilangan karakter keumatannya, karena begitu larut dalam arus utama politik.

Pergeseran orientasi ini, menurut Laode, kian kental dan nyata setelah era reformasi. Semua berebut kue kekuasaan, tak ketinggalan orang NU. Hanya segelintir ulamanya saja yang masih konsen pada program keumatan. Jika ini dibiarkan, kuatir Laode, NU akan menjadi "organisasi papan nama" karena ditinggalkan umat. Kegagalan calon dari NU memenangi pilkada di wilayah berbasis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, adalah contoh nyata betapa ikatan emosional warga nahdliyyin dengan NU kian melonggar.

Pertanyaannya kini: bagaimana sesungguhnya khittah politik NU? Menurut pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah, KH. Ahmad Mustofa Bisri, makna khittah politik itu sangat jelas, sehingga tidak memerlukan "tafsir jalan lain." Setidaknya, ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU.

Pertama, politik kebangsaan. Politik ini untuk tujuan keutuhan NKRI. Sejak berdirinya, NU telah menjalankan politik jenis ini. Munculnya resolusi jihad pada Oktober 1945, penetapan waliy al-amr al-dharuri bi al-syaukah untuk Bung Karno pada 1952 dan sebagainya, menjadi bukti sahih dalam hal ini.

Kedua, politik kerakyatan. Ini implementasi dari amar ma'ruf nahy munkar untuk membela umat. Menurut Gus Mus -- sapaan akrab KH. Ahmad Mustofa Bisri, peran ini kini banyak diambil-alih generasi muda NU melalui LSM-LSM, karena mereka melihat NU secara struktural tidak lagi peduli terhadap aspek kerakyatan ini.

Ketiga, politik kekuasaan. Politik jenis inilah, lazim disebut politik praktis, yang paling menyilaukan orang NU. Menurut Gus Mus, ini karena sukses luar biasa NU pada 1950-an. Dalam waktu singkat, Partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak saat itu, analisis Gus Mus, kemaruk politik merebak di sekujur urat nadi NU. Efeknya, persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah, terbengkalai.

Karena itu, penulis berfikir, untuk mengembalikan kejayaan NU, tak ada jalan lain kecuali menjauhkan NU sejauh-jauhnya dari hiruk-pikuk politik praktis. Apalagi - seperti sindiran banyak pengamat - NU tak ubahnya pendorong mobil mogok. NU ditinggalkan jika mobil itu telah berjalan. Kalaupun NU mesti berpolitik, dan ini wajib sesungguhnya, maka jenis politik kebangsaan dan kerakyatan lah yang seharusnya menjadi perhatian, bukan politik kekuasaan. Politik inilah yang akan menghadirkan maslahah dan menjauhkan mafsadah.

Ini sesuai pernyataan Abu al-Wafa' Ibn Aqil. Menurutnya, politik tak lain berarti segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' dan tidak didasarkan wahyu. Maka, perilaku apapun yang mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, itulah politik. Inilah politik amar ma'ruf nahy munkar itu.

Jadi, elegan sekali jika NU berpolitik di luar sistem politik praktis. Ini yang penulis sebut "berpolitik tanpa partai"; politiknya para kiai NU. Dan, ini jauh lebih penting ketimbang harus masuk dalam gelanggang politik praktis. Toh, kebenaran tetap bisa ditiupkan dari manapun. Dengan politik ini, para kiai juga bisa mendidik santrinya di pesantren menjadi umara' yang bermental ulama; membangun negara dengan kejujuran dan keikhlasan, tidak korupsi, hanya takut pada Allah SWT, tidak zalim dan sewenang-wenang pada rakyat, dan seterusnya. Menciptakan umara seperti ini juga politik. Maka akan tercipta kebangkitan umara' (nahdhatul umara').

Selain itu, NU harus diposisikan sebagai pengawal moral masyarakat secara umum, termasuk para politikus, sampai kapanpun. Konsekuensinya, NU harus menjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Netralitas posisi ini penting, karena ghayah (tujuan) utama politik kebangsaan dan kerakyatan hanya akan terwujud melalui posisi ini.

Atas dasar alasan-alasan di atas, sekali lagi, NU harus dinetralkan dari virus politik praktis. Dan akhirnya, jika semua ini betul-betul diperhatikan dan dilaksanakan para petinggi NU, maka kekuatiran NU akan menjadi organisasi papan nama, tidak perlu terjadi, bukan? Wa Allah a�lam.[]

(Radar Banten, Kamis, 31 Januari 2008)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home