Mengedepankan Esoterisme, Mendamaikan Dunia
Oleh
Nurul H. Maarif
Di bawah temaram sinar lampu hotel, tampak tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang tengah asyik bercengkerama. Ada tokoh Islam, Kristen, Katolik, juga Konghucu. Ada tokoh TNI, politikus, budayawan, juga seniman.
Itulah suasana launching buku karya Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, di Ballroom Hotel Borobudur Jakarta, Jum�at (8/12/2006) malam. Buku berjudul Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi, itu memang berhasil menyedot perhatian banyak kalangan.
�Tasawuf itu bisa diterima oleh orang Islam maupun orang lain. Tamu di sini ada dari Kristen, Katolik, Konghucu, dan sebagainya. Dengan tasawuf, Tuhan selalu hadir bersama kita. Inilah tasawuf,� kata Kang Said, sapaan KH Said Aqil Siradj, saat memberi sambutan.
Kang Said benar. Tasawuf memang laksana tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai background. Karenanya, pengamal tasawuf bisa berdampingan mesra dengan siapapun.
�Orang beragama Islam bersaudara dengan orang beragama Islam lainnya. Dan orang beriman bersaudara dengan orang beriman lainnya,� kata pendiri Kanzus Shalawat Pekalongan dan Mursyid Tarekat Syadziliyyah Habib Luthfi bin Ali Yahya, dalam bukunya Nasihat Spiritual, Mengenal Tarekat Ala Habib Luthfi.
Melalui tasawuf ini, ajaran Islam sebagai rahmatan lil �alamin tampak nyata. �Islam itu mengajarkan keterbukaan,� kata Mursyid Tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyyah dari Pesantren Giri Kusumo Semarang Jawa Tengah, KH, Munif Muhammad Zuhri, saat dihubungi the WAHID Institute.
Pada perkembangannya, ajaran tasawuf ini terlembagakan dalam bentuk tarekat. Sehingga, tidak aneh jika banyak tarekat bisa menerima keanggotaan dari non muslim. Sebut saja, misalnya, Tarekat al-Ahadiyyah, yang mengajarkan pemikiran-pemikiran Syeikh al-Akbar Muhyiddin Ibn Araby.
�Kita mengajak mereka pada tauhid, pengesaan Tuhan. Dan dari awal, tarekat ini tidak bermaksud menjadikan orang lain pindah agama, tapi bagaimana mereka mengenal Tuhan dan mempersilahkan mereka menjalankan agamanya masing-masing,� jelas Mursyid Tarekat al-Ahadiyyah, KH Shohibul Faroji.
(lihat; Tauhid untuk Perdamaian Dunia).
KH Faroji berharap, tarekat yang dipimpinnya bisa menjadi solusi konflik antar agama dan aliran. �Saya ingin al-Ahadiyyah menjadi salah satu rumah ruhani, tempat semua umat beragama berteduh dan butuh kenyamanan,� ujar penghafal al-Qur�an ini.
Hal sama diceritakan murid Tarekat Naqsabandiyyah yang bermarkas di bilangan Jakarta Timur, AS Damanhuri. Mursyidnya, ujarnyanya, juga menerima murid non muslim. �Yang saya tahu, ada murid Kristen dan Konghucu. Itu no problem. Mereka yang datang sendiri kok,� katanya.
Di lain waktu, tambahnya, sang mursyid diminta berdoa di rumah non muslim. �Setelah minta petunjuk Allah Swt, beliau mau berdoa di rumahnya,� imbuhnya.
Sikap terbuka juga ditunjukkan Tarekat Kadisiyyah yang berpusat di Cilegon Banten. Tarekat pimpinan Syeikh Suprapto Kadis yang juga berkembang di Jakarta dan Bandung, ini juga menerima keanggotaan non muslim. �Siapa saja, termasuk non muslim, bisa ikut proses yang diberi nama Serambi Suluk, berupa kuliah pengenalan tentang tarekat ini,� kata anggota tarekat ini, Endang, kepada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute.
Dikatakan Endang, yang menjadi anggota sejak 2002, setelah mengikuti program ini, para angggota dibebaskan apakah akan menjadi salik di tarekat ini atau di tarekat lainnya. �Tarekat Kadisiyyah hanya mengarahkan,� sambungnya.
Keterbukaan di atas diakui Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Abdul Munir Mulkhan. Menurutnya, tarekat yang merupakan tehnologisasi atau positifisasi ajaran tasawuf, itu memang bersumber pada pandangan yang haqiqiyyah substantive. �Isi seluruh ajaran tasawuf itu toleran,� ujarnya. �Dan tarekat yang dikembangkan melalui perspektif substantive, itu toleran,� imbuhnya.
