Friday, September 21, 2007

Fatwa untuk Kemaslahatan Publik

Oleh Nurul H. Maarif

Dingin malam yang menusuk tulang, tak mampu memadamkan semangat seratusan kiai NU dari beberapa wilayah Jawa Tengah yang tengah serius membolak-balik lembaran kitab kuning.

Mereka berkumpul dalam Bahtsul Masail (BM) yang digelar PCNU Jepara bersama Pengurus Wilayah Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (PW LBM NU) Jawa Tengah, di Gedung Nahdlatul Ulama Cabang Jepara Jawa Tengah, 1 September silam.

Satu hal yang mereka cari: hukum fikih mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria. Perdebatan sengit kerap muncul dalam forum itu. Mubahatsah (pembahasan) hukum PLTN Muria, yang dijadwalkan selesai pukul 22.30 WIB, akhirnya molor hingga dini hari.

Berkat kegigihan dan kesabaran para kiai itu, keputusan final dicapai: PLTN Muria hukumnya haram. Dalam sejarah NU, ini fatwa pertama tentang PLTN. "Awalnya semua peserta disodori beberapa persoalan. Lalu mereka menggali maraji' atau referensi dari berbagai ayat, hadis dan kitab-kitab klasik," ungkap Ketua PCNU Jepara KH. Nuruddin Amin, yang akrab dipanggil Gus Nung. "Maraji' yang paling kuat dijadikan landasan untuk mengambil keputusan bersama," imbuhnya.

Bahtsul masail adalah forum resmi yang berwenang memfatwa dan menjawab permasalahan yang dihadapi warga nahdliyin. Termasuk rencana pembangunan PLTN Muria yang meresahkan ribuan warga nahdliyin di kawasan itu.

Fatwa ulama NU memang selalu bersinggungan dengan kepentingan warganya. Seperti fatwa hukuman bagi koruptor. "Hukuman yang layak bagi koruptor adalah potong tangan sampai hukuman mati," tegas keputusan yang diambil dalam Munas Alim Ulama NU di Jakarta pada 2002 itu.

Menurut para ulama NU, dalam pandangan syariat, korupsi adalah pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. "Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb)."

Selain korupsi, NU yang sebagian besar warganya berdiam di pelosok-pelosok daerah merasa perlu menjaga lingkungan. Untuk itulah muncul fatwa haram mencemarkan lingkungan pada Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya. "Mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dharar (kebahayaan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat)," tegas fatwa itu.

Bahkan waktu itu muncul usulan, perusak hutan dihukum seberat-beratnya. "Sampai hukuman mati," kata KH. Imam Ghazali Said mengisahkan muktamar itu (baca: Majalah Sudah Menggantikan Kitab).

Selain lingkungan, kasus tanah kerap menjadi masalah bagi warga NU. Maka wajar jika forum bahtsul masail Muktamar NU ke-30 di Kediri Jawa Timur, menelurkan fatwa pembebasan tanah rakyat.

"Pembebasan tanah rakyat dengan harga tidak memadai dan tanpa kesepakatan kedua belah pihak, tergolong perbuatan zalim dan hukumnya haram serta tidak sah."

Di luar fatwa yang dibuat dalam forum resmi, kiai-kiai NU juga banyak membuat fatwa swasta. Maksudnya, fatwa tidak dibuat oleh NU secara organisatoris, tapi oleh kiai-kiai NU yang peduli terhadap suatu masalah. Fatwa swasta biasanya akan dituruti para santri dan alumni pesantren kiai-kiai tersebut.

Misalnya, KH. Thantowi Jauhari Musaddad beserta kiai-kiai di Garut Jawa Barat, pernah mengadakan bahtsul masail untuk menghasilkan fatwa lingkungan. Mereka memutuskan, memelihara dan melestarikan lingkungan hukumnya wajib. Sebaliknya, perusakan alam dan lingkungan hukumnya haram.

Penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir, adalah sedekah jariyah yang akan mendapat limpahan pahala dari Allah SWT.

Bahsul masail swasta lainnya adalah Forum Pesantren-Petani di Ponpes Sunan Pandanaran, Yogyakarta pada 2005. Forum yang membahas Perpres 36/2005 ini, diikuti 150 perwakilan pesantren dan kelompok tani di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Lampung, Ampenan NTB, dan Sulawesi Selatan.

"Para kiai sepakat meminta presiden untuk membatalkan Perpres tersebut karena tidak sah dan haram hukumnya," kata Ketua Panitia BM, KH. Abdullah Hasan.

