Pesantren Teraniaya
Oleh Nurul Huda Maarif
Aksi terorisme yang dilakukan segelintir santri seperti Amrozi maupun Imam Samudra, akhirnya berimbas secara besar-besaran pada pesantren-pesantren lain di Nusantara. Beberapa waktu lalu diberitakan, sejumlah ulama yang tergabung dalam Forum Silaturahim Pondok Pesantren Banten mengalami kepanikan, karena intel kepolisian ’nekat’ melakukan penggeledahan beberapa pesantren di sana, untuk mencari buku-buku yang terkait terorisme.
Aksi intel masuk pesantren ini dibenarkan Ikhwan pemimpin salah satu pesantren di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Bahkan, Aan Iskandar, pengasuh Pondok Pesantren Albantani melayangkan protes. Aan meminta polisi atau pihak manapun untuk tidak tergesa-gesa dan semena-mena mencap pesantren sebagai kampus para teroris.
Kejadian ini mengingatkan kita pada pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Secara kontroversial, Kalla menyatakan, pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas pesantren di negeri ini. Karenanya, apa yang terjadi di Banten dan di beberapa wilayah Jawa, itu seakan menjadi follow up pernyataan Kalla.
Lebih mengejutkan lagi, pernyataan yang tak jauh berbeda dilontarkan Kepala BIN Syamsir Siregar dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR (Bidang Pertahanan), Senin (28/11/05), di Gedung DPR/MPR Senayan. Syamsir berdalih, BIN perlu melakukan penetrasi ke dalam kelompok Islam radikal untuk menceraiberaikan kekuatan pada kelompok itu. Caranya? Dengan melakukan perpecahan internal. Ini salah satu strategi BIN untuk memberantas terorisme, katanya. Kendati BIN tak menyebut pesantren, semua orang paham, bahwa pesantren pasti tak luput dari sasaran penyusupan itu. Apalagi intel-intel polisi terbukti keluyuran di pesnatren, akhir-akhir ini. Dan terakhir, yang lebih mengejutkan lagi munculnya wacana pengambilan sidik jari para santri.
Membaca fenomena ini, terlepas ada tidaknya skenario global, yang jelas pesantrenlah yang menelan getahnya, karena menjadi pihak tertuduh sekaligus teraniaya. Untuk itu, ada beberapa catatan yang perlu diajukan. Pertama, sebagai pihak yang terstigma gerakan terorisme, praktis cap buruk segera melekat pada pesantren di negeri ini. Cap ini, pada gilirannya, menjadikan pesantren tidak lagi bisa bergerak bebas mengembangkan pendidikannya. Ujungnya, akan terjadi ‘pembunuhan’ secara tidak langsung pada pesantren yang selama ini dianggap sebagai ‘cagar budaya’ yang patut dilestarikan.
Kehati-hatian atau tepatnya ketakutan, juga akan menerpa pesantren dalam memasarkan ajarannya kepada masyarakat. Karena, jika sedikit saja pesantren dianggap melakukan kesalahan, stigma mengerikan itu akan segera berhembus. Padahal, seperti dinyatakan KH A Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Raudhatul Thalibin, Rembang, karakter pesantren tidak bisa disederhanakan hanya dalam satu atau dua bentuk. Pesantren harus dilihat secara keseluruhan bukan kasus per kasus atau oknum per oknum.
Di samping itu, karakter dasar pesantren juga tidak bisa dilepaskan dari figur kiainya. Tidak ada catatan sejarah pesantren di Nusantara ini yang akrab dengan aksi-aksi terorisme, karena kiainya tidak berkarakter teroris. Sebut saja Pesantren Tebuireng Jombang yang didirikan KH M Hasyim Asyari. Sebagai sosok moderat, pesantren yang didirikannya turut mengusung sikap moderat. Keturunannya seperti KH Wahid Hasyim maupun KH Abdurrahman Wahid, juga menjadi pewaris sikap moderat itu. Mereka malah tercatat sebagai penentang aksi-aksi terorisme. Begitu pula pesantren-pesantren besar lainnya, seperti Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Gontor Ponorogo, Ponpes API Magelang, dan yang lain. Tidak ada yang memberi peluang munculnya paham terorisme sedikitpun.
Bahkan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada acara Halal Bi Halal warga NU di Kantor PCNU Kabupaten Pekalongan, 30 November 2005, dengan tegas menyatakan, dalam kitab-kitab kuning yang digunakan NU (tentu saja pesantren di dalamnya) tidak dikenal istilah terorisme atau bom. Itu artinya, secara genetika pesantren tidak ada sangkut-paut apapun dengan ideologi terorisme.
Kedua, aksi intel polisi masuk pesantren itu niscaya membuat kenyamanan di pesantren hilang sedikit demi sedikit. Tidak mustahil, sistem pendidikan juga terganggu. Ujungnya proses pendidikan di pesantren terhambat. Ini tidak seharusnya terjadi. Karena itu, KH Abdurrahman Wahid termasuk tokoh muslim yang mengecam keras rencana penyusupan itu. Menurut Gus Dur, rencana penyusupan itu membuktikan bahwa intelijen selalu terlambat mengantisipasi aksi-aksi terorisme. Keterlambatan itu membuat mereka perlu menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam.
Ketiga, apa yang menimpa pesantren saat ini sebenarnya hanya pengulangan sejarah kelam Orde Baru belaka. Atas nama pemberantasan terorisme, campur tangan pemerintah pada organisasi sipil akan kian kuat, termasuk pada pesantren. Kebebasan sipil yang seharusnya dijunjung tinggi, kini malah diinjak-injak. Ini tidak seharusnya terjadi pada pesantren, mengingat kemerdekaan Indonesia pada 1945 tidak bisa dilepaskan dari peran fital pesantren.
Untuk itu, biarkanlah pesantren berkembang secara alamiah dan tidak perlu ada pemata-mataan apapun oleh pihak manapun. Kalaupun beberapa pelaku terorisme terbukti lulusan pesantren, itu tidak seharusnya menjadi simpul akhir bahwa pesantren identik dengan terorisme. Hanya dengan cara inilah, pesantren tidak akan lagi menjadi pihak yang teraniaya, tertindas, tertuduh, atau terstigma buruk. Wa Allah a’lam.[]
*Pernah dipublikasikan Harian Duta Masyarakat
0 Comments:
Post a Comment
<< Home