Apa Maumu Wahabi?
Oleh Nurul Huda Maarif
Beberapa hari lalu, Reuters (15/7/05) melaporkan, saat ini pemerintah Arab Saudi sedang berencana megembangkan kota suci Makkah dan Madinah dengan membangum hotel, apartmen, pertokoan, restoran, tempat parkir dan lain sebagainya. Hanya saja, rencana pembangunan di atas tanas seluas 210.220 meter persegi yang berdekatan dengan lokasi Masjid al-Haram ini sama sekali tidak mengindahkan situs-situs sejarah Islam. Rumah Rasulullah Saw termasuk yang terancam dimusnahkan. Padahal, petilasan Rasulullah Saw itu memiliki nilai sangat istimewa di mata kaum muslim pada umumnya. Tapi itulah yang akan ditempuh pemerintah Arab Saudi yang selama ini berkolaborasi dengan kelompok Wahabi.
Menurut Sami Angawi, pakar arsitektur Islam, sejarah mencatat setidaknya 300 situs bersejarah di Makkah dan Madinah telah dimusnahkan selama kurun 50 tahun terakhir. Itu terjadi karena pengaruh pemikiran Wahabi yang sangat hegemonik di sana. Situs-situs sejarah yang telah dimusnahkan itu misalnya, Dar al-Arqam (sekolah Islam pertama tempat Rasulullah Saw mengajar para shahabatnya), rumah ‘Aisyah isteri Rasulullah Saw, Masjid Bilal di Jabal Qubais, Dar al-Nadwah, dan sebagainya. Tindakan tidak menghargai warisan sejarah Islam inilah yang sedang terjadi.
Kitapun patut bertanya, apa yang menyebabkan tindakan radikal pemusnahan situs sejarah itu terjadi? Akarnya, tindakan itu terjadi karena tafsir sempit kelompok Wahabi yang telah menjadi ruh keagamaan pemerintah Arab Saudi. Kelompok Wahabi memandang, situs-situs sejarah itu berbahaya secara teologis, karena akan menggiring umat Islam pemujaan atau pemberhalaan benda (al-syirk). Dalam pandangan kaku kelompok Wahabi ini, melestarikan situs-situs sejarah sama saja dengan melestarikan kemusyrikan (politeisme). Makanya tidak tanggung-tanggung, kekhawatiran berlebih ini tertuang dalam Maklumat Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada 1994, bahwa pelestarian bangunan-bangunan bersejarah berpotensi menggiring kaum muslim pada penyembahan berhala.
Terkait rencana kontroversial itu, ada beberapa catatan penting yang dapat diajukan. Pertama, rencana itu membuktikan secara absah, bahwa penafsiran keagamaan kelompok Wahabi tentang doktrin Islam sangat sempit dan kaku. Dengan sangat garang, kelompok Wahabi memandang apapun yang (dalam anggapan mereka) bisa menggiring pada kemusyrikan harus dimusnahkan. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan, kelompok Wahabi termasuk yang menentang keras realitas keragaman mazhab fiqh dalam Islam. Tidak boleh ada pemahaman lain atas doktrin Islam di luar pemahaman kelompok Wahabi. Persoalan inilah yang menyulut munculnya Komite Hijaz (cikal bakal berdirinya NU) dengan KH Wahab Hasbullah sebagai tokoh sentralnya, guna menentang pandangan-pandangan sempit seperti itu.
Kedua, rencana ini juga menunjukkan, baik pemerintah Arab Saudi maupun (terutama) kelompok Wahabi sama sekali tidak memiliki care yang baik terhadap situs-situs sejarah Islam. Padahal, salah satu motivasi kuat umat Islam untuk berkunjung ke Makkah dan Madinah, selain untuk menunaikan rukun Islam kelima (haji), juga untuk melakukan romantisisme dan perenungan sejarah Islam dengan mengunjungi situs-situs itu. Bila situs-situs sejarah itu dimusnahkan, dapat dipastikan banyak kaum muslim yang merasa tersakiti hatinya. Mereka pasti akan sangat kecewa dan ini sama sekali tidak pernah diperhitungkan.