Menurut Kiai Hasan, putusan tidak sah dan haram itu karena Perpres tidak mengakomodasi kepentingan pemilik tanah dan kepentingan rakyat secara keseluruhan. "Sedang ganti rugi oleh pemerintah yang dititipkan lewat pengadilan, itu disertai pemaksaan," tuturnya.

"Disamping itu, Perpres tidak mengatur penyelesaian yang adil antara pihak-pihak yang bersengketa," imbuhnya.

Forum juga memutuskan, pembelian tanah secara paksa, hukumnya haram. Bahkan saat itu, banyak kiai yang menilai hal ini sebagai ghashab (memanfaatkan barang milik orang lain tanpa izin).

Adanya legitimasi spiritual yang kuat, membuat bahsul masail banyak dijalankan agamawan dan cendekiawan non NU. Misalnya, bahsul masail lintas iman yang membahas Lumpur Lapindo. Forum yang diikuti agamawan Muslim, Kristen, dan Katolik, ini dihelat di Pasar Baru Porong Sidoarjo Jawa Timur, akhir Agustus lalu.

Dalam fatwanya, forum tidak membenarkan pemberian uang oleh Lapindo terhadap masyarakat korban sebagai akad jual beli. "Tidak benar! Dalam kasus ini, Lapindo wajib akad ganti rugi, bukan jual beli. Lapindo wajib mengganti untung seluruh kerusakan akibat dampak luapan lumpur berdasarkan kesepakatan dengan korban," tulis keputusan itu.

Uniknya, untuk menguatkan keputusannya, forum tidak hanya merujuk kitab fikih klasik, tapi juga referensi dari agama non Muslim. Selain al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juga dikutip referensi Katholik dalam Gaudium et Spes part. 27.

Banyak fatwa NU lainnya yang bertujuan membebaskan warganya berekspresi. Umpamanya, fatwa Muktamar NU ke-10 di Surakarta Jawa Tengah. Di sana, antara lain, diputuskan perempuan boleh berpidato keagamaan di depan laki-laki, karena suaranya bukanlah aurat.

Ada juga fatwa wanita menjadi anggota DPR/DPRD. Konferensi Besar Syuriah NU di Surabaya Jawa Timur, 19 Maret 1957 memutuskan, menurut hukum Islam wanita diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD, jika telah memenuhi syarat yang ditentukan.

Ada juga fatwa hasil Munas Alim Ulama NU, di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, pada Juli 2006, yang memutuskan keharaman trafficking dan kewajiban mencegah terjadinya trafficking.

Forum serupa bahsul masail juga dimiliki Muhammadiyah. Lembaga yang berwenang membuat putusan hukum atau fatwa bagi warga organisasi ini bernama Majlis Tarjih.

Majlis Tarjih pernah memfatwakan wanita boleh memberi pengajaran agama di hadapan laki-laki. Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah disebutkan, wanita mengajar pria dibolehkan, karena tidak ada larangan yang mencegahnya. Tentu saja, lanjutnya, disyaratkan adanya keamanan, seperti memejamkan mata hati dan tidak ber-khalwat (menyendiri atau berdua-duaan).

Mukmatar Tarjih Muhammadiyah ke XX di Garut Jawa Barat, 18-23 April 1976, membuat putusan tentang Tuntutan Adabul Mar'ah fi al-Islam. Diantara pointnya, itu perihal Wanita Islam dalam Bidang Politik. "Peranan yang langsung berupa praktik politik dalam badan-badan legislative atau DPR dari pusat sampai ke daerah-daerah, dalam hal ini kaum wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan memadai," tegas putusan itu.

Ada juga putusan yang membolehkan wanita menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat, lurah, menteri, walikota, dan sebagainya. "Agama tidak memberi alasan bagi yang menolak dan menghalang-halanginya," hasil putusan itu menegaskan.

Bahkan pada Munas XXIII di Banda Aceh 1995, Majlis Tarjih Muhammadiyah membuat keputusan tentang Hubungan Kerja dan Ketenagakerjaan dalam Perspektif Islam. Dalam Bab Kesimpulan/Rekomendasi dan Keputusan point 5, diputuskan bahwa "Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang, baik pria maupun wanita, untuk memilih jenis pekerjaan/profesi yang disukainya".

Para ulama dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tentu berfikir, bahwa fatwa apapun harus memihak pada kemaslahatan umatnya. Bukan untuk kepentingan golongan atau pribadi. Apalagi untuk mendiskreditkan kelompok tertentu.[]

*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin 24 September 2007.
**Pencarian data dibantu oleh Nurun Nisa.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home