Beragama tanpa Agama
Oleh Nurul Huda Maarif
Ketika simbol-simbol agama formal acapkali diduga menjadi ‘penyebab’ pertumpahan darah antar manusia, maka tesis Guru Besar Filsafat Universitas Villanova, AS, John D Caputo dalam bukunya, On Religion (2001), patut direnungkan secara seksama. John menawarkan konsep ‘agama tanpa agama,’ yaitu pengamalan lelaku spiritual tanpa terjebak atau terkungkung dalam lingkaran agama formal. Mengapa? Karena inilah intisari agama apapun. Dan inilah yang akan memunculkan ‘tali kasih’ antar manusia.
Lebih jauh Caputo membagi periode keberagamaan manusia menjadi tiga, yaitu periode sakral, sekularisasi dan post-sekuler. Periode sakral adalah periode kala agama diyakini sebagai sesuatu yang suci, tinggi, dan tak tersentuh. Tak seorang pun punya nyali untuk menanyakan, apalagi memprotes agama. Keberagamaan pada periode ini didominasi model keberagamaan bisu dan tak kritis, karena semua penganut agama hanya sam'an wa tha'atan. Periode ini, terutama di Eropa, terjadi pada era kegelapan (dark ages), sebelum abad XV dan ditandai oleh terkungkungnya akal oleh Bible.
Pada periode sekularisasi, nalar-nalar kritis yang mencoba mempertanyakan dan (pada tingkat tertentu malah) menggugat agama, mulai bertebaran. Periode ini dimulai sejak masa renaissance antara abad XV-XVI dan ditandai kebebasan akal dari ‘penjajahan’ Bible. Saat itu, agama Kristen menjadi ‘bulan-bulanan’ nalar-nalar kritis itu. Doktrin Kristen banyak dianggap tak sealur dengan temuan-ternuan ilmiah. Ujungnya, gereja mulai ditinggalkan dan pengaruhnya ditanggalkan. Terbukti, seperti ucapan Muhammad Abduh, umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya. Pada tahap selanjutnya, tidak hanya doktrin gereja yang ditanggalkan. Doktrin agama-agama lain pun turut menjadi korban. “Semua agama bernasib serupa dalam hal sekularisasi,” ujar Sayyid Hossen Nasr. Baru pada abad XVII-XIX, Eropa mengalami european enlightenment (pencerahan Eropa). Dan semboyan ‘agama adalah candu masyarakat’ yang diteriakkan Karl Marx (1818-1883), terrnasuk yang mewarnai periode ini.
Sedang periode post-sekuler merupakan anti-tesis dari periode sekularisasi. Bila pada periode sekularisasi agama dijadikan bulan-bulanan, pada periode ini agama (tepatnya spiritualitas) menjadi sesuatu yang amat dirindukan. Pada periode ini, abad 20 hingga sekarang, agama tampil kembali sebagai kebutuhan mendasar. Fenomena gerakan New Age yang melanda negara maju, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari karakter, sekaligus penanda periode ini. Inilah babak baru keberagamaan manusia.
Fenomena kerinduan terhadap kehadiran ‘agama’ ini tentu menarik dicermati. Sebab, seperti ditulis Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest, AS, Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2002), agama acapkali justru menjadi bencana kemanusiaan. Kekerasan, perang, pertikaian, saling bunuh, dan aneka teror merajalela, acapkali dilatari agama. Saat itu, agama menjadi busuk dan rusak.
Menurut Kimball, pangkal kebusukan dan kerusakan agama itu ada lima. Pertama, kala pemeluk agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya dan yang mutlak. Kedua, munculnya fanatisme buta para pemeluk agama pada pemimpin keagamaan mereka. “Agama itu laksana kekuasaan. Siapa menggenggam agama, dialah penguasa yang dapat melakukan apa saja,” kata Karl Marx. Ketiga, pemeluk agama mulai gandrung merindukan zaman ideal atau the golden age. Tak cukup hanya merindukan, mereka pun bertekad mengusung zaman itu ke masa kini. Keempat, kala pemeluk agama menyetujui dan mentolerir terjadinya tujuan membenarkan segala cara. Dan kelima, bila crusade (perang suci) diteriakkan. Dalam bahasa Rudolf Otto, barangkali kelima hal inilah yang disebut mysterium tremendum (misteri yang rnenggentarkan), dalam kaitan hubungan antara manusia dengan Tuhan (agama).
Tapi, yang tak kalah penting untuk direnungi, pada periode post-sekuler ini, ‘agama’ yang dirindukan bukan agama formal, melainkan spritualitas yang mengedepankan cinta kasih. Agama formal tak terlalu diperlukan. Spiritualitas cinta kasih itulah yang jauh lebih penting. Karenanya, Caputo yang banyak tertular pemikiran Jacques Derrida - menawarkan gagasan ganjil di atas: agama tanpa agama. Agama pertama dimaknai cinta kasih atau religiusitas dan agama kedua dimaknai agama formal. Maksudnya, cinta kasih atau religiusitas dapat diperoleh tanpa melalui agama formal. Dan menurutnya; “Sebagian kalangan dapat secara mendalam bersifat ‘religius’ dengan atau tanpa teologi, dengan atau tanpa agama-agama. Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama.” Sebab itu pula, dia acap berujar; “Kebalikan manusia religius adalah manusia tanpa cinta. Agama adalah cinta kasih. Manusia religius adalah yang punya cinta.”
Kendati demikian, bukan berarti Caputo menafikan urgensi agama formal. Ia sendiri tetap memegang teguh tradisi Kristen. Karenanya, setelah menawarkan gagasan ‘agama tanpa agama,’ dia buru-buru mengklarifikasi: “Saya harus segera menambahkan bahwa agama-agama besar dunia sangat penting.” Ini menunjukkan, Caputo tetap hormat pada agama formal dan itu dibuktikannya.
Lalu apa maknanya? Caputo sedang menyindir atau bahkan mengolok-olok keberagamaan kita yang justru tidak mendatangkan kedamaian di muka bumi ini. padahal kita mengaku orang yang berpegang teguh pada agama, bukan? Itu juga menunjukkan, betapa Caputo memaknai agama sebagai cinta kasih, makna otentik dari agama. Itulah ruh agama. Dan agama harus diartikan sebagai being religious, kereligiusan manusia.
Karena itu, apa yang dinyatakan Caputo, untuk kontek kekinian, di mana agama menjadi alat untuk membunuh umat lain, itu sangat relevan. Cinta kasih lah yang seharusnya kita kedepankan guna mewujudkan rasa damai, aman, dan saling menghormati antar keragaman. Tidak saatnya lagi kita berlindung secara buta di balik benteng agama formal, dengan mengklaim diri sebagai yang terbenar. Namun efeknya malah menganggap yang lain salah dan harus dienyahkan dari muka bumi ini. Akhirnya, menghilangkan sekat-sekat keformalan agama, dengan mengedepankan cinta-kasih atau nilai spiritualitas agama, menjadi keniscayaan. Itulah syarat utama pembentuk kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Dan itulah agama kaum sufi, sejatinya. Wa Allah a'lam.[]
*Pernah dipublikasikan Majalah Amanah
0 Comments:
Post a Comment
<< Home