Islam Itu Mesra, Tanpa Tapi
Oleh Nurul H Maarif
Puluhan pendeta dan calon pendeta dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), terlihat sumringah kala berkunjung ke Pondok Pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya Jawa Barat, 11-12 Januari 2007 lalu. Itu lantaran mereka disambut hangat oleh pengasuh ponpes yang juga mantan Rais Am Syuriah PBNU, KH M. Ilyas Ruhiat. Keluarga besar ponpes dan santri pun tak kalah hangat menyambut mereka.
Selama dua hari live in di sana, agenda demi agenda berjalan gayeng. Diskusi dengan keluarga ponpes berjalan santai dan menyenangkan. Akrab-akraban dengan santri juga enak dinikmati. Pertunjukan seni kasidah, puisi, juga lawakan, yang dipelopori putera pengasuh ponpes, Acep Zamzam Noor, juga tak kalah gayeng-nya. Bahkan kala itu, laki-laki-perempuan, tua-muda, Islam-non Islam, penghayat kepercayaan sekalipun, semua bisa duduk sama rendah. Tak ada gesekan apapun. Tak ada saling curiga sedikitpun. Lebih jauh lagi, tak ada pikiran negative secuilpun antara satu sama lain. Kerukunan dalam perbedaan, begitu nyata terlihat. Indah!
Apa resepnya?
Pertama, mereka, yang berbeda-beda itu, tidak sedikitpun membahas, apalagi memperdebatkan persoalan keyakinannya masing-masing. Biarkan yang muslim bercinta dengan Tuhan melalui keyakinannya. Biarkan yang Kristen bercinta dengan Tuhan, juga melalui keyakinannya. Pun, biarkan yang penghayat bercinta dengan Tuhan, melalui keyakinannya. Jangan berfikir untuk mengusik, apalagi memperdebatkan keyakinan mereka yang berbeda. Mengusik berarti memantik munculnya �perang.� Semua harus berpijak pada satu titik point; semua adalah hamba Tuhan yang sedang berusaha mendekati-Nya sedekat-dekatnya, dengan caranya masing-masing. Inilah titik temu perbedaan itu. Dan, inilah yang disebut tauhid (pengesaan dan kepasrahan pada Tuhan), titik api spiritualitas agama-agama.
Kedua, mereka, yang berbeda-beda itu, ketemu dalam fokus tema kemanusiaan atau kemiskinan. Agama apapun, akan menaruh perhatian lebih pada persoalan ini. Makanya, jika terbukti ada agama yang abai pada persoalan ini, yakinlah, itu bukan agama dalam makna sesungguhnya. Mengapa? Karena prinsip sosial agama adalah menolong saudaranya, seiman atau tidak seiman, yang kemanusiaannya dirampas oleh orang lain apalagi penguasa. Juga, agama harus berdiri tegak di atas penderitaan kawula alit yang hak-haknya dirampas secara sewenang-wenang.
Misalnya saja, sebagai pemeluk agama, kita harus turut pula menyuarakan penolakan atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2006, yang nyata-nyata menguntungkan anggota dewan di seluruh wilayah Indonesia, namun merampas hak-hak rakyat kecil untuk mendapat kesejahteraan. Di kala rakyat sengsara, mencari sesuap nasi saja susahnya minta ampun, apalagi mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, di saat itulah banyak wakil rakyat yang �tanpa hati� tega menari di atas luka mereka. Menari bangga dengan saku melimpah rupiah. Kita, semua para pemeluk agama, harus menaruh memberantas ketidakadilan yang menjadi musuh bersama agama-agama ini.
Dua hal itulah, tidak memperdebatkan keyakinan dan fokus pada kemanusiaan dan kemiskinan, yang akan menjadi kunci bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian antar perbedaan. Karenanya, fokus dan carilah titik temu itu, jika kerukunan dan kedamaian memang kita canangkan sebagai tujuan jangka panjang. Sebaliknya, fokus dan carilah titik tengkarnya, jika perang yang kita harapkan. Tinggal pilih bukan? Tapi, bijak bestari niscaya akan memilih mencari titik temu, ketimbang sibuk mencari perbedaan.
Siapapun kita, jika telah menyadari fokus titik temu ini, kita akan dapat menghadirkan agama yang ramah lingkungan. Kalau Kristen, itulah Kristen yang ramah. Kalau Hindu, itulah Hindu yang ramah. Kalau Budha, itulah Budha yang ramah. Kalau kepercayaan, itulah kepercayaan yang ramah. Kalau Islam, itulah Islam yang ramah, atau �Islam tapi Mesra,� yang dijadikan motto Komunitas Azan pimpinan Acep Zamzam Noor. Namun sejatinya, Islam itu mesra, tanpa �tapi.� Wa Allah a�lam.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home