Penulis buku-buku tasawuf yang mempunyai motto �bersufi tanpa tarekat,� ini lantas mencontohkan para pengamal tarekat yang toleran. �Gus Dur, walaupun saya tidak tahu tarekatnya apa, dia itu seorang sufi dan dia toleran. Juga AR Fakhruddin. Saya tidak tahu tarekatnya apa, tapi dia sufi dan toleran,� katanya. �Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, itu sufi. Itu tolerannya luar biasa. Beliau bekerja di lingkungan pusat kejawen dan bergaul dengan orang Kristen,� imbuh cendekiawan Muhammadiyah ini.
Pengakuan sama dinyatakan Guru Besar Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kautsar Azhari Noer. Menurutnya, pada umumnya tarekat itu toleran pada agama lain. �Tapi kita tidak bisa menggeneralisir, karena aliran tarekat itu bermacam-macam. Itupun sangat tergantung gurunya. Ada guru yang sangat toleran dan ada yang kurang,� katanya. (Lihat: Umumnya Tarekat Itu Toleran).
Menurut penulis buku Ibn Araby; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, tarekat yang toleran biasanya karena menganut doktrin wahdat al-wujud Ibn Araby, yang sangat menekankan aspek esoteric. �Naqsabandiyyah, Syatariyyah, atau yang lain, yang menganut paham ini, mereka toleran, sehingga non muslimpun bisa masuk ke sana,� tegasnya.
�Tarekat Maulawiyyah anggotanya juga banyak dari non muslim. Malah saya punya kawan dari Jerman. Dia mengaku ikut Tarekat Naqsabandiyyah di Eropa. Menariknya, dia agamanya Katolik dan dia tidak masuk Islam,� imbuhnya.
Karenanya benar apa yang dikatakan sufi dari Sri Lanka MR Bawa Muhayyaddin dalam bukunya Islam & World Peace; Explanation of A Sufi. Menurutnya, semua orang yang beriman pada Tuhan harus bersatu. Dan, mereka yang mempunyai kesadaran, keadilan, kebijakan dan kasih sayang di dalam hati, harus membawa perdamaian dan persamaan untuk masyarakat dunia.
�Jika kita benar-benar orang yang beriman, maka kita tidak akan memandang perbedaan orang lain dari diri kita sendiri. Kita akan memandangnya sebagai satu kesatuan. Kita akan memandang Allah, satu ras manusia, dan satu keadilan untuk semua orang,� tegasnya.
Kearifan seperti ini, ujar sufi India Hazrat Inayat Khan, tidak hanya dimiliki oleh agama atau ras tertentu, melainkan oleh semua agama dan ras. �Siapapun yang memperoleh kearifan adalah seorang sufi, karena tasawuf itu berarti kearifan,� ujarnya.
Atas dasar ini, Abdul Munir Mulkhan yakin, paradigma sufistik bisa menjadi solusi konflik, minimal, di negeri ini. �Orang Islam bisa lebih cair atau lebih toleran, ketika mereka menaruh perhatian terhadap pandangan sufistik,� yakinnya. �Bisa! Bisa! Cuma tidak semua orang bisa belajar tasawuf. Dan umumnya, orang berantem itu karena simbol,� kata Kautsar Azhari Noer.
Sisi esoteric inilah titik temu atau benang merah agama-agama, yang akan menjadi solusi bagi terciptanya perdamaian dunia.[]
7 Comments:
What a nice Islam. Saya muslimah yg sangat 'awam' dengan ilmu2 Islam, saya tidak datang dari keluarga religius, tp dari keluarga yg full colour,nenek katolik,tante kristen,mbah di Yogya kejawen, dan kami sekali lagi muslim yang sebagian besar dididik dalam institusi pendidikan katolik, namun kami sekeluarga adalah Islam bukan karena paksaan tetapi karena kami memilih Islam.
Pendekatan kami kepada Islam bukan doktrinal, bukan dogma, namun lebih condong kepada pendekatan rasional. Umumnya dalam masyarakat kami (yang saya alami dan masih berjalan hingga sekarang), Islam diajarkan dalam bntuk doktrinal yg diajarkan sejak kecil seperti penganut agama selain Islam adalah kafir, selain kita mereka sama dengan tidak bertuhan atau 'kalian harus sholat 5 waktu sehari, dan kalau tidak maka nanti akan dibakar di api yg berkobar2 di neraka' dll...
