Terorisme Ekologi
Oleh Nurul H Maarif
Suatu malam, saya menerima sms dari seorang pembimbing spiritual (bahasa Arab: mursyid). �Mas, aku mau ngobrol soal ekologi,� tulisnya singkat. �Pasti ada yang sangat penting disampaikan,� gumam saya dalam hati. Benar saja, ini ada kaitannya dengan bencana yang silih berganti terhampar di depan mata kita dan terus menjadi headline koran, majalah, radio, dan televisi, di negeri ini.
Ia bercerita. Banjir, longsor, gunung meletus, kecelakaan pesawat/mobil, gelombang laut yang mengganas, angin besar dan sebagainya, masih akan terus terjadi. Inilah mendung kelam yang akan mengiringi hari-hari kita, bangsa Indonesia, hingga beberapa tahun ke depan.
Ia, tentu saja, melihatnya dari kaca mata spiritual, yang oleh orang-orang tertentu bisa dianggap �ramalan belaka.� Namun sebetulnya, siapapun yang memiliki kesadaran akan pentingnya keseimbangan ekosistem, ia bisa menangkap gejala-gejala ini secara kasat mata dan gamblang. Karena semua ini tak lepas dari ulah tangan-tangan kita sendiri.
Ini sesuai sunnatullah, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. ar-Rum ayat 41: �... Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan pada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).�
Dengan menilik ayat di atas, setidaknya ada dua isyarat penting yang bisa ditangkap. Pertama, bencana yang terjadi, itu tak lain karena ulah kita sendiri. Ada yang menyatakan, itu terjadi karena letak negeri ini yang secara geografis memang rawan bencana. Betul! Tapi perlu diingat, kerawanan itu (hanya) baru potensi, yang belum tentu terjadi. Potensi itu akan meledak jika dipicu. Dan pemicunya tergantung bagaimana cara kita berhubungan atau berinteraksi dengan alam.
Banjir bandang yang menenggelamkan tujuh kabupaten di wilayah timur Aceh beberapa waktu lalu, yang menyebabkan meninggalnya 69 jiwa, 367.752 orang mengungsi, 10.323 rumah rusak, itu karena dalam setahun terakhir, perampokan kayu di Gunung Leuser terjadi secara menggila. (Majalah Tempo, 7 Januari 2007). Penebangan kayu secara liar, dibarengi ketamakan pelakunya, itulah pemicu terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Akibatnya? Semua orang tentu tahu! Begitu juga yang terjadi dengan banjir di Sumatera dan tempat-tempat lain lainnya yang tak terekspos media massa
Banyaknya kecelakaan pesawat, mobil, kereta, dan sebagainya, yang berakibat melayangnya ratusan nyawa, juga meluapnya Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo, semua tak lepas dari ulah kita sendiri. Selama ini kita hanya berfikir mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya demi kepentingan hedonisme, dengan abai terhadap aspek-aspek kemanusiaan dan alam yang harus dijunjung tinggi. Akhirnya ekploitasi manusia atas manusia dan ekploitasi manusia terhadap alam terjadi di mana-mana. Bahkan, ratusan ribu jamaah haji dari negeri ini, yang merupakan tamu Allah SWT, kelaparan di Padang Arafah saat wukuf. Ini juga ekploitasi manusia atas manusia. Dalam kacamata spiritual, semua ini akan memicu �kemarahan� alam.
Kedua, bencana yang terjadi, itu tak ubahnya sinyal atau peringatan awal, supaya kita menyadari bahwa ada yang salah pada diri kita, terutama terkait hubungan kita dengan alam. Kita diingatkan untuk yarji�un, kembali kepada kemanusiaan dasar kita yang ramah pada alam; tidak liar menebang pohon, tidak rakus mengeruk kekayaan laut, tidak tamak mengeruk isi perut bumi, dan sebagainya. Dengan kembali pada kemanusiaan dasar ini, �kemarahan� alam yang lebih dahsyat lagi tidak akan terjadi atau setidaknya terminimalisir.
Itulah pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Karenanya, sangking pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem ini, Allah SWT jauh-jauh hari sebelumnya telah mengingatkan dengan keras, �Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang-orang yang membuat kerusakan.� (Qs. al-Qashash ayat 77). Allah SWT melarang kita berbuat kerusakan, tak lain karena akibatnya akan kembali pada diri kita sendiri. Kita sendiri, dan generasi setelah kita, yang rugi!
Dan, perusakan yang menyebabkan ketidakseimbangan alam inilah yang perlu disadari selekasnya. Inilah, yang oleh Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung, Yasraf Amir Piliang, disebut eco-terrorism atau terorisme ekologis (Kompas, 2 September 2006). Ini sebentuk �terorisme� atau ancaman penebaran kebahayaan yang dilakukan oleh alam, karena kita tidak lagi berinteraksi secara baik dengan alam. Ini dampaknya jauh lebih mengerikan ketimbang bom. Jika bom hanya melantakkan lokasi dengan radius meter tertentu, maka eco-terrorism bisa melantakkan berpuluh-puluh kabupaten/kota, bahkan sebuah negara. Jika bom hanya mampu membunuh ratusan nyawa, eco-terrorism bisa membunuh ribuan nyawa.
Untuk itu, tak ada kata lain, kecuali mari perbaiki hubungan kita dengan alam. Ramahlah pada alam, sehingga alam ramah pada kita. Tebarkanlah energi positif pada alam, sehingga alam menyinarkan energi positifnya pada kita. Inilah satu-satunya jalan yang diyakini bisa meredam �kemarahan� alam. Selanjutnya, terserah kita masing-masing, toh peringatan untuk itu selalu hadir setiap saat. Wa Allah a�lam.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home