Friday, April 07, 2006

Kritik Kaum Muda NU

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSikap adiluhung ditunjukkan sekelompok anak muda Nahdhatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Forum Anak Muda NU. Ketika ‘senior’ mereka di Pengurus Besar NU (PBNU) mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tanpa reserve, Minggu (2/04/2006) di kantor The WAHID Institute Jakarta, mereka menggelar konferensi pers untuk mengingatkan (baca: mengkritik) kebijakan PBNU yang tak populer itu. Mereka sedang mengamalkan ayat wa tawashau bil haqq.

Ada beberapa alasan yang mendasari kritikan mereka itu. Pertama, dukungan PBNU pada RUU APP itu menunjukkan bahwa lembaga ini tidak lagi sensitif terhadap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat, mengingat eksistensi RUU itu masih menyisakan aneka pro-kontra dan perdebatan panjang. Kedua, kebijakan itu tidak berdasar pada argumen dan fakta keragaman budaya, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Padahal UUD ini menjadi pendasaran utama dan bahkan ‘harga mati’ bagi segenap rakyat Indonesia untuk hidup bernegara.

Ketiga, kebijakan itu menunjukkan, klaim lembaga ini sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) patut dipertanyakan. Keempat, dukungan itu tak lain sebagai bentuk pengebirian terhadap keragaman aspirasi masyarakat. Dan kelima, kebijakan itu mencerminkan PBNU tidak mengedepankan kemaslahatan bersama (al-mashlahah al-‘ammah) demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana diamanatkan Khitah 1926 dan nasehat para pendiri NU soal al-ukhuwwah al-wathaniyyah wa al-ukhuwwah al-basyariyyah.

Dari kritikan-kritikan tajam itu, kita menyaksikan betapa kaum muda, dalam banyak hal, ternyata lebih arif ketimbang kaum tuanya. Kendati kaum tua acap diyakini telah banyak makan garam, dalam hal ini, toh rasa asinnya tak mereka kecap. Sebaliknya, rasa asin garam itu justru dikecap kaum mudanya. Karenanya, mereka lebih arif menyikapi persoalan ini dan tidak grusah-grusuh.

Kritikan-kritikan itu juga mencerminkan beberapa karakter unggul yang dimiliki kaum muda NU itu. Pertama, perhatian mereka atas keutuhan NKRI sangat tinggi. Sehingga kemungkinan sekecil apapun yang bisa mencerai-beraikan keutuhan NKRI, sebisa mungkin mereka cegah, termasuk dengan menolak RUU APP, pun termasuk dengan menentang kebijakan ‘senior’ mereka di PBNU. Ini juga menjadi ciri khas orang tua intelektualitas mereka, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dengan mengendarai Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu (GNBB) selalu gembar-gembor soal pentingnya menjaga keutuhan NKRI. Sikap kaum muda NU ini sekaligus menunjukkan secara fulgar, bahwa mereka lebih sadar atas pesan Khittah NU 1926 ketimbang kaum tuanya. Inilah bukti kesadaran atas sabda Nabi hubb al-wathan min al-iman.

Kedua, mereka juga menunjukkan diri sebagai warga bangsa yang baik dengan berpegang teguh pada UUD 1945, yang mengamatkan adanya keragaman budaya, bukan budaya tunggal. Karena, jika RUU APP dipaksa terapkan di negeri ini, keragaman atau kebhinekaan itu akan hilang yang berarti pengkhianatan terhadap amanat UUD 1945. Ketiga, penghargaan mereka atas keragaman pandangan dalam menyikapi pro-kontra soal RUU APP ini menunjukkan, betapa toleransi mereka jauh melampaui kaum tua yang ‘banyak makan garam’ itu. Kaum muda itu mungkin lebih dewasa ketimbang kaum tua yang selama ini dianggap dewasa.

Ala kulli hal, kritik – dari siapapun dengan latar belakang apapun, apalagi dari kaum muda yang memiliki progresifitas tinggi dan gelora perubahan dahsyat – akan selalu berguna bagi kebaikan bangsa. Kata-kata bijak menyatakan, khudz al-hikmah min ayyi wi’ain kharajat. Ambillah hikmah (kebijakan) dari manapun ia muncul. Kendati hikmah itu muncul dari kaum muda yang acap dianggap sebagai ‘anak kemarin sore’ dan ‘tak banyak makan garam’, toh tak ada salahnya sama sekali kaum tua mempertimbangkannya.

Selain itu, kritik dan hanya kritiklah hakikat hubungan intelektualitas sejati. Kritik itulah kontrol yang bisa dilakukan kaum muda NU pada ‘senior’nya di PBNU. Jangan karena kritikan itu, lantas mereka yang secara kultur sangat NU itu lantas dituduh sebagai romli (rombongan liar) yang hanya mengaku-aku sebagai NU. Itu jelas tuduhan emosional dan tidak arif! Untuk itu, kritik apapun yang memang konstruktif, apalagi menyangkut keutuhan NKRI, hendaknya tak dianggap sebagai ‘badai’ yang berbahaya. Lihatlah substansi kritik, jangan melihat siapa yang mengkritik.

Dan itulah pentingnya keberadaan kaum muda. Kaum yang penuh gelora. Kaum yang penuh semangat. Kaum yang menyulut api, bukan menebar debu. Kaum yang blak-blakan tanpa tedeng aling-aling dalam menyikapi segala persoalan. Negara ini juga dimerdekakan kaum muda, bukan? Karenanya, inna fi yadd al-syubban amr al-ummah. Sejatinya di tangan pemudalah segala urusan, urusan masyarakat atau bangsa, berada! Wa Allah a’lam.

*Dipublikasikan www.gusdur.net, 7 April 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home