Umumnya, saudara2 sesama muslim di lingkungan saya yang notabene mengaku sebagai umat yang berilmu, sangat tidak terbuka terhadap perbedaan, khususnya dengan non-muslim. sangat mudah memvonis orang lain, dan tidak pernah membuka diri melalui diskusi positif dengan yang berbeda. Padahal, perbedaan itu adalah sesuatu yg mutlak diciptakanNya dalam alam semesta ini, lalu dimana letak kesalahan sehingga sebagian besar kita tidak bisa menerima perbedaan?
Sekali lagi, membaca artikel Mas Nurul Huda di atas dan juga bbrp artikel yg lain di lain tempat, sangat menguatkan saya, untuk terus fight, untuk terus belajar for what a real Islam.
Salam
Terima kasih Mbak. Saya juga orang yang sangat awam tentang agama. Karena keawaman ini, saya ingin terus belajar dan belajar. Tentu belajar dengan benar dan mempelajari yang benar; yaitu yang mendamaikan dunia, bukan yang memanaskan dunia. Dan, itu, jujur saja, lebih banyak saya temukan di dimensi spiritual agama-agama. Bukan dimensi "fikih"nya.
Mohon doa Mbak -- ini karena saya tidak kenal nama Anda -- karena saat ini, saya sedang mencoba menelusuri konsepsi riddah (kemurtadan) dan kufr (kekafiran) sufi besar Ibn Araby. Banyak pandangan yang berbeda dari ulama pada umumnya, yang ditawarkan oleh sufi Andalusia ini. Pokoknya menarik (setidaknya bagi saya). Bocorannya lain kali saja ya. He...
Oh ya, senang bisa berkenalan dengan Mbak. Semoga bermanfaat dan kian meneguhkan keislaman kita yang rahmatan lil alamin. Amin.
Wasalam
Nurul H Maarif
Ass..
Mas Nurul,saya betul2 awam, selama ini saya banyak belajar dari kehidupan saya sendiri & baru belajar sedikit2 dari membaca buku2 & tulisan Quraish Syihab, Nurcholish Madjid, Gus Dur, JIL dan bbrp yg lain.
Kalo boleh minta pendapat, kira2 referensi apa yang pas dipelajari bagi pemula seperti saya?
Wass,
Arie
Salam
Waduh, saya juga kurang paham soal referensi ini. Semoga saja referensi di bawah ini bisa membantu. Termasuk membantu yang pemula tentunya.
Refensi ini saya ambilkan dari materi diskudi di the WAHID Institute untuk para pendeta Protestan. Semoga bermanfaat. Dan, semoga referensi ini sesuai yang dimaksudkan. Terima kasih.
NB: Oh ya, saya kesulitan kalau lewatnya ruang ini. Lain kali mungkin lebih enak via email saja. Email saya nurulhudamaarif@gmail.com
Tema : Sejarah Perjumpaan Islam dan Agama Lain: Perspektif Historis-Politis
Referensi:
1. Jelald F. Dirks, Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi, Jakarta: Serambi, 2006;
2. Tarif Khalidi, The Muslim Jesus: Kisah dan Sabda Yesus dalam Literatur Islam, Jakarta: Serambi, 2003;
3. Nurcholish Madjid, Islam, Dokrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995;
4. Karen Amstrong, Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2001;
5. Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Lentera AntarNusa, 1990;
6. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.
7. Philip K Hitti, History of The Arab; Jakarta: Serambi, 2004.
8. W. Montgomery Watt, Muhammad: Nabi dan Negarawan, Depok: Mushaf, 2006
Tema; Pandangan Islam tentang Yang Lain: Perspektif Normatif
Referensi:
1. Abdul Aziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, Jakarta: Serambi, 2002
2. Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001
3. Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama: Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme, Jakarta: Penerbit Lentera, 2002
4. Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006;
5. Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000
6. Khaled Abou el Fadl, Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme, Bandung: Arasy, 2003;
7. Team Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004;
8. Odbjorn Leirvik, Yesus dalam Literatur Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002;
9. Abd Moqsith Ghazali (ed.), Ijtihad Islam Liberal, Jakarta: JIL, 2005
Tema: Hubungan Islam dengan Agama Lain di Indonesia
Referensi ;
1. Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, Jakarta, The WAHID Institute, 2006;
2. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: Paramadina, 1998;
3. Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia, Jakarta: BPK, 2004;
4. Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995;
5. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Menjadi Indonesia, Bandung: Mizan, 2006;
6. Anas Saidi (ed.), Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru, Jakarta: Desantara, 2004;
7. Abdurrahman Wahid dkk, Kala Fatwa Jadi Penjara; Jakarta: the WAHID Institute, 2006;
8. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996;