Ketiga, rencana pembangunan yang konon akan menelan dana sedikitnya Rp 130,4 triliun itu, sebenarnya sama saja dengan mengomersilkan rumah tuhan, Ka'bah (bait al-‘atiq), untuk mendapatkan keuntungan materi secara melimpah. Dengan dalih untuk kenyamanan jamaah haji dan sebagainya, pihak pemerintah akan dapat menyedot pemasukan yang sangat banyak. Karena itu, dalih situs-situs sejarah dapat menggiring umat Islam pada kemusyrikan atau pemberhalaan benda, tak lain hanyalah kamuflase belaka yang perlu ditinjau ulang.
Keempat, dalam kontek ini, pemerintah Arab Saudi sebagai negara terlalu turut campur dalam menghakimi keyakinan keagamaan seseorang. Seharusnya, pemerintah Arab Saudi menghargai secara arif keyakinan orang-orang yang sangat menghormati situs-situs sejarah itu sebagai bagian dari sejarah agama mereka. Karena itu, kendati secara geografis situs-situs sejarah itu terletak di Makkah dan Madinah, tapi secara psikologis situs-situs itu telah tertambat dalam hati mayoritas kaum muslim di berbagai belahan dunia. Untuk itu, apapun yang akan diperbuat atas situs-situs itu, seharusnya pemerintah Arab Saudi meminta izin terlebih dahulu kepada seluruh kaum muslim. Sebab sekali lagi, situs-situs itu merupakan aset bersama kaum muslim yang tiada ternilai harganya.
Kelima, umat Islam, terutama umat Islam di Indonesia, sangat baik untuk mempertimbangkan tawaran ide Mun’im DZ dalam tulisannya berjudul Komite Hijaz II yang di-publish www.nu.or.id. Mun’im mengusulkan umat Islam membentuk Komite Hijaz II untuk membendung arogansi pemerintah Arab Saudi dan kelompok Wahabi yang dengan “semena-mena” dan merasa benar sendiri hendak menghancurkan bagian penting sejarah Islam itu.
Kakhawatiran Lain
Ada kekhawatiran lain terkait pemahaman sempit kelompok Wahabi ini. Alasan situs-situs sejarah itu akan menggiring pada kemusyrikan, disamping terlampau berlebihan, juga akan berimplikasi sangat jauh. Misalnya, diakui atau tidak, Ka'bah merupakan salah satu “sumber” kemusyrikan terpenting dalam sejarah Islam. Banyak kaum muslim dari berbagai penjuru dunia memuja-muja Ka'bah, bahkan terkadang sampai pada level yang kelewatan. Dengan menggunakan perspektif kemusyrikan kelompok Wahabi, tentu Ka'bah juga akan menggiring pada kemusyrikan.
Jika kelompok Wahabi konsisten, tentunya Ka'bah harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum yang lain. Bila ini terjadi, tamatlah sejarah Islam. Untuk itu, kelompok Wahabi sangat perlu meninjau ulang definisi kemusyrikan yang terlalu sempit dan ketat itu. Toh, banyak ulama terkemuka menilai, situs-situs sejarah itu tidak akan menggiring pada kemusyrikan. Ini menunjukkan, klaim kemusyrikan itu masih kontroversial. Kelompok Wahabi dan pemerintah Arab Saudi perlu mendengar pandangan ulama-ulama ini secara arif.
Selain Ka'bah, lagi-lagi jika konsisten, al-Qur'an sendiri sebenarnya sangat rentan menggiring umat Islam pada kemusyrikan. Dibanding Ka'bah, al-Qur'an justeru lebih diagung-agungkan oleh kaum muslim. Bahkan terkadang ada yang sangat radikal “memusakakan” al-Qur'an sebagai barang keramat. Bukankah ini – menurut kaca mata kelompok Wahabi tentunya – juga akan menyebabkan penduaan atas Allah? Apakah mushhaf al-Qur'an yang berujud “benda” itu juga harus diberangus? Karena itu, kita patut bertanya: apa maumu Wahabi? Wa Allah a'lam.[]
*Pernah dipublikasian Harian Duta Masyarakat
0 Comments:
Post a Comment
<< Home