9. BJ. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Harg: Martinus Nijhoff, 1971;
10. Olaf Schumann, Dialog AntarUmat Beragama: Dimanakah Kita Berada Kini, Jakarta: LPS DGI, 1980;.
11. Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998;
12. Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan: Pergulatan Agama Privat dan Publik, Bandung: Rosdakarya, 1999;
Tema: Diskursus Hubungan Islam dan Politik di Indonesia Pascareformasi
Referensi ;
1. Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996;
2. M Syafii Maarif, Islam dan masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996.
3. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005;
4. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Tranformasi pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998;
5. Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina, 2004;
6. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Jalan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999;
7. Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat, Jakarta: KOMPAS, 2002;
8. Agus Edi Santosa (ed.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamed Roem, Jakarta: Djambatan, 1997;
9. M Syafi�i Anwar, Pemikiran dan Aksi Politik Islam Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995;
10. Einar Sitompul, NU dan Pancasila, jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996;
Tema: Regulasi dan Pluralisme Agama di Indonesia
Referensi :
1. Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, Jakarta: BPK, 1996;
2. Weinata Sairin, Dialog Antar Umat beragama; Membangun Pilar-Pilar Keindonesiaan Yang Kokoh, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994;
3. Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999;
4. Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia;
5. Bahtiar Effendi & Hendro Prasetyo (penyunting), Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM IAIN, 1998;
6. Tarmizi Taher, Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia, Jakarta: PPIM, 1998;
7. BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Tema: Peta dan Isu Gerakan Perempuan Islam di Indonesia
Referensi
1. Abd Moqsith Ghazali dkk, Tubuh, Seksualitas, Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, Jakarta, Rahima: 2004;
2. KH Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2005 ;
3. Faqihuddin Abd Kodir, Fiqih Anti Trafiking, Cirebon: Fahmina Institute, 2006
4. Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan, 2005;
5. Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami;
6. KH Husein Muhammad dkk, Dawrah Fiqh Perempuan;
7. Team Pengarusutamaan Gender Depag RI, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2005;
8. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina, 2001.
9. Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur`an dan Hadits Nabi, Yogyakarta, Pustaka Pesantren LKiS, 2005;
10. Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman, Yogyakarta, LKiS, 2005;
11. Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta, Samha, 2003.
Salam,
setahu saya tempo telah mengadakan sedikit koreksi untuk pemberitaannya tentang tarekat kadisiyyah. berikut saya copy kan : " Pada suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO
31 Desember 2006, terdapat teks pada halaman 2 paragraf
5 yang berbunyi:
“Tarekat pimpinan Syaikh Suprapto Kadis yang juga
berkembang di Jakarta dan Bandung, ini juga menerima
non muslim sebagai anggota.”
Penjelasan tambahannya adalah:
Di tarekat ini ada tiga tahapan. Pertama, tahap pelayanan.
Kedua, tahap serambi suluk. Ketiga, tahap inisiasi pada
mursyid. Tarekat ini menerima non muslim hanya pada
tahap pelayanan.
Redaksi "
ada baiknya saudara juga menoreksinya bukan ?
terima kasih.
Mempelajari Islam kenapa sumbernya kebanyakan buku2 karangan manusia? Kenapa bukan Alqur'an..??
Apakah Alqur'an terlalu fundamentalis yah??
Dengan membaca-baca buku tersebut trus baca artikel internet kita merasa menjadi sufi :D
No offense sih...
Valen Shop is Biggest Online Store Selling Very Cheap Price Consumer Electronics
All our stores carry all line of product Categories supplied by different name brand manufacturers around the world. We guaranty that you will find almost everything you need for low price.
Valen Shop was established to serve the needs of computer users, and today we are one of the industry's top Consumer Electronics online retailers. We have a huge selections of the most popular products and brands in categories like: Laptop Computers, Digital Camcorders, Digital Cameras, Television, Dj Mixer/player, Cellular Phones, Plasma LCD TVs.
Remember, here at Valen Shop we do whatever we can to meet your needs in Electronics and Computer Products! New product lines are continuously added to our offering and we continue to expand on the idea of providing you with the perfect online shopping experience.
Here is our company details.Listed Below.
Contact Person:: Tarak Morgan
Company Name::..... Cv. Valen Shop Corporation
Company Address::.. 232 Riley Street Sydney
Company City::.......... Sydney
Company Zip Code::.... AU2010
Company Country ::....Australia
Company Phone No.::.... +61 - 361 - 2511521
Company Fax No.::... +61 - 361 - 6052057
Company E-mail Address::.
contact_valenshop@cool.com.au
contact_valenshop@yahoo.com.au
CONTACT US TODAY TO SEE WHAT WE SELL AT A LOW PRICE..
Post a Comment
<< Home